Bincang Soal Sastra dan Feminisme bersama Dr. Katrin Bandel
Dr. Katrin Bandel membicarakan sastra dan feminisme dalam acara sudut diskusi di Kampus Utama UAD. Sudut diskusi diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (HMPS PBSI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) bekerja sama dengan Forum Apresiasi Sastra (FAS), 23 Oktober 2019.
Feminisme ditinjau dari segi gender merupakan topik yang tidak mudah. Namun, sastra bisa masuk dengan cara yang lebih cair, tidak frontal. Mengkritik, tapi punya celah tersendiri. Beberapa penulis belakangan ini banyak yang menarik, terkait kacamata mereka melihat feminisme, seperti Aslan Abidin, penyair dari Makassar. Ia sangat kritis terhadap relasi kuasa, negara, dan agama. Puisi-puisinya juga banyak menggunakan idiom seputar seksualitas.
βPuisi-puisi Aslan mencerminkan kondisi masyarakat atau hal bisa saja terjadi di masyarakat. Aslan mengajak kita untuk merenungkan hal seperti keterlibatan laki-laki yang diutamakan, kaku, dan berfokus pada aturan (mengabaikan sifat kerahiman). Hubungan feminisme dengan sastra ialah teori feminis, bisa digunakan sebagai alat untuk mengkaji karya sastra (baik karya feminis atau pun tidak), karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan kritik gender,β papar Katrin Bandel.
Mahasiswa bisa menggunakan feminisme untuk mengkaji karya sastra yang feminis, tidak feminis, atau sebaliknya, patriarkis. Sering kali gender dibahas dengan fokus pada perbedaan, sesuatu yang membedakan laki-laki dan perempuan. Hal itu kurang tepat menurut definisi Raewyn Connell, sosiolog dari Australia. Menurut Connell, gender berkaitan terutama dengan relasi sosial, yakni manusia berinteraksi. Relasi sosial tersebut membentuk pola, sehingga disebut sebagai struktur. Feminisme mengkritik tatanan gender yang sering kali tidak adil dan berusaha menciptakan tatanan gender yang lebih adil. (JM)