• TERKINI
  • UAD BERDAMPAK
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Kegaduhan Demokrasi dan Etika Politik

11/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jakartasatu (20 Juni 2023)

Sobirin Malian

Semakin mendekati tahun politik, adalah wajar jika kegaduhan demokrasi semakin marak. Hal yang tidak wajar manakala masih abainya manusia Indonesia akan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila atau pengabaian manusia terhadap etika politik Pancasila. Hal itu dapat dilacak dari semakin minimnya upaya klarifikasi sesudah kontroversi cawe-cawe Presiden beberapa waktu lalu.

Demokrasi itu memang gaduh dan kegaduhan politik menjelang tahun politik itu jelas. Tetapi, kegaduhan demokrasi yang terlahir dari beragam kontroversi dengan disertai absurditas, isu-isu halusinatif dengan kemasan hiper-realitas bukanlah watak seorang negawaran yang Pancasilais. Prinsip demokrasi sebagai proses penanaman nilai-nilai mulia kesetaraan yang inklusif telah melewati garis demarkasi karena setara menjadi kebebasan warga untuk melakukan apa saja. Terlebih lagi, isu-isu halusinatif itu dalam ranah politik digital, kemudian direproduksi oleh buzzer politik untuk tujuan menghalangi bahkan menjatuhkan kandidat salah satu Capres, terutama menyerang pihak-pihak yang berseberangan secara ugal-ugalan.

Akal Sehat Politik

Ada yang menyimpulkan bahwa buzzer atau pihak-pihak yang berseberangan kemudian menyerang dengan argumen absurd itu dianggap sebagai penumpang gelap demokrasi. Para penumpang gelap demokrasi ini menggerakkan isu halusinatif dengan tujuan membodohi dan merusak proses pembelajaran politik kewargaan. Ini menjadi bahan bukti bahwa akal sehat kita masih jauh dari etika politik Pancasila.

Manuver politik yang ditampilkan tidak mencerminkan sebuah pembelajaran politik yang santun, tetapi lebih kepada mempertontonkan intrik saling jegal, saling kuasa tanpa mempedulikan nasib rakyat. Dalam agama, sifat demikian disebut _hasad_, yakni salah satu penyakit ruhani. _Hasad_ atau dengki adalah salah satu yang paling berbahaya untuk kehidupan manusia. Kita disebut _hasad_ kepada seseorang jika kita – tanpa alasan yang terukur, apalagi alasan yang adil – serta merta merasa tidak senang kepada segala kelebihan atau keutamaan yang dipunyainya. Kelebihan itu dapat bersifat kebendaan, seperti misalnya kekayaan harta; dapat juga bersifat keruhanian, seperti, kedudukan, kehormatan atau pretise, kecakapan, dan lain-lain. Jika kita menyimpan kedengkian kepada seseorang, biasanya selain kita membencinya juga diam-diam atau terang-terangan dalam hati kita menginginkan orang itu celaka. Dan kalau sudah begitu, besar sekali kemungkinan kita langsung atau tidak langsung berusaha menjegalnya, mencelakakannya.

Berbarengan dengan itu, kita, apakah melalui sikap dan tindakan kita sendiri atau bisa juga melalui buzzer yang dibayar, terus melancarkan serangan, fitnah, yaitu berita hoax atau berita-berita buruk yang tak benar atau palsu serta berita yang diplintir intinya menghancurkan reputasi orang yang tidak disenangi itu. Jika hal ini dilakukann oleh seorang yang punya kuasa atau pemimpin, maka tak lain dia telah menjadi seorang tiran. Dalam terminologi Qur’an disebut _thughyan_ – asal kata istilah _thaghut_ (si tiran). Seorang tiran selalu ingin memaksakan kehendak kepada lain tanpa memberi peluang kepada orang itu untuk melakukan pertimbangan bebas. Dalam perspektif Qur’an, sikap tiran (tiranik) sangat dilarang dan biasanya dipertentangkan dengan iman kepada Allah. Mengapa begitu? Karena dalam sikap tiranik terselip pandangan, bahwa diri sendiri pasti benar, dan orang lain pasti salah. Yaitu, pandangan memutlakkan diri sendiri.

Kembali lagi ke soal etika politik. Disadari, tidak selamanya politik itu penuh dengan intrik, tipu muslihat apalagi pembodohan. Politik sejatinya dapat memberikan pembelajaran berharga soal bagaimana demokrasi dibangun dengan etika politik Pancasila seperti mengedepankan nilai-nilai permusyawaratan perwakilan. Nilai-nilai yang sejatinya dapat mendorong politik sebagai ruang untuk mengkomunikasikan beragam programatik kandidat dan bukan terjebak pada prosesi pencitraan yang hiper-realistis, apalagi menumpulkan sensibilitas publik.

