• TERKINI
  • UAD BERDAMPAK
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Makna Hijrah

17/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Babelpedia (19 Juli 2023)

Sobirin Malian

Setiap tahun umat Islam memperingati tahun baru Hijri, yaitu tahun baru dalam kalender Islam yang perhitungannya dimulai dari kepindahan atau hijrah Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah. Kata hijrah berasal dari hajara-yahruju-hajrah artinya memutuskan perhubungan dengan dia, hijratun-hujratun-muhajiratun artinya pindah ke negeri lain. Hajarasy syai’, meninggalkan sesuatu. Dalam makna budi pekerti (akhlak), dikonotasikan meninggalkan segala yang kurang baik (negatif) menuju ke arah yang lebih positif, seperti meninggalkan maksiat menuju ketaatan; meninggalkan kezaliman/kesesatan menuju hidayah (keadilan), meninggalkan rasa malas menuju rajin, move on dari segala keterbelakangan menuju kemajuan (peradaban). Dalam hadis dikatakan, hijrah meninggalkan segala yang dilarang Allah SWT.

Secara historis, yang menetapkan kalender Islam ialah Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah ini memang banyak sekali membuat ā€œinovasiā€ di bidang sosia-politik. Selain menetapkan kalender Hijri, beliau juga antara lain membuat bayt almal (baitulmal), semacam Pusat Bendahara Negara (Federal Reserve). Beliau juga membuat semacam sistem daftar gaji para tentara Islam, yang disebut diwan, dan lain-lain.

Keputusan Khalifah Umar bin Khattab untuk menjadikan Hijrah Nabi saw sebagai permulaan kalender Islam cukup menarik. Sebelum dibuat keputusan itu, sebenarnya ada berbagai pendapat dan usulan tentang kapan sebaiknya kalender Islam itu dimulai perhitungannya. Saat kelahiran Nabi Muhammad adalah titik mula yang baik untuk kalender itu. Hal serupa dilakukan oleh orang-orang Nasrani, yang memulai perhitungan kalender mereka dari saat kelahiran Nabi Isa al-Masih (menurut pendapat mereka, yaitu akhir Desember, lalu dibulatkan 1 Januari). Atas dasar itulah, mereka dalam Bahasa Arab disebut kalender milodi (kelahiran), selain juga biasa disebut kalender Masihi (Masehi) seperti kita kenal sekarang.

Dari berbagai ide dan usulan penentuan tahun itu, Umar bin Khattab menerima salah satu ide yang muncul, yaitu ide perhitungan kalender Islam itu dari Hijrah Nabi Muhammad saw. Mengapa? Dalam pandangan Umar, Hijrah adalah peristiwa yang membalikkan keseluruhan perjalanan perjuangan Nabi menegakkan kebenaran. Hijrah adalah ā€œturning pointā€ perjuangan Rasulullah. Bila di Makkah, selama 13 tahun, beliau berhasil menanamkan iman kepada Allah dan mendidik akhlak pribadi-pribadi para sahabat yang jumlahnya tidak terlalu banyak, maka setelah Hijrah, di Madinah, langkah perjuangan Nabi meningkat signifikan, yaitu dengan membentuk masyarakat politik. Oleh karena itulah, nama kota tempat Nabi berhijrah Yastrib, beliau ubah menjadi Madinah, yang maknanya ialah ā€œkotaā€ dalam pengertian ā€œtempat peradaban, hidup beradab, bersopan-santun, dan teratur dengan hukum-hukum yang ditaati oleh semua warga.ā€ Nama lengkapnya ialah Madinat al Rasul (baca: madinatulrrasul) atau Madinat al-Nabi (baca:madinatunnabi), artinya ā€œKota Rasulā€ atau ā€œKota Nabiā€ (penamaan ini bisa dibandingkan dengan ā€œConstatinnopolis,ā€ ā€œAhmadabadā€, ā€œAligarhā€, ā€œFatihpuri,ā€ ā€œSingaporeā€ dan lain-lain.

Kalau disimpulkan, salah satu makna penting Hijrah ialah peningkatan kualitatif perjuangan bersama menciptakan masyarakat yang sebaik-baiknya. Sebutlah, mirip dengan slogan Muhammadiyah ā€œberkemajuanā€, berarti Islam yang memancarkan pencerahan bagi kehidupan, termasuk dalam ranah emansipasi dan humanisasi. Atau bisa juga berarti ā€œtinggal landasā€ dalam arti pendapatan perkapita kita mulai meningkat dan efiensi serta produktivitas berhasil dilakukan. Yang kedua juga ditandai dengan adanya perkembangan pertumbuhan dalam beberapa sektor industri, munculnya pasar-pasar baru, dan adanya resolusi politik. Dan ciri amat menonjol masyarakat Islam pimpinan Rasulullah yang ā€œtinggal landasā€ setelah Hijrah itu ialah peradaban, civilisasi dan kehidupan teratur (Arab: Madaniyah atau tamaddun, semuanya satu akar kata dengan Madinah) yang dilandasi oleh jiwa persaudaraan (al mu’akhah, ukhuwwah) di antara semua anggota masyarakat satu sama lainnya. Bahkan jiwa persaudaraan itu mula-mula juga meliputi kelompok Yahudi di Madinah (hanya sayang, kaum Yahudi ini satu per satu melakukan pengkhianatan, dan harus dihukum secara setimpal).

Akhirnya, memperingati Hijrah, adalah muhasabah sebagai koreksi diri dan berupaya meningkatkan tata hidup yang ber-madaniyyah, bercivilisasi, beradab dan berbudaya. Dengan muhasabah kita bisa menyadari bahwa ada banyak kekurangan yang ada pada diri kita. Dengan menyadari adanya banyak kekurangan, tentu kita akan lebih termotivasi untuk terus belajar dan mengembangkan diri, sehingga kita dapat memperbaiki kekurangan tersebut; ke depan ingin hidup lebih baik, lebih berkualitas. Wallahu’alam bissawab.

Sumber : https://babelpedia.id/makna-hijrah/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-17 10:11:152024-10-17 10:11:15Makna Hijrah

Pemimpin Bernilai Budaya, Bukan Pemimpin Banalitas

15/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Terbit (6 Juli 2023)

Sobirin Malian

Tahun 70-an budayawan Emha Ainun Najib pernah menulis esay menarik berjudul ā€œUtang-Utang Kebudayaan.ā€ Bagi saya, esay Emha itu sangat inspiratif dan masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Esay Emha itu, intinya menyatakan betapa pentingnya kesadaran manusia untuk selalu kreatif terutama melahirkan alternaif nilai. Dalam kaitan itu, kata Emha, manusia sebagai makhluk kebudayaan memiliki ā€œutang-utang kebudayaanā€ yang harus dibayar demi membangun peradaban bermartabat.

Pembayaran ā€œutang-utang kebudayaanā€ itu, lanjut Emha, adalah fardhu ain (harus dilakukan semua orang) melalui penciptaan karya yang bermakna dan bernilai – itulah makanya hukumnya wajib. Menunda berkarya apalagi tidak melakukannya berarti menumpuk utang kebudayaan atau malah abai dengan nilai-nilai peradaban.

Gagasan Emha itu, hingga kini tetap relevan dan tentu dapat diperluas dalam perspektif sosial, misalnya saja, terkait dengan (1) kewajiban para pemimpin untuk selalu memiliki gagasan dan karya yang visioner, dan (2) kewajiban para pemimpin dalam meregenerasi (kader) kepemimpinan, dan tentu (3) itulah bentuk legacy (warisan) yang dapat dipertanggungjawabkan di masa depan.

Konteks Etis-Ideologis

Tak ada yang mampu menahan laju waktu, tapi ingatlah waktu seringkali sangat berjasa melahirkan pemimpin, namun pemimpin tidak an-sich dilahirkan oleh zaman. Pemimpin juga ditentukan oleh kesanggupan dan kemampuan diri sendiri. Zaman dapat diartikan sebagai dinamika perubahan yang berbasis pada spirit (nilai) tertentu. Misalnya, politik dinasti Kennedy di Amerika. Terdapat tiga (legacy) peran signifikan dalam pemerintahan keluarga Kennedy, yaitu meningkatkan toleransi antarwarga Amerika; melakukan reformasi perlindungan kesehatan, dan meningkatkan peran Amerika di kancah internasional.

Selain itu, upaya yang dilakukan ā€˜trah’ Kennedy untuk mempertahankan keberlangsungan dinasti mereka adalah dengan mempertahankan ambisi, membentuk tim yang kuat, membangun image media, kampanye inovatif dan terorganisir serta memanfaatkan kepopuleran keluarga Kennedy. Kendati telah didesain sedemikian rupa tetap saja ā€˜trah’ Kennedy tidak mampu bertahan, isu ā€œperubahanā€ mendorong rakyat Amerika memilih alternatif lain. Penggantian ā€˜trah’ Kennedy telah berlangsung berkali-kali, namun satu hal yang patut dicatat – dalam perspektif positif, bahwa hingga saat ini rakyat Amerika tetap menjadikan keluarga Kennedy pada poisisi penting dalam percaturan politik Amerika, karena dianggap memiliki legacy yang jelas bagi bangsa Amerika.

