Pemilu: Partai Kebobolan, Rakyat Kemalingan
Suara Merdeka (23 Aptril 2023)
Ilham Yuli Isdiyanto
Pemilihan umum (pemilu) saat ini ibarat sebuah toko dalam pulau terpencil. Masyarakat hanya diberikan pilihan produk seadanya, tanpa ada perbandingan dengan toko lainnya, sehingga harus membeli bagaimanapun kualitasnya. Partai politik adalah produsen dari produk yang dijual ditoko tersebut. Jika tidak melewati quality control yang baik, maka pada akhirnya rakyatlah yang paling dirugikan.
Partai Politik dan “Ksatria Politik”
Dalam dunia pendidikan dan profesional terdapat standarisasi untuk mendorong perwujudan kompetensi pada bidang tertentu.
Karena itu, sangat disayangkan bila tidak ada standarisasi secara nasional dalam proses kaderisasi di tubuh partai politik untuk menghasilkan kader-kader partai yang kompeten, berintegritas dan bermoral.
Dilihat dampak sosial, kader partai politik yang nantinya menjadi bagian penyelenggara negara seharusnya lebih ketat daripada standar profesi lainnya yang biasanya bergerak di wilayah swasta atau privat. Melalui standarisasi ini, partai politik jangan hanya sebatas pada filterisasi calon politisi, namun secara moral menyelenggarakan kaderisasi dengan standar kompetensi yang jelas, terukur, dan teruji. Hal ini dimaksudkan agar partai politik tidak “kebobolan” karena mendukung calon-calon yang tidak kompeten dan tidak bermoral, akibatnya muncul “pejabat-pejabat politik” yang kurang kompeten melaksanakan tugas.
Bahkan lebih parahnya adalah berperilaku korup. Fenomena seperti ini kemudian ditangkap oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2019) yang menyatakan demokrasi kemudian terbunuh bukan oleh militer, melainkan pemimpin-pemimpin yang terpilih secara legal. Seperti fenomena Hitler, terpilih secara demokratis kemudian membunuh demokrasi dengan fasis. Pejabat yang korup maupun despot tidak ada bedanya dalam hal sama-sama merugikan rakyat. Asumsi ini harus dilihat sebagai bagian dari fenomena untuk membunuh demokrasi.Koruptor adalah politisi dengan mental “pedagang”, bukan mental “ksatria”. Sehingga memunculkan “pasar politik” bukan “gelanggang politik”.
Menurut Jean Beachler (2001), penggunaan istilah “pasar politik” merujuk pada pertukaran tempat tempat tranksaksi. Hanya saja pasar ini tidak fair karena produk apapun harus dibeli oleh konstituen walaupun kualitas produk tersebut buruk. Jika produk yang ditawarkan tidak ada yang memenuhi kualifikasi, maka harus dipilih dari salah satunya, memilih yang terbaik dari terburuk. Inilah realitas pasar politik hari ini. Berbeda dengan “gelanggang politik” di mana setiap kstaria politik yang masuk sudah memiliki kualifikasi petarung yang kompeten.
Partai Politik “Kebobolan”
Partai politik seharusnya menjadi kawah candradimuka untuk melahirkan ksatria-ksatria politik yang kompeten dan berintegritas. Mereka muncul sebagai pembela-pembela rakyat kecil dengan kekuatan dan kewenangannya. Namun, kaderisasi ini kemudian macet, sehingga muncul kader-kader dadakan yang belum matang secara kapasitas politik. Alih-alih melakukan kaderisasi, fenomena yang terjadi seperti “jual tiket” untuk memasuki “kendaraan politik” (Dian Aulia, 2016) karena terdesak kebutuhan pembiayaan.
Dari sinilah semua masalah itu dimulai, proses filterisasi yang macet kemudian menghasilkan politikus instan, bukan politikus yang lahir melalui proses kaderisasi yang ketat dan berjenjang. Akibatnya yang muncul bukanlah “ksatria politik”, melainkan demagog (Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, 2019). Alhasil, menurut laporan KPK (2020), sepanjang 2004 sampai 2020 tercatat ada 274 anggota DPR/DPRD yang menjadi tersangka korupsi. Lebih mencengangkan lagi, menurut Wakil Ketua KPT, Nurul Gufron (2021) ada 429 kepala daerah hasil Pilihan Kepala Daerah yang terjerat korupsi.