Apabila kita telah sepakat bahwa kontestasi pemilu (demokrasi) adalah upaya melahirkan generasi kepemimpinan, tentunya kita harus realistis dalam mendongkrak popularitas dan meraih kekuasaan dengan tetap mengutamakan etika politik Pancasila. Etika yang dapat menuntun para kandidat politik untuk kembali menampilkan akal sehat politik yang mengedepankan otentisitas, substansial dan tentunya mencerminkan kedewasaan dalam berdemokrasi. Tujuannya tidak lain sebagai media pembelajaran politik kewargaan dan bukan sebatas instrumen dekoratif dalam politik apalagi pencitraan.

Dengan mengedepankan etika politik Pancasila akan menjadi transformasi pengetahuan politik. Pengetahuan yang mengacu pada bentuk, konsep, informasi dan pertimbangan faktual, mengenai sistem politik dan pemerintahan. Di samping itu, merupakan keterampilan intelektual terkait kepiawaian dalam menggambarkan, menginterpretasikan dan menilai fenomena politik. Kepiawaian yang dapat membatasi terjadinya fanatisme berlebihan dari kesatuan politik. Tak kalah pentingnya, mengedepankan etika politik dapat menjadi ruh dalam segala jenis tindakan guna membangun patriotisme dan nasionalisme.

Penutup

Akhirnya, sebagai persiapan memasuki tahun politik 2024, akan lebih elok dan bersifat negarawan jika Presiden Jokowi tidak lagi cawe-cawe yang kontra-produktif. Presiden hendaknya mampu menjaga sikap kenegarawanannya. Ingat, kehancuran masyarakat antara lain dimulai oleh subyektivitas para tokohnya dalam melihat yang benar dan salah, padahal mereka itu tidak lebih daripada orang-orang yang diperbudak oleh tirani. Oleh karena itu, jangan sia-siakan umur kekuasaan presiden yang tinggal hitungan bulan dengan perbuatan yang akan membuahkan reputasi buruk!

sumber https://jakartasatu.com/2023/06/20/kegaduhan-demokrasi-dan-etika-politik/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-11 09:38:252024-10-11 09:41:23Kegaduhan Demokrasi dan Etika Politik

Rahmat dalam Perbedaan Idul Adha 1444 H: Menjelajahi Harmoni dalam Kekayaan Budaya Islam

11/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Babelpedia (13 Juni 2023)

Sobirin Malian

Tahun ini, setelah perbedaan dalam Idul Fitri kita juga akan berbeda dalam Idul Adha 1444 H. Dalam konteks Idul Adha perbedaan muncul tidak semata-mata persoalan hisab dan rukyat, tetapi juga dikaitkan dengan peristiwa wukuf di Arafah. Mengapa ? karena umat Islam yang berada di luar kota Mekah dan tidak melaksanakan ibadah haji disunahkan menjalankan puasa Arafah.

Menghadapi permasalahan perbedaan ini jumhur ulama mengembangkan konsep Ittihad al Matali. Pandangan ini diikuti beberrapa tokoh di Timur Tengah, seperti Abu Zahroh, Ahmad Asy-Syirbashi dan Ahmad Muhammad Syakir. Di Indonesia cukup banyak yang mengembangkan pandangan ini, di antaranya Prof Hasbi ash-Shiddiqie, dari UIN Sunankalijaga, dll.

Di era modern ini, konsep Ittihad al-Matali dikembangkan dalam sebuah system kalender yang dikenal dengan kalender Islam global. Salah seorang yang menggagas kalender Islam global adalah Hussein Fathi dalam buku berjudul Kaifa Nuwahhidu at Taqwim al-Hijry al-“alama al-Islamy (1389/1970). Kehadiran Islam global ini diharapkan mampu menyelesaikan perbedaan dalam merayakan Idul Adha. Hasil konferensi Turki 2016 juga sudah memutuskan untuk dijadikan umat Islam sedunia agar permasalahan perbedaan penentuan Idul Fitri dan Idul Adha ini diselesaikan.

Kalau dicermati, perbedaan tersebut dilatarbelakangi beberapa hal.

Pertama, perbedaan system hisab dan rukyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hal ini kemudian menimbulkan perbedaan hasil penggarapan, yang oleh para pakar falak, sistem falak diklasifikasikan sebagai hisab haqiqy, taqriby, hisab haqiqy tahqiqy, dan hisab haqyqi kontemporer.

Kedua, perbedaan hasil ijtihad para ulama fiqih dalam masalah penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Ada aliran rukyat seperti Imam Romli dan Al-Khatib Asy-Suaibani yang menyatakan jika rukyat berbeda dengan perhitungan hisab, yang diterima adalah kesaksian rukyat karena hisab diabaikan oleh syariat. Menurut mereka, jika ada orang menyaksikan melihat hilal, sedangkan menurut perhitungan hisab tidak mungkin dirukyat, kesaksian itu harus ditolak. Namun, ada aliran moderat, seperti Imam Ibnu Hajar yang menyatakan, bahwa syariat atau rukyat dapat ditolak jika ahli hisab sepakat (ittifaq), tetapi jika tidak terjadi ittifaq, rukyat tidak dapat ditolak.

Ketiga, perbedaan tingkat sosial. Masyarakat yang sudah modern bersifat terbuka, obyektif, dan selektif dalam berfikir, sedangkan masyarakat tradisional notabene bersifat isolatif dan fanatik sehingga dapat terpengaruh dalam menerima pemikiran produk fikih baru, termasuk dalam hal hisab dan rukyat.

