Dukungan Psikososial bagi Korban Bencana
Hampir seluruh wilayah di Indonesia merupakan rawan bencana. Banyak gunung aktif, terdapat patahan-patahan, dan seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim penghujan. Semua itu berpotensi menimbulkan kerusakan fisik-material dan gangguan psikologis bagi para korban bencana. Masyarakat korban bencana sangat mungkin dilanda keputusasaan dalam situasi tidak normal saat bencana karena merasa ketakutan, kehilangan tempat tinggal dan sanak saudara, serta kadang tidak berdaya menjalani masa-masa pascabencana. Oleh karena itu, selain bantuan fisik juga diperlukan intervensi dalam hal pemulihan gangguan psikologis melalui dukungan psikososial. Berikut adalah upaya-upaya yang bisa dilakukan menurut Muhammad Hidayat, dosen Psikologi di Universitas Ahmad Dahlan (UAD).
Apa yang perlu dilakukan pada korban bencana agar pulih?
Penanganan terhadap bencana setidaknya dibagi menjadi empat tahap. Pertama, adalah tahap tanggap darurat setelah bencana terjadi sampai 14‒21 hari. Kedua, adalah tahap pascatanggap darurat merupakan pemulihan awal untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, dan memulai membangun infrastruktur semi permanen. Ketiga, pemulihan akhir merupakan lanjutan dari pemulihan awal. Keempat, adalah rekonstruksi-rehabilitas biasanya dilakukan pada empat bulan ke atas. Untuk khusus pascabencana atau tanggap darurat, memang diorientasikan pada kebutuhan pokok dan materi, seperti makanan, obatan-obatan, minuman, biasanya dibuat dapur-dapur umum, kemudian distribusi logistik. Setelah fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok untuk bertahan hidup, para relawan juga harus memiliki kemampuan menangani secara psikologis yang disebut Psychological First Aid (PFA). PFA mempunyai tiga prinsip dasar yang terdiri atas melihat, kemudian mendengar, relawan tidak boleh langsung judgment, tetapi seharusnya memberikan perhatian. Setelah itu adalah link, misalnya korban butuh makan maka diajak ke dapur umum, dan bila merasa sakit dibawa ke bagian medis. Dalam kondisi bencana dapat dikatakan bahwa kondisi yang normal dalam kondisi yang tidak normal. Artinya, para korban berteriak, sedih, takut, dan segala macam merupakan kondisi normal dalam situasi bencana yang dikatakan tidak normal. Yang menjadi tidak normal adalah ketika kesedihan itu menjadi berkepanjangan. Hal ini nanti yang akan menimbulkan post trauma stress disorder. Untuk penanganan lebih lanjut diperlukan assessment psikososial. Proses ini tidak boleh lepas dari kearifan lokal setempat. Maka, konsep penanganan ini adalah memberikan simulasi atau motivasi-motivasi bagi para penyintas agar mereka segera pulih ke kehidupan secara normal.
Alasan tidak dipakainya lagi istilah trauma healing?
Berdasarkan lokakarya natunal di tingkat Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) se-Indonesia, semacam ada kesepakatan tidak memakai trauma healing karena kesannya seakan-akan para penyintas memiliki trauma, dalam tanda kutip mereka parno terlebih dahulu dan merasa tidak nyaman. Istilah tersebut diganti dengan dukungan psikososial dan dukungan kesehatan jiwa. Trauma healing sudah spesifik untuk memulihkan trauma, padahal tidak semua penyintas mengalami trauma karena ekspresi mereka termasuk normal dalam kondisi tidak normal seperti yang sudah disampaikan tadi. Para penyintas memiliki mekanisme pemulihan secara pribadi. Bentuk-bentuk dukungan psikososial terdiri atas PFA, terapi ekspresif, dan konseling. Misalnya, anak-anak diajak terapi ekspresif dengan menulis, bernyanyi, atau dengan cara play therapy.
Adakah kelompok tertentu yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam dukungan psikososial?
Ada yang disebut kelompok rentan. Kelompok ini adalah korban yang diprioritaskan untuk penanganan terlebih dahulu seperti lansia, anak-anak, dan ibu hamil.
Dukungan psikososial digunakan untuk pemulihan apa saja?
Pada dasarnya orang itu butuh dukungan, apalagi dalam situasi tidak normal dan tertekan. Misalnya, kecelakaan pesawat kemarin, korban selamat butuh dukungan psikososial. Mereka merasa kehilangan, saat itulah butuh perhatian mendengarkan keluh kesahnya. Atau yang lainnya seperti konflik sosial atau pertikaian. Misalnya, di Papua sekarang, para korban butuh dukungan dari pihak-pihak terkait.
Apakah sudah ada pelajaran atau sosialisasi dukungan psikososial di Universitas Ahmad Dahlan?
Ada mata kuliah pilihan psikologi kebencanaan, memang belum menjadi matakuliah wajib. Namun, pada dasarnya di dalamnya berisi tentang assessment, konseling, pendampingan, dan sebagainya. Secara spesifik juga ada pemahaman terhadap bencana, korban, dan mitigasi bencana. Mata kuliah ini sedang diajukan kepada dekanat untuk dijadikan matakuliah wajib saat evaluasi kurikulum nanti, karena negeri kita rawan bencana.
Sebagai seorang mahasiswa atau dosen, bagaimana cara menanggulangi bencana?
Jadi ada istilah jackues illiensi atau yang disebut sebagai kemampuan seseorang untuk bertahan dalam situasi yang berat dan menekan. Ini merupakan resilensi daya lenting atau daya orang bangkit lagi. Setiap orang mempunyai daya yang berbeda. Apabila dari pihak keluarga mendapat kasih sayang baik, pendidikan yang baik, orang tersebut mempunyai daya yang lebih kuat. Namun, apabila dari pihak keluarga kurang mendapat kasih sayang, pernah ada masa lalu yang ada benih-benih trauma maka ketika ada stimulasi terkait bencana akan menjadi rentan. Akhirnya akan kesulitan membuat mekanisme rekonstruksi dalam dirinya.
Apa yang menjadi hal mendasar dan penting untuk menyikapi seringnya terjadi bencana di Indonesia?
Kita harus membuat mekanisme tentang siaga bencana, termasuk mitigasi bencana perlu terus-menerus disosialisasikan. Sekolah-sekolah sekarang juga sudah muncul yang menekankan siaga bencana. Artinya perlu pembelajaran yang berkala tentang mitigasi dan simulasi sehingga suatu ketika mengalami bencana kita sudah siap. Orang yang mudah terkena trauma atau stres adalah orang yang tidak siap menerima dan menghadapi kenyataan. Oleh karena itu, orang harus didorong untuk menerima keadaan sehingga ada recovery atau pemulihan kembali. (Ari)