Tantangan Ekspor CPO Indonesia
Suara Merdeka (31 Januari 2024)
Rifki Khoirudin
INDONESIA adalah negara agraris yang menempati peringkat teratas di antara produsen minyak sawit (CPO) teratas, salah satu ekspor utamanya. Ini merupakan sumber devisa negara yang signifikan karena merupakan 80 persen dari seluruh ekspor pertanian.
India merupakan salah satu tujuan pasar ekspor CPO Indonesia karena menjadi importir CPO tertinggi di dunia. Kinerja industri komoditas sawit Indonesia pada 2024 masih menghadapi sejumlah tantangan. Kondisi ini terkait perlambatan ekonomi global dan Tiongkok yang bisa mengancam permintaan ekspor CPO dan harga CPO hingga adanya penjegalan produk CPO RI di Eropa lewat Undang-undang Anti-deforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Pengelolaan ekspor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) di Indonesia memiliki urgensi yang besar karena sektor ini memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian negara. Indonesia adalah salah satu produsen terbesar CPO di dunia, dan ekspor CPO telah menjadi pilar utama dalam penerimaan devisa negara.
Urgensi pengelolaan ekspor CPO mencakup beberapa aspek, antara lain ekonomi, sosial, lingkungan, dan keberlanjutan. Ekspor CPO memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan devisa negara. Penerimaan devisa ini sangat penting untuk membiayai impor, pembayaran utang luar negeri, serta menjaga stabilitas mata uang dan keuangan nasional.
Akan tetapi terakhir ini terdapat isu deforestasi dan pelestarian lingkungan di Indonesia dalam kaitannya dengan penanaman kelapa sawit di Indonesia. Hal ini menjadikan ekspor CPO ke Eropa khsusunya menjadi terhambat. Uni eropa saat ini sedang membahas Undang Undang Anti Deforestasi atau EU Deforestation Regulation (EUDR).
Pertemuan ini dilakukan dalam task force EUDR pada awal Februari 2024. Uni Eropa akan resmi memberlakukan Undang Undang anti Doforestasi per 16 Mei 2023. Menurut data dari GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), Fadhil Hasan mengatakan saat ini tren ekspor CPO RI ke Uni Eropa cenderung turun sebelum aturan EUDR berlaku di 2025.
Sumber Legal
Regulasi tersebut bertujuan memastikan produk yang masuk pasar Uni Eropa berasal dari sumber yang legal dan tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. Regulasi Deforestasi tersebut diperkirakan akan berdampak pada sejumlah komoditas Indonesia, seperti sawit, daging, kopi, kayu, kakao, karet, kedelai, dan turunannya.
Pada beberapa tahun yang lalu, Komisi Uni Eropa sudah menyetujui untuk memberlakukan Undang-undang anti-deforestasi pada 6 Desember 2022. Ketentuan ini akan mengatur dan memastikan konsumen di Uni Eropa untuk tidak membeli produk yang terkait deforestasi dan degradasi hutan. Dalam salah satu pasalnya mengelompokkan sawit sebagai tanaman berisiko tinggi.
Padahal sawit menjadi komoditas ekspor andalan dari Indonesia, dengan kebijakan seperti ini sawit Indonesia kehilangan pasar penjualannya. Akibat adanya penerapan regulasi tersebut, tentu akan menambah beban tambahan perizinan yang harus dipenuhi.
Dengan pemberlakuan UU Anti Deforestasi, ekspor minyak sawit mentah Indonesia bisa terpengaruh. Apalagi Uni Eropa menjadi salah satu pasar utama minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dari Indonesia. Selain Uni Eropa, India dan Cina merupakan oasar utama untuk minyak sawit mentah dari Indonesia. Disisi lain aturan Regulasi ini cenderung diskriminatif karena hanya berlaku untuk CPO namun tidak untuk minyak nabati lain seperti sun flower dan rapseed.
Jauh sebelum Undang Undang Anti Deforestasi Uni Eropa disetujui, minyak kelapa sawit Indonesia kerap penjadi perdebatan dunia internasional karena isu deforestasi. Pada April 2017, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi tentang minyak sawit dan deforestasi hutan hujan.
Tujuan akhirnya adalah larangan impor barang hasil deforestasi. Contohnya kelapa sawit Bersama produk turunannya ke wilayah Uni Eropa pada 2020. Dengan adanya kejadian tersebut, sejmlah Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Walhi dan Greenpeace menyebutkan regulasi anti deforestasi ini dapat menjadi momentum pemerintah untuk memperbaiki tata Kelola sawit yang selama ini belum maksimal. Apalagi saat ini ada seluas 3,4 juta hectare kebun kelapa sawit di Indonesia berada dikawasan hutan.
Dengan adanya regulasi tersebut, pemerintah bisa lebih selektif dalam memberikan lahan sawit dan berupaya menjaga hutang yang tersisa. Di satu sisi pemerintah bisa melakukan lobby atau pendekatan bahwa Upaya pelestarian lingkungan terkait kebun sawit di Indoesia sudah dilakukan.
Sumber https://kedu.suaramerdeka.com/ekonomi/2111723916/tantangan-ekspor-cpo-indonesia