Membaca Relawan
Suara Muhamamdiyah (19 Februari 2024)
Sobirin Malian
Dalam setiap hajatan Pemilu ada fenomena menarik yang bisa diamati (dibaca) yaitu munculnya para relawan atau volunteers yang bisa dikatakan sangat komit dan militan terhadap kandidat yang didukungnya.
Keterlibatan relawan sangat berpengaruh karena inisiatif mereka nampak sangat mulia. Keterlibatan ini murni panggilan hati untuk kebaikan bersama tanpa motif keuntungan dan afiliasi dengan bisnis, tanpa didikte pemerintah atau partai politik. Itulah gambaran daya societal ajaib yang sering muncul di masa darurat masyarakat. Dari berbagai pendapat para ahli, menjamurnya gejala kerelawanan dapat menjadi tanda suatu masyarakat memang sedang berada dalam situasi darurat atau negara dianggap tidak baik-baik saja.
Istilah “darurat” mengacu pada penilaian tentang situasi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu, secara mendalam dipengaruhi idiom persoalan yang sedang berlaku. Bentuk kerelawanan sangat luas, mulai dari relawan bencana alam, politik, kesehatan hingga sensus. Organisasi seperti “pemantau/saksi pemilu” atau Medecins Sans Frontieres (MSF/dokter tanpa batas), Mercy’s (yang sangat terkenal dari Indonesia) dengan tenaga medis dan kemanusiaan di peperangan adalah contohnya.
Keberadaan berbagai kelompok relawan sering dipandang sebelah mata bahkan sering diejek tentang motif mereka menjadi relawan. Dalam kaitan ini muncul pembedaan motif “altruisme” dan “kepentingan diri”, antara idealisme dan realisme. Pembedaan itu bukan saja bersifat konyol, tetapi lebih mengarah kepada asal bunyi (asbun); stigma negatif. Stigma itu bisa saja benar, seperti banyak tindakan lain, kerelawanan digerakkan oleh banyak motif: dari heroisme sampai pencarian angka “cum” bagi curriculum vitae pangkat atau guna lamaran kerja, dari keprihatinan akan penderitaan, empati, hingga keberpihakan dalam politik. Dalam konteks ini kita mesti berhati-hati agar tidak terjebak pada meromantisme kerelawanan.
Dilihat dari durasi waktu, kerelawanan bisa dalam jangka panjang dan tetap seperti terlibat dalam membantu korban perang, contoh di Gaza atau yang berciri sesaat sebagai respon atas situasi yang dianggap darurat. Lalu, apa yang memicu kemunculan aneka keragaman kerelawanan politik? Khususnya yang sangat menonjol dalam pemilu 2024 adalah relawan “perubahan” pendukung pasangan 01, AMIN (Anies-Muhaimin) ? Jika masifnya kerelawanan bisa menjadi tanda suatu masyarakat sedang berada pada momen darurat; apanya yang darurat ?
Darurat Politik Dinasti dan Sikap Kenegarawanan
Sinyal kedaruratan sangat nampak: ada krisis politik dinasti dan sepak terjang (cawe-cawe) Presiden yang jelas-jelas melanggar undang-undang. Lembaga hukum seperti MK pun menjadi alat permainan politik.
Warga awam pun dapat menilai bahwa politisi dan pejabat saat ini makin aneh dan itu membuat institusi politik dalam arti sempit kian membusuk. Politik dan pejabat lalu menjadi hujatan sinisme. Perguruan tinggi swasta dan negeri pun bereaksi keras, akibat sumbatan politik (partai) dan lembaga legislatif DPR/DPD tak bekerja.
Muara sinisme tadi jelas sumbernya dari Presiden yang melakukan “ketidakwarasan” politik dan sementara pilihan politik “waras” banyak diwakili oleh belahan dunia, misalnya terpilihnya Sadiq Khan sebagai wali kota London atau Justin Trudeau sebagai PM Kanada beberapa tahun lalu sebagai contoh.
Penolakan terhadap politik dinasti di satu sisi dan dukungan terhadap politik waras yang taat hukum (konstitusi) di sisi lain, merupakan dua bentuk corak kelas politik dengan kepentingan yang secara diametral sangat berbeda. Bagaimana pun muara politik “tidak waras” dan sinisme terhadapnya sungguh mencemaskan. Patut diingat politik adalah cara kita membentuk, mengelola dan merawat kehidupan bersama, sehingga semaju apa pun sektor bisnis, misalnya, tidak akan dapat menggantikan proses politik bernegara secara sehat.
