• TERKINI
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Kemiskinan dan Kesehatan Mental

18/02/2025/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

Solopos (26 April 2024)
Hilma Fanniar Rohman

Status sosial ekonomi keluarga memiliki dampak yang signifikan terhadap pendidikan dan perkembangan anak, termasuk keterampilan sosial mereka. Situasi ekonomi keluarga, seperti keadaan finansial dan akses terhadap sumber daya, berpengaruh langsung terhadap pengalaman hidup anggota keluarga dalam lingkungan mereka. Anak-anak dari keluarga dengan kekayaan materi yang cukup memiliki lebih banyak akses terhadap pendidikan yang berkualitas, peluang ekstrakurikuler, dan pengalaman sosial yang beragam. Pendidikan orang tua juga menjadi faktor penting dalam membentuk perkembangan anak.

Tingkat pendidikan orang tua memengaruhi cara mereka mendidik anak-anak. Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi cenderung lebih terbuka terhadap pendidikan anak dan lebih memberikan dorongan serta dukungan dalam eksplorasi minat dan bakat anak mereka. Keluarga dengan latar belakang pendidikan rendah lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar, seperti mencari nafkah dan menyediakan makanan, daripada memperhatikan perkembangan sosial anak.

Mereka mungkin memiliki keterbatasan waktu dan sumber daya untuk mendukung anak-anak mendapat pengembangan dan keterampilan sosial. Orang tua dari kelompok status sosial ekonomi menengah sering kali memiliki lebih banyak kesempatan untuk memberikan contoh dan memfasilitasi pengembangan kehidupan sosial yang baik bagi anak-anak mereka. Mereka memiliki akses yang lebih baik ke lingkungan yang mendukung perkembangan sosial anak, seperti klub atau aktivitas ekstrakurikuler. Status sosial ekonomi seseorang bervariasi dan memiliki tingkatan yang berbeda-beda, termasuk tinggi, sedang, dan rendah.

Hal ini merupakan hasil dari interaksi manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Faktor-faktor sosial ekonomi ini meliputi pendidikan, pengetahuan tentang kesehatan, gizi, lingkungan, nilai-nilai, dan lain-lain. Status sosial ekonomi dapat dipahami melalui pekerjaan, tingkat pendidikan, akses ke layanan kesehatan, dan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup di dalam rumah tangga atau keluarga.

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, faktor teknis medis, faktor geogafis, karakteristik ibu dan ayah, serta faktor keadaan sosial ekonomi sangat besar peranannya terhadap kesehatan mental mengingat kawasan Indonesia yang luas dan belum merata kondisinya atau ada perbedaan yang besar dalam bidang sosial dan ekonomi (Aisyan et al., 2013). Bagi orang tua dengan status sosial ekonomi rendah, menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan sosial anak menjadi tantangan. Mereka menghadapi hambatan ekonomi dan sosial dalam mencari waktu dan sumber daya untuk memfasilitasi interaksi sosial yang sehat bagi anak-anak mereka.

Kurangnya sumber daya ekonomi adalah salah satu faktor yang meningkatkan risiko gangguan mental dalam masyarakat. Sebagian dari mereka belum memahami langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi masalah kesehatan mental tersebut. Kesehatan mental penting bagi setiap anggota keluarga pada setiap fase kehidupan. Kesehatan mental adalah suatu kondisi ketika fungsi mental berhasil dijalankan, mengarah pada aktivitas yang bermanfaat, interaksi antarpribadi yang memuaskan, dan kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan dan mengatasi kesulitan.

Hal ini memengaruhi cara berpikir, perasaan, dan bertindak. Kesehatan mental juga menjadi landasan dalam menjalin hubungan persahabatan dengan keluarga, sahabat, dan rekan kerja, serta kemampuan seseorang dalam berkontribusi pada komunitas atau masyarakat. Teknologi informasi dan komunikasi membawa banyak pengetahuan kesehatan. Kesehatan bukan hanya kondisi fisik, tetapi juga kesejahteraan psikologis. Beberapa faktor risiko dapat memicu penyakit mental seperti diskriminasi, pelecehan, dan penggunaan narkoba.

Kemiskinan juga menjadi salah satu faktor risiko yang memengaruhi kesehatan mental. Bagaimana kemiskinan memengaruhi kesehatan mental? Kemiskinan adalah kondisi ketika seseorang atau kelompok mengalami kesulitan keuangan yang signifikan atau tinggal di lingkungan yang memiliki keterbatasan sumber daya ekonomi yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Kemiskinan tidak hanya mencakup ketidakmampuan memperoleh pendapatan yang mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari seperti makanan, tempat tinggal, pakaian, dan perawatan kesehatan, tetapi juga mencakup akses terbatas terhadap pendidikan, pekerjaan yang layak, layanan kesehatan yang memadai, dan infrastruktur dasar seperti air bersih dan sanitasi yang layak.

Kemiskinan telah diakui sebagai faktor risiko kesejahteraan psikologis. Kemiskinan dan penyakit mental mempunyai hubungan sebab akibat dalam dua arah. Kemiskinan berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran yang tidak menentu. Pola asuh orang tua adalah faktor penting dalam memprediksi dampak kemiskinan terhadap kesehatan mental anak-anaknya. Oleh karena itu, keluarga menjadi penting dalam meningkatkan kesehatan mental anak.

Intervensi dari sudut pandang sekolah juga akan membantu memanipulasi kelompok masyarakat kurang mampu. Sekolah dapat memberikan peluang khusus untuk meningkatkan kesehatan mental. Caranya dengan menyediakan program untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis, seperti social and emotional learning, resilience, life skills, character education, dan lain sebagainya.

sumber : https://kolom.espos.id/kemiskinan-dan-kesehatan-mental-1909126

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-02-18 09:14:572025-02-18 09:15:38Kemiskinan dan Kesehatan Mental

Bansos, Demokrasi, dan Upaya Merawat Kemiskinan

11/02/2025/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Aisyiyah (4 April 2024)
Annisa Fithria

Bantuan sosial (Bansos) telah menjadi salah satu instrumen utama yang digunakan oleh pemerintah di seluruh dunia termasuk Indonesia dalam upaya untuk menekan angka kemiskinan. Bansos menjadi cara instan untuk memberikan jaringan keamanan dan keselamatan bagi mereka yang terpinggirkan dan terancam kemiskinan.

Selama tahun 2014-2024, hampir satu dekade masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, dana yang disediakan untuk perlindungan sosial nyaris mencapai Rp4.000 triliun. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, alokasi tepatnya mencapai Rp3.663,4 triliun dari tahun 2014 hingga 2024. Pada APBN tahun 2024 dimana juga menjadi tahun yang akan dilangsungkannya Pemilu, dana sebesar Rp496,8 triliun telah dialokasikan untuk perlindungan sosial yang akan diperuntukkan kepada beberapa kementerian dan lembaga terkait.

Alokasi dana perlindungan sosial pada tahun 2024 ini merupakan yang terbesar dalam sejarah Republik Indonesia, bahkan melebihi alokasi untuk perlindungan sosial selama masa pandemi COVID-19. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, di mana Indonesia masih dalam tahap pemulihan dari dampak pandemi, alokasi untuk perlindungan sosial tahun 2024 mengalami peningkatan sebesar 12,4 persen dari Rp439,1 triliun yang telah dialokasikan pada tahun 2023.

Sebagaimana Pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Fakir Miskin dan Anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara” dan selanjutnya dalam Pasal 27 Ayat (2) yang menyatakan, “Bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, Bansos merupakan manifestasi dari keterangan pasal tersebut yang dapat juga diartikan bahwa bansos adalah hak warga negara yang membutuhkan.

Pertanyaan mendasar berikutnya, apakah amanat undang-undang ini telah dijalankan dengan baik oleh pemerintah. Fakta menunjukkan tidak demikian. Sejak tahun 2015 hingga 2023, meskipun anggaran besar telah dialokasikan, penurunan tingkat kemiskinan belum mencapai target sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pada tahun 2023 misalnya, tingkat kemiskinan hanya menurun pada angka 9,36 persen, sementara target RPJMN seharusnya mencapai 8 persen.

Bansos yang merupakan satu dari berbagai cara untuk menekan angka kemiskinan nyatanya belum begitu efektif. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya komitmen pemerintah untuk mengelola program tersebut secara profesional dan serius.

Pengelolaan data penerima manfaat yang masih buruk, tumpang tindih, dan tidak sinerginya program perlindungan sosial antar lembaga pemerintah serta dijadikannya Bansos sebagai komoditas politik yang sekedar menjadi alat untuk kepentingan elektoral, membuat program tersebut gampang menguap dan kehilangan kemampuan optimalnya untuk menekan angka kemiskinan, mendorong penerima manfaat menjadi berdaya, dan merangsang masyarakat kelas bawah untuk naik kelas.

