Pancasila dan Imajinasi Ke-Indonesia-an
Suara Merdeka (2 Juni 2023)
Ilham Yuli Isdiyanto
Problem utama bangsa Indonesia adalah ketidakmampuan mengimajinasikan “bagaimana Indonesia berPancasila”. Pendidikan lebih sibuk membahas apa itu Pancasila daripada sedikit demi sedikit mempraktikkannya.Sudah cukup banyak tafsir terhadap Pancasila, tetapi masih minim aktualisasi terhadapnya. Pada tahun 2014, Pusat Kajian MPR RI menerbitkan judul buku yang berani yakni “Radikalisasi Pancasila” yang berangkat dari gagasan Kuntowijoyo yang ingin “merevolusi” gagasan Pancasila yang cenderung pasif menjadi lebih aktif, tidak hanya persuasif namun aktualitatif.
Meradikalisasi Pancasila seharusnya berangkat dari pertanyaan “radikal”, seperti pernah ada seorang mahasiswa mempertanyakan kepada saya bagaimana tanggapan saya tentang temannya yang tidak percaya dan mempertanyakan Pancasila?
maka saya jawab “menurut saya itu langkah awal yang bagus, bagaimana kita memahami sesuatu jika kita tidak mempertanyakannya?” Nalar kritis dimulai dari pertanyaan, bukan anggukan. Sudah saatnya mempertanyakan Pancasila dari segala macam multidemensi, dari kreativitas anak-anak, obrolan ibu-ibu, kegiatan “mabar” kids zaman now, sampai pada ekosistem perguruan tinggi.
Mempertanyakan Pancasila adalah esensi dan partisipasi masyarakat membangun bangsa, titik berangkat refleksi nasional. Pernyataan satire Sudjiwo Tedjo di forum Indonesia Lawyer Club TvOne di negeri Pancasila tidak mungkin ada orang miskin adalah refleksi atas upaya radikalisasi Pancasila. Kemudian, imajinasi tentang negara Pancasila harus berada pada level tertinggi, masyarakat makmur sejahtera. Nyatanya, penduduk miskin Indonesia sebesar 26,36 juta orang (BPS September 2022) adalah kontradiktif dengan ide Pancasila.
Bukan dalam pengertian konseptual namun memang kemiskinan konsep terhadapnya dalam berbagai macam bentuk kebijakan.Membuat kebijakan adalah proses imaji, yakni bagaimana Pemerintah harus mampu membayangkan sedetail mungkin setiap rencana kebijakan yang akan dilakukannya baik secara prosedur, bikorasi, produk hukum hingga implementasi dan dampaknya. Semua tidak lepas dari imaji, bahkan negara itu sendiri menurut Benedict Anderson (1983) tidak lebih dari komunitas imajiner (magined communities). Untuk mampu mengaktualisasikan Pancasila adalah mendorong proses imajinasi terhadap masyarakat Pancasila mulai dari sistem pendidikan.
Kemudian, mendorong pembentukan daya nalar yang kritis dan kreatif untuk anak bangsa jauh lebih penting daripada sekedar menyuruh mendengarkan. Soekarno dan Moh. Hatta pernah berbeda pandangan, untuk menyiapkan kemerdekaan apakah mengutamakan aksi masa atau mengutamakan kesadaran (pendidikan). Soekarno kemudian mencoba menyakinkan Moh. Hatta bahwa setelah merdeka, maka intelektualitas akan lebih mudah diwujudkan.
Para founding fathers memperjuangkan kemerdekaan berdasarkan imajinasi bahwa Indonesia nantinya akan menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja yakni negara yang makmur, adil dan sejahtera. Keyakinan akan hidup lebih baik dan menjadi negara besar adalah nyala api perjuangan untuk tidak pernah menyerah. Untuk menjamin perwujudan imajinasi ini, founding fathers kemudian menyematkannya dalam Preambule Undang Undang Dasar 1945 untuk pengingat bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia (staatidee) ada didalamnya. Imajinasi untuk mewujudkan negara gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja harus menjadi nyala dalam kegelapan berbagai problematika bangsa.
Pemaknaan terhadap Pancasila harus dibarengi dengan pengaktualisasian terhadap Pancasila. Pancasila harus hadir dalam berbagai bentuk pembicaraan, pidato, maupun orbolan ringan di coffe shop. Bukan sebagai peningkatan kesadaran namun sebagai pengingat bahwa Pancasila merupakan manifesto dan tuntutan rakyat terhadap negara untuk Indonesia lebih baik.
sumber https://www.suaramerdeka.com/opini/048993161/pancasila-dan-imajinasi-ke-indonesia-an