Bagaimanapun, kalau kita telaah secara lebih serius, semestinya keterpaduan penggunaan hisab yang akurat dalam hal ini seperti menggunakan hisab haqyqi kontemporer semacam almanak Nautika dan Jean Meeus atau seperti Muhammadiyah, dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah relatif lebih mudah. Dengan hisab yang akurat (menggunakan teknologi) kita akan bisa memprediksi lebih dini tentang jatuhnya awal bulan tersebut. Dengan demikian, antara hisab dan rukyat itu bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ibarat analogi terminologi hukum, dapat dibahasakan hisab sebagai keterangan saksi. Bahwa hisab yang akurat diperlukan untuk panduan pelaksanaan rukyat yang benar, sedangkan eksistensi rukyat sebagai alat bukti kebenaran hisab.

Bagaimana dengan awal bulan Zulhijah 1444 H ?, kalau mengacu pada hisab, maka jatuhnya pada hari Senin Legi, 19 Juni 2023. Puasa Arafah, 9 Zulhijah, Selasa Wage, 27 Juni 2023, dan hari raya idul Adha 1444 H, 10 Zulhijah1444 H, Rabu Kliwon, 28 Juni 2023. Ini versi hisab haqyqi yang dikembangkan Muhammadiyah, tentu berbeda dengan ketetapan pemerintah yang menetapkan hari Kamis, 29 Juni 2023. Apabila pada hari Rabu, 28 Juni 2023 menjadi pilihan maka hal ini akan sejalan dengan kelompok pendukung Arab Saudi, pendukung kalender Islam global (Turki dan Eropa) dan poros MABIMS (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapore).

Akhirnya, sebagai bangsa negara yang berkomitmen melaksanakan Pancasila, perbedaan pilihan hari raya Idul Adha 1444 H, tetaplah kita jadikan rahmat. Toh ini bukan untuk pertama kalinya.

sumber https://babelpedia.id/rahmat-dalam-perbedaan-idul-adha-1444-h-menjelajahi-harmoni-dalam-kekayaan-budaya-islam/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-11 09:33:562024-10-11 09:42:41Rahmat dalam Perbedaan Idul Adha 1444 H: Menjelajahi Harmoni dalam Kekayaan Budaya Islam

Letargi Kebudayaan Dan Perilaku Politik

11/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Indonesia News (6 Juni 2023)

Sobirin Malian

Istilah letargi berasal dari kata lethe, yakni salah satu nama sungai dari empat sungai yang disebut-sebut dalam mitologi Yunani, yang dapat dikonstruksi sebagai gejala yang dimulai dari kecenderungan untuk melupakan atau ketidakmampuan untuk menggerakkan memori dan menemukan kebenaran dan hal hal yang esensial.

Dalam istilah kesehatan, letargi adalah kondisi ketika tubuh terasa sangat lelah dan tetap tidak membaik setelah beristirahat. Tak hanya lelah, seseorang yang mengalami letargi akan sulit beraktivitas karena sering mengantuk, lesu, dan sulit berkonsentrasi.

Kondisi ini bisa disebabkan oleh gangguan fisik maupun psikologis. Rasa lelah yang berat atau letargi seringkali muncul sebagai salah satu tanda atau gejala penyakit tertentu. Berbeda dengan rasa lelah atau letih karena beraktivitas, letargi umumnya tidak hilang atau membaik meski penderitanya sudah tidur atau beristirahat.

Uniknya, sebagaimana diuangkap oleh Robertus Robet (2016), letargi secara etimologi juga memiliki kesamaan dengan kata aletheia yang dalam bahasan Yunani berarti kebenaran. Huruf a diawal kata a-letheia bermakna bukan atau tidak tersembunyi. Aletheia dengan demikian bisa berarti penyingkapan atau kebenaran. Kebenaran dengan demikian berkaitan dengan penolakan untuk melupakan (alethe).

Dengan demikian, letargi dalam konteks tulisan ini_secara prinsipiil adalah kecenderungan untuk menerima segala hal apa “adanya”, apa yang disajikan secara mentah, bahkan menerima apa-apa yang sebenarnya keliru dan bertentangan dengan pendirian-pendirian kita. Di dalam letargi, kita sebenarnya sudah menyerah kepada keadaan, tapi kita berpura-pura terlibat dan antusias di dalamnya.

Di dalam letargi, seluruh daya aktivitas dimulai bukan dengan bagaimana mengupayakan apa yang benar, melainkan dengan apa yang sekadar bisa dari yang ada. Itulah sebabnya, Schall menyebut letargi sebagai kelelahan dan kemalasan mental untuk mencapai kebenaran dan kualitas. Itu sebabnya, para sejawaran menyebut letargi sebagai hal yang berbahaya, karena itu sinyal gejala runtuhnya peradaban.