Bansos sebagai komoditas politik dapat terlihat jelas melalui alokasi pengelolaan postur anggaran perlindungan sosial pada tahun-tahun menjelang Pemilu. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudiono misalnya, menjelang pemilu 2014 anggaran bansos pada tahun tersebut naik secara signifikan sebesar Rp484,1 triliun dibanding 2013 yang hanya Rp200,8 triliun.

Sementara itu di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, postur anggaran perlindungan sosial juga mengalami kenaikan pada tahun-tahun menjelang pemilu, seperti tahun 2019 mengalami kenaikan anggaran sebesar Rp419,2 triliun, dengan kenaikan yang sangat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2018 sebesar Rp162,56 triliun, dan pada tahun 2024 sebesar Rp496,8 triliun yang juga lebih besar 12,4 persen atau hanya Rp439,1 triliun pada tahun 2023.

Menjadikan Bansos sebagai tunggangan politik untuk kepentingan elektoral semata jelas merupakan kesalahan dan pelanggaran. Memanfaatkan fasilitas negara, anggaran, dan program yang dibiayai oleh pajak rakyat dan bukan dari kantong-kantong elit politik adalah kejahatan.

Penggunaan Bansos untuk kepentingan politik elektoral tentu akan menghadirkan ketimpangan dan ketidakadilan, dimana pemberian Bansos hanya fokus pada satu daerah tempat dimana ia akan memenangkan kompetisi politik dan seiring dengan hal tersebut tentu akan mengabaikan rakyat di daerah yang lain.

Politik Bansos tersebut kerap kali dilakukan oleh politikus yang sedang mempertahankan kekuasaannya, sehingga keberadaan rakyat miskin menjadi penting untuk merawat kemenangan politiknya. Dalam pengertian, semakin banyak jumlah orang miskin, maka semakin besar pula peluang untuk memenangkan pertarungan politik elektoral dengan memanfaatkan Bansos. Sehingga menjadi mungkin, jauhnya tingkat keberhasilan program perlindungan sosial adalah upaya untuk merawat kemiskinan sebagai investasi kemenangan politik untuk mempertahankan kekuasaan.

Kondisi seperti ini menjadikan Pemilu yang merupakan puncak dari perayaan demokrasi berjalan tidak seimbang dan jauh dari rasa adil. Menyebabkaan ongkos politik menjadi mahal yang pada akhirnya akan mengamputasi kesempatan masyarakat untuk masuk gelanggang politik dan hilangnya kesempatan yang setara untuk menjadi pelayan publik.

Kondisi ini menjadi salah satu penyumbang turunnya kualitas demokrasi di Indonesia sebagaimana data indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh The Economist yang menempatkan Indonesia pada peringkat 54 dari 167 negara dengan skor 6,71 dengan status flawed democracy atau cacat demokrasi dengan mengukur berbagai hal lainnya, termasuk sistem Pemilu, kebebasan berpendapat, hak asasi manusia, dan keadilan.

Bansos sudah seharusnya dikembalikan pada tujuan awal yaitu menjadi jaring pengaman masyarakat yang lemah bukan menjadi tunggangan politik untuk kepentingan kotor kekuasaan. Pengelolaan Bansos harus dikelola secara professional, akuntabel, dan berkeadilan untuk dapat menjadi alat penanganan kemiskinan yang optimal.

Menjadikan Bansos lebih bernilai bukan hanya sekedar menjadi alat pelepas rasa lapar masyarakat secara temporer melainkan menjadi cara untuk menciptakan peluang dan kesetaraan yang sama, mendorong masyarakat menjadi berdikari dan berdaya serta menciptakan kehidupan masyarakat yang bermartabat.

Sumber : https://suaraaisyiyah.id/bansos-demokrasi-dan-upaya-merawat-kemiskinan/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-02-11 10:57:112025-02-11 10:57:11Bansos, Demokrasi, dan Upaya Merawat Kemiskinan

Warga Kelas Dua dan Demokrasi Berkemajuan

10/02/2025/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Aisyiyah (7 Februari 2024)
Annisa Fithria

Budaya patriarki di Indonesia memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, menciptakan sistem sosial yang didominasi oleh pria, dan menempatkan perempuan dalam peran yang lebih rendah sebagai warga kelas dua. Di era modernitas seperti sekarang, pada tingkat makro, peran tradisional gender masih menetapkan norma-norma patriarki, dengan laki-laki dianggap sebagai tulang punggung keluarga dan pemimpin, sementara perempuan diharapkan untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak.

Kondisi seperti ini disebabkan oleh pola didik yang tidak setara sejak dalam rumah dimana ethics of care menjadi pendidikan dominan yang didapatkan oleh perempuan seolah perempuan hanya dituntut fokus pada urusan domestik rumah tangga sedangkan laki-laki diasuh dengan pola didik ethics of justice dengan mengumpamakan hanya lelakilah yang boleh membahas dan duduk pada diskursus politik, keadilan, dan kebijakan publik. Padahal, pendidikan ethics of justice sama pentingnya dengan pendidikan ethics of care dimana baik laki-laki maupun perempuan harus mendapatkan keduanya dan setara kedudukannya untuk seluruh jenis ilmu apapun.

Dampak dari budaya patriarki tidak hanya terbatas pada norma-norma sosial, tetapi juga melibatkan masalah serius, seperti kekerasan terhadap perempuan, termasuk pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga yang dapat muncul sebagai hasil dari struktur sosial yang mendukung ketidaksetaraan gender. Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2022 terdapat 459.094 laporan kekerasan terhadap perempuan dan sekitar 3,2 juta kasus kekerasan seksual dalam 8 tahun terakhir. Diskriminasi gender masih menjadi kendala di berbagai sektor, termasuk dalam pendidikan, partisipasi politik dan demokrasi yang menciptakan ketidaksetaraan yang perlu diatasi.

Dalam partisipasi politik dan pengambilan kebijakan, peranan perempuan juga belum begitu memuaskan walaupun Indonesia telah mengadopsi Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women-CEDAW) pada tahun 1984 dalam bentuk UU No. 7 Tahun 1984 yang mencerminkan komitmen pemerintah Indonesia untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan memberikan landasan hukum bagi upaya lebih lanjut dalam mencapai kesetaraan gender serta lahirnya UU No. 10 Tahun 2008 dan UU No. 8 Tahun 2012 yang mengatur peningkatan kuota perempuan dalam parlemen dan pemerintahan lokal sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik.

Pencapaian target keterwakilan perempuan sebesar 30 persen di parlemen masih jauh dari harapan yang diinginkan. Berdasarkan informasi dari World Bank pada tahun 2019, Indonesia menempati peringkat ketujuh di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen dan hanya 120 orang atau 20,9% keterwakilan perempuan di parlemen pada periode 2019-2024. Dalam konteks pemilihan umum anggota DPR tahun 2024, hanya satu partai dari total 18 partai politik yang memenuhi kuota minimum 30 persen kandidat perempuan dalam daftar pencelanonan.

Ketidakcapaian target keterwakilan perempuan sebesar 30% dapat disebabkan oleh faktor-faktor kompleks. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kegagalan keterwakilan perempuan di legislatif dapat disebabkan oleh sistem budaya politik dan rekrutmen partai yang belum mendukung calon perempuan untuk menjadi anggota DPR RI. Selain itu, sistem pemilu proporsional terbuka juga dianggap melemahkan upaya calon perempuan dalam mendapatkan dukungan suara.

Untuk mengahasilkan demokrasi yang berkemajuan, diperlukan komposisi yang setara terhadap keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan dan partisipasinya dalam politik elektoral. Representasi yang adil dan seimbang dalam demokrasi yang sehat menjadi mungkin dengan melibatkan secara aktif perempuan dalam proses politik. Memastikan bahwa suara mereka diakui dan diwakili dalam pengambilan keputusan politik untuk mengatasi ketidaksetaraan gender. Aktivitas politik perempuan dapat memperkuat kesempatan dan hak-hak mereka untuk menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan seluruh masyarakat.

Meningkatkan peran perempuan dalam demokrasi memerlukan serangkaian upaya dan strategi. Salah satu langkah kunci adalah peningkatan kesadaran dan pendidikan tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam politik. Program pendidikan yang setara dan penyebarluasan arus informasi dapat membantu mengubah persepsi masyarakat dan memberikan pengetahuan yang lebih baik tentang hak-hak perempuan terutama dalam konteks politik dan kebijakan publik.

Upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pemilihan umum juga diperlukan. Ini dapat dilakukan bukan hanya melalui peningkatan jumlah kandidat perempuan dan penggunaan kuota khusus sebagaimana yang tertera dalam undang-undang, tetapi juga memberikan dukungan finansial dan pelatihan bagi perempuan yang ingin terlibat dalam politik guna melampaui dan melawan batas-batas patriarkis yang secara tradisional tumbuh di masyarakat kita.

