• TERKINI
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Kemiskinan dan Kesehatan Mental

18/02/2025/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

Solopos (26 April 2024)
Hilma Fanniar Rohman

Status sosial ekonomi keluarga memiliki dampak yang signifikan terhadap pendidikan dan perkembangan anak, termasuk keterampilan sosial mereka. Situasi ekonomi keluarga, seperti keadaan finansial dan akses terhadap sumber daya, berpengaruh langsung terhadap pengalaman hidup anggota keluarga dalam lingkungan mereka. Anak-anak dari keluarga dengan kekayaan materi yang cukup memiliki lebih banyak akses terhadap pendidikan yang berkualitas, peluang ekstrakurikuler, dan pengalaman sosial yang beragam. Pendidikan orang tua juga menjadi faktor penting dalam membentuk perkembangan anak.

Tingkat pendidikan orang tua memengaruhi cara mereka mendidik anak-anak. Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi cenderung lebih terbuka terhadap pendidikan anak dan lebih memberikan dorongan serta dukungan dalam eksplorasi minat dan bakat anak mereka. Keluarga dengan latar belakang pendidikan rendah lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar, seperti mencari nafkah dan menyediakan makanan, daripada memperhatikan perkembangan sosial anak.

Mereka mungkin memiliki keterbatasan waktu dan sumber daya untuk mendukung anak-anak mendapat pengembangan dan keterampilan sosial. Orang tua dari kelompok status sosial ekonomi menengah sering kali memiliki lebih banyak kesempatan untuk memberikan contoh dan memfasilitasi pengembangan kehidupan sosial yang baik bagi anak-anak mereka. Mereka memiliki akses yang lebih baik ke lingkungan yang mendukung perkembangan sosial anak, seperti klub atau aktivitas ekstrakurikuler. Status sosial ekonomi seseorang bervariasi dan memiliki tingkatan yang berbeda-beda, termasuk tinggi, sedang, dan rendah.

Hal ini merupakan hasil dari interaksi manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Faktor-faktor sosial ekonomi ini meliputi pendidikan, pengetahuan tentang kesehatan, gizi, lingkungan, nilai-nilai, dan lain-lain. Status sosial ekonomi dapat dipahami melalui pekerjaan, tingkat pendidikan, akses ke layanan kesehatan, dan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup di dalam rumah tangga atau keluarga.

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, faktor teknis medis, faktor geogafis, karakteristik ibu dan ayah, serta faktor keadaan sosial ekonomi sangat besar peranannya terhadap kesehatan mental mengingat kawasan Indonesia yang luas dan belum merata kondisinya atau ada perbedaan yang besar dalam bidang sosial dan ekonomi (Aisyan et al., 2013). Bagi orang tua dengan status sosial ekonomi rendah, menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan sosial anak menjadi tantangan. Mereka menghadapi hambatan ekonomi dan sosial dalam mencari waktu dan sumber daya untuk memfasilitasi interaksi sosial yang sehat bagi anak-anak mereka.

Kurangnya sumber daya ekonomi adalah salah satu faktor yang meningkatkan risiko gangguan mental dalam masyarakat. Sebagian dari mereka belum memahami langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi masalah kesehatan mental tersebut. Kesehatan mental penting bagi setiap anggota keluarga pada setiap fase kehidupan. Kesehatan mental adalah suatu kondisi ketika fungsi mental berhasil dijalankan, mengarah pada aktivitas yang bermanfaat, interaksi antarpribadi yang memuaskan, dan kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan dan mengatasi kesulitan.

Hal ini memengaruhi cara berpikir, perasaan, dan bertindak. Kesehatan mental juga menjadi landasan dalam menjalin hubungan persahabatan dengan keluarga, sahabat, dan rekan kerja, serta kemampuan seseorang dalam berkontribusi pada komunitas atau masyarakat. Teknologi informasi dan komunikasi membawa banyak pengetahuan kesehatan. Kesehatan bukan hanya kondisi fisik, tetapi juga kesejahteraan psikologis. Beberapa faktor risiko dapat memicu penyakit mental seperti diskriminasi, pelecehan, dan penggunaan narkoba.

