Mubalig Hijrah, Kaderisasi dan Dakwah Global
Suara Muhamamdiyah (05 April 2024)
Elis Zuliati Anis
“Selama 20 hari program Mubalig Hijrah ini, pengalaman saya tidak terbatas pada pengabdian masyarakat saja, lebih dari itu, saya mendapatkan beragam pembelajaran life skill yang tidak saya dapatkan di pondok.”
Demikian Rizal (16), siswa Madrasah Mualimin Muhammadiyah, mengekspresikan kesannya terhadap kegiatan Mubalig Hijrah (MH) di desa Sumedang dan Kardangan, Purwobinangun, Pakem, Yogyakarta.
Rizal, bersama sekitar 500 santri kelas satu dan dua Aliyah di Madrasah Muallimin Muhammadiyah, berkesempatan mengikuti program MH tahun 2024 (1445H). Mereka
dikirim ke berbagai masjid dan komunitas Muslim di berbagai provinsi di Indonesia, bahkan ke luar negeri: Malaysia, Thailand, Taiwan, Hongkong, Australia, dan Jepang. Mubalig Hijrah tidak hanya bertujuan memperluas dakwah Islam, baik di Indonesia dan di luar negeri, tetapi juga merupakan perjalanan memperkuat kaderisasi Muhammadiyah dan dedikasi pengabdian masyarakat.
Keseharian Santri Mubalig Hijrah
“Pengalaman yang sungguh sangat berbeda ketika kita berdakwah dan terjun langsung di tengah masyarakat dengan beragam usia dan latar belakang.” tutur Rizal. Rutinitas di Muallimin yang diatur dengan aturan yang ketat—dari bangun tidur hingga istirahat di malam hari—berubah saat mengikuti program MH. Diperlukan kemampuan adaptasi yang cepat, pengelolaan waktu dan komunikasi yang efektif, serta kemandirian. Lebih dari itu, menjunjung tinggi akhlak dan menunjukkan sopan santun merupakan kunci utama dalam berinteraksi dan diterima dalam lingkungan masyarakat yang beragam.
Para santri tinggal di rumah Takmir masjid atau penduduk setempat. Mereka ditugaskan imam sholat, penceramah dan terkadang muadzin. Masyarakat memiliki penilaian tinggi terhadap anak pondok, untuk tidak hanya mandiri, tapi juga unggul dalam berbagai aspek, utamanya dalam bidang keagamaan.
Mengajar baca quran merupakan kegiatan utama para santri MH, sekaligus menjadi momen berkesan. “Harus sabar sih. Anak-anak itu sangat aktif, sulit diatur”, Rizal menuturkan pengalamannya menghadapi anak-anak TPA di Masjid al-Hidayah. Menariknya, beberapa anak laki-laki tampak nyaman mengaji dipangkuan santri MH, kemudian berlarian dan bermain setelah usai mengaji.
Cerita menarik lainnya dituturkan oleh Angga, santri berusia 16 tahun dari Jawa ini menuturkan pengalamannya mengikuti MH di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, tanah kelahiran Buya Syafii Maarif yang jauh dari rumah serta berbeda budayanya. Namun, jarak dan perbedaan tersebut tidak menjadi hambatan bagi Angga untuk beradaptasi. Masyarakat sangat antusias menyambut santri MH. Mereka tidak hanya menyediakan buka puasa dan sahur, tetapi juga meminjamkan motor untuk memudahkan transportasi di area tersebut. Beruntungnya lagi, mereka di berikan uang saku oleh masyarakat dan di bawakan pula beras ketika mereka berpamitan pulang ke daerah masing-masing. Selain di Sumpur Kudus, ada 10 santri lainnya yang dikirim ke lima nagari (desa): Unggan, Silantai, Sumpur kudus, Sumpur Kudus Selatan, dan Menganti.
Berbeda dengan pengalamannya di Jawa, tempat dia berasal, meskipun beberapa anak semakin akrab dengannya sebagai pengajar TPA, tak jarang mereka menunjukkan sikap yang kurang patuh. Namun, di Sumpur Kudus, keakraban yang tumbuh membuat anak-anak tidak hanya lebih patuh, tapi juga lebih semangat dalam belajar mengaji. Al-hasil, ketika Angga berpamitan untuk Kembali ke Jawa, anak-anak tampak sedih dan berat melepasnya. Bahkan beberapa diantara mereka menangis.
Misi Global Mubalig Hijrah Luar Negeri
Dengan syarat kemampuan berbahasa Inggris yang baik, pengetahuan Islam yang mendalam, juga harus hafal 30 juz, santri MH Muallimin tidak hanya membawa pesan Islam ke kancah global, tapi juga bertindak sebagai duta muda Muhammadiyah, berdialog langsung dengan masyarakat internasional yang kaya akan keragaman budaya.
Di Taiwan, Tangguh (16 Tahun), santri kelas satu Aliyah menuturkan pengalaman pertamanya berdakwah di negara yang minoritasnya Islam. “Berpuasa di Taiwan sangat berbeda,” ujarnya. Mencari makanan yang halal lumayan susah. Saat sahur, hanya ada satu tempat makan milik orang Indonesia yang buka.
Selama di Taiwan, Tangguh tinggal di apartemen kampus (Asia Univertsity), bersama mahasiswa Indonesia. Meski jumlah mahasiswa Muslim lumayan banyak, yakni sekitar 80. Namun, hanya 10 sampai 12 yang sering berjamaah di Musholla. Program ramadhan pun menyesuaikan dengan kegiatan mahasiswa S1 dan S2 disana. Meski begitu, Tangguh tetap bersemangat membantu persiapan buka puasa, menyampaikan kultum, dan kadangkala menjadi imam sholat.