Perubahan budaya politik yang mendukung stereotip gender dan diskriminasi juga merupakan langkah krusial. Kampanye kesetaraan gender, peningkatan kesadaran, dan promosi nilai-nilai kesetaraan terutama di institusi partai politik dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi partisipasi perempuan.

Melakukan audit gender terhadap kebijakan dan praktik politik merupakan langkah krusial dalam mengidentifikasi ketidaksetaraan pada institusi-institusi politik untuk mengevaluasi dan melakukan perubahan yang diperlukan. Melalui serangkaian upaya ini, diharapkan peran perempuan dalam demokrasi dapat ditingkatkan, memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pengambilan keputusan politik, serta menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia sangat perlu kiranya kita melakukan evaluasi secara terus menerus untuk menghasilkan sistem dan ekosistem demokrasi yang menjamin bangsa Indonesia benar dalam track menuju cita-cita Nasional. Oleh karena itu demokrasi berkemajuan menjadi mutlak. Demokrasi yang memberikan kesempatan bagi seluruh warga bangsa untuk berpatisipasi dalam keputusan politik dan kebijakan publik. Membuka sebesar-besarnya peluang perempuan dan kaum marjinal lainnya untuk tidak lagi menjadi warga kelas dua dan sama kedudukannya dengan warga lain untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sumber : https://suaraaisyiyah.id/warga-kelas-dua-dan-demokrasi-berkemajuan/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-02-10 16:00:352025-02-11 09:44:00Warga Kelas Dua dan Demokrasi Berkemajuan

Kegamangan Partai dalam Menentukan Kandidat di Pilkada Serentak

17/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Babelpedia (1 Agustus 2023)

Sobirin Malian

Pemilu dan Pilkada serentak 2024 kurang sekitar sembilan bulan, tetapi nampak jelas di berbagai daerah belum nampak jelas siapa kandidat partai yang di usung. Masyarakat pun berteka-teki siapa kiranya kandidat yang akan diusung oleh masing-masing partai. Sejatinya, Pilkada menjadi momentum terbaik partai politik untuk mengusung figur andalannya untuk memenangi kompetisi politik di tiap daerah. Sejauh yang dapat ditangkap partai politik masih bermanuver agar figur yang diusung tidak meleset.

Dari pengalaman partai selama ini, memang menentukan (kandidasi) diwarnai dengan proses yang tidak mudah sehingga sejumlah partai baru benar-benar dapat memastikannya ketika batas waktu makin mendekati masa batas pendaftaran. Pencalonan (kandidat) sebenarnya bisa menggambarkan bagaimana pengelolaan organisasi partai yang didalamnya mencerminkan implementasi demokrasi internal.

Dari berbagai pemberitaan di media off line dan media on line, bagaimana potret bakal calon kepala daerah yang dilakukan oleh partai pada Pilkada 2024 ? Dalam kandidasi, tujuan yang diinginkan partai adalah memunculkan kandidat yang kompeten, berintegritas, diterima publik, dan mampu menerjemahkan platform (ideologi) partai dalam berbagai kebijakan. Melalui kandidatnya diharapkan kinerja gemilang partai ikut terangkat, mengapa ? karena selama ini kiprah partai politik dipandang secara pesimistis tidak akan membawa harapan perbaikan. Bahkan, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, citra tiang demokrasi ini dinilai kian memburuk.

Buruknya citra partai politik (parpol) saat ini tak lepas dari beragam sikap dan langkah yang ditampilkannya di hadapan publik selama ini. Kinerja parpol dalam segala bidang kegiatan lumpuh. Sementara itu, perpecahan di dalam partai serta dugaan keterlibatan anggota- anggotanya di dalam perkara korupsi menjadikan publik cenderung menilai negatif partai politik. Oleh karena itu, tak berlebihan jika kemudian harapan politik ikut disematkan, melalui keberhasilan memenangi Pilkada 2024, terutama di daerah yang dianggap strategis dan sebagai lumbung suara seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.

Partai Belum Siap Pencalonan (penentuan) kandidat terutama kalau yang berasal dari internal partai umumnya partai itu sendiri belum siap. Dalam hal ini, maka semua partai membuka kesempatan kepada pihak terutama eksternal untuk didominasikan. Melalui pencalonan terbuka ini memungkinkan partai mencalonkan figure di luar kader partai. Persyaratan, seperti berapa lama masa kenaggotaan partai, tak dipersoalkan. Figur-figur dengan latar belakang militer, kepolisian, ormas, birokrat, selebritas, tokoh agama dan pengusaha__kini bisa menjadi kandidat partai. Mengapa partai membuka peluang lebar dari eksternal ?

Disadari, proses pengkaderan di partai tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dengan gelaran pilkada yang serentak, menuntut partai menyediakan stok kader yang tidak sedikit untuk bisa dinominasikan. Ketidakmampuan partai mempersiapkan kader pada pilkada yang waktunya sudah ditetapkan jauh-kauh hari oleh KPU, menggambarkan partai lebih memilih “keputusan” di waktu-waktu akhir.

Kemungkinan lain, dalam upaya memenangi pilkada seringkali dihadapkan pada seberapa jauh kandidat memiliki peluang menang. Tidak jarang aspek ini dimiliki oleh figur dari eksternal karena sederet rekam jejak figur yang moncer ketika menjabat atau piawai di bidang masing-masing, contoh Anies Baswedan yang dicalonkan Nasdem, PKS dan Demokrat dalam konstatasi Presiden 2024 mendatang. Memang ketika stok kader tidak tersedia dalam internal partai, upaya meminang figur eksternal adalah pilihan yang tak dapat dihindarkan.Tentu pilihan itu bukan tanpa resiko terutama nanti di saat setelah menang harus mampu menerjemahkan platform (ideologi) partai tadi.

Bagaimanapun memilih fidur eksternal pun sejatinya tidak mudah. Hal ini akibat adanya ketentuan electoral threshold dan dinamika koalisi partai dalam pengusungan kandidat. Kalau pun hasil dari kandidasi internal partai memutuskan mengusung figur hasil seleksi, itu pun tidak menjamin akan mulus disepakati oleh mitra koalisi. Penentuan dan pilihan siapa yang diusung menjadi nomor satu (kepala) atau dua (wakil) juga aspek yang sangat menentukan dan dapat menimbulkan friksi yang dapat menajam. Oleh karena itu, yang perlu diantisipasi, saat ujung keputusan bagaimana sebetulnya kemauan konstituen sebagai penentu suara. Jika hal ini tidak diperhatikan dan ternyata tidak sesuai dengan harapan kader atau pemilih maka bisa berimplikasi munculnya kekecewaan dan eksodus besar-besaran. Sudah kita lihat, ada partai mengusung yang tidak sejalan dengan kader akhirnya kader memilih “kandidat” yang berbeda dengan yang diusung partai. Ada penggembosan suara partai disini.

Elit Penentu Hiruk pikuk penentuan kandidat, diluar yang telah dikemukakan di atas sering juga memperlihatkan proses yang elitis. Dalam artian, keputusan mengenai figur yang diusung kadang-kadang dalam suasana senyap karena lebih banyak ditentukan oleh elit partai. Pemimpin partai dengan lingkaran elit pengurus khususnya di Indonesia__ memiliki pengaruh besar untuk memutuskan bakal calon (kandidat). Terlebih pada partai dengan pemimpin sentral atau sosok paling berpengaruh yang sangat menentukan. Dengan tipe partai seperti ini hanya elit partai yang memiliki akses kedekatan dengan pemimpin yang bisa ikut memberi sumbangan pengaruh dalam beragam keputusan partai, termasuk bakal calon. Kuatnya pengaruh figur pemimpin ini membuat penetapan bakal calon bisa tampak lebih karena selera atau faktor kedekatan dengan elit partai.

Dalam kandidasi elitis tersebut tidak tertutup kemungkinan bisa melahirkan praktik politik uang atau transaksional, seperti dugaan adanya biaya politik bakal calon yang ingin diusung. Yang menjadi persoalan keputusan elit partai bisa juga menimbulkan persoalan karena tidak “terbuka” bagi anggota partai lain atau publik; padahal salah satu wujud kedaulatan partai adalah terlibatnya anggota dalam sejumlah kebijakan partai, termasuk penentuan bakal calon. Pelibatan dan partisipasi dari anggota partai diperlukan mengingat dalam kesempatan itu bisa digunakan untuk memastikan bahwa penentuan bakal calon dilakukan melalui makanisme yang transparan dan akuntabel. Termasuk nanti partai harus berkoalisi.