Kemiskinan juga menjadi salah satu faktor risiko yang memengaruhi kesehatan mental. Bagaimana kemiskinan memengaruhi kesehatan mental? Kemiskinan adalah kondisi ketika seseorang atau kelompok mengalami kesulitan keuangan yang signifikan atau tinggal di lingkungan yang memiliki keterbatasan sumber daya ekonomi yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Kemiskinan tidak hanya mencakup ketidakmampuan memperoleh pendapatan yang mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari seperti makanan, tempat tinggal, pakaian, dan perawatan kesehatan, tetapi juga mencakup akses terbatas terhadap pendidikan, pekerjaan yang layak, layanan kesehatan yang memadai, dan infrastruktur dasar seperti air bersih dan sanitasi yang layak.

Kemiskinan telah diakui sebagai faktor risiko kesejahteraan psikologis. Kemiskinan dan penyakit mental mempunyai hubungan sebab akibat dalam dua arah. Kemiskinan berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran yang tidak menentu. Pola asuh orang tua adalah faktor penting dalam memprediksi dampak kemiskinan terhadap kesehatan mental anak-anaknya. Oleh karena itu, keluarga menjadi penting dalam meningkatkan kesehatan mental anak.

Intervensi dari sudut pandang sekolah juga akan membantu memanipulasi kelompok masyarakat kurang mampu. Sekolah dapat memberikan peluang khusus untuk meningkatkan kesehatan mental. Caranya dengan menyediakan program untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis, seperti social and emotional learning, resilience, life skills, character education, dan lain sebagainya.

sumber : https://kolom.espos.id/kemiskinan-dan-kesehatan-mental-1909126

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-02-18 09:14:572025-02-18 09:15:38Kemiskinan dan Kesehatan Mental

Pemanfaatan Tanah Kas Desa

11/02/2025/in Opini, Publikasi 2024, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (8 Mei 2024)
Rahmat Saleh

Percepatan pertumbuhan ekonomi berbagai daerah, umumnya selalu disertai respon pembuat kebijakan, penguatan pembangunan untuk menunjang pertumbuhan perekonomian daerah tersebut. Desakan adanya peningkatan populasi pun mendorong pergeseran akses lahan tanah, mulai permintaan lahan peruntukan permukiman maupun komersial untuk bisnis di wilayah pinggiran kota bahkan sampai di wilayah pedesaan. Peningkatan permintaan akan lahan tanah tersebut tentu menciptakan potensi akan kelangkaan lahan tanah yang krusial dalam keberlangsungan kehidupan.

Pihak pemegang kekuasaan misalnya, dalam hal ini pemerintah terdapat berbagai upaya melakukan optimalisasi aset negara untuk menunjang pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah. Menurut data laporan perekonomian Provinsi D.I Yogyakarta secara makro regional, potensi pertumbuhan ekonomi ditargetkan signifikan dengan ditopang adanya peningkatan investasi utama percepatan pembangunan Proyek Strategi Nasional (PSN) seperti pembangunan tol Jogja-Solo, Jogja-Bawen serta Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) yang masih terus massif berjalan.

Fenomena tersebut tentu sulit lepas dari permintaan akan lahan tanah yang tinggi.
Selain, dari kalangan pihak pemerintah untuk kepentingan umum, kalangan non-pemerintah dalam hal ini pihak swasta seperti pengusaha pun massif melakukan upaya optimalisasi aset untuk kepentingan komersial di Provinsi D.I Yogyakarta. Potensi kriminalitas penyalahgunaan pemanfaatan lahan tidak bisa dihindari baik secara regulasi maupun tata kelola pemanfaatan, sekalipun sudah diedarkan Peraturan Gubernur DIY No 34 Tahun 2017 terkait Pemanfaatan Tanah Kas Desa (TKD) tentang ketentuan penggunaan teruntuk non pertanian seperti pemanfaatan berupa toko, obyek wisata dan restoran atau komersial lainnya.

