• TERKINI
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

JANGAN BIARKAN PREMAN BERKUASA

04/04/2013/0 Comments/in Terkini /by Super News

Hendra Darmawan*)

Baru-baru ini Hercules putra Dili itu ditangkap polisi karena aksi pemerasan, dalih pengamanan lokasi dan lain-lain. Tetapi tetap saja modus kekerasan di negeri ini makin membesar dan bervariasi. Hari sabtu yang lalu 23/3/2013 di LP Cebongan Sleman Yogyakarta telah terjadi operasi senyap, pembunuhan yang sadis atas empat orang. Beberapa waktu lalu Kementrian Kehutanan Republik Indonesia dengan 100 personil polisi hutan gagal mengeksekusi hutan rakyat di Bogor yang telah diisi dengan vila-vila yang diduga milik sebagian pejabat dan artis (kompas 20/03/13). Kejadian-kejadian serupa menunjukkan bahwasanya Negara dalam keadaan lemah atau diperlemah bahkan diposisikan tersandra kepentingan-kepentingan individu.

Jika Negara lemah, lalu bagaimana tugas negara yang menjamin keamanan negara, menciptakan rasa aman, menjamin kepastian hukum harus dinikmati oleh rakyat. Tentu Perubahan bangsa tidak semata-mata diukur oleh pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Negara perlu mengukur index kebahagiaan (Index of happiness). Salah satu yang perlu ditekankan adalah rasa aman.

Untuk membangun rasa aman, perlu sebuah revolusi yang digerakkan oleh pemimpin dengan jiwa besar, karismatik. Jika hal tersebut tidak berjalan dengan baik, maka kemungkinan besar yang menggerakkan adalah kesadaran kolektif, gerakan organik menjadi driving force disaat perwakilan dilembaga legislative tidak lagi merepresentasikan suara rakyat (Yudi Latif, kompas 27/03/13). Saat demo sudah dibeli dengan uang, maka gerakan akar rumput, turun ke jalan menjadi alternative gerakan. Padahal di era demokrasi harusnya perdebatan wacana menjadi sebuah tren. Mungkin rakyat jengah melihat perdebatan wacana yang hanya menjanjikan perubahan kearah perbaikan.

Editorial Media Indonesia beberapa hari lalu bertajuk “negeri anak bawang”. Sebuah analisis yang tajam lagi mendalam, menghentak kesadaran kita semua. Indonesia yang dilukiskan negeri gemah ripah loh jinawi, tongkat dan kayu jadi tanaman, dll. Hari ini lukisan itu dipertanyakan hanya karena kelemahan memanaj potensi negara. Berkuasanya segelintir orang di Indonesia mendominasi perekonomian ribuan orang di Indonesia, hal ini tidak boleh dibiarkan (Jefreey Winter, 2010). Oligarki seperti ini mungkin dikira telah berakhir sejak reformasi 1998 bergulir tapi nyatanya penjajahan model baru makin menggelora, yakni kita dijajah oleh londo ireng (bangsa sendiri) meminjam istilah Buya Syafii.

Jauh-jauh hari Mahatma Gandhi telah mengingatkan jika ada sepuluh orang yang rakus, tamak di sebuah negeri, keberadaannya dapat mengalahkan ribuan orang baik. Hal ini sejalan dengan pesan Sahabat Umar Bin Khatab “Camkan akan ancaman Sebuah kebathilan yang terorganisir dapat mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir ..”

Lalu bagaimana menolong saudara kita yang Dzalim, tiran, melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), dll. Menolong mereka yang dzalim adalah dengan mencegah mereka untuk tidak berbuat dzalim. Saya kutipkan redaksi arabnya ..”Unshur akhokadholim awil madzlum”- Tolonglah saudaramu yang dzalim dan yang terdzalimi. Untuk mewujudkan hal tersebut, sebuah Negara perlu strategi. Jika strategi perubahan structural tidak efektif maka strategi cultural dapat menjadi alternatif. Kuntowijoyo (1997) menekankan faktor perubahan itu ada dua yakni struktural dan kultural. Ia menegaskan bahwasanya perubahan yang akan bertahan lama serta bersifat sustainable adalah perubahan yang dipicu oleh faktor internal (from within).

