Etika Kehidupan Berbangsa
Harian Jogja (30 Januari 2024)
Immawan Wahyudi
Judul tulisan sederhana ini menggunakan nama atau judul dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Mengapa akhir-akhir ini isu tentang etika tiba-tiba menyeruak di sela-sela kegaduhan debat capres-cawapres? Penulis tidak berkompeten untuk menjawab pertanyaan ini. Setiap kita akan memiliki argumen dan sudut pandang yang berbeda. Namun bisa kita simpulkan bahwa etika bagi kehidupan berbangsa, juga benegara, isu etika sangatlah penting. Bukti yuridis formal pentingnya etika adalah adanya TAP MPR di atas.
Dalam argumentasi filosofis TAP MPR tersebut menyatakan, “bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, diperlukan pencerahan sekaligus pengamalan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sedangkan argumentasi sosiologisnya menyatakan, “bahwa etika kehidupan berbangsa dewasa ini mengalami kemunduran yang turut menyebabkan terjadinya krisis multidimensi.” Oleh sebab itu diperlukan suatu cara yang dalam TAP MPR tersebut dinyatakan; “bahwa untuk itu diperlukan adanya rumusan tentang pokok-pokok etika kehidupan berbangsa sebagai acuan bagi pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia dalam rangka menyelamatkan dan meningkatkan mutu kehidupan berbangsa itu.”
Filosofis Etika
Dalam wilayah berpikir yang seharusnya ada (das sollen) untuk menjawab tantangan dari kenyataan yang ada (das sein) dan untuk menyibak wilayah yang masih kita anggap gelap (das ding an sich) isu tentang etika bukan persoalan yang pantas untuk ditunda-tunda. Misalnya saat ini kita sedang sibuk memantau dan atau sedang menyiapkan kampanye, umumnya akan sangat terpengaruh pada isu etika. Apakah seseorang calon presiden atau calon anggota legislatif baik atau tidak baik adalah wilayah etika.
Dalam dunia politik acapkali moral diposisikan pada tempat yang tidak penting–kalau bisa, malah diminimalkan peranannya. Padahal secara pemahaman mendalam tentang politik justru moralitas atau etika merupakan ruh dari cara berfikir dan berperilaku politik. Kita bisa menyebut misalnya pandangan ImmanueL Kant yang membedakan antara politisi moral dan moralis politik.
Politisi moral adalah orang yang memahami prinsip-prinsip kearifan politik sedemikian rupa sehingga ia bisa hidup dengan moralitas. Sedangkan moralis politik adalah orang yang mereka-reka moralitas supaya cocok dengan kalangan negarawan, kalangan penguasa. Politisi moral tidak terjerumus dalam kubangan ambisi dan pencarian kekuasaan. Sedangkan moralis politik menggabungkan antara politik dengan moralitas dengan cara yang sepenuhnya salah. Moralis politik memanfaatkan hasrat alami manusia untuk melayani pemimpin mereka dari sisi moral dengan cara menciptakan suatu etika yang hanya ditujukan untuk memenuhi tujuan dari segelintir oarng yang berkuasa. (Howard Williams, Filsafat Politik Immanuel Kant, JP-Press & IMM, Jakarta, 2003, hal. 54 – 55)
Dalam realitanya, sejalan dengan perkembangan teori-teroi baru ilmu komunikasi, orang dipaksa untuk mematut-matut diri sehingga apa yang dikatakan dan apa yang ditulis dalam baliho misalnya, seringkali memberikan gambaran yang bertentangan. Orang yang sedang mengikuti kontestasi acapkali tidak berpikir apa yang sebenarnya ada pada dirinya tapi berpikir apa yang tidak ada pada dirinya agar masyarakat beranggapan bahwa dirinya adalah orang baik.
Selain terori moral politik dari Immanuel Kant dapat kita sitir pandangan Emile Durkheim yang menteorikan posisi moralitas dalam ilmu yang positivistik. Menurutnya, moralitas bertumpu pada tiga sikap dasar. Pertama, moralitas harus dilihat sebagai fakta sosial yang kehadirannya terlepas dari keinginan subjektif. Kedua, moralitas merupakan bagian yang fungsional dari masyarakat. Ketiga, moralitas terlibat dalam proses historis yang bersifat evolusioner dan berubah sesuai dengan zaman yang ada. (Taufik Abdullah dan AC van der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, YOI, Jakarta, 1986, hal. 11)
Etika dan Realitas Sosial
Sejalan dengan pandangan Immanuel Kant dan Durkheim di atas, muncul pertanyaan penting: Mengapa mustika indah kepribadian “bangsa ketimuran” lenyap bak air bah ditelan Bumi? Tentu hal ini memerlukan perenungan bersama, mendalam, jujur dan optimistik. Dengan kredo semacam ini diharapkan mustika ketimuran akan dapat kita temukan kembali dalam realita sosial yang benar-benar berfungsi di tengah tuntutan perlunya penegakan etika dalam berbangsa dan bernegara. TAP MPR Nomor VI/2001 Pasal 3 menyatakan; “Merekomendasikan kepada Presiden Republik Indonesia dan lembaga-lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan ketetapan ini sebagai salah satu acuan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa.”
Etika Kekuasaan
Jika kita detailkan isu etika dalam konteks politik kekuasaan seharusnya ada norma-norma tentang etika pemerintahan, etika jabatan, dan ada etika pejabat. Bentuk pelanggaran etika kekuasaan misalnya memperoleh kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Kerugian paling meresahkan dan meruntuhkan kehormatan pemerintahan adalah pelanggaran terhadap sumpah jabatan dan puncaknya pelanggaran tethadap konstitusi. Oleh sebab itu pelanggaran terhadap etika kekuasaan jauh berbeda dengan pelanggaran etika sosial. Pelanggaran etika selalu mengandung unsur kerugian. Jika etika sosial yang dilanggar paling ringan dampaknya adalah kerugian individual dan yang paling berat ialah kerugian kehormatan dan harmoni sosial. Sementara pelanggaran terhadap etika kekuasaan jauh lebih berat, lebih mendalam, dan lebih besar pengaruh kerusakannya bahkan dapat bermuara pada hilangnya sistem bernegara dan bernegara berdasarkan yang sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Sumber https://opini.harianjogja.com/read/2024/01/30/543/1163237/opini-etika-kehidupan-berbangsa