Norma Baru

Realitas penyalahgunaan Tanah Kas Desa (TKD) menjadi perhatian belakangan ini, Kejaksaan Tinggi Provinsi D.I Yogyakarta telah menetapkan beberapa temuan dari pelaku tersangka dalam kasus dugaan menerima suap ataupun gratifikasi yang menyebabkan kerugian negara secara angka sekitar empat milyar rupiah lebih pada tahun 2023. Hal tersebut perlu menjadi renungan bersama untuk semua pihak, terlebih lembaga negara sebagai pemangku kebijakan untuk mencari win solution.

Percepatan pertumbuhan optimalisasi pemanfaatan Tanah Kas Desa pasca pandemi merupakan (nature/state of the world) sehingga memaksa kita berada pada norma baru, diikuti pengambilan keputusan yang terus bergerak pada keseimbangan baru. Kita berharap seluruh pihak dalam mengambil keputusan dapat bersikap secara rasional dan integritas baik guna perubahan perbaikan secara sistem aturan main (rule of the games), aturan formal dan informal serta organisasi (players) yang mengimplementasikan aturan main itu sendiri.

Mengutip menurut pemikiran Milton Friedman, dalam menghadapi tantangan penyalahgunaan pemanfaatan aset berupa Tanah Kas Desa pada saat ini bahkan jika kondisinya akan lebih parah (depressions) dengan temuan kasus penyalahgunaan terus meningkat, maka setidaknya intervensi pemerintah diharapkan perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut yaitu pertama, pada saat membuat kebijakan atau solusi, diharapkan lebih dari satu alternatif dan pilih salah satu kebijakan tersebut yang terkecil biaya uang dan non uang-nya (opportunity cost).

Kedua, perhatikan kepentingan masyarakat yang lebih luas, jangan sampai mengabaikan kepentingan umat, bangsa dan negara demi kepentingan golongan tertentu. Ketiga, gunakan moral dan estetika logis dalam memutuskan suatu kebijakan.

Persoalannya apakah kasus temuan penyalahgunaan pemanfaatan aset berupa Tanah Kas Desa ini akan bertahan di bawah seperti kurva hurul L? Atau lama di bawah, seperti kurva huruf U? Namun yang pasti kita ingin bahwa pemulihan persoalan ini akan cepat terselesaikan, seperti kurva huruf V, dan itu menjadi harapan kita bersama.

sumber : https://kedu.suaramerdeka.com/pendidikan/2112619910/pemanfaatan-tanah-kas-desa

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-02-11 13:00:142025-02-11 11:04:17Pemanfaatan Tanah Kas Desa

Bansos, Demokrasi, dan Upaya Merawat Kemiskinan

11/02/2025/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Aisyiyah (4 April 2024)
Annisa Fithria

Bantuan sosial (Bansos) telah menjadi salah satu instrumen utama yang digunakan oleh pemerintah di seluruh dunia termasuk Indonesia dalam upaya untuk menekan angka kemiskinan. Bansos menjadi cara instan untuk memberikan jaringan keamanan dan keselamatan bagi mereka yang terpinggirkan dan terancam kemiskinan.

Selama tahun 2014-2024, hampir satu dekade masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, dana yang disediakan untuk perlindungan sosial nyaris mencapai Rp4.000 triliun. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, alokasi tepatnya mencapai Rp3.663,4 triliun dari tahun 2014 hingga 2024. Pada APBN tahun 2024 dimana juga menjadi tahun yang akan dilangsungkannya Pemilu, dana sebesar Rp496,8 triliun telah dialokasikan untuk perlindungan sosial yang akan diperuntukkan kepada beberapa kementerian dan lembaga terkait.