Cawe-Cawe dan Letargi

Akhir-akhir ini viral tentang cawe-cawe Presiden Jokowi. Intinya yang paling banyak dikritik adalah betapa tak beretikanya Presiden dalam kaitan Pilpres 2024 mendatang. Presiden telah “menanggalkan” sikap kenegawarannya demi mempertahankan “penerus” dan kebijakannya. Tentu ada banyak pertanyaan mengapa Presiden cawe-cawe demikian. Yang jelas dalam konteks letargi, presiden telah meninggalkan jejak kemubaziran tindakannya.

Presiden Jokowi boleh dibilang telah gagal dalam mengusung standar etis dan begitu mudah jatuh ke dalam hipokrisi. Cawe-cawe bukanlah legacy yang dapat diteladani. Teolog Amerika, James Vincent Schall berpandangan, letargi sebagai gejala historis dalam kebudayaan (politik) ketimbang persoalan dalam perilaku sebagaimana ditafsirkan sosiolog tingkah laku.

Dalam pandangan Schall, letargi lebih merujuk pada kelelahan secara mental, bukan kelelahan fisik dan bukan semata-mata persoalan perilaku. Jadi, letargi sejatinya menyangkut kemunduran yang lebih subtil, yakni tanda dari mulainya gejala kemerosotan dalam peradaban, kemandulan dalam dunia intelektual, kemandekan dalam politik dan sosial (James V. Schaal SJ, 2014).

Secara fisik mungkin kita aktif, bergerak dinamis ke sana kemari, berkunjung ke berbagai pihak (tokoh agama, pesantren, tokoh parpol, dll) tetapi sebenarnya mental kita mentok dan kering gagasan. Fenomena letargi membuat kita gagal menggerakkan kapasitas mental untuk mencari alternatif-alternatif yang paling optimum dan berkualitas untuk mengatasi masalah yang ada. Akibatnya, ditiap aktivitas terutama oleh elit negara__banyak waktu dihabiskan untuk menutupi keburukan-keburukan besar melalui akumulasi keburukan-keburukan kecil.

Sinyal Runtuhnya Peradaban

Disamping kualitas yang pas-pasan, umumnya kita memang payah dalam mencari solusi terbaik bagi masyarakat. Letargi telah membuat kita jatuh dan terjebak dalam kecenderungan untuk “asal-asalan”, pragmatis atau “yang penting bukan dia” (dalam konteks kelicikan menjegal musuh politik). Kita tidak berfikir bagaimana melampaui dan mencari apa atau siapa yang terbaik untuk masyarakat, negara dan bangsa. Ketiadaan upaya mencari yang terbaik itu adalah awal dari kemerosotan peradaban. Sungguh hal ini sangat menyedihkan.

Perilaku Politik

Salah satu ciri letargi dalam kebudayaan terlihat dalam sulitnya mempertahankan suatu karakter dalam perilaku politik dan berdemokrasi kita, cawe-cawe Jokowi itu contohnya. Cawe-cawe dianggap “jalan yang benar”, padahal itu menimbukan preseden buruk karena seharusnya seorang Presiden bersikap menjadi “negarawanan”, sportif dan obyektif.

Cawe-cawe dalam konteks letargi kebudayaan adalah kontraproduktif dengan karakter membangun demokrasi yang sehat. Perilaku politik seharusnya bukan mengusung konfrontatif, melainkan mengusung ide dan gagasan.

Uniknya, perilaku ini diterima secara mentah-mentah – terutama oleh pengikutnya -dalam diskursus publik secara umum. Perilaku cawe-cawe dalam politik diterima sebagai suatu kewajaran.

Dengan begitu, rakyat kebanyakan tidak pernah dididik berpolitik di dalam gagasan. Tanpa gagasan, rakyat akan dengan mudah melupakan. Tanpa gagasan, politik tidak akan pernah dialami sebagai perjuangan, melainkan hanya sebatas pilihan-pilihan instan.

Akibatnya lebih jauh, demokrasi politik dan juga hukum tidak pernah mengalami kemajuan. Kita hanya disibukkan dengan “kegaduhan-kegaduhan” yang kontraproduktif dengan gagasan untuk maju. Guru, dosen, kyai, ulama diminta mengajarkan pendidikan berkarakter, tetapi politik kita – di saat yang sama mengajarkan cawe-cawe (letargi); bagaimana cara mengkhianati karakter dengan sukses – untuk saat ini bisa jadi politik yang menang, berjaya, tetapi itu sangat ironis. Wallahu’alam bissawab.

Sumber https://harianindonesianews.com/read/letargi-kebudayaan-dan-perilaku-politik

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-11 09:28:332024-10-11 09:40:59Letargi Kebudayaan Dan Perilaku Politik

Korupsi dan Rontoknya Ideologi

10/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Terbit (1 Juni 2023)

Sobirin Malian

Dalam suatu kesempatan pidato di Dewan Konstitusi Nasional, menjelang revolusi Perancis, Alex de Tocqueville, menyatakan: “oleh karena terkesan dalam masyarakat tenang-tenang saja, tidak ada gejolak yang berarti dan revolusi dianggap masih jauh, maka kita menganggap negara tidak ada masalah. Tuan-tuan…izinkan saya menyatakan bahwa, Anda sekalian sedang menipu diri sendiri. Saya yakin, saat ini kita sedang tidur diatas gunung berapi, bara api…(Alex de Tocqueville, On Democracy, Revolution and Society: 1980).

