Deal with Anxiety: Rasa Cemas di Lingkungan Pendidikan
Times Indonesia (19 Januari 2023)
Arif Budi Prasetya
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pandemi seolah sudah berlalu. Aktivitas masyarakat sudah mulai berjalan seperti biasa seperti di lingkungan Pendidikan. Hanya bedanya, saat ini mayoritas menggunakan masker sebagai bentuk preventif dalam penularan virus Covid-19.
Dampak dari pandemi Covid-19 beragam. Dalam bidang pendidikan misalnya, ketakutan pemerintah terkait learning loss begitu terasa. Hal ini terbukti dengan perhatian pemerintah dalam acara G20 yang menegaskan bahwa pentingnya pembelajaran muka agar terhindar dari learning loss.
Walaupun demikian, dampak pandemi juga memengaruhi kondisi kesehatan mental peserta didik. WHO (World Health Organization) sebagai organisasi kesehatan dunia menegaskan bahwa pandemi memicu peningkatan prevalensi kecemasan sebesar 25% di seluruh dunia.
Kondisi kecemasan memerlukan perhatian lebih mengingat Indonesia pernah menorehkan prestasi menjadi urutan ke-6 dari keseluruhan tingkat dunia dalam hal gangguan kesehatan mental dan kejiwaan pada tahun 2022 lalu.
Walaupun kecemasan merupakan salah satu dari berbagai masalah kesehatan mental, kecemasan dapat dikatakan umum terjadi. Pada era yang serba digital ini, kecemasan sosial dapat terjadi dan ditengarai melalui fenomena remaja yang ketergantungan dengan sosial media, khawatir kehilangan followers, viewers, likers, subscribers, sampai berlomba-lomba agar terus FYP dengan mengenyampingkan konten yang dibagikan di sosial media.
Berbeda dengan kecemasan sosial, ada jenis kecemasan yang umum terjadi di lingkungan pendidikan, seperti kecemasan terhadap ujian, atau biasa disebut test anxiety. Hal ini mirip dengan kecemasan matematika. Perbedaan dari 2 jenis kecemasan tersebut yaitu dari sumber pemicu.
Test anxiety timbul karena khawatir akan hasil dari sebuah ujian yang akan dilaksanakan, hal ini dapat dilihat dari perasaan tidak tenang, tangan berkeringat, jantung berdebar lebih kencang, dan beberapa orang merasakan mual. Sedangkan kecemasan matematika didefinisikan sebagai reaksi negatif terhadap matematika dan situasi matematika.
Gejala yang timbul mirip dan dapat diatasi dengan cara-cara yang praktis, seperti mengatur pernapasan, dengan menghirup napas lebih dalam, menahan, lalu mengembuskan secara perlahan dan mengulangi hal tersebut beberapa kali, hal ini dapat meringankan rasa cemas.
Cara lain seperti relaksasi otot. Terkadang tangan bergetar apabila merasa cemas, dengan cara mengepalkan telapak tangan erat dengan kencang selama beberapa detik dan mengendorkan kembali, hal ini terbukti meringankan rasa cemas. Ada beberapa cara ekstrem yang pernah diujicobakan seperti berteriak di dalam kamar mandi, tetapi cara ini menimbulkan perdebatan di samping membantu individu juga mengganggu lingkungan sekitar apabila suaranya terdengar sangat keras.
Cara yang lebih halus yaitu dengan melakukan positive self-talk exercise atau memberikan afirmasi positif pada diri sendiri seperti “aku bisa lalui ini karena aku sudah mempersiapkan dengan baik” atau “hasil yang akan aku dapatkan adalah hasil terbaik yang Tuhan berikan”. Uraian cara tersebut dinilai dapat menurunkan rasa cemas.
Pada dasarnya seperti yang sudah ditegaskan sebelumnya, rasa cemas adalah hal umum terjadi. Hal ini sangat mengganggu ketika rasa cemas sudah berlebihan. Agar dapat terbebas dari rasa cemas, perlu upaya untuk berdamai dengan rasa itu, berbagai cara dapat dicoba dan disesuaikan dengan kecemasan yang dirasakan.
Sehat itu tidak hanya untuk fisik tetapi juga mental. Menjaga kesehatan mental dapat dimulai dari diri sendiri termasuk di lingkungan pendidikan. Peduli dengan kondisi mental diri sendiri. Lalu berkembang dan peduli dengan orang lain. Baik penyintas maupun non-penyintas. Salam sehat jiwa. (*)
*) Arif Budi Prasetya, M.Pd adalah dosen Prodi Bimbingan dan Konseling Universitas Ahmad Dahlan (UAD).