Alokasi dana perlindungan sosial pada tahun 2024 ini merupakan yang terbesar dalam sejarah Republik Indonesia, bahkan melebihi alokasi untuk perlindungan sosial selama masa pandemi COVID-19. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, di mana Indonesia masih dalam tahap pemulihan dari dampak pandemi, alokasi untuk perlindungan sosial tahun 2024 mengalami peningkatan sebesar 12,4 persen dari Rp439,1 triliun yang telah dialokasikan pada tahun 2023.

Sebagaimana Pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Fakir Miskin dan Anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara” dan selanjutnya dalam Pasal 27 Ayat (2) yang menyatakan, “Bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, Bansos merupakan manifestasi dari keterangan pasal tersebut yang dapat juga diartikan bahwa bansos adalah hak warga negara yang membutuhkan.

Pertanyaan mendasar berikutnya, apakah amanat undang-undang ini telah dijalankan dengan baik oleh pemerintah. Fakta menunjukkan tidak demikian. Sejak tahun 2015 hingga 2023, meskipun anggaran besar telah dialokasikan, penurunan tingkat kemiskinan belum mencapai target sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pada tahun 2023 misalnya, tingkat kemiskinan hanya menurun pada angka 9,36 persen, sementara target RPJMN seharusnya mencapai 8 persen.

Bansos yang merupakan satu dari berbagai cara untuk menekan angka kemiskinan nyatanya belum begitu efektif. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya komitmen pemerintah untuk mengelola program tersebut secara profesional dan serius.

Pengelolaan data penerima manfaat yang masih buruk, tumpang tindih, dan tidak sinerginya program perlindungan sosial antar lembaga pemerintah serta dijadikannya Bansos sebagai komoditas politik yang sekedar menjadi alat untuk kepentingan elektoral, membuat program tersebut gampang menguap dan kehilangan kemampuan optimalnya untuk menekan angka kemiskinan, mendorong penerima manfaat menjadi berdaya, dan merangsang masyarakat kelas bawah untuk naik kelas.

Bansos sebagai komoditas politik dapat terlihat jelas melalui alokasi pengelolaan postur anggaran perlindungan sosial pada tahun-tahun menjelang Pemilu. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudiono misalnya, menjelang pemilu 2014 anggaran bansos pada tahun tersebut naik secara signifikan sebesar Rp484,1 triliun dibanding 2013 yang hanya Rp200,8 triliun.

Sementara itu di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, postur anggaran perlindungan sosial juga mengalami kenaikan pada tahun-tahun menjelang pemilu, seperti tahun 2019 mengalami kenaikan anggaran sebesar Rp419,2 triliun, dengan kenaikan yang sangat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2018 sebesar Rp162,56 triliun, dan pada tahun 2024 sebesar Rp496,8 triliun yang juga lebih besar 12,4 persen atau hanya Rp439,1 triliun pada tahun 2023.

Menjadikan Bansos sebagai tunggangan politik untuk kepentingan elektoral semata jelas merupakan kesalahan dan pelanggaran. Memanfaatkan fasilitas negara, anggaran, dan program yang dibiayai oleh pajak rakyat dan bukan dari kantong-kantong elit politik adalah kejahatan.

Penggunaan Bansos untuk kepentingan politik elektoral tentu akan menghadirkan ketimpangan dan ketidakadilan, dimana pemberian Bansos hanya fokus pada satu daerah tempat dimana ia akan memenangkan kompetisi politik dan seiring dengan hal tersebut tentu akan mengabaikan rakyat di daerah yang lain.

Politik Bansos tersebut kerap kali dilakukan oleh politikus yang sedang mempertahankan kekuasaannya, sehingga keberadaan rakyat miskin menjadi penting untuk merawat kemenangan politiknya. Dalam pengertian, semakin banyak jumlah orang miskin, maka semakin besar pula peluang untuk memenangkan pertarungan politik elektoral dengan memanfaatkan Bansos. Sehingga menjadi mungkin, jauhnya tingkat keberhasilan program perlindungan sosial adalah upaya untuk merawat kemiskinan sebagai investasi kemenangan politik untuk mempertahankan kekuasaan.