Privelese dan prerogratif “kelas politik tidak waras” inilah yang rupanya sedang membusuk. Pada kelompok ini memberi justifikasi dan narasi, “bukankah tidak semua politik dinasti itu buruk; toh banyak juga terjadi di negara-negara lain, mengapa hanya kami yang dituding ?! Maksudnya tentu agar kebusukan mereka terbenarkan, sebab mereka tidak sendirian. Dalih seperti ini jelas menyesatkan karena yang terjadi di belahan dunia lain_politik dinasti terseleksi dengan ketat dan tetap dalam koridor hukum (konstitusi). Manakala menyimpang dari rel politik dan hukum yang benar, dinasti politik akan dipotong dengan tegas.
Tampaknya ada beberapa hambatan kondisional yang layak kita diskusikan. Pertama, institusi, menurut Boni Hargens (2018), belum sepenuhnya terbebas dari warisan Orde Baru. Hal ini terbukti Jokowi hanya berbasa-basi ketika dia menggagas konsep revolusi mental. Perjalanan pemerintahan Jokowi selama sembilan tahun sudah cukup baginya untuk menancapkan “kuku kuku kekuasaannya”. Ini pula yang menjadi salah satu akar iblisnya, the roof of evils.
Kedua, lemahnya politik nilai. Uang dan kekuasaan masih menjadi faktor determinan dalam proses politik. Kita belum terbiasa dengan persaingan nilai dan gagasan. Alhasil, politik menjadi ajang memperkaya diri melalui KKN dan memupuk kekuasaan guna investasi perjuangan politik di masa depan (kasus politik dinasti Jokowi).
Ketiga, KKN jelas-jelas melemahkan kewibawaan hukum dan kekuasaan koersif negara. Hukum tebang pilih, tumpul ke atas tajam ke bawah.Bukan karena institusi hukum lemah, tetapi karena komunikasi akibat KKN begitu kental. Pejabat dan penegak hukum menjadi mafia.
Hal ini berlaku juga dalam banyak konteks. Misalnya, mafia tambang, mafia gula, mafia bawang, garam, minyak goreng dan lain-lain. Pengusaha tambang atau oligarkhi tidak lagi takut terhadap pemerintah karena merasa mampu membayar siapa saja yang mengganggu kepentingannya. Praktik-praktik semacam inilah yang mengekalkan kesemrawutan. Hal itu masih ditambah dengan hancurnya kepolisian dan KPK karena sudah dikangkangi oleh eksekutif (pemerintah/penguasa).
Faktor keempat, patronase. Menurut Sigel (1999) dalam setiap fenomena politik selalu ada segelintir “orang kuat” yaitu mereka yang memiliki sumber daya ekonomi dan (politik) kekuasaan. Mereka bisa mengendalikan pranata hukum dan politik secara simultan. Orang-orang kuat inilah yang menjamin para mafia (Vittorio Mete, 2019) dalam kerjanya. Apabila penegakan hukum bisa menyentuh para “orang kuat” ini, niscaya akan makin sehatlah demokrasi dan hukum. Sebaliknya, jika mereka “untouchable” tak tersentuh oleh hukum, maka mereka makin merajalela, dan bahkan melahirkan politik dinasti yang nantinya akan merusak semua tatanan hukum dan kenegaraan.
Matinya Integritas
Integritas adalah sikap atau perilaku yang benar, jujur dan adil. Artinya orang yang berintegritas harus benar, jujur dan adil terhadap diri dan orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu, integritas adalah suatu keniscayaan, sebab tanpa penyelenggara, elite politik dan peserta pemilu yang berintegritas, maka hasil pemilu tidak berkualitas (Van Ham, Carolien., 2015:714-737).
Hasil pemilu yang tidak berkualitas menyebabkan tidak adanya ‘trust’ masyarakat terhadap para pemimpin. Hasil pemilu yang tidak ada ‘trust’ dari masyarakat memunculkan oligarki yang membajak kedaulatan rakyat. Pemilu yang berintegritas adalah sarana dimana rakyat memberikan amanah kepada para pemimpin yang berdaulat bukan para pemimpin yang dipilih oleh rakyat, tetapi rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Pemilu yang berintegritas akan menghasilkan kualitas pemimpin yang baik pula. Namun temuan dalam banyak penelitian diantaranya oleh Gregorius Sahdan,dkk,” MEMBONGKAR MAFIA DAN OLIGARKI DALAM PEMILU 2019,” menunjukkan adanya keterputusan elektoral antara pemilih dan yang dipilih. Tidak ada hubungan antara pemilih dan pemimpin yang dipilih atau telah terjadi keterputusan elektoral. Dengan kata lain aspirasi pemilih/rakyat selaku pemilik kedaulatan tidak tersampaikan dalam pengambilan kebijakan publik. Kalau rakyat selaku pemilik kedaulatan tidak lagi berkuasa, maka hal ini merupakan tanda lonceng kematian demokrasi di Indonesia.