Fukuyama dalam bukunya menegaskan untuk menciptakan demokratisasi yang berkelanjutan dibutuhkan Negara yang kuat, tapi bukan Negara yang otoriter. Premanisme tidak boleh dibiarkan. Jika dibiarkan, berarti Negara dan kita semua berinvestasi akan sebuah kebatilan yang mungkin saja resiko yang tidak terduga datang begitu saja. Siapapun kita, kita harus berlomba-lomba dalam berinvestasi kebaikan, memperdayakan masayarakat, melakukan pendidikan politik, kritik tidak dilarang selama itu disampaikan secara santun dan bermartabat. Dengan upaya itu control sosial akan efektif, abuse of power dapat dicegah, Negara yang kuat dapat terwujud.

Penulis adalah Dosen Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) UAD

Hendra Darmawan*)

Baru-baru ini Hercules putra Dili itu ditangkap polisi karena aksi pemerasan, dalih pengamanan lokasi dan lain-lain. Tetapi tetap saja modus kekerasan di negeri ini makin membesar dan bervariasi. Hari sabtu yang lalu 23/3/2013 di LP Cebongan Sleman Yogyakarta telah terjadi operasi senyap, pembunuhan yang sadis atas empat orang. Beberapa waktu lalu Kementrian Kehutanan Republik Indonesia dengan 100 personil polisi hutan gagal mengeksekusi hutan rakyat di Bogor yang telah diisi dengan vila-vila yang diduga milik sebagian pejabat dan artis (kompas 20/03/13). Kejadian-kejadian serupa menunjukkan bahwasanya Negara dalam keadaan lemah atau diperlemah bahkan diposisikan tersandra kepentingan-kepentingan individu.

Jika Negara lemah, lalu bagaimana tugas negara yang menjamin keamanan negara, menciptakan rasa aman, menjamin kepastian hukum harus dinikmati oleh rakyat. Tentu Perubahan bangsa tidak semata-mata diukur oleh pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Negara perlu mengukur index kebahagiaan (Index of happiness). Salah satu yang perlu ditekankan adalah rasa aman.

Untuk membangun rasa aman, perlu sebuah revolusi yang digerakkan oleh pemimpin dengan jiwa besar, karismatik. Jika hal tersebut tidak berjalan dengan baik, maka kemungkinan besar yang menggerakkan adalah kesadaran kolektif, gerakan organik menjadi driving force disaat perwakilan dilembaga legislative tidak lagi merepresentasikan suara rakyat (Yudi Latif, kompas 27/03/13). Saat demo sudah dibeli dengan uang, maka gerakan akar rumput, turun ke jalan menjadi alternative gerakan. Padahal di era demokrasi harusnya perdebatan wacana menjadi sebuah tren. Mungkin rakyat jengah melihat perdebatan wacana yang hanya menjanjikan perubahan kearah perbaikan.

Editorial Media Indonesia beberapa hari lalu bertajuk “negeri anak bawang”. Sebuah analisis yang tajam lagi mendalam, menghentak kesadaran kita semua. Indonesia yang dilukiskan negeri gemah ripah loh jinawi, tongkat dan kayu jadi tanaman, dll. Hari ini lukisan itu dipertanyakan hanya karena kelemahan memanaj potensi negara. Berkuasanya segelintir orang di Indonesia mendominasi perekonomian ribuan orang di Indonesia, hal ini tidak boleh dibiarkan (Jefreey Winter, 2010). Oligarki seperti ini mungkin dikira telah berakhir sejak reformasi 1998 bergulir tapi nyatanya penjajahan model baru makin menggelora, yakni kita dijajah oleh londo ireng (bangsa sendiri) meminjam istilah Buya Syafii.