Demikian juga, nilai-nilai perjuangan di negara kita. Zaman pergerakan pada era kolonialisme telah mendorong lahirnya semangat patriotisme dan nasionalisme. Kemerdekaan dan terwujudnya negara kesatuan/kebangsaan pun menjadi cita-cita kolektif. Pilihan etis-ideologis menjadi patriot dan nasionalis sejati telah dijalankan dengan sangat baik oleh para founding fathers negeri ini seperti HOS Tjokroaminoto, Soekarno, Sjahrir, M.Natsir, Moh. Hatta, M. Yamin, Soepomo dan lain-lain. Terkait dengan kesanggupan dan kemampuan diri sendiri untuk lahir menjadi pemimpin mengacu kepada kualitas personal yang tercermin pada integritas, akhlak, komitmen, kemampuan dan dedikasi yang terproyeksi secara ideologis dan sosial. Kualitas personal itu berhadapan vis a vis dengan realitas obyektif dan menjelma menjadi karakter.

Karakter kuat inilah yang menjadikan para pendiri republik ini tidak lembek, tidak getas dan mudah menyerah ditekan kekuatan eksternal terutama kaum kolonial maupun dihimpit problem personal seperti kemiskinan dan kesulitan hidup. Ideologi dan idealisme mengalahkan pragmatisme. Jalan perjuangan menjadi pendirian, apapun resikonya. Sebagai pemimpin dan pelopor, mereka menyadari perjuangan tidak boleh putus. Oleh karena itu pengkaderan (regenerasi) mutlak diperlukan. Para pendiri bangsa ini pun membuka peluang bagi anak-anak muda saat itu untuk berkembang dan menemukan eksistensinya. Ini nampak pada dedikasi Tjokroaminoto dalam mengkader Soekarno, Semaun, M.Natsir dan lainnya untuk menjadi pemimpin bangsa (Lihat, Bonnie Triyana, 3/6/2021). ā€œUtang Kebudayaanā€ yang dimaksud Emha dalam kontesk ini telah dibayar oleh seorang Tjokroaminoto.

Di masa rezim Orde Baru, tradisi melahirkan para pemimpin masih berlanjut, tetapi dengan aksentuasi teknokrasi. Dengan dukungan para teknokrat, Soeharto membangun rezim yang lebih berorientasi pada pembangunan ekonomi ala W.W. Rostow dengan cita-cita kesejahteraan kolektif dengan plus-minusnya.Ā  Di luar lingkaran kekuasaan Orba, LSM, komunitas sosial, kampus, politik dan budaya juga melahirkan para pemimpin non formal, lembaga sosial agama menjadi bukti sekaligus fenomena bahwa pengkaderan telah berjalan. Mereka ini kemudian bertebaran memasuki ranah publik dan mengambil peran masing-masing sesuai dengan minat serta kemampuannya. Ada yang menjadi politisi, ulama, lembaga-lembaga pemberdayaan publik, LSM, hukum, seni budaya dan lain-lain.

Banalitas

Di era reformasi, makin banyak muncul pemimpin, tetapi tidak semuanya memiliki rekam jejak yang jelas. Regenerasi berlangsung tapi terkesan tidak natural, dinamis (dalam arti kurang sehat) dan terukur. Banyak pemimpin dadakan, karbitan tidak jarang pemimpin muda nebeng pada tokoh besar dan akhirnya bisa menduduki pos-pos dalam pemerintahan, BUMN atau dalam Parpol. Hubungan patron-klien tampak dominan.

Tampaknya konsep bahwa pemimpin selalu lahir dari gerakan (peristiwa) sosial politik-budaya ā€œsudah tidak berlakuā€ lagi dan digantikan anggapan bahwa siapa pun bisa jadi pemimpin asal memiliki akses pada kekuasaan bahkan di back-up orang penting pemerintahan. Akhirnya, banyak pemimpin yang menjalankan peran sosialnya karena ā€œdicangkokā€ oleh patron-klien politik dan ekonomi. Bertebaranlah pemimpin-pemimpin instans, tidak matang, bahkan tidak otentik. Kritik yang banyak dilakukan terhadap politik dinasti seakan menguap. Celakanya yang ā€œmencangkokā€ pemimpin instan ini adalah tokoh pemerintahan mulai dari Presiden hingga tingkat kelurahan.

Apa yang dilakukan para patron politik dan ekonomi ketika mereka mengorbitkan pemimpin-pemimpin baru model demikian, maka tidak tergolong sebagai upaya membayar ā€œutang-utang kebudayaanā€, tetapi justru merusak tatanan kebudayaan dan demokrasi yang sehat. Tentu hal demikian tidak bisa ditolerir karena itulah pangkal KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Meminjam istilah Hannah Arent, model demikian tak lebih adalah banalitas, bentuk kejahatan dalam politik. Bentuk kejahatan model ini tidaklah harus orang-orang jahat berhati kejam penuh dendam. Orang-orang biasa pun bisa melakukan kejahatan besar ketika dia terakses pada kekuasaan karena ia tidak berfikir kritis di dalam melihat keadaan yang lebih luas. Tentu pemimpin model demikian jika salah langkah bisa berakibat fatal. Hal ini disebabkan banyak faktor, misalnya pragmatisme atau primodialisme dan interes kekuasaan yang kuat dan dominan. Idealisme, dedikasi dan sikap amanah pun terpinggirkan.

Politik sejatinya adalah seni mengelola kekuasaan. Kata seni pada frase itu menegaskan bahwa politik merupakan bagian dari kebudayaan. Dalam kebudayaan sangat menjaga relasinya dengan nilai, etika, moral, norma, ide, perilaku dan (nilai) karya. Para pemimpin instan dapat dikatakan melawan kodrat kebudayaan, dan itu dapat dibuktikan di era digital ini. Sebagai tambahan kata seni (berpolitik, berkuasa) mengacu pada etika, logika, dan estetika. Etika mengacu pada keluruhan akhlak (moral). Logika mengacu pada kebenaran, dan estetika mengacu pada fatsoen, keelokan, kepantasan dan kewajaran. Ibarat orang berbisnis, pelaku bisnis bukan saja berarti bisnis yang membawa untung banyak, melainkan juga bisnis yang berkualitas etis (K.Bertens; 2000,6). Semua itu bermuara pada martabat (salah satu sifat kenegawaranan).

Para pemimpin yang ā€œdipaksakanā€ hadir padahal dia bersifat instan, cangkokan dan mentah outputnya bukanlah nilai-nilai kebudayaan yang menggerakkan kreativitas bangsa, melainkan banalisme; dia menjadi blunder kebudayaan, kontra produktif dengan substansi demokrasi. Inilah yang kita rasakan saat ini.

 

sumber :Ā https://www.harianterbit.com/opini/2749379457/pemimpin-bernilai-budaya-bukan-pemimpin-banalitas

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-15 08:34:012024-10-15 08:35:18Pemimpin Bernilai Budaya, Bukan Pemimpin Banalitas

Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa, Manfaat atau Mudarat ?

15/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Babelpedia (1 Juli 2023)

Sobirin Malian

Awal Januari 2023 lalu, para kepala desa berdemonstrasi di Gedung DPR. Intinya, mereka menuntut perubahan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Aksi demonstrasi ini didukung juga oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) yang bahkan mengancam untuk menyelenggarakan demonstrasi yang lebih besar jika tuntutan tidak dikabulkan.

Demo itu ternyata tidak memakan waktu lama segera direspons positif oleh pemerintah dan DPR. Demontrasi oleh kepala desa ini sungguh berbeda secara diametral dengan demo penolakan terhadap UU Omnibus Law yang telah berkali-kali dilakukan namun tetap saja tidak direspon positif. Tampaknya dan pembacaannya memang harus demikian; jika demonstrasi itu sifatnya mendukung pemerintah (rezim berkuasa dan koleganya DPR) akan cepat ditanggapi, sebaliknya jika yang terkait dengan kepentingan rakyat terutama buruh, pemerintah dan DPRD sama sekali tidak menggubrisnya.

Ada apa ini ?
Dalam pandangan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), wacana perpanjangan masa jabatan kades ini patut diduga cerminan dari politik transaksional menuju Pemilu 2024. Presiden dan DPR merupakan pihak yang memegang kewenangan legislasi, sehingga menjadi sangat berdasar jika wacana ini bisa jadi bentuk politik transaksional karena sulit menemukan argumen rasional dari usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa tersebut.