Apa kira-kira yang dapat kita tangkap makna dari pidato Alex de Tocqueville di depan Assemble Nationale Constituante, Perancis) itu. Pada tahun 1848 itu, ia mengingatkan rezim Orleans bahwa Perancis saat itu tidak dalam kondisi baik-baik saja. Cengkeraman aristokrasi yang berusaha mempertahankan status quo-nya, menurut De Tocqueville, sudah tidak relevan. Lalu ia menyatakan, harus ada solusi politik ke arah terbebas dari kungkungan aristokrasi. Apa yang dirasakan Alex de Tocqueville saat itu tampaknya sama dengan kondisi kita sekarang. Bahwa negara ini sesungguhnya tidak sedang dalam baik-baik saja. Kita sejatinya sedang mengalami guncangan politik dan hukum yang luar biasa.

Episentrum Persoalan

Bangsa ini terus diguncang berbagai skandal menjelang tahun politik 2024. Selain kasus terbaru, “Bancakan Korupsi Proyek Tower BTS Rp8 Triliun yang melibatkan Menkominfo”, masih banyak kasus rasuah yang belum terungkap dan belum tertangani. Pertanyaan yang perlu kita ajukan sebagai anak bangsa adalah, apakah kecemasan kita hanya pada kasus lenyapnya uang negara yang digondol para koruptor itu?

Jawabnya: Tidak ! Episentrum masalah bukan semata kerugian negara (korupsi), masalah lain masih banyak, misalnya, ancaman perpanjangan masa jabatan Presiden atau penundaan Pemilu masih saja membayangi. Juga masalah peradilan dan hukum di mana saat ini publik seperti mengalami ketidakpercayaan pada MK, MA, Kejagung, KPK dan lain-lain.

Lembaga peradilan seolah mengalami ketidakpercayaan di titik nadir terendah akibat beberapa putusannya sangat bertolak belakang dengan harapan publik. Putusan MK soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, dirasa sangat janggal dan dianggap sebagai putusan yang syarat dengan nuansa politik karena menjelang Pemilu 2024. Isu teraktual yang menarik perhatian publik adalah diduga bocornya putusan MK yang dirilis Prof. Denny Indrayana yang isinya putusan MK lebih memilih sistem proposional tertutup.

Dari beberapa putusan MK yang kontroversial itu – sejumlah akademisi menilai problem besar MK itu terletak pada hakim-hakimnya yang tidak lagi sebagai negarawan dan penegak yang adil, malah terkesan menjadi corong penguasa.Masalah kenegaraan lain yang tidak kalah besar adalah bagaimana relasi sebab akibat antara penguasa, hukum dan eksistensi bangsa. Muatan utama refleksi tidak masalah semata masalah korupsi dan kerugian negara, tetapi permasalahan ideologis (ideological corruption).

Dalam korupsi uang negara, ada ancaman bahaya terselubung, yakni pembunuhan ideologi kenegaraan dan ideologi kebangsaan. Pembunuhan ideologi masuk dari pintu sindikatisme berupa pelaksanaan kebijakan-kebijakan (kotor) negara terutama terhadap para buzzer dan influencer untuk kepentingan persekongkolan jahat kendati memakai baju dan slogan kepentingan umum. Dalam sindikalisme korupsi atau sindikat korupsi, empat pilar kebangsaan Tunggal Ika – yang bersifat ko-eksistentif digerogoti oleh kepentingan persekongkolan atau lebih jauh kepentingan oligarki. Ekses yang paling mencelakakan adalah deklinasi dan polarisasi yang mengancam kepercayaan publik terhadap ideologi dan simbol-simbol kebangsaan. Dari situ lahirlah gerakan-gerakan pencarian keselamatan publik.

Gerakan-gerakan primordial berslogan khilafah, politik identitas sesungguhnya pijaran-pijaran kecil dari sumber letupan masalah, yakni sindikalisme, Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Gerakan-gerakan ini dapat saja kita sebut sebagai impian kolektif (collective dream) semacam utopia bersama masyarakat kecil yang ingin segera keluar dari himpitan hidup kita yang selama ini ditumpukan kepada wakil rakyat tetapi tak kunjung hadir mewakili kepentingan mereka. Dalam sindikasi korupsi – jembatan representasi dibebankan pada partai politik, lembaga legislatif, yudikatif maupun eksekutif yang mengalami patahan tak tersambungkan.

Menurut Gaetamo Mosca patahan paling menyolok ada pada kelakuan destruktif lembaga legislatif, yudikatif yang berbuntut keraguan akan masa depan pemerintah (The Ruling Class, 1939). Jadi guncangan besar eksistensi bangsa ini terletak di situ, sebab dari sudut sindikalisme, korupsi tidak lagi sekadar penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan diri dan kelompok. Namun, korupsi merupakan tindakan sekelompok orang berkuasa yang sengaja menghancurkan ideologi negara lewat sindikat korupsi. Dalam sindikalisme korupsi bersemayam pengeroposan ideologi negara.