Akhirnya, sudah saatnya partai senafas dengan substansi demokrasi yaitu bersifat transparan dan akuntabel bukan elitis. Partai memiliki peluang menempatkan seluruh komponennya mengikuti proses pencarian bakal calon kepala daerah yang diharapkan nanti bisa kompetitif. Partai juga bisa mempersiapkan diri sedini mungkin dalam menghadapi Pilkada. Dengan persiapan yang lebih dini, matang tentu partai tidak lagi gamang dalam menyiapkan bakal calon yang akan diusung. Wallahu ‘alam bissawab.

Sumber : https://babelpedia.id/kegamangan-partai-dalam-menentukan-kandidat-di-pilkada-serentak/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-17 10:21:062024-10-17 10:21:29Kegamangan Partai dalam Menentukan Kandidat di Pilkada Serentak

Makna Hijrah

17/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Babelpedia (19 Juli 2023)

Sobirin Malian

Setiap tahun umat Islam memperingati tahun baru Hijri, yaitu tahun baru dalam kalender Islam yang perhitungannya dimulai dari kepindahan atau hijrah Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah. Kata hijrah berasal dari hajara-yahruju-hajrah artinya memutuskan perhubungan dengan dia, hijratun-hujratun-muhajiratun artinya pindah ke negeri lain. Hajarasy syai’, meninggalkan sesuatu. Dalam makna budi pekerti (akhlak), dikonotasikan meninggalkan segala yang kurang baik (negatif) menuju ke arah yang lebih positif, seperti meninggalkan maksiat menuju ketaatan; meninggalkan kezaliman/kesesatan menuju hidayah (keadilan), meninggalkan rasa malas menuju rajin, move on dari segala keterbelakangan menuju kemajuan (peradaban). Dalam hadis dikatakan, hijrah meninggalkan segala yang dilarang Allah SWT.

Secara historis, yang menetapkan kalender Islam ialah Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah ini memang banyak sekali membuat “inovasi” di bidang sosia-politik. Selain menetapkan kalender Hijri, beliau juga antara lain membuat bayt almal (baitulmal), semacam Pusat Bendahara Negara (Federal Reserve). Beliau juga membuat semacam sistem daftar gaji para tentara Islam, yang disebut diwan, dan lain-lain.

Keputusan Khalifah Umar bin Khattab untuk menjadikan Hijrah Nabi saw sebagai permulaan kalender Islam cukup menarik. Sebelum dibuat keputusan itu, sebenarnya ada berbagai pendapat dan usulan tentang kapan sebaiknya kalender Islam itu dimulai perhitungannya. Saat kelahiran Nabi Muhammad adalah titik mula yang baik untuk kalender itu. Hal serupa dilakukan oleh orang-orang Nasrani, yang memulai perhitungan kalender mereka dari saat kelahiran Nabi Isa al-Masih (menurut pendapat mereka, yaitu akhir Desember, lalu dibulatkan 1 Januari). Atas dasar itulah, mereka dalam Bahasa Arab disebut kalender milodi (kelahiran), selain juga biasa disebut kalender Masihi (Masehi) seperti kita kenal sekarang.

Dari berbagai ide dan usulan penentuan tahun itu, Umar bin Khattab menerima salah satu ide yang muncul, yaitu ide perhitungan kalender Islam itu dari Hijrah Nabi Muhammad saw. Mengapa? Dalam pandangan Umar, Hijrah adalah peristiwa yang membalikkan keseluruhan perjalanan perjuangan Nabi menegakkan kebenaran. Hijrah adalah “turning point” perjuangan Rasulullah. Bila di Makkah, selama 13 tahun, beliau berhasil menanamkan iman kepada Allah dan mendidik akhlak pribadi-pribadi para sahabat yang jumlahnya tidak terlalu banyak, maka setelah Hijrah, di Madinah, langkah perjuangan Nabi meningkat signifikan, yaitu dengan membentuk masyarakat politik. Oleh karena itulah, nama kota tempat Nabi berhijrah Yastrib, beliau ubah menjadi Madinah, yang maknanya ialah “kota” dalam pengertian “tempat peradaban, hidup beradab, bersopan-santun, dan teratur dengan hukum-hukum yang ditaati oleh semua warga.” Nama lengkapnya ialah Madinat al Rasul (baca: madinatulrrasul) atau Madinat al-Nabi (baca:madinatunnabi), artinya “Kota Rasul” atau “Kota Nabi” (penamaan ini bisa dibandingkan dengan “Constatinnopolis,” “Ahmadabad”, “Aligarh”, “Fatihpuri,” “Singapore” dan lain-lain.

Kalau disimpulkan, salah satu makna penting Hijrah ialah peningkatan kualitatif perjuangan bersama menciptakan masyarakat yang sebaik-baiknya. Sebutlah, mirip dengan slogan Muhammadiyah “berkemajuan”, berarti Islam yang memancarkan pencerahan bagi kehidupan, termasuk dalam ranah emansipasi dan humanisasi. Atau bisa juga berarti “tinggal landas” dalam arti pendapatan perkapita kita mulai meningkat dan efiensi serta produktivitas berhasil dilakukan. Yang kedua juga ditandai dengan adanya perkembangan pertumbuhan dalam beberapa sektor industri, munculnya pasar-pasar baru, dan adanya resolusi politik. Dan ciri amat menonjol masyarakat Islam pimpinan Rasulullah yang “tinggal landas” setelah Hijrah itu ialah peradaban, civilisasi dan kehidupan teratur (Arab: Madaniyah atau tamaddun, semuanya satu akar kata dengan Madinah) yang dilandasi oleh jiwa persaudaraan (al mu’akhah, ukhuwwah) di antara semua anggota masyarakat satu sama lainnya. Bahkan jiwa persaudaraan itu mula-mula juga meliputi kelompok Yahudi di Madinah (hanya sayang, kaum Yahudi ini satu per satu melakukan pengkhianatan, dan harus dihukum secara setimpal).

Akhirnya, memperingati Hijrah, adalah muhasabah sebagai koreksi diri dan berupaya meningkatkan tata hidup yang ber-madaniyyah, bercivilisasi, beradab dan berbudaya. Dengan muhasabah kita bisa menyadari bahwa ada banyak kekurangan yang ada pada diri kita. Dengan menyadari adanya banyak kekurangan, tentu kita akan lebih termotivasi untuk terus belajar dan mengembangkan diri, sehingga kita dapat memperbaiki kekurangan tersebut; ke depan ingin hidup lebih baik, lebih berkualitas. Wallahu’alam bissawab.

Sumber : https://babelpedia.id/makna-hijrah/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-17 10:11:152024-10-17 10:11:15Makna Hijrah

Pemimpin Bernilai Budaya, Bukan Pemimpin Banalitas

15/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Terbit (6 Juli 2023)

Sobirin Malian

Tahun 70-an budayawan Emha Ainun Najib pernah menulis esay menarik berjudul “Utang-Utang Kebudayaan.” Bagi saya, esay Emha itu sangat inspiratif dan masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Esay Emha itu, intinya menyatakan betapa pentingnya kesadaran manusia untuk selalu kreatif terutama melahirkan alternaif nilai. Dalam kaitan itu, kata Emha, manusia sebagai makhluk kebudayaan memiliki “utang-utang kebudayaan” yang harus dibayar demi membangun peradaban bermartabat.

Pembayaran “utang-utang kebudayaan” itu, lanjut Emha, adalah fardhu ain (harus dilakukan semua orang) melalui penciptaan karya yang bermakna dan bernilai – itulah makanya hukumnya wajib. Menunda berkarya apalagi tidak melakukannya berarti menumpuk utang kebudayaan atau malah abai dengan nilai-nilai peradaban.

Gagasan Emha itu, hingga kini tetap relevan dan tentu dapat diperluas dalam perspektif sosial, misalnya saja, terkait dengan (1) kewajiban para pemimpin untuk selalu memiliki gagasan dan karya yang visioner, dan (2) kewajiban para pemimpin dalam meregenerasi (kader) kepemimpinan, dan tentu (3) itulah bentuk legacy (warisan) yang dapat dipertanggungjawabkan di masa depan.

Konteks Etis-Ideologis

Tak ada yang mampu menahan laju waktu, tapi ingatlah waktu seringkali sangat berjasa melahirkan pemimpin, namun pemimpin tidak an-sich dilahirkan oleh zaman. Pemimpin juga ditentukan oleh kesanggupan dan kemampuan diri sendiri. Zaman dapat diartikan sebagai dinamika perubahan yang berbasis pada spirit (nilai) tertentu. Misalnya, politik dinasti Kennedy di Amerika. Terdapat tiga (legacy) peran signifikan dalam pemerintahan keluarga Kennedy, yaitu meningkatkan toleransi antarwarga Amerika; melakukan reformasi perlindungan kesehatan, dan meningkatkan peran Amerika di kancah internasional.