Bila pilkades yang selama ini dianggap sebagai praktik terbaik demokrasi dari level pemerintahan terbawah, maka penyangkalan elit politik akan praktik ini akan menunjukkan bahwa inisiatif menggergaji praktik terbaik justru datang dari aktor pemegang kekuasaan itu sendiri. Sulit untuk tidak menghubungkan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dengan usulan tiga periode masa jabatan kepala negara yang isunya pun seolah tidak pernah surut sampai hari ini.

Tuntutan perpanjangan masa jabatan para kepala desa membuktikan bahwa karena bola liar wacana perpanjangan masa jabatan presiden tidak dihentikan dengan tegas, maka justru dicontoh oleh struktur kepemimpinan pada level paling bawah.

Konstitusionalisme
Prinsip konstitusionalisme modern sesungguhnya menyangkut pengaturan dan pembatasan kekuasaan negara, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya (Jimly Assidiqui, 2002; 34-35). Peran negara yang menjadi besar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan bernegara menyebabkan perkembangan kekuasaan umum dalam kehidupan warganegara semakin besar dan menuntut juga pengaturan serta pembatasan terhadapnya. Walaupun Pemerintah diperlukan bagi kehidupan umat manusia, tetapi setiap pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus tunduk pada pembatasan kekuasaan substantif dan kewajiban-kewajiban tertentu.

Wacana merevisi UU Desa, dulu pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan melahirkan Putusan MK No.42/PUU-XiX/2021 yang menyebutkan bahwa pembatasan masa jabatan kepala desa selama enam tahun, dengan maksimal menjabat 3 periode masa jabatan, merupakan aturan konstitusional.

Dalam argumen MK melalui putusannya itu, alasan ketidakcukupan waktu untuk menjalankan visi dan misi kepala desa jika masa jabatan dibatasi selama enam tahun, itu bukanlah persoalan konstitusionalitas norma.

Bahkan jika dibandingkan dengan norma jabatan publik seperti Presiden/Wapres yang hanya 5 tahun dan maksimal dua periode, maka masa jabatan kepala desa dinilai maksimal, yakni 18 tahun. Lalu mengapa sekarang masih minta menjadi 9 tahun yang berarti bisa mencapai 27 tahun, jelas itu terlalu lama.

Penting diingat, kita menganut demokrasi prosedural yang artinya sangat penting membatasi masa jabatan. Jika merunut pada argumen ini maka andaikan ada pihak-pihak yang berupaya melakukan judicial review ke MK, seharusnya revisi UU Desa ini harus ditolak. Pasal 39 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sudah lebih dari cukup bagi Kepala Desa untuk menjalankan program pembangunannya.

Pertanyaan pentingnya, benarkah perpanjangan durasi masa jabatan menjadi solusi?

Jika berkaca pada penyelenggaraan pemerintahan, baik di Indonesia maupun di luar negeri Filipina, Korsel, Kamboja dan lain-lain; justru masa jabatan yang panjang sangat rentan, bahkan cenderung menimbulkan otoritarianisme, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Atas dasar itu, perpanjangan masa jabatan apalagi jika hanya sekedar memenuhi kebutuhan pragmatis pemilu 2024 justru akan menimbulkan masalah baru.

Indonesia sebagai negara demokrasi, sudah sepatutnya konsisten dengan konstitusi yaitu membatasi kekuasaan. Pemilu sebagai wujud siklus penggantian kepemimpinan dalam konteks penyegaran ide dan gagasan mengenai pembangunan desa harus dijalankan dengan konsisten sebagai pilihan.

Dalam evaluasi FITRA (Forum Indonesia Transparansi), demokratisasi Desa bertujuan untuk memperkuat kewenangan desa dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat, untuk mencapainya diperlukan pendidikan politik warga yang baik. Sebagai catatan, pemberian wewenang warga desa memilih sendiri kepala desanya yang dikehendaki sesuai dengan adat istiadat setempat sudah berlangsung sejak tahun 1854.

Kewenangan lainnya mengawal janji politik kepala desa dan mengawasi jalannya pemerintahan desa. Polarisasi sebagai residu pilkades terjadi karena demokratisasi desa dimaknai sebatas suksesi kepala desa bukan substansi demokrasi desa, misalnya visi berdesa dan kualitas gagasan dalam program kerja.

Karena itu, wacana perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun belum ada landasan filosofis, sosiologis maupun praksis yang mendasarinya. Masa jabatan kepala desa 6 tahun dan dapat dipilih 3 kali sebagaimana selama ini berjalan sudah baik. Jika masih saja diperpanjang tentu akan lebih banyak mudaratnya. Substansi dan inti yang masih menjadi masalah di desa -desa itu adalah mental sumber daya manusia pejabat desa yang masih belum terkoneksi dengan UU desa.

 

sumber : https://babelpedia.id/perpanjangan-masa-jabatan-kepala-desa-manfaat-atau-mudarat/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-15 08:20:442024-10-15 08:34:31Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa, Manfaat atau Mudarat ?

Kegaduhan Demokrasi dan Etika Politik

11/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jakartasatu (20 Juni 2023)

Sobirin Malian

Semakin mendekati tahun politik, adalah wajar jika kegaduhan demokrasi semakin marak. Hal yang tidak wajar manakala masih abainya manusia Indonesia akan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila atau pengabaian manusia terhadap etika politik Pancasila. Hal itu dapat dilacak dari semakin minimnya upaya klarifikasi sesudah kontroversi cawe-cawe Presiden beberapa waktu lalu.

Demokrasi itu memang gaduh dan kegaduhan politik menjelang tahun politik itu jelas. Tetapi, kegaduhan demokrasi yang terlahir dari beragam kontroversi dengan disertai absurditas, isu-isu halusinatif dengan kemasan hiper-realitas bukanlah watak seorang negawaran yang Pancasilais. Prinsip demokrasi sebagai proses penanaman nilai-nilai mulia kesetaraan yang inklusif telah melewati garis demarkasi karena setara menjadi kebebasan warga untuk melakukan apa saja. Terlebih lagi, isu-isu halusinatif itu dalam ranah politik digital, kemudian direproduksi oleh buzzer politik untuk tujuan menghalangi bahkan menjatuhkan kandidat salah satu Capres, terutama menyerang pihak-pihak yang berseberangan secara ugal-ugalan.

Akal Sehat Politik

Ada yang menyimpulkan bahwa buzzer atau pihak-pihak yang berseberangan kemudian menyerang dengan argumen absurd itu dianggap sebagai penumpang gelap demokrasi. Para penumpang gelap demokrasi ini menggerakkan isu halusinatif dengan tujuan membodohi dan merusak proses pembelajaran politik kewargaan. Ini menjadi bahan bukti bahwa akal sehat kita masih jauh dari etika politik Pancasila.

Manuver politik yang ditampilkan tidak mencerminkan sebuah pembelajaran politik yang santun, tetapi lebih kepada mempertontonkan intrik saling jegal, saling kuasa tanpa mempedulikan nasib rakyat. Dalam agama, sifat demikian disebut _hasad_, yakni salah satu penyakit ruhani. _Hasad_ atau dengki adalah salah satu yang paling berbahaya untuk kehidupan manusia. Kita disebut _hasad_ kepada seseorang jika kita – tanpa alasan yang terukur, apalagi alasan yang adil – serta merta merasa tidak senang kepada segala kelebihan atau keutamaan yang dipunyainya. Kelebihan itu dapat bersifat kebendaan, seperti misalnya kekayaan harta; dapat juga bersifat keruhanian, seperti, kedudukan, kehormatan atau pretise, kecakapan, dan lain-lain. Jika kita menyimpan kedengkian kepada seseorang, biasanya selain kita membencinya juga diam-diam atau terang-terangan dalam hati kita menginginkan orang itu celaka. Dan kalau sudah begitu, besar sekali kemungkinan kita langsung atau tidak langsung berusaha menjegalnya, mencelakakannya.

Berbarengan dengan itu, kita, apakah melalui sikap dan tindakan kita sendiri atau bisa juga melalui buzzer yang dibayar, terus melancarkan serangan, fitnah, yaitu berita hoax atau berita-berita buruk yang tak benar atau palsu serta berita yang diplintir intinya menghancurkan reputasi orang yang tidak disenangi itu. Jika hal ini dilakukann oleh seorang yang punya kuasa atau pemimpin, maka tak lain dia telah menjadi seorang tiran. Dalam terminologi Qur’an disebut _thughyan_ – asal kata istilah _thaghut_ (si tiran). Seorang tiran selalu ingin memaksakan kehendak kepada lain tanpa memberi peluang kepada orang itu untuk melakukan pertimbangan bebas. Dalam perspektif Qur’an, sikap tiran (tiranik) sangat dilarang dan biasanya dipertentangkan dengan iman kepada Allah. Mengapa begitu? Karena dalam sikap tiranik terselip pandangan, bahwa diri sendiri pasti benar, dan orang lain pasti salah. Yaitu, pandangan memutlakkan diri sendiri.

