• TERKINI
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

PEMBELAJARAN SASTRA DIANAKTIRIKAN

17/12/2012/0 Comments/in Terkini /by Super News

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen PBSI FKIP UAD Yogyakarta


Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah Pardi Suratno menyampaikan pernyataan yang menarik. Ia menyatakan, pembelajaran sastra di sekolah selama ini masih menjadi pelajaran “kelas dua”, setelah pembelajaran bahasa Indonesia. “Pembelajaran sastra Indonesia, termasuk puisi di sekolah-sekolah perlu ditingkatkan,” katanya, saat acara pergelaran Lomba Cipta Puisi Indonesia dan Jawa di Semarang, Minggu (21/10) lalu.

Jauh sebelum itu, penyair yang juga guru besar ilmu sastra dari Universitas Negeri Yogyakarta, Suminto A. Sayuti, mengungkapkan, pembelajaran sastra di sekolah selama ini terkesan menyebalkan. Ungkapan itu penulis dengar tatkala mengikuti acara Apresiasi Sastra Daerah (Apresda) bagi para guru bahasa Indonesia tingkat SMA se-Indonesia di Cisarua, Bogor, dua tahun silam. Saat itu, ajaibnya, ungkapan Profesor Suminto itu kami setujui meski menyesakkan dada.

Betapa tidak, pembelajaran sastra yang semestinya memerdekakan siswa dan guru, ternyata sebaliknya. Di sekolah atau madrasah kita, pembelajaran sastra belum menjadi mata pelajaran yang disenangi oleh siswa. Para siswa hanya dicekoki oleh materi-materi tentang nama sastrawan, judul-judul karya sastra, dan angkatan dalam sastra Indonesia. Sementara itu, minat membaca dan menulis karya sastra di kalangan guru masih rendah.

Kondisi di atas, jika ditambah lagi dengan persoalan minimnya ketersediaan buku-buku sastra di perpustakaan sekolah, tentunya makin membuat hati kita miris. Melihat hal tersebut, kiranya kita tak bijak menyalahkan guru sebagai pihak yang menyebabkan pembelajaran sastra dianaktirikan ketimbang pembelajaran bahasa. Untuk itu, kita perlu mencari langkah-langkah yang jitu guna meningkatkan kualitas pembelajaran sastra di sekolah lebih baik lagi.

Pertama, pola pembelajaran sastra diarahkan sebisa mungkin tidak bersifat teoretis, tetapi lebih bersifat apresiatif. Para guru dapat mengajak para siswanya untuk berkunjung ke perpustakaan daerah atau komunitas sastra di daerah. Kunjungan itu dapat dirutinkan seminggu atau sebulan sekali. Dengan cara begitu, daya apresiasi para siswa terhadap karya sastra diharapkan dapat meningkat, bahkan ke tahap penciptaan karya sastra yang unik dan menarik.

Kedua, para guru dapat mengambil bahan ajar sastra dari media massa lokal dan/atau nasional. Semua koran edisi Minggu biasanya memuat rubrik cerpen, puisi, dan esai budaya/sastra. Menurut hemat saya, kesemua rubrik itu dapat didayagunakan untuk pembelajaran sastra, sembari dipikirkan ulang mengenai pemahaman para siswa terhadap isi cerpen, puisi, dan esai budaya/sastra. Jadi, bahan ajar sastra tidak harus dari buku pelajaran yang ada.

Ketiga, saat pembelajaran sastra berlangsung para siswa dapat diajak ke luar kelas, seperti taman sekolah. Sebagai guru, kita berikan kebebasan kepada siswa-siswa untuk mengembangkan imajinasinya dengan cara menulis karya sastra. Para siswa diajak untuk merasakan desir angin yang berhembus, harumnya wangi bunga, teriknya sinar matahari, dan gejala alam lainnya. Dengan merasakan itu semua, kelak imajinasi para siswa dapat berkembang.

Dengan langkah-langkah di atas, kiranya kondisi pembelajaran sastra yang selama ini dianaktirikan dapat diubah menjadi lebih baik. Untuk mewujudkan hal itu, mau tidak mau, semua pihak memiliki peran yang sama. Para guru didorong untuk “rangkap jabatan”: sebagai pendidik sekaligus penulis sastra yang mumpuni. Pula, pihak sekolah dapat menyediakan bahan bacaan karya sastra yang lengkap di perpustakaan. Saya optimis hal itu terwujud, Anda juga? Semoga.[]

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen PBSI FKIP UAD Yogyakarta


Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah Pardi Suratno menyampaikan pernyataan yang menarik. Ia menyatakan, pembelajaran sastra di sekolah selama ini masih menjadi pelajaran “kelas dua”, setelah pembelajaran bahasa Indonesia. “Pembelajaran sastra Indonesia, termasuk puisi di sekolah-sekolah perlu ditingkatkan,” katanya, saat acara pergelaran Lomba Cipta Puisi Indonesia dan Jawa di Semarang, Minggu (21/10) lalu.

