Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa, Manfaat atau Mudarat ?
Babelpedia (1 Juli 2023)
Sobirin Malian
Awal Januari 2023 lalu, para kepala desa berdemonstrasi di Gedung DPR. Intinya, mereka menuntut perubahan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Aksi demonstrasi ini didukung juga oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) yang bahkan mengancam untuk menyelenggarakan demonstrasi yang lebih besar jika tuntutan tidak dikabulkan.
Demo itu ternyata tidak memakan waktu lama segera direspons positif oleh pemerintah dan DPR. Demontrasi oleh kepala desa ini sungguh berbeda secara diametral dengan demo penolakan terhadap UU Omnibus Law yang telah berkali-kali dilakukan namun tetap saja tidak direspon positif. Tampaknya dan pembacaannya memang harus demikian; jika demonstrasi itu sifatnya mendukung pemerintah (rezim berkuasa dan koleganya DPR) akan cepat ditanggapi, sebaliknya jika yang terkait dengan kepentingan rakyat terutama buruh, pemerintah dan DPRD sama sekali tidak menggubrisnya.
Ada apa ini ?
Dalam pandangan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), wacana perpanjangan masa jabatan kades ini patut diduga cerminan dari politik transaksional menuju Pemilu 2024. Presiden dan DPR merupakan pihak yang memegang kewenangan legislasi, sehingga menjadi sangat berdasar jika wacana ini bisa jadi bentuk politik transaksional karena sulit menemukan argumen rasional dari usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa tersebut.
Bila pilkades yang selama ini dianggap sebagai praktik terbaik demokrasi dari level pemerintahan terbawah, maka penyangkalan elit politik akan praktik ini akan menunjukkan bahwa inisiatif menggergaji praktik terbaik justru datang dari aktor pemegang kekuasaan itu sendiri. Sulit untuk tidak menghubungkan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dengan usulan tiga periode masa jabatan kepala negara yang isunya pun seolah tidak pernah surut sampai hari ini.
Tuntutan perpanjangan masa jabatan para kepala desa membuktikan bahwa karena bola liar wacana perpanjangan masa jabatan presiden tidak dihentikan dengan tegas, maka justru dicontoh oleh struktur kepemimpinan pada level paling bawah.
Konstitusionalisme
Prinsip konstitusionalisme modern sesungguhnya menyangkut pengaturan dan pembatasan kekuasaan negara, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya (Jimly Assidiqui, 2002; 34-35). Peran negara yang menjadi besar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan bernegara menyebabkan perkembangan kekuasaan umum dalam kehidupan warganegara semakin besar dan menuntut juga pengaturan serta pembatasan terhadapnya. Walaupun Pemerintah diperlukan bagi kehidupan umat manusia, tetapi setiap pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus tunduk pada pembatasan kekuasaan substantif dan kewajiban-kewajiban tertentu.
Wacana merevisi UU Desa, dulu pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan melahirkan Putusan MK No.42/PUU-XiX/2021 yang menyebutkan bahwa pembatasan masa jabatan kepala desa selama enam tahun, dengan maksimal menjabat 3 periode masa jabatan, merupakan aturan konstitusional.
Dalam argumen MK melalui putusannya itu, alasan ketidakcukupan waktu untuk menjalankan visi dan misi kepala desa jika masa jabatan dibatasi selama enam tahun, itu bukanlah persoalan konstitusionalitas norma.
Bahkan jika dibandingkan dengan norma jabatan publik seperti Presiden/Wapres yang hanya 5 tahun dan maksimal dua periode, maka masa jabatan kepala desa dinilai maksimal, yakni 18 tahun. Lalu mengapa sekarang masih minta menjadi 9 tahun yang berarti bisa mencapai 27 tahun, jelas itu terlalu lama.
Penting diingat, kita menganut demokrasi prosedural yang artinya sangat penting membatasi masa jabatan. Jika merunut pada argumen ini maka andaikan ada pihak-pihak yang berupaya melakukan judicial review ke MK, seharusnya revisi UU Desa ini harus ditolak. Pasal 39 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sudah lebih dari cukup bagi Kepala Desa untuk menjalankan program pembangunannya.
Pertanyaan pentingnya, benarkah perpanjangan durasi masa jabatan menjadi solusi?
Jika berkaca pada penyelenggaraan pemerintahan, baik di Indonesia maupun di luar negeri Filipina, Korsel, Kamboja dan lain-lain; justru masa jabatan yang panjang sangat rentan, bahkan cenderung menimbulkan otoritarianisme, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Atas dasar itu, perpanjangan masa jabatan apalagi jika hanya sekedar memenuhi kebutuhan pragmatis pemilu 2024 justru akan menimbulkan masalah baru.
Indonesia sebagai negara demokrasi, sudah sepatutnya konsisten dengan konstitusi yaitu membatasi kekuasaan. Pemilu sebagai wujud siklus penggantian kepemimpinan dalam konteks penyegaran ide dan gagasan mengenai pembangunan desa harus dijalankan dengan konsisten sebagai pilihan.
Dalam evaluasi FITRA (Forum Indonesia Transparansi), demokratisasi Desa bertujuan untuk memperkuat kewenangan desa dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat, untuk mencapainya diperlukan pendidikan politik warga yang baik. Sebagai catatan, pemberian wewenang warga desa memilih sendiri kepala desanya yang dikehendaki sesuai dengan adat istiadat setempat sudah berlangsung sejak tahun 1854.
Kewenangan lainnya mengawal janji politik kepala desa dan mengawasi jalannya pemerintahan desa. Polarisasi sebagai residu pilkades terjadi karena demokratisasi desa dimaknai sebatas suksesi kepala desa bukan substansi demokrasi desa, misalnya visi berdesa dan kualitas gagasan dalam program kerja.
Karena itu, wacana perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun belum ada landasan filosofis, sosiologis maupun praksis yang mendasarinya. Masa jabatan kepala desa 6 tahun dan dapat dipilih 3 kali sebagaimana selama ini berjalan sudah baik. Jika masih saja diperpanjang tentu akan lebih banyak mudaratnya. Substansi dan inti yang masih menjadi masalah di desa -desa itu adalah mental sumber daya manusia pejabat desa yang masih belum terkoneksi dengan UU desa.
sumber : https://babelpedia.id/perpanjangan-masa-jabatan-kepala-desa-manfaat-atau-mudarat/