Kembali lagi ke soal etika politik. Disadari, tidak selamanya politik itu penuh dengan intrik, tipu muslihat apalagi pembodohan. Politik sejatinya dapat memberikan pembelajaran berharga soal bagaimana demokrasi dibangun dengan etika politik Pancasila seperti mengedepankan nilai-nilai permusyawaratan perwakilan. Nilai-nilai yang sejatinya dapat mendorong politik sebagai ruang untuk mengkomunikasikan beragam programatik kandidat dan bukan terjebak pada prosesi pencitraan yang hiper-realistis, apalagi menumpulkan sensibilitas publik.

Apabila kita telah sepakat bahwa kontestasi pemilu (demokrasi) adalah upaya melahirkan generasi kepemimpinan, tentunya kita harus realistis dalam mendongkrak popularitas dan meraih kekuasaan dengan tetap mengutamakan etika politik Pancasila. Etika yang dapat menuntun para kandidat politik untuk kembali menampilkan akal sehat politik yang mengedepankan otentisitas, substansial dan tentunya mencerminkan kedewasaan dalam berdemokrasi. Tujuannya tidak lain sebagai media pembelajaran politik kewargaan dan bukan sebatas instrumen dekoratif dalam politik apalagi pencitraan.

Dengan mengedepankan etika politik Pancasila akan menjadi transformasi pengetahuan politik. Pengetahuan yang mengacu pada bentuk, konsep, informasi dan pertimbangan faktual, mengenai sistem politik dan pemerintahan. Di samping itu, merupakan keterampilan intelektual terkait kepiawaian dalam menggambarkan, menginterpretasikan dan menilai fenomena politik. Kepiawaian yang dapat membatasi terjadinya fanatisme berlebihan dari kesatuan politik. Tak kalah pentingnya, mengedepankan etika politik dapat menjadi ruh dalam segala jenis tindakan guna membangun patriotisme dan nasionalisme.

Penutup

Akhirnya, sebagai persiapan memasuki tahun politik 2024, akan lebih elok dan bersifat negarawan jika Presiden Jokowi tidak lagi cawe-cawe yang kontra-produktif. Presiden hendaknya mampu menjaga sikap kenegarawanannya. Ingat, kehancuran masyarakat antara lain dimulai oleh subyektivitas para tokohnya dalam melihat yang benar dan salah, padahal mereka itu tidak lebih daripada orang-orang yang diperbudak oleh tirani. Oleh karena itu, jangan sia-siakan umur kekuasaan presiden yang tinggal hitungan bulan dengan perbuatan yang akan membuahkan reputasi buruk!

sumber https://jakartasatu.com/2023/06/20/kegaduhan-demokrasi-dan-etika-politik/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-11 09:38:252024-10-11 09:41:23Kegaduhan Demokrasi dan Etika Politik

Rahmat dalam Perbedaan Idul Adha 1444 H: Menjelajahi Harmoni dalam Kekayaan Budaya Islam

11/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Babelpedia (13 Juni 2023)

Sobirin Malian

Tahun ini, setelah perbedaan dalam Idul Fitri kita juga akan berbeda dalam Idul Adha 1444 H. Dalam konteks Idul Adha perbedaan muncul tidak semata-mata persoalan hisab dan rukyat, tetapi juga dikaitkan dengan peristiwa wukuf di Arafah. Mengapa ? karena umat Islam yang berada di luar kota Mekah dan tidak melaksanakan ibadah haji disunahkan menjalankan puasa Arafah.

Menghadapi permasalahan perbedaan ini jumhur ulama mengembangkan konsep Ittihad al Matali. Pandangan ini diikuti beberrapa tokoh di Timur Tengah, seperti Abu Zahroh, Ahmad Asy-Syirbashi dan Ahmad Muhammad Syakir. Di Indonesia cukup banyak yang mengembangkan pandangan ini, di antaranya Prof Hasbi ash-Shiddiqie, dari UIN Sunankalijaga, dll.

Di era modern ini, konsep Ittihad al-Matali dikembangkan dalam sebuah system kalender yang dikenal dengan kalender Islam global. Salah seorang yang menggagas kalender Islam global adalah Hussein Fathi dalam buku berjudul Kaifa Nuwahhidu at Taqwim al-Hijry al-ā€œalama al-Islamy (1389/1970). Kehadiran Islam global ini diharapkan mampu menyelesaikan perbedaan dalam merayakan Idul Adha. Hasil konferensi Turki 2016 juga sudah memutuskan untuk dijadikan umat Islam sedunia agar permasalahan perbedaan penentuan Idul Fitri dan Idul Adha ini diselesaikan.

Kalau dicermati, perbedaan tersebut dilatarbelakangi beberapa hal.

Pertama, perbedaan system hisab dan rukyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hal ini kemudian menimbulkan perbedaan hasil penggarapan, yang oleh para pakar falak, sistem falak diklasifikasikan sebagai hisab haqiqy, taqriby, hisab haqiqy tahqiqy, dan hisab haqyqi kontemporer.

Kedua, perbedaan hasil ijtihad para ulama fiqih dalam masalah penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Ada aliran rukyat seperti Imam Romli dan Al-Khatib Asy-Suaibani yang menyatakan jika rukyat berbeda dengan perhitungan hisab, yang diterima adalah kesaksian rukyat karena hisab diabaikan oleh syariat. Menurut mereka, jika ada orang menyaksikan melihat hilal, sedangkan menurut perhitungan hisab tidak mungkin dirukyat, kesaksian itu harus ditolak. Namun, ada aliran moderat, seperti Imam Ibnu Hajar yang menyatakan, bahwa syariat atau rukyat dapat ditolak jika ahli hisab sepakat (ittifaq), tetapi jika tidak terjadi ittifaq, rukyat tidak dapat ditolak.

Ketiga, perbedaan tingkat sosial. Masyarakat yang sudah modern bersifat terbuka, obyektif, dan selektif dalam berfikir, sedangkan masyarakat tradisional notabene bersifat isolatif dan fanatik sehingga dapat terpengaruh dalam menerima pemikiran produk fikih baru, termasuk dalam hal hisab dan rukyat.

Bagaimanapun, kalau kita telaah secara lebih serius, semestinya keterpaduan penggunaan hisab yang akurat dalam hal ini seperti menggunakan hisab haqyqi kontemporer semacam almanak Nautika dan Jean Meeus atau seperti Muhammadiyah, dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah relatif lebih mudah. Dengan hisab yang akurat (menggunakan teknologi) kita akan bisa memprediksi lebih dini tentang jatuhnya awal bulan tersebut. Dengan demikian, antara hisab dan rukyat itu bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ibarat analogi terminologi hukum, dapat dibahasakan hisab sebagai keterangan saksi. Bahwa hisab yang akurat diperlukan untuk panduan pelaksanaan rukyat yang benar, sedangkan eksistensi rukyat sebagai alat bukti kebenaran hisab.

Bagaimana dengan awal bulan Zulhijah 1444 H ?, kalau mengacu pada hisab, maka jatuhnya pada hari Senin Legi, 19 Juni 2023. Puasa Arafah, 9 Zulhijah, Selasa Wage, 27 Juni 2023, dan hari raya idul Adha 1444 H, 10 Zulhijah1444 H, Rabu Kliwon, 28 Juni 2023. Ini versi hisab haqyqi yang dikembangkan Muhammadiyah, tentu berbeda dengan ketetapan pemerintah yang menetapkan hari Kamis, 29 Juni 2023. Apabila pada hari Rabu, 28 Juni 2023 menjadi pilihan maka hal ini akan sejalan dengan kelompok pendukung Arab Saudi, pendukung kalender Islam global (Turki dan Eropa) dan poros MABIMS (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapore).

Akhirnya, sebagai bangsa negara yang berkomitmen melaksanakan Pancasila, perbedaan pilihan hari raya Idul Adha 1444 H, tetaplah kita jadikan rahmat. Toh ini bukan untuk pertama kalinya.

sumber https://babelpedia.id/rahmat-dalam-perbedaan-idul-adha-1444-h-menjelajahi-harmoni-dalam-kekayaan-budaya-islam/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-11 09:33:562024-10-11 09:42:41Rahmat dalam Perbedaan Idul Adha 1444 H: Menjelajahi Harmoni dalam Kekayaan Budaya Islam

Letargi Kebudayaan Dan Perilaku Politik

11/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Indonesia News (6 Juni 2023)

Sobirin Malian

Istilah letargi berasal dari kata lethe, yakni salah satu nama sungai dari empat sungai yang disebut-sebut dalam mitologi Yunani, yang dapat dikonstruksi sebagai gejala yang dimulai dari kecenderungan untuk melupakan atau ketidakmampuan untuk menggerakkan memori dan menemukan kebenaran dan hal hal yang esensial.

Dalam istilah kesehatan, letargi adalah kondisi ketika tubuh terasa sangat lelah dan tetap tidak membaik setelah beristirahat. Tak hanya lelah, seseorang yang mengalami letargi akan sulit beraktivitas karena sering mengantuk, lesu, dan sulit berkonsentrasi.

