Pemimpin Bernilai Budaya, Bukan Pemimpin Banalitas
Harian Terbit (6 Juli 2023)
Sobirin Malian
Tahun 70-an budayawan Emha Ainun Najib pernah menulis esay menarik berjudul “Utang-Utang Kebudayaan.” Bagi saya, esay Emha itu sangat inspiratif dan masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Esay Emha itu, intinya menyatakan betapa pentingnya kesadaran manusia untuk selalu kreatif terutama melahirkan alternaif nilai. Dalam kaitan itu, kata Emha, manusia sebagai makhluk kebudayaan memiliki “utang-utang kebudayaan” yang harus dibayar demi membangun peradaban bermartabat.
Pembayaran “utang-utang kebudayaan” itu, lanjut Emha, adalah fardhu ain (harus dilakukan semua orang) melalui penciptaan karya yang bermakna dan bernilai – itulah makanya hukumnya wajib. Menunda berkarya apalagi tidak melakukannya berarti menumpuk utang kebudayaan atau malah abai dengan nilai-nilai peradaban.
Gagasan Emha itu, hingga kini tetap relevan dan tentu dapat diperluas dalam perspektif sosial, misalnya saja, terkait dengan (1) kewajiban para pemimpin untuk selalu memiliki gagasan dan karya yang visioner, dan (2) kewajiban para pemimpin dalam meregenerasi (kader) kepemimpinan, dan tentu (3) itulah bentuk legacy (warisan) yang dapat dipertanggungjawabkan di masa depan.
Konteks Etis-Ideologis
Tak ada yang mampu menahan laju waktu, tapi ingatlah waktu seringkali sangat berjasa melahirkan pemimpin, namun pemimpin tidak an-sich dilahirkan oleh zaman. Pemimpin juga ditentukan oleh kesanggupan dan kemampuan diri sendiri. Zaman dapat diartikan sebagai dinamika perubahan yang berbasis pada spirit (nilai) tertentu. Misalnya, politik dinasti Kennedy di Amerika. Terdapat tiga (legacy) peran signifikan dalam pemerintahan keluarga Kennedy, yaitu meningkatkan toleransi antarwarga Amerika; melakukan reformasi perlindungan kesehatan, dan meningkatkan peran Amerika di kancah internasional.
Selain itu, upaya yang dilakukan ‘trah’ Kennedy untuk mempertahankan keberlangsungan dinasti mereka adalah dengan mempertahankan ambisi, membentuk tim yang kuat, membangun image media, kampanye inovatif dan terorganisir serta memanfaatkan kepopuleran keluarga Kennedy. Kendati telah didesain sedemikian rupa tetap saja ‘trah’ Kennedy tidak mampu bertahan, isu “perubahan” mendorong rakyat Amerika memilih alternatif lain. Penggantian ‘trah’ Kennedy telah berlangsung berkali-kali, namun satu hal yang patut dicatat – dalam perspektif positif, bahwa hingga saat ini rakyat Amerika tetap menjadikan keluarga Kennedy pada poisisi penting dalam percaturan politik Amerika, karena dianggap memiliki legacy yang jelas bagi bangsa Amerika.
Demikian juga, nilai-nilai perjuangan di negara kita. Zaman pergerakan pada era kolonialisme telah mendorong lahirnya semangat patriotisme dan nasionalisme. Kemerdekaan dan terwujudnya negara kesatuan/kebangsaan pun menjadi cita-cita kolektif. Pilihan etis-ideologis menjadi patriot dan nasionalis sejati telah dijalankan dengan sangat baik oleh para founding fathers negeri ini seperti HOS Tjokroaminoto, Soekarno, Sjahrir, M.Natsir, Moh. Hatta, M. Yamin, Soepomo dan lain-lain. Terkait dengan kesanggupan dan kemampuan diri sendiri untuk lahir menjadi pemimpin mengacu kepada kualitas personal yang tercermin pada integritas, akhlak, komitmen, kemampuan dan dedikasi yang terproyeksi secara ideologis dan sosial. Kualitas personal itu berhadapan vis a vis dengan realitas obyektif dan menjelma menjadi karakter.
Karakter kuat inilah yang menjadikan para pendiri republik ini tidak lembek, tidak getas dan mudah menyerah ditekan kekuatan eksternal terutama kaum kolonial maupun dihimpit problem personal seperti kemiskinan dan kesulitan hidup. Ideologi dan idealisme mengalahkan pragmatisme. Jalan perjuangan menjadi pendirian, apapun resikonya. Sebagai pemimpin dan pelopor, mereka menyadari perjuangan tidak boleh putus. Oleh karena itu pengkaderan (regenerasi) mutlak diperlukan. Para pendiri bangsa ini pun membuka peluang bagi anak-anak muda saat itu untuk berkembang dan menemukan eksistensinya. Ini nampak pada dedikasi Tjokroaminoto dalam mengkader Soekarno, Semaun, M.Natsir dan lainnya untuk menjadi pemimpin bangsa (Lihat, Bonnie Triyana, 3/6/2021). “Utang Kebudayaan” yang dimaksud Emha dalam kontesk ini telah dibayar oleh seorang Tjokroaminoto.