Jauh sebelum itu, penyair yang juga guru besar ilmu sastra dari Universitas Negeri Yogyakarta, Suminto A. Sayuti, mengungkapkan, pembelajaran sastra di sekolah selama ini terkesan menyebalkan. Ungkapan itu penulis dengar tatkala mengikuti acara Apresiasi Sastra Daerah (Apresda) bagi para guru bahasa Indonesia tingkat SMA se-Indonesia di Cisarua, Bogor, dua tahun silam. Saat itu, ajaibnya, ungkapan Profesor Suminto itu kami setujui meski menyesakkan dada.

Betapa tidak, pembelajaran sastra yang semestinya memerdekakan siswa dan guru, ternyata sebaliknya. Di sekolah atau madrasah kita, pembelajaran sastra belum menjadi mata pelajaran yang disenangi oleh siswa. Para siswa hanya dicekoki oleh materi-materi tentang nama sastrawan, judul-judul karya sastra, dan angkatan dalam sastra Indonesia. Sementara itu, minat membaca dan menulis karya sastra di kalangan guru masih rendah.

Kondisi di atas, jika ditambah lagi dengan persoalan minimnya ketersediaan buku-buku sastra di perpustakaan sekolah, tentunya makin membuat hati kita miris. Melihat hal tersebut, kiranya kita tak bijak menyalahkan guru sebagai pihak yang menyebabkan pembelajaran sastra dianaktirikan ketimbang pembelajaran bahasa. Untuk itu, kita perlu mencari langkah-langkah yang jitu guna meningkatkan kualitas pembelajaran sastra di sekolah lebih baik lagi.

Pertama, pola pembelajaran sastra diarahkan sebisa mungkin tidak bersifat teoretis, tetapi lebih bersifat apresiatif. Para guru dapat mengajak para siswanya untuk berkunjung ke perpustakaan daerah atau komunitas sastra di daerah. Kunjungan itu dapat dirutinkan seminggu atau sebulan sekali. Dengan cara begitu, daya apresiasi para siswa terhadap karya sastra diharapkan dapat meningkat, bahkan ke tahap penciptaan karya sastra yang unik dan menarik.

Kedua, para guru dapat mengambil bahan ajar sastra dari media massa lokal dan/atau nasional. Semua koran edisi Minggu biasanya memuat rubrik cerpen, puisi, dan esai budaya/sastra. Menurut hemat saya, kesemua rubrik itu dapat didayagunakan untuk pembelajaran sastra, sembari dipikirkan ulang mengenai pemahaman para siswa terhadap isi cerpen, puisi, dan esai budaya/sastra. Jadi, bahan ajar sastra tidak harus dari buku pelajaran yang ada.

Ketiga, saat pembelajaran sastra berlangsung para siswa dapat diajak ke luar kelas, seperti taman sekolah. Sebagai guru, kita berikan kebebasan kepada siswa-siswa untuk mengembangkan imajinasinya dengan cara menulis karya sastra. Para siswa diajak untuk merasakan desir angin yang berhembus, harumnya wangi bunga, teriknya sinar matahari, dan gejala alam lainnya. Dengan merasakan itu semua, kelak imajinasi para siswa dapat berkembang.

Dengan langkah-langkah di atas, kiranya kondisi pembelajaran sastra yang selama ini dianaktirikan dapat diubah menjadi lebih baik. Untuk mewujudkan hal itu, mau tidak mau, semua pihak memiliki peran yang sama. Para guru didorong untuk “rangkap jabatan”: sebagai pendidik sekaligus penulis sastra yang mumpuni. Pula, pihak sekolah dapat menyediakan bahan bacaan karya sastra yang lengkap di perpustakaan. Saya optimis hal itu terwujud, Anda juga? Semoga.[]

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 Super News https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Super News2012-12-17 21:05:132012-12-17 21:05:13PEMBELAJARAN SASTRA DIANAKTIRIKAN
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply Cancel reply

You must be logged in to post a comment.

TERKINI

  • Mahasiswa Farmasi Gelar Edukasi dan Skrining Kesehatan bagi Lansia08/07/2025
  • Belajar Langsung di Balik Layar: Mahasiswa Ilmu Komunikasi UAD Kunjungi TVRI Jogja08/07/2025
  • KKN Alternatif Koperasi UAD Dorong Keberlanjutan Koperasi dengan Regenerasi08/07/2025
  • BHP UAD Gelar Sosialisasi Feed Instagram Berstandar08/07/2025
  • Empat Dosen UAD Terima SK Guru Besar08/07/2025

PRESTASI

  • Mahasiswa UAD Raih Bronze Medal dan Best Poster di Kompetisi Nasional Business Plan05/07/2025
  • Mahasiswa Gizi UAD Raih Juara I Lomba Poster Contest 2025 Tingkat Nasional05/07/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Juara II dan The Golden Quill di National Creathink Festival 202505/07/2025
  • I-WASLABOT: Inovasi Mahasiswa UAD Raih Juara di PIKIR 202504/07/2025
  • Mahasiswa Ilmu Komunikasi UAD Raih Juara II dalam BE-FEST 202503/07/2025

FEATURE

  • Kepribadian dan Metode Pendidikan Nabi05/07/2025
  • Belajar ONMIPA dari Ahlinya04/07/2025
  • Kunci Mendapatkan Kebahagiaan Hidup04/07/2025
  • Memperteguh Jati Diri Mahasiswa03/07/2025
  • Strategi Advokasi dalam Melahirkan Solusi atas Permasalahan Hukum di Masyarakat03/07/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top