Selain itu, upaya yang dilakukan ‘trah’ Kennedy untuk mempertahankan keberlangsungan dinasti mereka adalah dengan mempertahankan ambisi, membentuk tim yang kuat, membangun image media, kampanye inovatif dan terorganisir serta memanfaatkan kepopuleran keluarga Kennedy. Kendati telah didesain sedemikian rupa tetap saja ‘trah’ Kennedy tidak mampu bertahan, isu “perubahan” mendorong rakyat Amerika memilih alternatif lain. Penggantian ‘trah’ Kennedy telah berlangsung berkali-kali, namun satu hal yang patut dicatat – dalam perspektif positif, bahwa hingga saat ini rakyat Amerika tetap menjadikan keluarga Kennedy pada poisisi penting dalam percaturan politik Amerika, karena dianggap memiliki legacy yang jelas bagi bangsa Amerika.

Demikian juga, nilai-nilai perjuangan di negara kita. Zaman pergerakan pada era kolonialisme telah mendorong lahirnya semangat patriotisme dan nasionalisme. Kemerdekaan dan terwujudnya negara kesatuan/kebangsaan pun menjadi cita-cita kolektif. Pilihan etis-ideologis menjadi patriot dan nasionalis sejati telah dijalankan dengan sangat baik oleh para founding fathers negeri ini seperti HOS Tjokroaminoto, Soekarno, Sjahrir, M.Natsir, Moh. Hatta, M. Yamin, Soepomo dan lain-lain. Terkait dengan kesanggupan dan kemampuan diri sendiri untuk lahir menjadi pemimpin mengacu kepada kualitas personal yang tercermin pada integritas, akhlak, komitmen, kemampuan dan dedikasi yang terproyeksi secara ideologis dan sosial. Kualitas personal itu berhadapan vis a vis dengan realitas obyektif dan menjelma menjadi karakter.

Karakter kuat inilah yang menjadikan para pendiri republik ini tidak lembek, tidak getas dan mudah menyerah ditekan kekuatan eksternal terutama kaum kolonial maupun dihimpit problem personal seperti kemiskinan dan kesulitan hidup. Ideologi dan idealisme mengalahkan pragmatisme. Jalan perjuangan menjadi pendirian, apapun resikonya. Sebagai pemimpin dan pelopor, mereka menyadari perjuangan tidak boleh putus. Oleh karena itu pengkaderan (regenerasi) mutlak diperlukan. Para pendiri bangsa ini pun membuka peluang bagi anak-anak muda saat itu untuk berkembang dan menemukan eksistensinya. Ini nampak pada dedikasi Tjokroaminoto dalam mengkader Soekarno, Semaun, M.Natsir dan lainnya untuk menjadi pemimpin bangsa (Lihat, Bonnie Triyana, 3/6/2021). “Utang Kebudayaan” yang dimaksud Emha dalam kontesk ini telah dibayar oleh seorang Tjokroaminoto.

Di masa rezim Orde Baru, tradisi melahirkan para pemimpin masih berlanjut, tetapi dengan aksentuasi teknokrasi. Dengan dukungan para teknokrat, Soeharto membangun rezim yang lebih berorientasi pada pembangunan ekonomi ala W.W. Rostow dengan cita-cita kesejahteraan kolektif dengan plus-minusnya.  Di luar lingkaran kekuasaan Orba, LSM, komunitas sosial, kampus, politik dan budaya juga melahirkan para pemimpin non formal, lembaga sosial agama menjadi bukti sekaligus fenomena bahwa pengkaderan telah berjalan. Mereka ini kemudian bertebaran memasuki ranah publik dan mengambil peran masing-masing sesuai dengan minat serta kemampuannya. Ada yang menjadi politisi, ulama, lembaga-lembaga pemberdayaan publik, LSM, hukum, seni budaya dan lain-lain.

Banalitas

Di era reformasi, makin banyak muncul pemimpin, tetapi tidak semuanya memiliki rekam jejak yang jelas. Regenerasi berlangsung tapi terkesan tidak natural, dinamis (dalam arti kurang sehat) dan terukur. Banyak pemimpin dadakan, karbitan tidak jarang pemimpin muda nebeng pada tokoh besar dan akhirnya bisa menduduki pos-pos dalam pemerintahan, BUMN atau dalam Parpol. Hubungan patron-klien tampak dominan.

Tampaknya konsep bahwa pemimpin selalu lahir dari gerakan (peristiwa) sosial politik-budaya “sudah tidak berlaku” lagi dan digantikan anggapan bahwa siapa pun bisa jadi pemimpin asal memiliki akses pada kekuasaan bahkan di back-up orang penting pemerintahan. Akhirnya, banyak pemimpin yang menjalankan peran sosialnya karena “dicangkok” oleh patron-klien politik dan ekonomi. Bertebaranlah pemimpin-pemimpin instans, tidak matang, bahkan tidak otentik. Kritik yang banyak dilakukan terhadap politik dinasti seakan menguap. Celakanya yang “mencangkok” pemimpin instan ini adalah tokoh pemerintahan mulai dari Presiden hingga tingkat kelurahan.

Apa yang dilakukan para patron politik dan ekonomi ketika mereka mengorbitkan pemimpin-pemimpin baru model demikian, maka tidak tergolong sebagai upaya membayar “utang-utang kebudayaan”, tetapi justru merusak tatanan kebudayaan dan demokrasi yang sehat. Tentu hal demikian tidak bisa ditolerir karena itulah pangkal KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Meminjam istilah Hannah Arent, model demikian tak lebih adalah banalitas, bentuk kejahatan dalam politik. Bentuk kejahatan model ini tidaklah harus orang-orang jahat berhati kejam penuh dendam. Orang-orang biasa pun bisa melakukan kejahatan besar ketika dia terakses pada kekuasaan karena ia tidak berfikir kritis di dalam melihat keadaan yang lebih luas. Tentu pemimpin model demikian jika salah langkah bisa berakibat fatal. Hal ini disebabkan banyak faktor, misalnya pragmatisme atau primodialisme dan interes kekuasaan yang kuat dan dominan. Idealisme, dedikasi dan sikap amanah pun terpinggirkan.

Politik sejatinya adalah seni mengelola kekuasaan. Kata seni pada frase itu menegaskan bahwa politik merupakan bagian dari kebudayaan. Dalam kebudayaan sangat menjaga relasinya dengan nilai, etika, moral, norma, ide, perilaku dan (nilai) karya. Para pemimpin instan dapat dikatakan melawan kodrat kebudayaan, dan itu dapat dibuktikan di era digital ini. Sebagai tambahan kata seni (berpolitik, berkuasa) mengacu pada etika, logika, dan estetika. Etika mengacu pada keluruhan akhlak (moral). Logika mengacu pada kebenaran, dan estetika mengacu pada fatsoen, keelokan, kepantasan dan kewajaran. Ibarat orang berbisnis, pelaku bisnis bukan saja berarti bisnis yang membawa untung banyak, melainkan juga bisnis yang berkualitas etis (K.Bertens; 2000,6). Semua itu bermuara pada martabat (salah satu sifat kenegawaranan).

Para pemimpin yang “dipaksakan” hadir padahal dia bersifat instan, cangkokan dan mentah outputnya bukanlah nilai-nilai kebudayaan yang menggerakkan kreativitas bangsa, melainkan banalisme; dia menjadi blunder kebudayaan, kontra produktif dengan substansi demokrasi. Inilah yang kita rasakan saat ini.

 

sumber : https://www.harianterbit.com/opini/2749379457/pemimpin-bernilai-budaya-bukan-pemimpin-banalitas

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-15 08:34:012024-10-15 08:35:18Pemimpin Bernilai Budaya, Bukan Pemimpin Banalitas

Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa, Manfaat atau Mudarat ?

15/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Babelpedia (1 Juli 2023)

Sobirin Malian

Awal Januari 2023 lalu, para kepala desa berdemonstrasi di Gedung DPR. Intinya, mereka menuntut perubahan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Aksi demonstrasi ini didukung juga oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) yang bahkan mengancam untuk menyelenggarakan demonstrasi yang lebih besar jika tuntutan tidak dikabulkan.

Demo itu ternyata tidak memakan waktu lama segera direspons positif oleh pemerintah dan DPR. Demontrasi oleh kepala desa ini sungguh berbeda secara diametral dengan demo penolakan terhadap UU Omnibus Law yang telah berkali-kali dilakukan namun tetap saja tidak direspon positif. Tampaknya dan pembacaannya memang harus demikian; jika demonstrasi itu sifatnya mendukung pemerintah (rezim berkuasa dan koleganya DPR) akan cepat ditanggapi, sebaliknya jika yang terkait dengan kepentingan rakyat terutama buruh, pemerintah dan DPRD sama sekali tidak menggubrisnya.