Kondisi seperti ini menjadikan Pemilu yang merupakan puncak dari perayaan demokrasi berjalan tidak seimbang dan jauh dari rasa adil. Menyebabkaan ongkos politik menjadi mahal yang pada akhirnya akan mengamputasi kesempatan masyarakat untuk masuk gelanggang politik dan hilangnya kesempatan yang setara untuk menjadi pelayan publik.

Kondisi ini menjadi salah satu penyumbang turunnya kualitas demokrasi di Indonesia sebagaimana data indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh The Economist yang menempatkan Indonesia pada peringkat 54 dari 167 negara dengan skor 6,71 dengan status flawed democracy atau cacat demokrasi dengan mengukur berbagai hal lainnya, termasuk sistem Pemilu, kebebasan berpendapat, hak asasi manusia, dan keadilan.

Bansos sudah seharusnya dikembalikan pada tujuan awal yaitu menjadi jaring pengaman masyarakat yang lemah bukan menjadi tunggangan politik untuk kepentingan kotor kekuasaan. Pengelolaan Bansos harus dikelola secara professional, akuntabel, dan berkeadilan untuk dapat menjadi alat penanganan kemiskinan yang optimal.

Menjadikan Bansos lebih bernilai bukan hanya sekedar menjadi alat pelepas rasa lapar masyarakat secara temporer melainkan menjadi cara untuk menciptakan peluang dan kesetaraan yang sama, mendorong masyarakat menjadi berdikari dan berdaya serta menciptakan kehidupan masyarakat yang bermartabat.

Sumber : https://suaraaisyiyah.id/bansos-demokrasi-dan-upaya-merawat-kemiskinan/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-02-11 10:57:112025-02-11 10:57:11Bansos, Demokrasi, dan Upaya Merawat Kemiskinan

Warga Kelas Dua dan Demokrasi Berkemajuan

10/02/2025/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Aisyiyah (7 Februari 2024)
Annisa Fithria

Budaya patriarki di Indonesia memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, menciptakan sistem sosial yang didominasi oleh pria, dan menempatkan perempuan dalam peran yang lebih rendah sebagai warga kelas dua. Di era modernitas seperti sekarang, pada tingkat makro, peran tradisional gender masih menetapkan norma-norma patriarki, dengan laki-laki dianggap sebagai tulang punggung keluarga dan pemimpin, sementara perempuan diharapkan untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak.

Kondisi seperti ini disebabkan oleh pola didik yang tidak setara sejak dalam rumah dimana ethics of care menjadi pendidikan dominan yang didapatkan oleh perempuan seolah perempuan hanya dituntut fokus pada urusan domestik rumah tangga sedangkan laki-laki diasuh dengan pola didik ethics of justice dengan mengumpamakan hanya lelakilah yang boleh membahas dan duduk pada diskursus politik, keadilan, dan kebijakan publik. Padahal, pendidikan ethics of justice sama pentingnya dengan pendidikan ethics of care dimana baik laki-laki maupun perempuan harus mendapatkan keduanya dan setara kedudukannya untuk seluruh jenis ilmu apapun.

Dampak dari budaya patriarki tidak hanya terbatas pada norma-norma sosial, tetapi juga melibatkan masalah serius, seperti kekerasan terhadap perempuan, termasuk pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga yang dapat muncul sebagai hasil dari struktur sosial yang mendukung ketidaksetaraan gender. Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2022 terdapat 459.094 laporan kekerasan terhadap perempuan dan sekitar 3,2 juta kasus kekerasan seksual dalam 8 tahun terakhir. Diskriminasi gender masih menjadi kendala di berbagai sektor, termasuk dalam pendidikan, partisipasi politik dan demokrasi yang menciptakan ketidaksetaraan yang perlu diatasi.