Politik tanpa mengutamakan integritas akan memunculkan persaingan perebutan kekuasaan yang mengabaikan nilai-nilai moral. Bila nilai-nilai moral diabaikan, politik akan memunculkan serigala-serigala (lupus-lupus) yang saling memangsa sesama. Sesungguhnya yang bersaing bukan hanya elite politik an sich dalam merebut kekuasaan, namun di balik semua itu antar ormas agama juga berebut kekuasaan melalui penguasaan penyelenggara pemilu. Memperhatikan persaingan yang ketat antar kandidat dalam Pilpres memunculkan satire merendahkan satu dengan yang lainnya. Istilah cebong dan kampret (pada Pemilu 2019) mewarnai kampanye Pilpres dan menunjukkan rendahnya moralitas elite politik. Kata cebong (anak katak) diviralkan untuk menjelekkan para pendukung Jokowi. Sebaliknya sebagai balasan atas sindiran pendukung Prabowo tersebut dimunculkan-mereka menyebut dengan kampret. Kata kampret (anak kelelawar) adalah julukan untuk para pendukung Prabowo yang hanya bisa berkoar-koar. Perang sindiran yang merendahkan antar para pendukung dalam kampanye Pilpres tersebut telah memecah masyarakat menjadi dua. Hal ini mengindikasikan bahwa elite politik tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.
Selaras dengan hal tersebut para tokoh agama dan masyarakat yang seharusnya menjadi penengah dan peneduh, malah sebaliknya mereka ikut mendukung salah satu calon kandidat. Pemilu 2019 lalu dan juga Pemilu 2024 ini telah memberi catatan buruk, khususnya matinya integritas di antara penyelenggara pemilu, elite politik dan peserta pemilu. Bila berpolitik tidak mengutamakan integritas, maka akan memunculkan manusia yang buas. Dalam bahasa Hobbes, manusia buas, disebut dengan serigala (lupus). Dalam imaji Hobbes, manusia adalah serigala yang tidak bisa diatur dan bertendensi saling memangsa. Oleh karena itu Hobbes menjuluki dengan istilah homo homini lupus – manusia adalah serigala bagi sesamanya. Ini poin penting yang membangkitkan para relawan.
Selamat Datang Relawan Politik
Seperti telah diurai di depan, motif kerelawanan selalu beragam. Begitu juga keragaman penyebab munculnya kerelawanan politik. Namun, lonjakan ketidakpercayaan terhadap perilaku Presiden Jokowi rupanya menjadi faktor sentral dalam keragaman penyebab termasuk datang dari berbagai kampus. Kalau dilihat, pada Pemilu 2024 ini kerelawanan politik itu menjadi fenomena di seluruh Indonesia. Tampak jelas para relawan itu senafas dengan keluhan mereka, bahwa mereka telah pengap dan muak dengan kondisi yang ada, dan mereka membutuhkan perubahan. Dan itu ada pada pasangan AMIN-01.
Pertanyaannya, mengapa ketidakpercayaan dan sinisme terhadap corak politik seperti itu memunculkan sikap kerelawanan dan tidak apatis? Hal yang sering dilupakan, dalam lebih dari satu dasarwarsa terakhir telah berlangsung aneka eksperimen kerelawanan politik dan independensi, yang pada momen penting siap berubah menjadi partisan (partisan volunteerism). Sejatinya ketika Jokowi ikut pada 2014 juga cukup banyak dibantu oleh kerja keras relawan partisan. Juga masa sebelumnya di era SBY. Sayangnya fenomena dukungan kini berbalik akibat blundernya Jokowi.
Apakah keutamaan independensi dan kerelawanan politik demikian luhurnya? Pertanyaan ini tentu menggelikan. Kalau melihat dulu para relawan Ahok pada Pilkada DKI, nampak energi besar ada di sana tetapi para relawan ini mudah terkena sindrom “rabun politik” yang menyebabkan mereka gampang terpeleset. Pertama, kecenderungan menganggap setiap kritik kepada kepemimpinan Ahok sebagai penolakan terhadapnya. Mereka anti kritik. Padahal, mendukung tanpa kritik adalah energi menuju tribalisme politik. Kedua, para relawan tak perlu kaget dengan segala sindrom kekuasaan ini. Orang yang mendapat kuasa, sesopan apa pun pada awalnya, mudah dirasuki lupa daratan. Itulah yang dialami Jokowi setahun menjelang habis masa jabatannya, lalu memilih jalan politik dinasti.
Sebagai catatan penting, relawan jika yang diusung terpilih jangan dikira tanpa masalah__akan banyak dampak negatif ikutannya, tetapi hal positif yang penting dicatat bahwa kerelawanan mengemban misi menerobos kebuntuan hidup yang tersekat-sekat agar bangsa atau konstalasi negara dapat berubah lebih baik. Perubahan ! …itulah jawaban mengapa para relawan itu tumbuh meruyak dan besar bak jamur di musim hujan.