Ada apa ini ?
Dalam pandangan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), wacana perpanjangan masa jabatan kades ini patut diduga cerminan dari politik transaksional menuju Pemilu 2024. Presiden dan DPR merupakan pihak yang memegang kewenangan legislasi, sehingga menjadi sangat berdasar jika wacana ini bisa jadi bentuk politik transaksional karena sulit menemukan argumen rasional dari usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa tersebut.

Bila pilkades yang selama ini dianggap sebagai praktik terbaik demokrasi dari level pemerintahan terbawah, maka penyangkalan elit politik akan praktik ini akan menunjukkan bahwa inisiatif menggergaji praktik terbaik justru datang dari aktor pemegang kekuasaan itu sendiri. Sulit untuk tidak menghubungkan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dengan usulan tiga periode masa jabatan kepala negara yang isunya pun seolah tidak pernah surut sampai hari ini.

Tuntutan perpanjangan masa jabatan para kepala desa membuktikan bahwa karena bola liar wacana perpanjangan masa jabatan presiden tidak dihentikan dengan tegas, maka justru dicontoh oleh struktur kepemimpinan pada level paling bawah.

Konstitusionalisme
Prinsip konstitusionalisme modern sesungguhnya menyangkut pengaturan dan pembatasan kekuasaan negara, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya (Jimly Assidiqui, 2002; 34-35). Peran negara yang menjadi besar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan bernegara menyebabkan perkembangan kekuasaan umum dalam kehidupan warganegara semakin besar dan menuntut juga pengaturan serta pembatasan terhadapnya. Walaupun Pemerintah diperlukan bagi kehidupan umat manusia, tetapi setiap pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus tunduk pada pembatasan kekuasaan substantif dan kewajiban-kewajiban tertentu.

Wacana merevisi UU Desa, dulu pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan melahirkan Putusan MK No.42/PUU-XiX/2021 yang menyebutkan bahwa pembatasan masa jabatan kepala desa selama enam tahun, dengan maksimal menjabat 3 periode masa jabatan, merupakan aturan konstitusional.

Dalam argumen MK melalui putusannya itu, alasan ketidakcukupan waktu untuk menjalankan visi dan misi kepala desa jika masa jabatan dibatasi selama enam tahun, itu bukanlah persoalan konstitusionalitas norma.

Bahkan jika dibandingkan dengan norma jabatan publik seperti Presiden/Wapres yang hanya 5 tahun dan maksimal dua periode, maka masa jabatan kepala desa dinilai maksimal, yakni 18 tahun. Lalu mengapa sekarang masih minta menjadi 9 tahun yang berarti bisa mencapai 27 tahun, jelas itu terlalu lama.

Penting diingat, kita menganut demokrasi prosedural yang artinya sangat penting membatasi masa jabatan. Jika merunut pada argumen ini maka andaikan ada pihak-pihak yang berupaya melakukan judicial review ke MK, seharusnya revisi UU Desa ini harus ditolak. Pasal 39 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sudah lebih dari cukup bagi Kepala Desa untuk menjalankan program pembangunannya.

Pertanyaan pentingnya, benarkah perpanjangan durasi masa jabatan menjadi solusi?

Jika berkaca pada penyelenggaraan pemerintahan, baik di Indonesia maupun di luar negeri Filipina, Korsel, Kamboja dan lain-lain; justru masa jabatan yang panjang sangat rentan, bahkan cenderung menimbulkan otoritarianisme, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Atas dasar itu, perpanjangan masa jabatan apalagi jika hanya sekedar memenuhi kebutuhan pragmatis pemilu 2024 justru akan menimbulkan masalah baru.

Indonesia sebagai negara demokrasi, sudah sepatutnya konsisten dengan konstitusi yaitu membatasi kekuasaan. Pemilu sebagai wujud siklus penggantian kepemimpinan dalam konteks penyegaran ide dan gagasan mengenai pembangunan desa harus dijalankan dengan konsisten sebagai pilihan.

Dalam evaluasi FITRA (Forum Indonesia Transparansi), demokratisasi Desa bertujuan untuk memperkuat kewenangan desa dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat, untuk mencapainya diperlukan pendidikan politik warga yang baik. Sebagai catatan, pemberian wewenang warga desa memilih sendiri kepala desanya yang dikehendaki sesuai dengan adat istiadat setempat sudah berlangsung sejak tahun 1854.

Kewenangan lainnya mengawal janji politik kepala desa dan mengawasi jalannya pemerintahan desa. Polarisasi sebagai residu pilkades terjadi karena demokratisasi desa dimaknai sebatas suksesi kepala desa bukan substansi demokrasi desa, misalnya visi berdesa dan kualitas gagasan dalam program kerja.

Karena itu, wacana perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun belum ada landasan filosofis, sosiologis maupun praksis yang mendasarinya. Masa jabatan kepala desa 6 tahun dan dapat dipilih 3 kali sebagaimana selama ini berjalan sudah baik. Jika masih saja diperpanjang tentu akan lebih banyak mudaratnya. Substansi dan inti yang masih menjadi masalah di desa -desa itu adalah mental sumber daya manusia pejabat desa yang masih belum terkoneksi dengan UU desa.

 

sumber : https://babelpedia.id/perpanjangan-masa-jabatan-kepala-desa-manfaat-atau-mudarat/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-15 08:20:442024-10-15 08:34:31Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa, Manfaat atau Mudarat ?

Kegaduhan Demokrasi dan Etika Politik

11/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jakartasatu (20 Juni 2023)

Sobirin Malian

Semakin mendekati tahun politik, adalah wajar jika kegaduhan demokrasi semakin marak. Hal yang tidak wajar manakala masih abainya manusia Indonesia akan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila atau pengabaian manusia terhadap etika politik Pancasila. Hal itu dapat dilacak dari semakin minimnya upaya klarifikasi sesudah kontroversi cawe-cawe Presiden beberapa waktu lalu.

Demokrasi itu memang gaduh dan kegaduhan politik menjelang tahun politik itu jelas. Tetapi, kegaduhan demokrasi yang terlahir dari beragam kontroversi dengan disertai absurditas, isu-isu halusinatif dengan kemasan hiper-realitas bukanlah watak seorang negawaran yang Pancasilais. Prinsip demokrasi sebagai proses penanaman nilai-nilai mulia kesetaraan yang inklusif telah melewati garis demarkasi karena setara menjadi kebebasan warga untuk melakukan apa saja. Terlebih lagi, isu-isu halusinatif itu dalam ranah politik digital, kemudian direproduksi oleh buzzer politik untuk tujuan menghalangi bahkan menjatuhkan kandidat salah satu Capres, terutama menyerang pihak-pihak yang berseberangan secara ugal-ugalan.

Akal Sehat Politik

Ada yang menyimpulkan bahwa buzzer atau pihak-pihak yang berseberangan kemudian menyerang dengan argumen absurd itu dianggap sebagai penumpang gelap demokrasi. Para penumpang gelap demokrasi ini menggerakkan isu halusinatif dengan tujuan membodohi dan merusak proses pembelajaran politik kewargaan. Ini menjadi bahan bukti bahwa akal sehat kita masih jauh dari etika politik Pancasila.

Manuver politik yang ditampilkan tidak mencerminkan sebuah pembelajaran politik yang santun, tetapi lebih kepada mempertontonkan intrik saling jegal, saling kuasa tanpa mempedulikan nasib rakyat. Dalam agama, sifat demikian disebut _hasad_, yakni salah satu penyakit ruhani. _Hasad_ atau dengki adalah salah satu yang paling berbahaya untuk kehidupan manusia. Kita disebut _hasad_ kepada seseorang jika kita – tanpa alasan yang terukur, apalagi alasan yang adil – serta merta merasa tidak senang kepada segala kelebihan atau keutamaan yang dipunyainya. Kelebihan itu dapat bersifat kebendaan, seperti misalnya kekayaan harta; dapat juga bersifat keruhanian, seperti, kedudukan, kehormatan atau pretise, kecakapan, dan lain-lain. Jika kita menyimpan kedengkian kepada seseorang, biasanya selain kita membencinya juga diam-diam atau terang-terangan dalam hati kita menginginkan orang itu celaka. Dan kalau sudah begitu, besar sekali kemungkinan kita langsung atau tidak langsung berusaha menjegalnya, mencelakakannya.

Berbarengan dengan itu, kita, apakah melalui sikap dan tindakan kita sendiri atau bisa juga melalui buzzer yang dibayar, terus melancarkan serangan, fitnah, yaitu berita hoax atau berita-berita buruk yang tak benar atau palsu serta berita yang diplintir intinya menghancurkan reputasi orang yang tidak disenangi itu. Jika hal ini dilakukann oleh seorang yang punya kuasa atau pemimpin, maka tak lain dia telah menjadi seorang tiran. Dalam terminologi Qur’an disebut _thughyan_ – asal kata istilah _thaghut_ (si tiran). Seorang tiran selalu ingin memaksakan kehendak kepada lain tanpa memberi peluang kepada orang itu untuk melakukan pertimbangan bebas. Dalam perspektif Qur’an, sikap tiran (tiranik) sangat dilarang dan biasanya dipertentangkan dengan iman kepada Allah. Mengapa begitu? Karena dalam sikap tiranik terselip pandangan, bahwa diri sendiri pasti benar, dan orang lain pasti salah. Yaitu, pandangan memutlakkan diri sendiri.