Dalam partisipasi politik dan pengambilan kebijakan, peranan perempuan juga belum begitu memuaskan walaupun Indonesia telah mengadopsi Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women-CEDAW) pada tahun 1984 dalam bentuk UU No. 7 Tahun 1984 yang mencerminkan komitmen pemerintah Indonesia untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan memberikan landasan hukum bagi upaya lebih lanjut dalam mencapai kesetaraan gender serta lahirnya UU No. 10 Tahun 2008 dan UU No. 8 Tahun 2012 yang mengatur peningkatan kuota perempuan dalam parlemen dan pemerintahan lokal sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik.

Pencapaian target keterwakilan perempuan sebesar 30 persen di parlemen masih jauh dari harapan yang diinginkan. Berdasarkan informasi dari World Bank pada tahun 2019, Indonesia menempati peringkat ketujuh di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen dan hanya 120 orang atau 20,9% keterwakilan perempuan di parlemen pada periode 2019-2024. Dalam konteks pemilihan umum anggota DPR tahun 2024, hanya satu partai dari total 18 partai politik yang memenuhi kuota minimum 30 persen kandidat perempuan dalam daftar pencelanonan.

Ketidakcapaian target keterwakilan perempuan sebesar 30% dapat disebabkan oleh faktor-faktor kompleks. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kegagalan keterwakilan perempuan di legislatif dapat disebabkan oleh sistem budaya politik dan rekrutmen partai yang belum mendukung calon perempuan untuk menjadi anggota DPR RI. Selain itu, sistem pemilu proporsional terbuka juga dianggap melemahkan upaya calon perempuan dalam mendapatkan dukungan suara.

Untuk mengahasilkan demokrasi yang berkemajuan, diperlukan komposisi yang setara terhadap keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan dan partisipasinya dalam politik elektoral. Representasi yang adil dan seimbang dalam demokrasi yang sehat menjadi mungkin dengan melibatkan secara aktif perempuan dalam proses politik. Memastikan bahwa suara mereka diakui dan diwakili dalam pengambilan keputusan politik untuk mengatasi ketidaksetaraan gender. Aktivitas politik perempuan dapat memperkuat kesempatan dan hak-hak mereka untuk menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan seluruh masyarakat.

Meningkatkan peran perempuan dalam demokrasi memerlukan serangkaian upaya dan strategi. Salah satu langkah kunci adalah peningkatan kesadaran dan pendidikan tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam politik. Program pendidikan yang setara dan penyebarluasan arus informasi dapat membantu mengubah persepsi masyarakat dan memberikan pengetahuan yang lebih baik tentang hak-hak perempuan terutama dalam konteks politik dan kebijakan publik.

Upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pemilihan umum juga diperlukan. Ini dapat dilakukan bukan hanya melalui peningkatan jumlah kandidat perempuan dan penggunaan kuota khusus sebagaimana yang tertera dalam undang-undang, tetapi juga memberikan dukungan finansial dan pelatihan bagi perempuan yang ingin terlibat dalam politik guna melampaui dan melawan batas-batas patriarkis yang secara tradisional tumbuh di masyarakat kita.

Perubahan budaya politik yang mendukung stereotip gender dan diskriminasi juga merupakan langkah krusial. Kampanye kesetaraan gender, peningkatan kesadaran, dan promosi nilai-nilai kesetaraan terutama di institusi partai politik dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi partisipasi perempuan.

Melakukan audit gender terhadap kebijakan dan praktik politik merupakan langkah krusial dalam mengidentifikasi ketidaksetaraan pada institusi-institusi politik untuk mengevaluasi dan melakukan perubahan yang diperlukan. Melalui serangkaian upaya ini, diharapkan peran perempuan dalam demokrasi dapat ditingkatkan, memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pengambilan keputusan politik, serta menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia sangat perlu kiranya kita melakukan evaluasi secara terus menerus untuk menghasilkan sistem dan ekosistem demokrasi yang menjamin bangsa Indonesia benar dalam track menuju cita-cita Nasional. Oleh karena itu demokrasi berkemajuan menjadi mutlak. Demokrasi yang memberikan kesempatan bagi seluruh warga bangsa untuk berpatisipasi dalam keputusan politik dan kebijakan publik. Membuka sebesar-besarnya peluang perempuan dan kaum marjinal lainnya untuk tidak lagi menjadi warga kelas dua dan sama kedudukannya dengan warga lain untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sumber : https://suaraaisyiyah.id/warga-kelas-dua-dan-demokrasi-berkemajuan/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-02-10 16:00:352025-02-11 09:44:00Warga Kelas Dua dan Demokrasi Berkemajuan