Secara sederhana dapat dijelaskan, dari kasus e-KTP atau Proyek BTS Menkominfo, Hambalang atau kasus besar lainnya, dapat dipastikan kasus korupsi tidak lagi menjadi perilaku kotor personal. Artinya, korupsi sudah masuk ranah sindikasi korupsi (Corruption Syndicate); persekongkolan jahat di tingkat elit negara (termasuk partai politik) untuk merampas uang negara secara sistematis dan itu sejatinya menggerogoti ideologi negara, karena mereka seharusnya yang bertanggungjawab atas kelangsungan dan berkomitmen menjaga ruh ideologi. Tetapi yang terjadi mereka menjadi contoh yang buruk sebagai pelaksana ideologi negara. Akhirnya, ideologi negara Pancasila justru dikotori oleh perilaku tidak terpuji. Ideologi pun rontok.

sumber https://www.harianterbit.com/opini/2748983830/korupsi-dan-rontoknya-ideologi

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-10 09:02:002024-10-10 09:02:00Korupsi dan Rontoknya Ideologi

Toleransi dan Umat Beragama Yang Baik

08/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Babelpedia (30 April 2023)

Sobirin Malian (Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan)

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andi Pangerang menuai kecaman karena komentarnya di media sosial Facebook yang bernada ancaman terhadap warga Muhammadiyah.

Andi pada mulanya mengomentari pernyataan peneliti BRI, Prof. Thomas Djamaluddin soal perbedaan metode penetapan Idulfitri 2023. Komentar tersebut dinilai bernada ancaman hingga akhirnya viral di media sosial.

Dalam komentarnya, Andi menulis “Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua padMuhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda kalender Islam global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang!!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian.” (Sumber CNN Indonesia, 26/4/2023).

Ujaran kebencian yang disampaikan oleh Andi Pangerang itu menggambarkan bahwa perbedaan dalam beragama abelum menjadi rahmat. Perbedaan masih dianggap sebagai permusuhan.
Beragama Kekanakan KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) pada tahun 90-an awal pernah menulis buku yang sangat kontemplatif berjudul Saleh Sosial Saleh Ritual. Dalam buku tersebut dengan sangat kontemplatif bahkan intuitif dia menyindir dengan sangat halus perilaku beragama kita yang seringkali masih sangat kekanak-kanakan untuk menghindari kata ingusan.

Betapa dalam beragama, kata Gus Mus, kita masih primitif dan ndeso. Kecenderungan kita masih tekstualitas dan konservatif. Melihat orang yang berbeda adalah melihat musuh yang harus diperangi, yang harus dilawan, yang harus dibinasakan, yang harus diberangus, dimusnahkan, bahkan jika perlu dihabisi secara zero sum game (tujuh turunan).
​Memang buku Gus Mus itu terbit sudah lebih 20 tahun lebih, tapi dalam kenyataannya “gagasan” buku itu masih sangat relevan dengan keadaan pola keberagamaan kita hari ini. Bisa jadi, kontemplasi Gus Mus memang melampaui zamannya sehingga menembus dimensi ruang dan waktu; atau bisa jadi justru kita memang tak kunjung beranjak dewasa dalam beragama ? Kelihatannya pilihan kedua adalah gambaran utuh pola keberagamaan kita. Hingga hari ini kita masih belum meningkat menjadi umat yang dewasa (al-ihsan). Umat yang bisa menghargai perbedaan; yang menjadikan perbedaan sebagai bahan baku persatuan (unity in diversity). Umat yang pada level al-ihsan, menjadikan perbedaan sebagai rahmat.

​Benarkah atau bukankah kita adalah agama yang rahmatan lil alamin ? Realitasnya tidak bisa kita jawab dengan tegas. Secara teoritis jawaban itu mudah. Kredo agama Islam memang rahmatan lil alamin. Namun, jika kita pindahkan kredo tersebut ke dalam praksis kehidupan sehari-hari, jujur dengan sangat berat hati kita harus mengatakan bahwa perilaku kita belum mencerminkan profil yang kehadirannya mengasihi sesama.
Toleransi Dalam Kemajemukan
​Dalam fenomena seringkali kekerasan,terorisme atau tindakan-tindakan sejenis lahir dari sikap intoleran, tidak menghargai dan menghormati perbedaan. Para pelaku menyebut tindakan mereka dimotivasi oleh ajaran agama, padahal tidak. Menurut Murad W Hofmann dalam Islam the Alternative (1999), fenomena terorisme yang terjadi di berbagai negara dan banyak tempat, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam atau agama lain mana pun.
​Ditegaskan Murad, ajaran agama sejatinya mendorong pada sikap toleran. Dalam Islam, misalnya, Al Quran berulang kali menyatakan, perbedaan di antara umat manusia_baik warna kulit, ras, bahasa dan lain-lain_adalah sunatullah, wajar. Allah bahkan melukiskan pluralisme ideologi sebagai rahmat.