Kondisi ini bisa disebabkan oleh gangguan fisik maupun psikologis. Rasa lelah yang berat atau letargi seringkali muncul sebagai salah satu tanda atau gejala penyakit tertentu. Berbeda dengan rasa lelah atau letih karena beraktivitas, letargi umumnya tidak hilang atau membaik meski penderitanya sudah tidur atau beristirahat.

Uniknya, sebagaimana diuangkap oleh Robertus Robet (2016), letargi secara etimologi juga memiliki kesamaan dengan kata aletheia yang dalam bahasan Yunani berarti kebenaran. Huruf a diawal kata a-letheia bermakna bukan atau tidak tersembunyi. Aletheia dengan demikian bisa berarti penyingkapan atau kebenaran. Kebenaran dengan demikian berkaitan dengan penolakan untuk melupakan (alethe).

Dengan demikian, letargi dalam konteks tulisan ini_secara prinsipiil adalah kecenderungan untuk menerima segala hal apa ā€œadanyaā€, apa yang disajikan secara mentah, bahkan menerima apa-apa yang sebenarnya keliru dan bertentangan dengan pendirian-pendirian kita. Di dalam letargi, kita sebenarnya sudah menyerah kepada keadaan, tapi kita berpura-pura terlibat dan antusias di dalamnya.

Di dalam letargi, seluruh daya aktivitas dimulai bukan dengan bagaimana mengupayakan apa yang benar, melainkan dengan apa yang sekadar bisa dari yang ada. Itulah sebabnya, Schall menyebut letargi sebagai kelelahan dan kemalasan mental untuk mencapai kebenaran dan kualitas. Itu sebabnya, para sejawaran menyebut letargi sebagai hal yang berbahaya, karena itu sinyal gejala runtuhnya peradaban.

Cawe-Cawe dan Letargi

Akhir-akhir ini viral tentang cawe-cawe Presiden Jokowi. Intinya yang paling banyak dikritik adalah betapa tak beretikanya Presiden dalam kaitan Pilpres 2024 mendatang. Presiden telah ā€œmenanggalkanā€ sikap kenegawarannya demi mempertahankan ā€œpenerusā€ dan kebijakannya. Tentu ada banyak pertanyaan mengapa Presiden cawe-cawe demikian. Yang jelas dalam konteks letargi, presiden telah meninggalkan jejak kemubaziran tindakannya.

Presiden Jokowi boleh dibilang telah gagal dalam mengusung standar etis dan begitu mudah jatuh ke dalam hipokrisi. Cawe-cawe bukanlah legacy yang dapat diteladani. Teolog Amerika, James Vincent Schall berpandangan, letargi sebagai gejala historis dalam kebudayaan (politik) ketimbang persoalan dalam perilaku sebagaimana ditafsirkan sosiolog tingkah laku.

Dalam pandangan Schall, letargi lebih merujuk pada kelelahan secara mental, bukan kelelahan fisik dan bukan semata-mata persoalan perilaku. Jadi, letargi sejatinya menyangkut kemunduran yang lebih subtil, yakni tanda dari mulainya gejala kemerosotan dalam peradaban, kemandulan dalam dunia intelektual, kemandekan dalam politik dan sosial (James V. Schaal SJ, 2014).

Secara fisik mungkin kita aktif, bergerak dinamis ke sana kemari, berkunjung ke berbagai pihak (tokoh agama, pesantren, tokoh parpol, dll) tetapi sebenarnya mental kita mentok dan kering gagasan. Fenomena letargi membuat kita gagal menggerakkan kapasitas mental untuk mencari alternatif-alternatif yang paling optimum dan berkualitas untuk mengatasi masalah yang ada. Akibatnya, ditiap aktivitas terutama oleh elit negara__banyak waktu dihabiskan untuk menutupi keburukan-keburukan besar melalui akumulasi keburukan-keburukan kecil.

Sinyal Runtuhnya Peradaban

Disamping kualitas yang pas-pasan, umumnya kita memang payah dalam mencari solusi terbaik bagi masyarakat. Letargi telah membuat kita jatuh dan terjebak dalam kecenderungan untuk ā€œasal-asalanā€, pragmatis atau ā€œyang penting bukan diaā€ (dalam konteks kelicikan menjegal musuh politik). Kita tidak berfikir bagaimana melampaui dan mencari apa atau siapa yang terbaik untuk masyarakat, negara dan bangsa. Ketiadaan upaya mencari yang terbaik itu adalah awal dari kemerosotan peradaban. Sungguh hal ini sangat menyedihkan.

Perilaku Politik

Salah satu ciri letargi dalam kebudayaan terlihat dalam sulitnya mempertahankan suatu karakter dalam perilaku politik dan berdemokrasi kita, cawe-cawe Jokowi itu contohnya. Cawe-cawe dianggap ā€œjalan yang benarā€, padahal itu menimbukan preseden buruk karena seharusnya seorang Presiden bersikap menjadi ā€œnegarawananā€, sportif dan obyektif.

Cawe-cawe dalam konteks letargi kebudayaan adalah kontraproduktif dengan karakter membangun demokrasi yang sehat. Perilaku politik seharusnya bukan mengusung konfrontatif, melainkan mengusung ide dan gagasan.

Uniknya, perilaku ini diterima secara mentah-mentah – terutama oleh pengikutnya -dalam diskursus publik secara umum. Perilaku cawe-cawe dalam politik diterima sebagai suatu kewajaran.

Dengan begitu, rakyat kebanyakan tidak pernah dididik berpolitik di dalam gagasan. Tanpa gagasan, rakyat akan dengan mudah melupakan. Tanpa gagasan, politik tidak akan pernah dialami sebagai perjuangan, melainkan hanya sebatas pilihan-pilihan instan.

Akibatnya lebih jauh, demokrasi politik dan juga hukum tidak pernah mengalami kemajuan. Kita hanya disibukkan dengan ā€œkegaduhan-kegaduhanā€ yang kontraproduktif dengan gagasan untuk maju. Guru, dosen, kyai, ulama diminta mengajarkan pendidikan berkarakter, tetapi politik kita – di saat yang sama mengajarkan cawe-cawe (letargi); bagaimana cara mengkhianati karakter dengan sukses – untuk saat ini bisa jadi politik yang menang, berjaya, tetapi itu sangat ironis. Wallahu’alam bissawab.

Sumber https://harianindonesianews.com/read/letargi-kebudayaan-dan-perilaku-politik

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-11 09:28:332024-10-11 09:40:59Letargi Kebudayaan Dan Perilaku Politik

Pancasila dan Imajinasi Ke-Indonesia-an

10/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (2 Juni 2023)

Ilham Yuli Isdiyanto

Problem utama bangsa Indonesia adalah ketidakmampuan mengimajinasikan ā€œbagaimana Indonesia berPancasilaā€. Pendidikan lebih sibuk membahas apa itu Pancasila daripada sedikit demi sedikit mempraktikkannya.Sudah cukup banyak tafsir terhadap Pancasila, tetapi masih minim aktualisasi terhadapnya. Pada tahun 2014, Pusat Kajian MPR RI menerbitkan judul buku yang berani yakni ā€œRadikalisasi Pancasilaā€ yang berangkat dari gagasan Kuntowijoyo yang ingin ā€œmerevolusiā€ gagasan Pancasila yang cenderung pasif menjadi lebih aktif, tidak hanya persuasif namun aktualitatif.

Meradikalisasi Pancasila seharusnya berangkat dari pertanyaan ā€œradikalā€, seperti pernah ada seorang mahasiswa mempertanyakan kepada saya bagaimana tanggapan saya tentang temannya yang tidak percaya dan mempertanyakan Pancasila?
maka saya jawab ā€œmenurut saya itu langkah awal yang bagus, bagaimana kita memahami sesuatu jika kita tidak mempertanyakannya?ā€ Nalar kritis dimulai dari pertanyaan, bukan anggukan. Sudah saatnya mempertanyakan Pancasila dari segala macam multidemensi, dari kreativitas anak-anak, obrolan ibu-ibu, kegiatan ā€œmabarā€ kids zaman now, sampai pada ekosistem perguruan tinggi.

Mempertanyakan Pancasila adalah esensi dan partisipasi masyarakat membangun bangsa, titik berangkat refleksi nasional. Pernyataan satire Sudjiwo Tedjo di forum Indonesia Lawyer Club TvOne di negeri Pancasila tidak mungkin ada orang miskin adalah refleksi atas upaya radikalisasi Pancasila. Kemudian, imajinasi tentang negara Pancasila harus berada pada level tertinggi, masyarakat makmur sejahtera. Nyatanya, penduduk miskin Indonesia sebesar 26,36 juta orang (BPS September 2022) adalah kontradiktif dengan ide Pancasila.