Kembali lagi ke soal etika politik. Disadari, tidak selamanya politik itu penuh dengan intrik, tipu muslihat apalagi pembodohan. Politik sejatinya dapat memberikan pembelajaran berharga soal bagaimana demokrasi dibangun dengan etika politik Pancasila seperti mengedepankan nilai-nilai permusyawaratan perwakilan. Nilai-nilai yang sejatinya dapat mendorong politik sebagai ruang untuk mengkomunikasikan beragam programatik kandidat dan bukan terjebak pada prosesi pencitraan yang hiper-realistis, apalagi menumpulkan sensibilitas publik.

Apabila kita telah sepakat bahwa kontestasi pemilu (demokrasi) adalah upaya melahirkan generasi kepemimpinan, tentunya kita harus realistis dalam mendongkrak popularitas dan meraih kekuasaan dengan tetap mengutamakan etika politik Pancasila. Etika yang dapat menuntun para kandidat politik untuk kembali menampilkan akal sehat politik yang mengedepankan otentisitas, substansial dan tentunya mencerminkan kedewasaan dalam berdemokrasi. Tujuannya tidak lain sebagai media pembelajaran politik kewargaan dan bukan sebatas instrumen dekoratif dalam politik apalagi pencitraan.

Dengan mengedepankan etika politik Pancasila akan menjadi transformasi pengetahuan politik. Pengetahuan yang mengacu pada bentuk, konsep, informasi dan pertimbangan faktual, mengenai sistem politik dan pemerintahan. Di samping itu, merupakan keterampilan intelektual terkait kepiawaian dalam menggambarkan, menginterpretasikan dan menilai fenomena politik. Kepiawaian yang dapat membatasi terjadinya fanatisme berlebihan dari kesatuan politik. Tak kalah pentingnya, mengedepankan etika politik dapat menjadi ruh dalam segala jenis tindakan guna membangun patriotisme dan nasionalisme.

Penutup

Akhirnya, sebagai persiapan memasuki tahun politik 2024, akan lebih elok dan bersifat negarawan jika Presiden Jokowi tidak lagi cawe-cawe yang kontra-produktif. Presiden hendaknya mampu menjaga sikap kenegarawanannya. Ingat, kehancuran masyarakat antara lain dimulai oleh subyektivitas para tokohnya dalam melihat yang benar dan salah, padahal mereka itu tidak lebih daripada orang-orang yang diperbudak oleh tirani. Oleh karena itu, jangan sia-siakan umur kekuasaan presiden yang tinggal hitungan bulan dengan perbuatan yang akan membuahkan reputasi buruk!

sumber https://jakartasatu.com/2023/06/20/kegaduhan-demokrasi-dan-etika-politik/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-11 09:38:252024-10-11 09:41:23Kegaduhan Demokrasi dan Etika Politik

Rahmat dalam Perbedaan Idul Adha 1444 H: Menjelajahi Harmoni dalam Kekayaan Budaya Islam

11/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Babelpedia (13 Juni 2023)

Sobirin Malian

Tahun ini, setelah perbedaan dalam Idul Fitri kita juga akan berbeda dalam Idul Adha 1444 H. Dalam konteks Idul Adha perbedaan muncul tidak semata-mata persoalan hisab dan rukyat, tetapi juga dikaitkan dengan peristiwa wukuf di Arafah. Mengapa ? karena umat Islam yang berada di luar kota Mekah dan tidak melaksanakan ibadah haji disunahkan menjalankan puasa Arafah.

Menghadapi permasalahan perbedaan ini jumhur ulama mengembangkan konsep Ittihad al Matali. Pandangan ini diikuti beberrapa tokoh di Timur Tengah, seperti Abu Zahroh, Ahmad Asy-Syirbashi dan Ahmad Muhammad Syakir. Di Indonesia cukup banyak yang mengembangkan pandangan ini, di antaranya Prof Hasbi ash-Shiddiqie, dari UIN Sunankalijaga, dll.

Di era modern ini, konsep Ittihad al-Matali dikembangkan dalam sebuah system kalender yang dikenal dengan kalender Islam global. Salah seorang yang menggagas kalender Islam global adalah Hussein Fathi dalam buku berjudul Kaifa Nuwahhidu at Taqwim al-Hijry al-“alama al-Islamy (1389/1970). Kehadiran Islam global ini diharapkan mampu menyelesaikan perbedaan dalam merayakan Idul Adha. Hasil konferensi Turki 2016 juga sudah memutuskan untuk dijadikan umat Islam sedunia agar permasalahan perbedaan penentuan Idul Fitri dan Idul Adha ini diselesaikan.

Kalau dicermati, perbedaan tersebut dilatarbelakangi beberapa hal.

Pertama, perbedaan system hisab dan rukyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hal ini kemudian menimbulkan perbedaan hasil penggarapan, yang oleh para pakar falak, sistem falak diklasifikasikan sebagai hisab haqiqy, taqriby, hisab haqiqy tahqiqy, dan hisab haqyqi kontemporer.

Kedua, perbedaan hasil ijtihad para ulama fiqih dalam masalah penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Ada aliran rukyat seperti Imam Romli dan Al-Khatib Asy-Suaibani yang menyatakan jika rukyat berbeda dengan perhitungan hisab, yang diterima adalah kesaksian rukyat karena hisab diabaikan oleh syariat. Menurut mereka, jika ada orang menyaksikan melihat hilal, sedangkan menurut perhitungan hisab tidak mungkin dirukyat, kesaksian itu harus ditolak. Namun, ada aliran moderat, seperti Imam Ibnu Hajar yang menyatakan, bahwa syariat atau rukyat dapat ditolak jika ahli hisab sepakat (ittifaq), tetapi jika tidak terjadi ittifaq, rukyat tidak dapat ditolak.

Ketiga, perbedaan tingkat sosial. Masyarakat yang sudah modern bersifat terbuka, obyektif, dan selektif dalam berfikir, sedangkan masyarakat tradisional notabene bersifat isolatif dan fanatik sehingga dapat terpengaruh dalam menerima pemikiran produk fikih baru, termasuk dalam hal hisab dan rukyat.

Bagaimanapun, kalau kita telaah secara lebih serius, semestinya keterpaduan penggunaan hisab yang akurat dalam hal ini seperti menggunakan hisab haqyqi kontemporer semacam almanak Nautika dan Jean Meeus atau seperti Muhammadiyah, dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah relatif lebih mudah. Dengan hisab yang akurat (menggunakan teknologi) kita akan bisa memprediksi lebih dini tentang jatuhnya awal bulan tersebut. Dengan demikian, antara hisab dan rukyat itu bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ibarat analogi terminologi hukum, dapat dibahasakan hisab sebagai keterangan saksi. Bahwa hisab yang akurat diperlukan untuk panduan pelaksanaan rukyat yang benar, sedangkan eksistensi rukyat sebagai alat bukti kebenaran hisab.

Bagaimana dengan awal bulan Zulhijah 1444 H ?, kalau mengacu pada hisab, maka jatuhnya pada hari Senin Legi, 19 Juni 2023. Puasa Arafah, 9 Zulhijah, Selasa Wage, 27 Juni 2023, dan hari raya idul Adha 1444 H, 10 Zulhijah1444 H, Rabu Kliwon, 28 Juni 2023. Ini versi hisab haqyqi yang dikembangkan Muhammadiyah, tentu berbeda dengan ketetapan pemerintah yang menetapkan hari Kamis, 29 Juni 2023. Apabila pada hari Rabu, 28 Juni 2023 menjadi pilihan maka hal ini akan sejalan dengan kelompok pendukung Arab Saudi, pendukung kalender Islam global (Turki dan Eropa) dan poros MABIMS (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapore).

Akhirnya, sebagai bangsa negara yang berkomitmen melaksanakan Pancasila, perbedaan pilihan hari raya Idul Adha 1444 H, tetaplah kita jadikan rahmat. Toh ini bukan untuk pertama kalinya.

sumber https://babelpedia.id/rahmat-dalam-perbedaan-idul-adha-1444-h-menjelajahi-harmoni-dalam-kekayaan-budaya-islam/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-11 09:33:562024-10-11 09:42:41Rahmat dalam Perbedaan Idul Adha 1444 H: Menjelajahi Harmoni dalam Kekayaan Budaya Islam

Letargi Kebudayaan Dan Perilaku Politik

11/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Indonesia News (6 Juni 2023)

Sobirin Malian

Istilah letargi berasal dari kata lethe, yakni salah satu nama sungai dari empat sungai yang disebut-sebut dalam mitologi Yunani, yang dapat dikonstruksi sebagai gejala yang dimulai dari kecenderungan untuk melupakan atau ketidakmampuan untuk menggerakkan memori dan menemukan kebenaran dan hal hal yang esensial.