​Ini bisa disimak dalam ayat, “Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan” (al Maidah:48). Ayat lainnya: “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang beriman?” (Yunus:99).
Redefinisi Kebaikan Mengutip yang pernah dinarasikan Taman Hasan (2008) dalam al Quran, setidaknya memuat lima istilah yang dalam bahasa kita sama-sama diterjemahkan sebagai kebaikan, yaitu: al khaer, al-ma’ruf, al-birr,al-ihsan dan as-sholeh. Kelima istilah ini diterjemahkan sebagai kebaikan, padahal ketika diaplikasikan pada kehidupan nyata “makna” antara satu sama lain memiliki nuansa dan dimensi yang berbeda.

​Al-khaer di dalam Al-Qur’an diantaranya : berarti lebih baik, kebaikan atau kebajikan. Al-khair adalah sesuatu yang memegang peranan penting dalam Islam karena datang murni dari Allah. Al-ma’ruf; kebaikan dalam wilayah sosial. Al-birr, kebaikan pada diri seseorang untuk menjadi lebih baik. Al-ihsan, kebaikan yang sesungguhnya bukan kewajiban bagi kita, melainkan kita bersedia melakukannya.As-ssholeh: kebaikan yang diterapkan dalam semua aspek kehidupan, meliputi ranah sosial, politik, dan juga budaya.

​Dalam konteks kehidupann sosial beragama pada masyarakat majemuk seperti Indonesia, yang dibutuhkan adalah transformasi kebaikan al-khaer, al-ma’ruf, al-birr menjadi kebaikan al-ihsan dan as-sholeh. Kebaikan yang bersifat individu menjadi kebaikan yang bersifat sosial.
​Nabi Muhammad SAW pernah memberi contoh yang baik ketika terjadi peristiwa fatkhu Makkah (penaklukan kota Mekah). Pasukan Muslim yang berhasil mengalahkan kaum kafir dan melucuti senjatanya justru oleh Nabi tidak disakiti. Nabi bahkan membebaskan mereka. Dalam konteks ini, yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah kebaikan kategori al-ihsan. Kebaikan yang dilakukan, padahal tidak ada tuntutan dan kewajiban baginya untuk melakukan hal itu.
Penutup

​Pada akhirnya, dari banyak pengalaman terganggunya kerukunan akibat intoleransi di Indonesia, kiranya perlu didesain (social engineering) agar tetap memiliki daya tahan (resilience) untuk menghargai, menghormati, serta melangsungkan kehidupan harmoni sosial yang tidak dalam ke-semu-an. Hal ini penting karena seringkali harmoni dalam ke-semu-an akan menciptakan persoalan yang jauh lebih serius daripada sebelumnya dikelola dan dipersiapkan lebih dahulu.\

Sumber https://babelpedia.id/toleransi-dan-umat-beragama-yang-baik/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-08 10:02:582024-10-08 10:02:58Toleransi dan Umat Beragama Yang Baik

Fatwa dan Perhatian Muhammadiyah tentang Perempuan

26/08/2022/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2022 /by NewsUAD

Radar Jogja (1 Maret 2022)

Hadi Suyono

Bahkan, disinilah Muhammadiyah membuka pintu bagi perempuan untuk bisa berkiprah menjadi hakim, suatu profesi yang pada tahun-tahun lahirnya putusan ini persepsi masyarakat tentang perempuan masih kental dengan nuansa domestik. Dalam sikap keagamaannya yang lain, Muhammadiyah juga menjadikan isu dan kepentingan perempuan sebagai salah satu dasar argumentasi dalam berfatwa. Ini misalnya tampak dari fatwa tarjih Muhammadiyah tahun 2007 tentang Hukum Nikah Sirri dan Perceraian di Luar Sidang Pengadilan.

Selengkapnya Fatwa dan Perhatian Muhammadiyah tentang Perempuan

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2022-08-26 11:26:232022-08-26 11:26:23Fatwa dan Perhatian Muhammadiyah tentang Perempuan

UAD Juara 3 Seleksi NUDC LLDIKTI Wilayah V Yogyakarta

28/06/2021/in Lain - Lain /by NewsUAD
PUSAT Prestasi Nasional, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia telah melaksanakan verifikasi dan validasi berkas peserta National University Debating Championship (NUDC) dan Kompetisi Debat Mahasiswa Indonesia (KDMI) Tahun 2021.

Berdasarkan hasil seleksi tim verifikator yang telah dilaksanakan, maka Pusat Prestasi Nasional memutuskan peserta NUDC dan KDMI tahun 2021 yang lolos pada tahap seleksi administrasi.

Sumber https://inilahjogja.com/uad-juara-3-seleksi-nudc-lldikti-wilayah-v-yogyakarta/

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/UAD-Juara-3-Seleksi-NUDC-LLDIKTI-Wilayah-V-Yogyakarta.png 523 795 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2021-06-28 11:53:452021-06-28 11:53:45UAD Juara 3 Seleksi NUDC LLDIKTI Wilayah V Yogyakarta

Mahasiswa UAD Juara 1 Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional

28/06/2021/in Lain - Lain /by NewsUAD
RENANGGA Yudianto, mahasiswa Program Studi Teknik Elektro UAD Yogyakarta, meraih Juara 1 dalam Lomba Karya Tulis Essay Tingkat Nasional yang diadakan Universitas Duta Bangsa Surakarta, Jawa Tengah.