Bukan dalam pengertian konseptual namun memang kemiskinan konsep terhadapnya dalam berbagai macam bentuk kebijakan.Membuat kebijakan adalah proses imaji, yakni bagaimana Pemerintah harus mampu membayangkan sedetail mungkin setiap rencana kebijakan yang akan dilakukannya baik secara prosedur, bikorasi, produk hukum hingga implementasi dan dampaknya. Semua tidak lepas dari imaji, bahkan negara itu sendiri menurut Benedict Anderson (1983) tidak lebih dari komunitas imajiner (magined communities). Untuk mampu mengaktualisasikan Pancasila adalah mendorong proses imajinasi terhadap masyarakat Pancasila mulai dari sistem pendidikan.

Kemudian, mendorong pembentukan daya nalar yang kritis dan kreatif untuk anak bangsa jauh lebih penting daripada sekedar menyuruh mendengarkan. Soekarno dan Moh. Hatta pernah berbeda pandangan, untuk menyiapkan kemerdekaan apakah mengutamakan aksi masa atau mengutamakan kesadaran (pendidikan). Soekarno kemudian mencoba menyakinkan Moh. Hatta bahwa setelah merdeka, maka intelektualitas akan lebih mudah diwujudkan.

Para founding fathers memperjuangkan kemerdekaan berdasarkan imajinasi bahwa Indonesia nantinya akan menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja yakni negara yang makmur, adil dan sejahtera. Keyakinan akan hidup lebih baik dan menjadi negara besar adalah nyala api perjuangan untuk tidak pernah menyerah. Untuk menjamin perwujudan imajinasi ini, founding fathers kemudian menyematkannya dalam Preambule Undang Undang Dasar 1945 untuk pengingat bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia (staatidee) ada didalamnya. Imajinasi untuk mewujudkan negara gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja harus menjadi nyala dalam kegelapan berbagai problematika bangsa.

Pemaknaan terhadap Pancasila harus dibarengi dengan pengaktualisasian terhadap Pancasila. Pancasila harus hadir dalam berbagai bentuk pembicaraan, pidato, maupun orbolan ringan di coffe shop. Bukan sebagai peningkatan kesadaran namun sebagai pengingat bahwa Pancasila merupakan manifesto dan tuntutan rakyat terhadap negara untuk Indonesia lebih baik.

 

sumber https://www.suaramerdeka.com/opini/048993161/pancasila-dan-imajinasi-ke-indonesia-an

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-10 13:27:412024-10-10 13:27:41Pancasila dan Imajinasi Ke-Indonesia-an

Korupsi dan Rontoknya Ideologi

10/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Terbit (1 Juni 2023)

Sobirin Malian

Dalam suatu kesempatan pidato di Dewan Konstitusi Nasional, menjelang revolusi Perancis, Alex de Tocqueville, menyatakan: ā€œoleh karena terkesan dalam masyarakat tenang-tenang saja, tidak ada gejolak yang berarti dan revolusi dianggap masih jauh, maka kita menganggap negara tidak ada masalah. Tuan-tuan…izinkan saya menyatakan bahwa, Anda sekalian sedang menipu diri sendiri. Saya yakin, saat ini kita sedang tidur diatas gunung berapi, bara api…(Alex de Tocqueville, On Democracy, Revolution and Society: 1980).

Apa kira-kira yang dapat kita tangkap makna dari pidato Alex de Tocqueville di depan Assemble Nationale Constituante, Perancis) itu. Pada tahun 1848 itu, ia mengingatkan rezim Orleans bahwa Perancis saat itu tidak dalam kondisi baik-baik saja. Cengkeraman aristokrasi yang berusaha mempertahankan status quo-nya, menurut De Tocqueville, sudah tidak relevan. Lalu ia menyatakan, harus ada solusi politik ke arah terbebas dari kungkungan aristokrasi. Apa yang dirasakan Alex de Tocqueville saat itu tampaknya sama dengan kondisi kita sekarang. Bahwa negara ini sesungguhnya tidak sedang dalam baik-baik saja. Kita sejatinya sedang mengalami guncangan politik dan hukum yang luar biasa.

Episentrum Persoalan

Bangsa ini terus diguncang berbagai skandal menjelang tahun politik 2024. Selain kasus terbaru, ā€œBancakan Korupsi Proyek Tower BTS Rp8 Triliun yang melibatkan Menkominfoā€, masih banyak kasus rasuah yang belum terungkap dan belum tertangani. Pertanyaan yang perlu kita ajukan sebagai anak bangsa adalah, apakah kecemasan kita hanya pada kasus lenyapnya uang negara yang digondol para koruptor itu?

Jawabnya: Tidak ! Episentrum masalah bukan semata kerugian negara (korupsi), masalah lain masih banyak, misalnya, ancaman perpanjangan masa jabatan Presiden atau penundaan Pemilu masih saja membayangi. Juga masalah peradilan dan hukum di mana saat ini publik seperti mengalami ketidakpercayaan pada MK, MA, Kejagung, KPK dan lain-lain.

Lembaga peradilan seolah mengalami ketidakpercayaan di titik nadir terendah akibat beberapa putusannya sangat bertolak belakang dengan harapan publik. Putusan MK soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, dirasa sangat janggal dan dianggap sebagai putusan yang syarat dengan nuansa politik karena menjelang Pemilu 2024. Isu teraktual yang menarik perhatian publik adalah diduga bocornya putusan MK yang dirilis Prof. Denny Indrayana yang isinya putusan MK lebih memilih sistem proposional tertutup.

Dari beberapa putusan MK yang kontroversial itu – sejumlah akademisi menilai problem besar MK itu terletak pada hakim-hakimnya yang tidak lagi sebagai negarawan dan penegak yang adil, malah terkesan menjadi corong penguasa.Masalah kenegaraan lain yang tidak kalah besar adalah bagaimana relasi sebab akibat antara penguasa, hukum dan eksistensi bangsa. Muatan utama refleksi tidak masalah semata masalah korupsi dan kerugian negara, tetapi permasalahan ideologis (ideological corruption).

Dalam korupsi uang negara, ada ancaman bahaya terselubung, yakni pembunuhan ideologi kenegaraan dan ideologi kebangsaan. Pembunuhan ideologi masuk dari pintu sindikatisme berupa pelaksanaan kebijakan-kebijakan (kotor) negara terutama terhadap para buzzer dan influencer untuk kepentingan persekongkolan jahat kendati memakai baju dan slogan kepentingan umum. Dalam sindikalisme korupsi atau sindikat korupsi, empat pilar kebangsaan Tunggal Ika – yang bersifat ko-eksistentif digerogoti oleh kepentingan persekongkolan atau lebih jauh kepentingan oligarki. Ekses yang paling mencelakakan adalah deklinasi dan polarisasi yang mengancam kepercayaan publik terhadap ideologi dan simbol-simbol kebangsaan. Dari situ lahirlah gerakan-gerakan pencarian keselamatan publik.

Gerakan-gerakan primordial berslogan khilafah, politik identitas sesungguhnya pijaran-pijaran kecil dari sumber letupan masalah, yakni sindikalisme, Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Gerakan-gerakan ini dapat saja kita sebut sebagai impian kolektif (collective dream) semacam utopia bersama masyarakat kecil yang ingin segera keluar dari himpitan hidup kita yang selama ini ditumpukan kepada wakil rakyat tetapi tak kunjung hadir mewakili kepentingan mereka. Dalam sindikasi korupsi – jembatan representasi dibebankan pada partai politik, lembaga legislatif, yudikatif maupun eksekutif yang mengalami patahan tak tersambungkan.

Menurut Gaetamo Mosca patahan paling menyolok ada pada kelakuan destruktif lembaga legislatif, yudikatif yang berbuntut keraguan akan masa depan pemerintah (The Ruling Class, 1939). Jadi guncangan besar eksistensi bangsa ini terletak di situ, sebab dari sudut sindikalisme, korupsi tidak lagi sekadar penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan diri dan kelompok. Namun, korupsi merupakan tindakan sekelompok orang berkuasa yang sengaja menghancurkan ideologi negara lewat sindikat korupsi. Dalam sindikalisme korupsi bersemayam pengeroposan ideologi negara.

Secara sederhana dapat dijelaskan, dari kasus e-KTP atau Proyek BTS Menkominfo, Hambalang atau kasus besar lainnya, dapat dipastikan kasus korupsi tidak lagi menjadi perilaku kotor personal. Artinya, korupsi sudah masuk ranah sindikasi korupsi (Corruption Syndicate); persekongkolan jahat di tingkat elit negara (termasuk partai politik) untuk merampas uang negara secara sistematis dan itu sejatinya menggerogoti ideologi negara, karena mereka seharusnya yang bertanggungjawab atas kelangsungan dan berkomitmen menjaga ruh ideologi. Tetapi yang terjadi mereka menjadi contoh yang buruk sebagai pelaksana ideologi negara. Akhirnya, ideologi negara Pancasila justru dikotori oleh perilaku tidak terpuji. Ideologi pun rontok.

sumber https://www.harianterbit.com/opini/2748983830/korupsi-dan-rontoknya-ideologi

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-10 09:02:002024-10-10 09:02:00Korupsi dan Rontoknya Ideologi

Toleransi dan Umat Beragama Yang Baik

08/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Babelpedia (30 April 2023)

Sobirin Malian (Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan)

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andi Pangerang menuai kecaman karena komentarnya di media sosial Facebook yang bernada ancaman terhadap warga Muhammadiyah.