Di masa rezim Orde Baru, tradisi melahirkan para pemimpin masih berlanjut, tetapi dengan aksentuasi teknokrasi. Dengan dukungan para teknokrat, Soeharto membangun rezim yang lebih berorientasi pada pembangunan ekonomi ala W.W. Rostow dengan cita-cita kesejahteraan kolektif dengan plus-minusnya. Di luar lingkaran kekuasaan Orba, LSM, komunitas sosial, kampus, politik dan budaya juga melahirkan para pemimpin non formal, lembaga sosial agama menjadi bukti sekaligus fenomena bahwa pengkaderan telah berjalan. Mereka ini kemudian bertebaran memasuki ranah publik dan mengambil peran masing-masing sesuai dengan minat serta kemampuannya. Ada yang menjadi politisi, ulama, lembaga-lembaga pemberdayaan publik, LSM, hukum, seni budaya dan lain-lain.
Banalitas
Di era reformasi, makin banyak muncul pemimpin, tetapi tidak semuanya memiliki rekam jejak yang jelas. Regenerasi berlangsung tapi terkesan tidak natural, dinamis (dalam arti kurang sehat) dan terukur. Banyak pemimpin dadakan, karbitan tidak jarang pemimpin muda nebeng pada tokoh besar dan akhirnya bisa menduduki pos-pos dalam pemerintahan, BUMN atau dalam Parpol. Hubungan patron-klien tampak dominan.
Tampaknya konsep bahwa pemimpin selalu lahir dari gerakan (peristiwa) sosial politik-budaya “sudah tidak berlaku” lagi dan digantikan anggapan bahwa siapa pun bisa jadi pemimpin asal memiliki akses pada kekuasaan bahkan di back-up orang penting pemerintahan. Akhirnya, banyak pemimpin yang menjalankan peran sosialnya karena “dicangkok” oleh patron-klien politik dan ekonomi. Bertebaranlah pemimpin-pemimpin instans, tidak matang, bahkan tidak otentik. Kritik yang banyak dilakukan terhadap politik dinasti seakan menguap. Celakanya yang “mencangkok” pemimpin instan ini adalah tokoh pemerintahan mulai dari Presiden hingga tingkat kelurahan.
Apa yang dilakukan para patron politik dan ekonomi ketika mereka mengorbitkan pemimpin-pemimpin baru model demikian, maka tidak tergolong sebagai upaya membayar “utang-utang kebudayaan”, tetapi justru merusak tatanan kebudayaan dan demokrasi yang sehat. Tentu hal demikian tidak bisa ditolerir karena itulah pangkal KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Meminjam istilah Hannah Arent, model demikian tak lebih adalah banalitas, bentuk kejahatan dalam politik. Bentuk kejahatan model ini tidaklah harus orang-orang jahat berhati kejam penuh dendam. Orang-orang biasa pun bisa melakukan kejahatan besar ketika dia terakses pada kekuasaan karena ia tidak berfikir kritis di dalam melihat keadaan yang lebih luas. Tentu pemimpin model demikian jika salah langkah bisa berakibat fatal. Hal ini disebabkan banyak faktor, misalnya pragmatisme atau primodialisme dan interes kekuasaan yang kuat dan dominan. Idealisme, dedikasi dan sikap amanah pun terpinggirkan.
Politik sejatinya adalah seni mengelola kekuasaan. Kata seni pada frase itu menegaskan bahwa politik merupakan bagian dari kebudayaan. Dalam kebudayaan sangat menjaga relasinya dengan nilai, etika, moral, norma, ide, perilaku dan (nilai) karya. Para pemimpin instan dapat dikatakan melawan kodrat kebudayaan, dan itu dapat dibuktikan di era digital ini. Sebagai tambahan kata seni (berpolitik, berkuasa) mengacu pada etika, logika, dan estetika. Etika mengacu pada keluruhan akhlak (moral). Logika mengacu pada kebenaran, dan estetika mengacu pada fatsoen, keelokan, kepantasan dan kewajaran. Ibarat orang berbisnis, pelaku bisnis bukan saja berarti bisnis yang membawa untung banyak, melainkan juga bisnis yang berkualitas etis (K.Bertens; 2000,6). Semua itu bermuara pada martabat (salah satu sifat kenegawaranan).
Para pemimpin yang “dipaksakan” hadir padahal dia bersifat instan, cangkokan dan mentah outputnya bukanlah nilai-nilai kebudayaan yang menggerakkan kreativitas bangsa, melainkan banalisme; dia menjadi blunder kebudayaan, kontra produktif dengan substansi demokrasi. Inilah yang kita rasakan saat ini.
sumber : https://www.harianterbit.com/opini/2749379457/pemimpin-bernilai-budaya-bukan-pemimpin-banalitas