Di bawah bimbingan Anton Yudhana, ST, MT, Ph.D – selaku dosen pembimbing – Renangga Yudianto berhasil meraih juara pertama dalam lomba dengan tema “Brightens Indonesia’s Future Trough the Swift of Educational Methods During the Pandemic” (Menuju Indonesia Emas dengan Merdeka Belajar di Masa Pandemi).

Sumber https://inilahjogja.com/mahasiswa-uad-juara-1-lomba-karya-tulis-tingkat-nasional/

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Mahasiswa-UAD-Juara-1-Lomba-Karya-Tulis-Tingkat-Nasional.png 589 791 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2021-06-28 11:52:172021-06-28 11:52:17Mahasiswa UAD Juara 1 Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional

Tingkatkan Mutu Pendidikan, Mahasiswa UAD Adakan Bimtek Bagi Guru SDN 3 Kaliajir Banjarnegara

28/06/2021/in Lain - Lain /by NewsUAD
Tiga mahasiswa dari Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta mengadakan Pelatihan Teknologi Informasi kepada guru-guru di SDN 3 Kalijair selama satu hari.

“Pelatihan ini berupa sharing session bersama 8 guru SD N 3 Kaliajir tentang penggunaan aplikasi Google Meet dan Zoom,” kata Fernanda Amalia Putri salah satu mahasiswi UAD, Minggu 20 Juni 2021.

Sumber https://lensapurbalingga.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-212087690/tingkatkan-mutu-pendidikan-mahasiswa-uad-adakan-bimtek-bagi-guru-sdn-3-kaliajir-banjarnegara

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Tingkatkan-Mutu-Pendidikan-Mahasiswa-UAD-Adakan-Bimtek-Bagi-Guru-SDN-3-Kaliajir-Banjarnegara.png 497 791 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2021-06-28 11:33:362021-06-28 11:33:36Tingkatkan Mutu Pendidikan, Mahasiswa UAD Adakan Bimtek Bagi Guru SDN 3 Kaliajir Banjarnegara

Tim Pengabdian Masyarakat UAD Menyelanggarakan Pelatihan Pembuatan Penulisan Buku Ajar Digital bagi Guru

28/06/2021/in Lain - Lain /by NewsUAD
Tim Program Pengabdian Kepada Masyarakat (PPM) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta mengadakan kegiatan Pelatihan Pembuatan Penulisan Buku Ajar Digital bagi Guru Bahasa Indonesia SMP di Kabupaten Bantul.

Kegiatan pelatihan dan pendampingan tahap pertama dilaksanakan pada Selasa, 15 Juni 2021 dan untuk tahap selanjutnya dilakukan proses pendampingan.

Sumber https://www.wartajogja.id/2021/06/tim-pengabdian-masyarakat-uad.html

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Tim-Pengabdian-Masyarakat-UAD-Menyelanggarakan-Pelatihan-Pembuatan-Penulisan-Buku-Ajar-Digital-bagi-Guru.png 635 1345 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2021-06-28 11:20:392021-06-28 11:20:39Tim Pengabdian Masyarakat UAD Menyelanggarakan Pelatihan Pembuatan Penulisan Buku Ajar Digital bagi Guru
Page 2 of 27‹1234›»

TERKINI

  • Prodi Kesehatan Masyarakat UAD Raih Akreditasi Unggul dari LAM-PTKes30/10/2025
  • Alumni FH UAD Ciptakan Karya Tulis dalam Bentuk Buku29/10/2025
  • PPK Ormawa HMTI Latih Warga Tegalrejo Olah Mangrove Jadi Produk Bernilai Ekonomi29/10/2025
  • IMM FSBK UAD Petakan Arah Gerak Mahasiswa Baru Lewat Forum Diskusi29/10/2025
  • Prodi S-2 Bimbingan dan Konseling UAD Terakreditasi Unggul29/10/2025

PRESTASI

  • KPS FH UAD Raih 6 Prestasi dalam Kompetisi NMCC AHT 202530/10/2025
  • Tim LLC FH UAD Raih Juara I dalam Ajang National Call for Paper & Conference 202529/10/2025
  • Tim Basket UAD Naik ke Divisi 1 Liga Mahasiswa28/10/2025
  •  Mahasiswa FH UAD Raih Medali Perunggu di PON Beladiri Kudus 202528/10/2025
  • UKM Taekwondo Borong 26 Medali pada Kejuaraan Bang Taja Championship 202528/10/2025

FEATURE

  • Hakikat Takwa dalam Kehidupan28/10/2025
  • Tali Allah adalah Tali Persatuan28/10/2025
  • Meraih Amalan Ahli Surga22/10/2025
  • Perjalanan Salsabilla Raih Gelar Sarjana dalam 3,3 Tahun20/10/2025
  • Unlock Your Next Level15/10/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top