Andi pada mulanya mengomentari pernyataan peneliti BRI, Prof. Thomas Djamaluddin soal perbedaan metode penetapan Idulfitri 2023. Komentar tersebut dinilai bernada ancaman hingga akhirnya viral di media sosial.

Dalam komentarnya, Andi menulis ā€œPerlu saya halalkan gak nih darahnya semua padMuhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda kalender Islam global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang!!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian.ā€ (Sumber CNN Indonesia, 26/4/2023).

Ujaran kebencian yang disampaikan oleh Andi Pangerang itu menggambarkan bahwa perbedaan dalam beragama abelum menjadi rahmat. Perbedaan masih dianggap sebagai permusuhan.
Beragama Kekanakan KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) pada tahun 90-an awal pernah menulis buku yang sangat kontemplatif berjudul Saleh Sosial Saleh Ritual. Dalam buku tersebut dengan sangat kontemplatif bahkan intuitif dia menyindir dengan sangat halus perilaku beragama kita yang seringkali masih sangat kekanak-kanakan untuk menghindari kata ingusan.

Betapa dalam beragama, kata Gus Mus, kita masih primitif dan ndeso. Kecenderungan kita masih tekstualitas dan konservatif. Melihat orang yang berbeda adalah melihat musuh yang harus diperangi, yang harus dilawan, yang harus dibinasakan, yang harus diberangus, dimusnahkan, bahkan jika perlu dihabisi secara zero sum game (tujuh turunan).
​Memang buku Gus Mus itu terbit sudah lebih 20 tahun lebih, tapi dalam kenyataannya ā€œgagasanā€ buku itu masih sangat relevan dengan keadaan pola keberagamaan kita hari ini. Bisa jadi, kontemplasi Gus Mus memang melampaui zamannya sehingga menembus dimensi ruang dan waktu; atau bisa jadi justru kita memang tak kunjung beranjak dewasa dalam beragama ? Kelihatannya pilihan kedua adalah gambaran utuh pola keberagamaan kita. Hingga hari ini kita masih belum meningkat menjadi umat yang dewasa (al-ihsan). Umat yang bisa menghargai perbedaan; yang menjadikan perbedaan sebagai bahan baku persatuan (unity in diversity). Umat yang pada level al-ihsan, menjadikan perbedaan sebagai rahmat.

​Benarkah atau bukankah kita adalah agama yang rahmatan lil alamin ? Realitasnya tidak bisa kita jawab dengan tegas. Secara teoritis jawaban itu mudah. Kredo agama Islam memang rahmatan lil alamin. Namun, jika kita pindahkan kredo tersebut ke dalam praksis kehidupan sehari-hari, jujur dengan sangat berat hati kita harus mengatakan bahwa perilaku kita belum mencerminkan profil yang kehadirannya mengasihi sesama.
Toleransi Dalam Kemajemukan
​Dalam fenomena seringkali kekerasan,terorisme atau tindakan-tindakan sejenis lahir dari sikap intoleran, tidak menghargai dan menghormati perbedaan. Para pelaku menyebut tindakan mereka dimotivasi oleh ajaran agama, padahal tidak. Menurut Murad W Hofmann dalam Islam the Alternative (1999), fenomena terorisme yang terjadi di berbagai negara dan banyak tempat, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam atau agama lain mana pun.
​Ditegaskan Murad, ajaran agama sejatinya mendorong pada sikap toleran. Dalam Islam, misalnya, Al Quran berulang kali menyatakan, perbedaan di antara umat manusia_baik warna kulit, ras, bahasa dan lain-lain_adalah sunatullah, wajar. Allah bahkan melukiskan pluralisme ideologi sebagai rahmat.

​Ini bisa disimak dalam ayat, ā€œKalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikanā€ (al Maidah:48). Ayat lainnya: ā€œDan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang beriman?ā€ (Yunus:99).
Redefinisi Kebaikan Mengutip yang pernah dinarasikan Taman Hasan (2008) dalam al Quran, setidaknya memuat lima istilah yang dalam bahasa kita sama-sama diterjemahkan sebagai kebaikan, yaitu: al khaer, al-ma’ruf, al-birr,al-ihsan dan as-sholeh. Kelima istilah ini diterjemahkan sebagai kebaikan, padahal ketika diaplikasikan pada kehidupan nyata ā€œmaknaā€ antara satu sama lain memiliki nuansa dan dimensi yang berbeda.

​Al-khaer di dalam Al-Qur’an diantaranya : berarti lebih baik, kebaikan atau kebajikan. Al-khair adalah sesuatu yang memegang peranan penting dalam Islam karena datang murni dari Allah. Al-ma’ruf; kebaikan dalam wilayah sosial. Al-birr, kebaikan pada diri seseorang untuk menjadi lebih baik. Al-ihsan, kebaikan yang sesungguhnya bukan kewajiban bagi kita, melainkan kita bersedia melakukannya.As-ssholeh: kebaikan yang diterapkan dalam semua aspek kehidupan, meliputi ranah sosial, politik, dan juga budaya.

​Dalam konteks kehidupann sosial beragama pada masyarakat majemuk seperti Indonesia, yang dibutuhkan adalah transformasi kebaikan al-khaer, al-ma’ruf, al-birr menjadi kebaikan al-ihsan dan as-sholeh. Kebaikan yang bersifat individu menjadi kebaikan yang bersifat sosial.
​Nabi Muhammad SAW pernah memberi contoh yang baik ketika terjadi peristiwa fatkhu Makkah (penaklukan kota Mekah). Pasukan Muslim yang berhasil mengalahkan kaum kafir dan melucuti senjatanya justru oleh Nabi tidak disakiti. Nabi bahkan membebaskan mereka. Dalam konteks ini, yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah kebaikan kategori al-ihsan. Kebaikan yang dilakukan, padahal tidak ada tuntutan dan kewajiban baginya untuk melakukan hal itu.
Penutup

​Pada akhirnya, dari banyak pengalaman terganggunya kerukunan akibat intoleransi di Indonesia, kiranya perlu didesain (social engineering) agar tetap memiliki daya tahan (resilience) untuk menghargai, menghormati, serta melangsungkan kehidupan harmoni sosial yang tidak dalam ke-semu-an. Hal ini penting karena seringkali harmoni dalam ke-semu-an akan menciptakan persoalan yang jauh lebih serius daripada sebelumnya dikelola dan dipersiapkan lebih dahulu.\

Sumber https://babelpedia.id/toleransi-dan-umat-beragama-yang-baik/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-08 10:02:582024-10-08 10:02:58Toleransi dan Umat Beragama Yang Baik

Pemilu: Partai Kebobolan, Rakyat Kemalingan

08/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (23 Aptril 2023)

Ilham Yuli Isdiyanto

Pemilihan umum (pemilu) saat ini ibarat sebuah toko dalam pulau terpencil. Masyarakat hanya diberikan pilihan produk seadanya, tanpa ada perbandingan dengan toko lainnya, sehingga harus membeli bagaimanapun kualitasnya. Partai politik adalah produsen dari produk yang dijual ditoko tersebut. Jika tidak melewati quality control yang baik, maka pada akhirnya rakyatlah yang paling dirugikan.

Partai Politik dan ā€œKsatria Politikā€

Dalam dunia pendidikan dan profesional terdapat standarisasi untuk mendorong perwujudan kompetensi pada bidang tertentu.
Karena itu, sangat disayangkan bila tidak ada standarisasi secara nasional dalam proses kaderisasi di tubuh partai politik untuk menghasilkan kader-kader partai yang kompeten, berintegritas dan bermoral.

Dilihat dampak sosial, kader partai politik yang nantinya menjadi bagian penyelenggara negara seharusnya lebih ketat daripada standar profesi lainnya yang biasanya bergerak di wilayah swasta atau privat. Melalui standarisasi ini, partai politik jangan hanya sebatas pada filterisasi calon politisi, namun secara moral menyelenggarakan kaderisasi dengan standar kompetensi yang jelas, terukur, dan teruji. Hal ini dimaksudkan agar partai politik tidak ā€œkebobolanā€ karena mendukung calon-calon yang tidak kompeten dan tidak bermoral, akibatnya muncul ā€œpejabat-pejabat politikā€ yang kurang kompeten melaksanakan tugas.