Di Jepang, di tengah pergantian musim dari musim dingin ke musim semi, Aflah Naufal Nabiih (16 tahun) dan dua temannya (Muhammad Faiz Fahrezi dan Muhammad Naufal Azzam) tiba di Tokyo pada hari ke-5 Ramadhan dalam program MH internasional. Perjalanan keluar negeri pertama Aflah ini telah diimpikan sejak lama. Aflah kagum pada kemajuan pendidikan dan teknologi di Jepang. Suatu hari, dia ingin kuliah di Jepang, di jurusan kedokteran.
Ketiga santri ditempatkan di tiga kota yang berbeda: Adachiku (Tokyo), Hiroshima dan Kitakyushu (Fukuoka). Aflah menuturkan selama di Jepang dia tinggal di Masjid KICC (Kitakyushu Islamic Cultural Center). Tidak seperti bangunan masjid di Indonesia dengan kubah nan megah, KICC adalah bangunan rumah biasa yang di fungsikan sebagai masjid, terletak di pinggiran kota Fukuoka.
Ditengah kesibukan mahasiswa dan pekerja di Fukuoka, kehadiran pendakwah seperti Aflah sangat dinanti. Setiap hari, selama Ramadhan, Aflah menjadi imam sholat dan imam tarawih. Bahkan Aflah juga diminta menjadi imam sholat hari raya Idul Fitri nanti dan sekaligus menyampaikan khutbah Idul Fitri. Bagi Aflah, interaksi dengan Muslim dari berbagai negara, seperti Pakistan, Syria, Banglades, Azerbaijan, menjadi pengalaman yang berkesan di hati.
“Tidak seperti di Indonesia, disini azan tidak terdengar lantang, tidak pakai mic,” Aflah menuturkan. Sebagian masyarakat akan merasa terganggu jika azan menggunakan mic. Sama hal nya di Taiwan, Islam adalah agama minoritas di Jepang. Kepercayaan masyarakat Jepang sangat beragam, diantara nya pemeluk Shinto dan Budha, dan penganut kepercayaan Tokugawa. Akan tetapi masyarakat Jepang juga dikenal banyak yang tidak memiliki afiliasi agama.
Aflah berkesempatan berinteraksi langsung dengan masyarakat Jepang dalam acara “Grand Iftar” yang disenggarakan oleh Yayasan Ainul Yaqin. Ada sekitar 30 non-Muslim Jepang yang hadir. Sebelum buka puasa bersama, ada pemaparan tentang Islam. Mereka antusias bertanya. Salah satunya meminta Aflah membacakan sebagian dari ayat al-Quran. Aflah, hafiz 30 juzz itu, melantunkan QS. al Isro’ ayat 78-83. “Indah sekali, seperti karya puisi”, kata salah satu dari mereka. Tidak hanya itu, tiga orang ingin ikut sholat maghrib, sebagian lagi mengamati aktivitas sholat maghrib hari itu di KICC.
Kaderisasi Mubalig Hijrah
Kaderisasi adalah proses estafet penting dalam sebuah perjuangan dakwah. Pada program MH ini, santri diharapkan mampu mengimplementasikan ke masyarakat ilmu-ilmu agama, setelah kurang lebih tiga tahun mereka belajar di Mualimin.
Selain didampingi oleh ustad dari Muallimin, santri juga merasakan langsung kaderisasi yang di lakukan oleh Takmir masjid setempat, pengurus Muhammadiyah dan organisasi lain yang bekerjasama dengan Muallimin.
Pak Totok, Takmir Masjid al-Hidayah adalah salah satu sosok yang sangat dekat dengan santri MH. Beliau mendukung program MH dan memberikan kesempatan santri MH untuk mengaktualisasikan kemampuan keagamaan dan kepemimpinan para santri. Pak Totok mengajarkan tata krama terhadap orang tua, keragaman cara hidup masyarakat, keragaman beragama masyarakat, pengetahuan dasar bertani, hingga kemampuan beradaptasi dengan lingkungan. Tidak hanya itu, Pak Totok selalu menyediakan waktunya untuk berbincang tentang apa saja, memastikan santri merasa “feel at home”.
Di luar negeri, selain mendapatkan pendampingan di awal oleh Direktur Muallimin, santri beradaptasi dan menyesuaikan kegiatan disana. Di usia 16 tahun, mereka telah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga tentang bagaimana berdakwah di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Mereka lebih memahami budaya dan perbedaan, tidak hanya dalam Islam, tapi juga beragam penganut agama, bahkan mereka yang menyatakan tidak beragama.
Ditengah kondisi minimnya kepedulian generasi Z terhadap masyarakat. Program MH menunjukkan bahwa tidak semua gen-Z apatis terhadap lingkungan nya. Tidak hanya berkonstribusi pada masyarakat Indonesia, Gen-Z Muallimin ini bahkan telah membawa pesan pesan Islam ke kancah internasional.
Bintang bintang di langit Sumpur Kudus, Bunga-bunga Sakura bermekaran di Jepang dan dinginnya udara Taiwan, menjadi saksi kesungguhan dai muda Muallimin dalam misi Mubalig Hijrah 1445M.
Sumber : https://suaramuhammadiyah.id/read/mubalig-hijrah-kaderisasi-dan-dakwah-global