Jauh-jauh hari Mahatma Gandhi telah mengingatkan jika ada sepuluh orang yang rakus, tamak di sebuah negeri, keberadaannya dapat mengalahkan ribuan orang baik. Hal ini sejalan dengan pesan Sahabat Umar Bin Khatab “Camkan akan ancaman Sebuah kebathilan yang terorganisir dapat mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir ..”

Lalu bagaimana menolong saudara kita yang Dzalim, tiran, melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), dll. Menolong mereka yang dzalim adalah dengan mencegah mereka untuk tidak berbuat dzalim. Saya kutipkan redaksi arabnya ..”Unshur akhokadholim awil madzlum”- Tolonglah saudaramu yang dzalim dan yang terdzalimi. Untuk mewujudkan hal tersebut, sebuah Negara perlu strategi. Jika strategi perubahan structural tidak efektif maka strategi cultural dapat menjadi alternatif. Kuntowijoyo (1997) menekankan faktor perubahan itu ada dua yakni struktural dan kultural. Ia menegaskan bahwasanya perubahan yang akan bertahan lama serta bersifat sustainable adalah perubahan yang dipicu oleh faktor internal (from within).

Fukuyama dalam bukunya menegaskan untuk menciptakan demokratisasi yang berkelanjutan dibutuhkan Negara yang kuat, tapi bukan Negara yang otoriter. Premanisme tidak boleh dibiarkan. Jika dibiarkan, berarti Negara dan kita semua berinvestasi akan sebuah kebatilan yang mungkin saja resiko yang tidak terduga datang begitu saja. Siapapun kita, kita harus berlomba-lomba dalam berinvestasi kebaikan, memperdayakan masayarakat, melakukan pendidikan politik, kritik tidak dilarang selama itu disampaikan secara santun dan bermartabat. Dengan upaya itu control sosial akan efektif, abuse of power dapat dicegah, Negara yang kuat dapat terwujud.

Penulis adalah Dosen Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) UAD

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 Super News https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Super News2013-04-04 19:33:512013-04-04 19:33:51JANGAN BIARKAN PREMAN BERKUASA
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply Cancel reply

You must be logged in to post a comment.

TERKINI

  • Kreativitas Berbasis Teknologi, Desain sebagai Sarana Dakwah dan Inovasi13/05/2025
  • BEM FAI Selenggarakan Festival Akhilla Tingkat DIY-Jateng13/05/2025
  • Pembelajaran Holistik Transformasi Berdasarkan Nilai–Nilai Keislaman13/05/2025
  • IMM FTI UAD SelenggarakanĀ Pelatihan Desain Canva13/05/2025
  • Alumni PBI UAD Berbagi Inspirasi Karier di Career Talk Show13/05/2025

PRESTASI

  • Mahasiswa FKM UAD Raih Juara I Lomba Futsal Tingkat Provinsi13/05/2025
  • Mahasiswi UAD Raih Juara 2 dalam Turnamen Badminton PUBHFEST 202513/05/2025
  • UKM Voli UAD Raih 2 Trofi pada Ajang Febipharm Championship 202508/05/2025
  • Mahasiswi Magister Kesehatan Masyarakat UAD Berprestasi di Nusantara Writing Festival 305/05/2025
  • Mahasiswa FEB UAD Raih Juara I Lomba Futsal dalam Semarak Milad IMM DIY03/05/2025

FEATURE

  • Hindari Godaan Pinjaman Instan13/05/2025
  • Mengapa Manusia Tak Pernah Tahu Apa yang Terjadi Esok Hari?13/05/2025
  • Masyarakat yang Tangguh dalam Menghadapi Bencana09/05/2025
  • ABCDE-in Hidupmu: Strategi Membangun Karier dan Finansial Sejak Dini08/05/2025
  • Membentuk Mentalitas Juara Seorang Atlet08/05/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top