Bahkan lebih parahnya adalah berperilaku korup. Fenomena seperti ini kemudian ditangkap oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2019) yang menyatakan demokrasi kemudian terbunuh bukan oleh militer, melainkan pemimpin-pemimpin yang terpilih secara legal. Seperti fenomena Hitler, terpilih secara demokratis kemudian membunuh demokrasi dengan fasis. Pejabat yang korup maupun despot tidak ada bedanya dalam hal sama-sama merugikan rakyat. Asumsi ini harus dilihat sebagai bagian dari fenomena untuk membunuh demokrasi.Koruptor adalah politisi dengan mental ā€œpedagangā€, bukan mental ā€œksatriaā€. Sehingga memunculkan ā€œpasar politikā€ bukan ā€œgelanggang politikā€.

Menurut Jean Beachler (2001), penggunaan istilah ā€œpasar politikā€ merujuk pada pertukaran tempat tempat tranksaksi. Hanya saja pasar ini tidak fair karena produk apapun harus dibeli oleh konstituen walaupun kualitas produk tersebut buruk. Jika produk yang ditawarkan tidak ada yang memenuhi kualifikasi, maka harus dipilih dari salah satunya, memilih yang terbaik dari terburuk. Inilah realitas pasar politik hari ini. Berbeda dengan ā€œgelanggang politikā€ di mana setiap kstaria politik yang masuk sudah memiliki kualifikasi petarung yang kompeten.

Partai Politik ā€œKebobolanā€

Partai politik seharusnya menjadi kawah candradimuka untuk melahirkan ksatria-ksatria politik yang kompeten dan berintegritas. Mereka muncul sebagai pembela-pembela rakyat kecil dengan kekuatan dan kewenangannya. Namun, kaderisasi ini kemudian macet, sehingga muncul kader-kader dadakan yang belum matang secara kapasitas politik. Alih-alih melakukan kaderisasi, fenomena yang terjadi seperti ā€œjual tiketā€ untuk memasuki ā€œkendaraan politikā€ (Dian Aulia, 2016) karena terdesak kebutuhan pembiayaan.

Dari sinilah semua masalah itu dimulai, proses filterisasi yang macet kemudian menghasilkan politikus instan, bukan politikus yang lahir melalui proses kaderisasi yang ketat dan berjenjang. Akibatnya yang muncul bukanlah ā€œksatria politikā€, melainkan demagog (Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, 2019). Alhasil, menurut laporan KPK (2020), sepanjang 2004 sampai 2020 tercatat ada 274 anggota DPR/DPRD yang menjadi tersangka korupsi. Lebih mencengangkan lagi, menurut Wakil Ketua KPT, Nurul Gufron (2021) ada 429 kepala daerah hasil Pilihan Kepala Daerah yang terjerat korupsi.

Partai politik haruslah mengakui telah terjadi ā€œkebobolanā€, biaya politik yang mahal dan filterisasi tanpa kaderisasi adalah penyebab utama korupsi banyak terjadi. Rakyat jelas sudah gerah dengan berbagai persoalan korupsi ini, bahkan kasus dugaan korupsi Bupati Meranti yang sampai pada mengagunkan tanah dan kantor Bupati Meranti menjadi sorotan serius dari rakyat. Di sisi lain, tidak ada pertanggungjawaban serius dari partai politik terhadap kadernya yang terbukti melakukan korupsi. Sanksi hanya ditujukan pada pelaku, bukan naungan partai politiknya. Sistem hukum Indonesia yang mengacu pada pertanggungjawaban individual menjadi dasarnya hal ini.

Sehingga adanya korupsi oleh kader politik yang paling dirugikan adalah rakyat, tidak ada sanksi legal terhadap partai politik. Hal ini kemudian tidak mendorong adanya keseriusan dari partai politik untuk menghasilkan kader-kader yang primus inter pares, produk yang dihasilkan partai politik adalah ā€œksatria politikā€ terbaik dari yang terbaik, bukan terkaya atau terkenal semata.

Revisi Regulasi

Pasal 29 ayat (1) huruf b dan c UU No. 2/2011 hanya mengatur hak rekrutmen terhadap bakal calon anggota DPR/DPRD dan bakal calon Kepala Daaerah, tanpa ada dasar kewajiban standar nasional terhadap bakal calon ini. Ketentuan ini membuka peluang partai politik hanya sebagai ā€œkendaraan politikā€ an sich tanpa ada kewajiban untuk melaksanakan kaderisasi secara maksimal. Untuk mampu mendorong kaderisasi secara maksimal, terhadap ketentuan ini perlu dilakukan beberapa perubahan.

Di antaranya, a) dimasukkan standarisasi terhadap calon bakal calon anggota DPR/DPRD dan kepala daerah dengan memperhatikan keinginan masyarakat, kompetensi, dan track record;

Lalu b) regulasi perlu memperhatikan juga minimal keikutsertaan sebagai kader di Partai Politik sehingga terjadi proses demokratisasi bukan sebatas elektabilitas maupun modalitas;

Dan c) adanya filterasisasi secara terbuka berbasis pada uji kelayakan dan kepatutan dengan hasil laporannya yang dibuka secara publik.

Negara dengan otoritasnya seharusnya memiliki peluang untuk menghalau munculnya kualitas politikus yang buruk dan korup. Jangan sampai hukum kemudian bersifat kriminogen (Sajtipto R, 2007) yakni membuka peluang untuk tindakan-tindakan korup itu sendiri. Standarisasi terhadap bakal calon anggota DPR/DPRD maupun kepala daerah harus diubah dari kebijakan politik menjadi kebijakan rasional. Jangan sampai muncul ā€œmaling-malingā€ yang masuk ke dalam penyelenggaraan negara karena mereka mampu membeli ā€œtiketā€ untuk memasuki ā€œkendaraan politikā€.

Sementara kader-kader kompeten yang mempercayai proses demokratisasi partai politik harus gigit jari karena ketidakmampuannya membeli tiket. Perlu diingat, proses politik yang baik dan jujur adalah syarat dalam mewujukan good and clean governance. Revisi lainnya adalah berkaitan dengan pemberian sanksi terhadap partai politik jika ada kadernya yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Perlu ada revisi terhadap Pasal 239 ayat (2) huruf c jo Pasal 242 ayat (1) UU No 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Masih terdapat hak dari partai politik untuk melakukan penggantian antarwaktu (recall) seharusnya dihapus. Artinya, jika partai politik tidak diberikan hak untuk melakukan recall terhadap kadernya yang korup, maka akan menjadi preseden untuk lebih berhati-hati dalam proses filterisasi bakal calonnya.

Poin-poin di atas tidak lain adalah upaya untuk menempatkan posisi kedaulatan rakyat secara hakiki dalam sebuah sistem. Jika sistem sengaja dibangun dengan celah, maka sebenarnya bukan lagi disebut kebobolan, melainkan sudah masuk sebagai kesengajaan. Rakyat kemudian selalu menjadi korban karena selalu kemalingan perilaku korup. Jika kondisi ini terbiarkan, kektidakpercayaan rakyat akan semakin tinggi dan eskalasi semakin besar yang dapat memicu kemarahan. Jangan sampai rakyat marah.

Sumber https://www.suaramerdeka.com/opini/048553879/pemilu-partai-kebobolan-rakyat-kemalingan

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-08 09:33:292024-10-08 09:34:40Pemilu: Partai Kebobolan, Rakyat Kemalingan
Page 7 of 33«‹56789›»

TERKINI

  • BIMAWA UAD Latih Mahasiswa Tingkatkan Kepemimpinan dan Manajemen Organisasi Melalui LKMM-TD 202528/08/2025
  • Cassmelcake: Dari Singkong Tradisional Menuju Inovasi UMKM Warga Balong28/08/2025
  • Mahasiswa KKN UAD Inisiasi Program Biopori dan Jugangan untuk Memperbaiki Kualitas Tanah28/08/2025
  • Menjaga Ekosistem Mangrove untuk Kelestarian Lingkungan Pesisir28/08/2025
  • Mengolah Sampah Plastik Menjadi Paving Block27/08/2025

PRESTASI

  • Mahasiswa UAD Raih Juara Harapan III Kompetisi Artikel Ilmiah Tingkat Nasional 202528/08/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Juara Harapan I di National Economic Business Competition 202527/08/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Penghargaan Karya Jurnalistik Terbaik Pers Mahasiswa 2025 dari AJI Indonesia25/08/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Juara II Lomba Pengabdian Masyarakat Tingkat Nasional pada ASLAMA PTMA 202519/08/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Juara II di Ajang AILEC 202519/08/2025

FEATURE

  • Cerita Dwi Nur Fadhliyah, Dari Iseng Hingga Raih Prestasi di BICF 202527/08/2025
  • Nikmat Tak Bisa Terhitung, Syukur Tak Boleh Terputus26/08/2025
  • Psikologi Profetik sebagai Paradigma Integratif Ilmu dan Iman21/08/2025
  • Prof. Maryudi Dorong Inovasi Polimer untuk Lingkungan yang Berkelanjutan20/08/2025
  • Implikasi Putusan MK 135/PUU-XXII/2024: Momentum Baru Demokrasi Lokal Indonesia20/08/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top