Upaya Menuju Hilirisasi Sampah Melalui Regulasi
Suara Merdeka (Desember 2024)
Ilham Yuli Isdiyanto
Selama ini, pendidikan yang dianjurkan lebih pada “membuang sampah pada tempatnya” bukan “mengelola sampah sebagaimana seharusnya”, akibatnya muncul problem penumpukan sampah yang tidak terkontrol. Jadi bukan hanya membuang sampah tidak pada tempatnya yang menjadi masalah, kini membuang sampah pada tempatnya pun menjadi masalah. Hal ini diperkuat dengan regulasi yang “ompong” dalam mengubah perilaku (law as a tool of social engineering), jika ditelisik telah banyak perundang-undangan terkait pengelolaan sampah – yang juga berkaitan dengan lingkungan hidup – bahkan cukup banyak yang mendorong pemberlakuan sanksi melalui Peraturan Daerah.
Hanya saja, persoalan kini bukan hanya pada perilaku membuang sampah namun bagaimana Pemerintah menyediakan “kotak sampah” apalagi pengelolaan sampah.Lebih mengejutkan lagi, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) malah sering dimaknai sebagai Tempat Pembuangan Akhir, padahal jelas-jelas tidak ada tempat untuk sampah.
Nilai Sampah
Hal yang paling paradoks terkait sampah, kita membuangnya namun juga membutuhkannya. Jika berdasarkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada tahun 2022, Indonesia memproduksi 34,4 juta ton. Namun di tahun yang sama berdasarkan UN Comtrade, kita juga mengimpor sampah plastik dengan jumlah 53,76 juta kg. Padahal, merujuk pada Pasal 29 ayat (1) huruf b UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah kegiatan mengimpor sampah seharusnya dilarang.
Problem sampah pada dasarnya adalah problem industri, status quo terhadap berbagai kebijakan yang ada bukanlah upaya untuk mengkurasi problem ini, namun menambah daftar panjang persoalan yang tak kunjung usai. Seperti kebutuhan akan plastik dalam dunia industri maupun perdagangan menjadikan setiap kebijakan bak simalakama. Melansir laporan data Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari 430 juta ton plastik diproduksi setiap tahun dan 2/3 nya dibuang sebagai sampah sekali pakai. Produksi yang terus menerus sebagai kebutuhan industri ternyata tidak berbanding lurus dengan proses daur ulangnya.
Sampah pada dasarnya memiliki nilai lebih, yakni jika sampah terkelola melalui startegi 3R (reduce, reuse, recycle). Sudah banyak upaya untuk mengembangkan hal ini, namun belum juga mampu dalam mengurai problem sampah. Lantas dimana persoalannya?
Dari Sampah Industri/Konsumsi Menjadi Industri Persampahan
Sampah industri/konsumsi mungkin satu-satunya yang perlu dicurigai terhadap problem sampah hari ini, mau bagaimanapun proses industrialisasi dan konsumsi akan selalu terus menerus menghasilkan volume sampah alih-alih mengurangi atau menghentikannya. Maka yang perlu dikuatkan adalah bagaimana membangun penyeimbang terhadap sampah industri/konsumsi dengan mengembangkan berbagai lini industri persampahan yang terintegrasi dan partisipasi.
Model industri persampahan ini harus mampu bukan hanya pemodal besar, namun juga usaha mikro, kecil dan menengah. Selain itu juga bukan hanya tanggungjawab pusat, melainkan provinsi, daerah kabupaten sampai desa juga perlu untuk dilibatkan. Kuncinya ada pada model kebijakan yang akan diaplikasikan, disatu sisi pengelolaan sampah bukanlah hal yang sederhana.
Pemerintah pusat maupun daerah seharusnya menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik (vide Pasal 5 UU No 18/2008). Pengelolaan sampah ini memiliki potensi besar untuk diagregasi dalam ranah industri yang sinergis. Jika melihat pada data impor sampah, maka kebutuhan atas sampah nasional sebagai bahan baku sangatlah besar.
Kebutuhan ini sejalan dengan maraknya industri dan konsumsi ditengah masyarakat yang menghasilkan sampah plastik.Menempatkan sampah sebagai bahan baku bisa disebut sebagai upaya “hilirisasi sampah”, namun hal ini membutuhkan syarat lebih dari penghasil sampah (baik industri maupun konsumsi).
Salah satunya adalah merubah mindset dari “membuang sampah” menjadi “memilah sampah”.Anjuran membuang sampah pada tempatnya saat ini sudah tidak relevan kembali, karena menempatkan setiap sampah menjadi residu, padahal seharusnya mampu diolah menjadi bahan industri kembali.
Model Regulasi Pengelolaan Sampah
Mengutip dari website Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Naisonal (SIPSN), sudah cukup banyak regulasi yang mengatur tentang sampah yang terdiri dari 1 Undang Undang, 2 Peraturan Pemerintah, 3 Peraturan Presiden, dan 9 Peraturan Menteri.Selain itu, terdapat 6 Peraturan Kebijaksanaan (beleidsregel). Banyaknya regulasi persampahan tidak menjamin adanya pengelolaan sampah yang baik dan terintegrasi. Selain itu, peran serta masyarakat tak lain memiliki pengaruh utama dalam hal pengelolaan sampah ini.
Dorongan regulasi haruslah diarahkan tidak hanya pada standarisasi pengelolaan sampah, melainkan upaya pemerintah memberikan dukungan pada upaya ini dan membantu proses perizinan bagi pengusaha yang akan melakukan pengelolaan sampah. Proses hilirisasi sampah atau industri persampahan adalah model pengelolaan sampah yang paling efektif, dimulai dari pelibatan aktif dunia industri dan masyarakat selaku konsumen.
Langkah awal untuk melakukan hal ini adalah cara pandang politik hukum terhadap pengelolaan sampah dan bukan perizinan industri persampahan, melainkan lebih pada dukungan terhadap setiap pelaku usaha hilirasi sampah dalam memenuhi standar yang ada. Jika melihat pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, maka setiap kegiatan usaha pengelolaan sampah wajib memiliki izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah, disini paradigma seharusnya diubah.
Hilirisasi sampah seharusnya dilihat sebagai bisnis strategis yang terbuka untuk dikembangkan oleh semua kalangan, potensi sampah menjadi bahan baku harus didukung oleh pemerintah dalam menyiapkan sistem distribusi yang baik, terutama menghubungkan kembali antara pengelola sampah dengan industri pengelolaannya. Melalui regulasi ini, pemasok utama sampah sebagai bahan industri harusnya ada dari masyarakat, sistem supply chain ini terhadap hilirasasi sampah dari masyarakat seharusnya seimbang dengan hilirisasi barang konsumsi yang ada diperedaran.
Untuk itu, fungsi pemerintah adalah memberikan jaminan dan dukungan terhadap setiap kegiatan usaha pengelolaan sampah termasuk insentif terhadapnya. Pengaturan yang terlalu ketat dan izin yang “belibet” tanpa ada dukungan maka upaya penanganan sampah hanyalah isapan jempol.
Sumber : https://www.suaramerdeka.com/opini/0411356809/upaya-menuju-hilirisasi-sampah-melalui-regulasi