Dalam istilah kesehatan, letargi adalah kondisi ketika tubuh terasa sangat lelah dan tetap tidak membaik setelah beristirahat. Tak hanya lelah, seseorang yang mengalami letargi akan sulit beraktivitas karena sering mengantuk, lesu, dan sulit berkonsentrasi.

Kondisi ini bisa disebabkan oleh gangguan fisik maupun psikologis. Rasa lelah yang berat atau letargi seringkali muncul sebagai salah satu tanda atau gejala penyakit tertentu. Berbeda dengan rasa lelah atau letih karena beraktivitas, letargi umumnya tidak hilang atau membaik meski penderitanya sudah tidur atau beristirahat.

Uniknya, sebagaimana diuangkap oleh Robertus Robet (2016), letargi secara etimologi juga memiliki kesamaan dengan kata aletheia yang dalam bahasan Yunani berarti kebenaran. Huruf a diawal kata a-letheia bermakna bukan atau tidak tersembunyi. Aletheia dengan demikian bisa berarti penyingkapan atau kebenaran. Kebenaran dengan demikian berkaitan dengan penolakan untuk melupakan (alethe).

Dengan demikian, letargi dalam konteks tulisan ini_secara prinsipiil adalah kecenderungan untuk menerima segala hal apa “adanya”, apa yang disajikan secara mentah, bahkan menerima apa-apa yang sebenarnya keliru dan bertentangan dengan pendirian-pendirian kita. Di dalam letargi, kita sebenarnya sudah menyerah kepada keadaan, tapi kita berpura-pura terlibat dan antusias di dalamnya.

Di dalam letargi, seluruh daya aktivitas dimulai bukan dengan bagaimana mengupayakan apa yang benar, melainkan dengan apa yang sekadar bisa dari yang ada. Itulah sebabnya, Schall menyebut letargi sebagai kelelahan dan kemalasan mental untuk mencapai kebenaran dan kualitas. Itu sebabnya, para sejawaran menyebut letargi sebagai hal yang berbahaya, karena itu sinyal gejala runtuhnya peradaban.

Cawe-Cawe dan Letargi

Akhir-akhir ini viral tentang cawe-cawe Presiden Jokowi. Intinya yang paling banyak dikritik adalah betapa tak beretikanya Presiden dalam kaitan Pilpres 2024 mendatang. Presiden telah “menanggalkan” sikap kenegawarannya demi mempertahankan “penerus” dan kebijakannya. Tentu ada banyak pertanyaan mengapa Presiden cawe-cawe demikian. Yang jelas dalam konteks letargi, presiden telah meninggalkan jejak kemubaziran tindakannya.

Presiden Jokowi boleh dibilang telah gagal dalam mengusung standar etis dan begitu mudah jatuh ke dalam hipokrisi. Cawe-cawe bukanlah legacy yang dapat diteladani. Teolog Amerika, James Vincent Schall berpandangan, letargi sebagai gejala historis dalam kebudayaan (politik) ketimbang persoalan dalam perilaku sebagaimana ditafsirkan sosiolog tingkah laku.

Dalam pandangan Schall, letargi lebih merujuk pada kelelahan secara mental, bukan kelelahan fisik dan bukan semata-mata persoalan perilaku. Jadi, letargi sejatinya menyangkut kemunduran yang lebih subtil, yakni tanda dari mulainya gejala kemerosotan dalam peradaban, kemandulan dalam dunia intelektual, kemandekan dalam politik dan sosial (James V. Schaal SJ, 2014).

Secara fisik mungkin kita aktif, bergerak dinamis ke sana kemari, berkunjung ke berbagai pihak (tokoh agama, pesantren, tokoh parpol, dll) tetapi sebenarnya mental kita mentok dan kering gagasan. Fenomena letargi membuat kita gagal menggerakkan kapasitas mental untuk mencari alternatif-alternatif yang paling optimum dan berkualitas untuk mengatasi masalah yang ada. Akibatnya, ditiap aktivitas terutama oleh elit negara__banyak waktu dihabiskan untuk menutupi keburukan-keburukan besar melalui akumulasi keburukan-keburukan kecil.

Sinyal Runtuhnya Peradaban

Disamping kualitas yang pas-pasan, umumnya kita memang payah dalam mencari solusi terbaik bagi masyarakat. Letargi telah membuat kita jatuh dan terjebak dalam kecenderungan untuk “asal-asalan”, pragmatis atau “yang penting bukan dia” (dalam konteks kelicikan menjegal musuh politik). Kita tidak berfikir bagaimana melampaui dan mencari apa atau siapa yang terbaik untuk masyarakat, negara dan bangsa. Ketiadaan upaya mencari yang terbaik itu adalah awal dari kemerosotan peradaban. Sungguh hal ini sangat menyedihkan.

Perilaku Politik

Salah satu ciri letargi dalam kebudayaan terlihat dalam sulitnya mempertahankan suatu karakter dalam perilaku politik dan berdemokrasi kita, cawe-cawe Jokowi itu contohnya. Cawe-cawe dianggap “jalan yang benar”, padahal itu menimbukan preseden buruk karena seharusnya seorang Presiden bersikap menjadi “negarawanan”, sportif dan obyektif.

Cawe-cawe dalam konteks letargi kebudayaan adalah kontraproduktif dengan karakter membangun demokrasi yang sehat. Perilaku politik seharusnya bukan mengusung konfrontatif, melainkan mengusung ide dan gagasan.

Uniknya, perilaku ini diterima secara mentah-mentah – terutama oleh pengikutnya -dalam diskursus publik secara umum. Perilaku cawe-cawe dalam politik diterima sebagai suatu kewajaran.

Dengan begitu, rakyat kebanyakan tidak pernah dididik berpolitik di dalam gagasan. Tanpa gagasan, rakyat akan dengan mudah melupakan. Tanpa gagasan, politik tidak akan pernah dialami sebagai perjuangan, melainkan hanya sebatas pilihan-pilihan instan.

Akibatnya lebih jauh, demokrasi politik dan juga hukum tidak pernah mengalami kemajuan. Kita hanya disibukkan dengan “kegaduhan-kegaduhan” yang kontraproduktif dengan gagasan untuk maju. Guru, dosen, kyai, ulama diminta mengajarkan pendidikan berkarakter, tetapi politik kita – di saat yang sama mengajarkan cawe-cawe (letargi); bagaimana cara mengkhianati karakter dengan sukses – untuk saat ini bisa jadi politik yang menang, berjaya, tetapi itu sangat ironis. Wallahu’alam bissawab.

Sumber https://harianindonesianews.com/read/letargi-kebudayaan-dan-perilaku-politik

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-11 09:28:332024-10-11 09:40:59Letargi Kebudayaan Dan Perilaku Politik
Page 1 of 27123›»

TERKINI

  • BEM FH UAD Adakan Program “Dikabarin”31/05/2025
  • BHP UAD Adakan Pelatihan Fotografi Bersama Canon Indonesia31/05/2025
  • Bidang Humas dan Protokol UAD Selenggarakan Upgrading Student Support31/05/2025
  • UAD Raih Penghargaan LPTK Terbaik dalam Penyelenggaraan PPG 202431/05/2025
  • UAD Pertahankan Peringkat Pertama PTS Nasional Penerima Hibah Penelitian Kemendiktisaintek 202531/05/2025

PRESTASI

  • Mahasiswa FKM UAD Raih Juara I Lomba Futsal STPN 2025 Se-DIY31/05/2025
  • Inovasi Tim Jelantina Raih Juara 3 Lomba Poster26/05/2025
  • Mahasiswi UAD Raih Gold Medal dan Penghargaan Khusus di Ajang Internasional26/05/2025
  • Tim Bouqet Snack PBSI PPG UAD Juara 1 Lomba Video dalam Gelar Karya 202526/05/2025
  • Tim Arabian PPG PGSD UAD Juara 2 Lomba Poster dalam Gelar Karya 202524/05/2025

FEATURE

  • Perjalanan Hanifia Merawat Cinta Al-Qur’an31/05/2025
  • Cerita Inspiratif Rino, Meniti Karier dan Perjalanan Melawan Burnout31/05/2025
  • Peran Matematika dan Sains Dalam Teknologi31/05/2025
  • Alya: UKM Karate Mendukung Pengembangan Diri Saya31/05/2025
  • Danang, Apoteker UAD dengan 21 Publikasi Ilmiah, 8 Terindeks Scopus24/05/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top