Menuju Indonesia Zero Malaria

10/02/2025/in Opini, Publikasi 2024, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (27 April 2024)
Putri Rachma Novitasari

Hari Malaria Sedunia diperingati pada tanggal 25 April setiap tahunnya. Penetapan ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengendalikan dan memberantas malaria di seluruh dunia. Malaria merupakan penyakit menular akibat parasit genus Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina.

Gejala yang dialami penderita biasanya berupa demam yang menyiksa, sakit kepala, dan menggigil. Meskipun malaria pada umumnya dapat dicegah dan diobati, penyakit ini bisa berakibat fatal jika tidak ditangani dengan benar. Dampak negatif terhadap kesehatan inilah yang membuatnya memerlukan penanganan yang serius.

Malaria adalah penyakit yang sampai saat ini masih banyak menjangkit masyarakat di seluruh dunia. Setiap tahun, laporan tentang kasus malaria di seluruh Dunia dari World Health Organization (WHO) memberikan penilaian komprehensif dan terkini mengenai tren pengendalian dan eliminasi malaria di seluruh dunia.

Laporan tahun 2023 untuk pertama kalinya, berfokus pada adanya hubungan antara perubahan iklim dan malaria. Sebagaimana dijelaskan dalam laporan tersebut, perubahan iklim menjadi salah satu dari banyak ancaman terhadap respons global terhadap malaria. Perubahan suhu, kelembapan, dan curah hujan dapat mempengaruhi perilaku dan kelangsungan hidup nyamuk Anopheles penular malaria.

Perubahan iklim menurut WHO menimbulkan risiko besar terhadap kemajuan dalam pemberantasan malaria, khususnya di daerah yang berisiko terhadap penularan malaria. Karena itu, dengan mengambil tindakan segera untuk memperlambat pemanasan global dan mengurangi dampaknya, secara tidak langsung dapat menekan laju peningkatan penyakit malaria.

Penyakit Menular

Malaria adalah penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan di sebagian wilayah di Indonesia, utamanya ada di kawasan Indonesia bagian timur. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, membebaskan masyarakat dari malaria. Pemerintah Indonesia menargetkan tahun 2030 Indonesia akan Bebas Malaria.

Guna mewujudkan Indonesia bebas malaria pada tahun 2030, pemerintah perlu menciptakan zona bebas malaria di tingkat provinsi. Namun demikian, sebelum hal itu dilakukan, penyakit malaria harus diberantas di seluruh kabupaten atau kota di Indonesia.

Biasanya, titik perkembangbiakkan nyamuk penyebab malaria paling banyak terjadi selama dan sesaat setelah musim hujan. Wilayah yang padat penduduk juga akan meningkatkan resiko mewabahnya kasus malaria. Upaya mandiri yang dapat dilakukan guna pencegahan malaria yakni memakai pakaian serba panjang seperti celana dan baju lengan panjang selama beraktivitas sehari-hari, memakai kelambu pada saat tidur, menghindari meletakkan pakaian basah dan menggantung pakaian di dalam rumah.

Ada pula menggunakan lotion anti nyamuk yang mengandung DEET (diethyltoluamide) atau picaridin, memasang obat nyamuk di pagi dan sore hari, serta rutin melakukan fogging massal di daerah dengan tingkat malaria yang tinggi minimal sebulan sekali. Selain itu langkah 3M (Menguras penampungan air, Mengubur barang bekas, dan Mendaur ulang barang bekas) juga sangat penting.