Partai politik haruslah mengakui telah terjadi “kebobolan”, biaya politik yang mahal dan filterisasi tanpa kaderisasi adalah penyebab utama korupsi banyak terjadi. Rakyat jelas sudah gerah dengan berbagai persoalan korupsi ini, bahkan kasus dugaan korupsi Bupati Meranti yang sampai pada mengagunkan tanah dan kantor Bupati Meranti menjadi sorotan serius dari rakyat. Di sisi lain, tidak ada pertanggungjawaban serius dari partai politik terhadap kadernya yang terbukti melakukan korupsi. Sanksi hanya ditujukan pada pelaku, bukan naungan partai politiknya. Sistem hukum Indonesia yang mengacu pada pertanggungjawaban individual menjadi dasarnya hal ini.
Sehingga adanya korupsi oleh kader politik yang paling dirugikan adalah rakyat, tidak ada sanksi legal terhadap partai politik. Hal ini kemudian tidak mendorong adanya keseriusan dari partai politik untuk menghasilkan kader-kader yang primus inter pares, produk yang dihasilkan partai politik adalah “ksatria politik” terbaik dari yang terbaik, bukan terkaya atau terkenal semata.
Revisi Regulasi
Pasal 29 ayat (1) huruf b dan c UU No. 2/2011 hanya mengatur hak rekrutmen terhadap bakal calon anggota DPR/DPRD dan bakal calon Kepala Daaerah, tanpa ada dasar kewajiban standar nasional terhadap bakal calon ini. Ketentuan ini membuka peluang partai politik hanya sebagai “kendaraan politik” an sich tanpa ada kewajiban untuk melaksanakan kaderisasi secara maksimal. Untuk mampu mendorong kaderisasi secara maksimal, terhadap ketentuan ini perlu dilakukan beberapa perubahan.
Di antaranya, a) dimasukkan standarisasi terhadap calon bakal calon anggota DPR/DPRD dan kepala daerah dengan memperhatikan keinginan masyarakat, kompetensi, dan track record;
Lalu b) regulasi perlu memperhatikan juga minimal keikutsertaan sebagai kader di Partai Politik sehingga terjadi proses demokratisasi bukan sebatas elektabilitas maupun modalitas;
Dan c) adanya filterasisasi secara terbuka berbasis pada uji kelayakan dan kepatutan dengan hasil laporannya yang dibuka secara publik.
Negara dengan otoritasnya seharusnya memiliki peluang untuk menghalau munculnya kualitas politikus yang buruk dan korup. Jangan sampai hukum kemudian bersifat kriminogen (Sajtipto R, 2007) yakni membuka peluang untuk tindakan-tindakan korup itu sendiri. Standarisasi terhadap bakal calon anggota DPR/DPRD maupun kepala daerah harus diubah dari kebijakan politik menjadi kebijakan rasional. Jangan sampai muncul “maling-maling” yang masuk ke dalam penyelenggaraan negara karena mereka mampu membeli “tiket” untuk memasuki “kendaraan politik”.
Sementara kader-kader kompeten yang mempercayai proses demokratisasi partai politik harus gigit jari karena ketidakmampuannya membeli tiket. Perlu diingat, proses politik yang baik dan jujur adalah syarat dalam mewujukan good and clean governance. Revisi lainnya adalah berkaitan dengan pemberian sanksi terhadap partai politik jika ada kadernya yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Perlu ada revisi terhadap Pasal 239 ayat (2) huruf c jo Pasal 242 ayat (1) UU No 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Masih terdapat hak dari partai politik untuk melakukan penggantian antarwaktu (recall) seharusnya dihapus. Artinya, jika partai politik tidak diberikan hak untuk melakukan recall terhadap kadernya yang korup, maka akan menjadi preseden untuk lebih berhati-hati dalam proses filterisasi bakal calonnya.
Poin-poin di atas tidak lain adalah upaya untuk menempatkan posisi kedaulatan rakyat secara hakiki dalam sebuah sistem. Jika sistem sengaja dibangun dengan celah, maka sebenarnya bukan lagi disebut kebobolan, melainkan sudah masuk sebagai kesengajaan. Rakyat kemudian selalu menjadi korban karena selalu kemalingan perilaku korup. Jika kondisi ini terbiarkan, kektidakpercayaan rakyat akan semakin tinggi dan eskalasi semakin besar yang dapat memicu kemarahan. Jangan sampai rakyat marah.
Sumber https://www.suaramerdeka.com/opini/048553879/pemilu-partai-kebobolan-rakyat-kemalingan