Pengobatan malaria kini telah dikembangkan. Di Indonesia, apabila masyarakat merasakan gejala malaria, dapat mengunjungi Puskesmas terdekat untuk konfirmasi diagnosa. Jika telah terbukti terdiagnosa, pasien akan mendapatkan obat di Puskesmas. Selain Puskesmas tersedia juga di rumah sakit daerah terdekat yang dapat mengobati malaria.

Pengobatan alami juga dapat dilakukan. Bahan-bahan alami yang mudah dijumpai di lingkungan sekitar seperti kayu manis, kunyit, pepaya, jahe, air perasan jeruk nipis, cuka apel dan madu telah terbukti dapat mengurangi gejala dan efek yang ditimbulkan dari Malaria.

Kementerian Kesehatan mengumumkan jumlah terakhir penyakit malaria pada tahun 2023 sebanyak 55.525 kasus pada 27 April 2023. Hal ini jauh berkurang dari tahun sebelumnya, yang disebutkan sebanyak 443.530 orang terjangkit malaria, sebagian besar berasal dari Provinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Papua Barat.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencapai eliminasi malaria, termasuk melakukan advokasi kepada pimpinan daerah, bupati, walikota, dan gubernur. Pemerintah juga berupaya menyediakan obat antimalaria, memperluas deteksi dini malaria, meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan, dan melakukan kolaborasi antar program dan organisasi profesi. Jika pemerintah tetap berpegang teguh pada upaya yang telah dicanangkan ini, maka tujuan Indonesia untuk mencapai zero malaria pada tahun 2030 akan segera terwujud.

sumber : https://kedu.suaramerdeka.com/pendidikan/2112527300/menuju-indonesia-zero-malaria

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-02-10 13:00:302025-02-11 09:44:16Menuju Indonesia Zero Malaria

Peran Upah dalam Dinamika Pengangguran di Indonesia

10/02/2025/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (23 April 2024)
Gea Dwi Asmara

Indonesia merupakan negara berkembang dan memiliki populasi terbesar keempat di dunia. Permasalahan yang umumnya dihadapi oleh negara maju maupun berkembang yaitu permasalahan mengenai makroekonomi seperti pengangguran dan inflasi.

Dalam hal ketenagakerjaan, Indonesia menghadapi tantangan pesatnya jumlah angkatan kerja yang tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Ini mengakibatkan terjadinya pengangguran.
Hal tersebut menjadi masalah serius di hampir seluruh wilayah Indonesia. Kenyataannya pembangunan ekonomi belum secara proporsional menciptakan lebih banyak lapangan kerja seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat setiap tahun.

Upaya dalam pembangunan ekonomi adalah menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat, memperluas penyediaan lapangan kerja, dan meratakan distribusi pendapatan. Jika pembangunan dapat meningkatkan kesejahteraan secara lebih luas, maka pembangunan dianggap berhasil, yang berarti bahwa manfaat dari pembangunan ekonomi harus dapat dirasakan secara merata dan adil oleh semua masyarakat.

Provinsi-provinsi di Pulau Jawa menyumbang mayoritas Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang berkisar antara 3,7% hingga 8,5%, menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022. Di urutan kedua adalah Pulau Sumatra yang menunjukkan TPT berkisar antara 3,4% hingga 8%.

Sementara Pulau Kalimantan menduduki peringkat ketiga dengan nilai TPT masing-masing berkisar antara 4,2% hingga 6,7%. Adapun di tingkat nasional, tercatat TPT pada 2022 rata-rata berkisar 5,83%. Data tersebut menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup besar pada TPT antarprovinsi.

Pengangguran, sebagai suatu besaran makroekonomi, bukanlah sebuah variabel independen. Variabel ini baik secara langsung maupun tidak langsung akan berhubungan dengan variabel makroekonomi lainnya. Ada banyak faktor menyebabkan pengangguran. Menurut beberapa studi empiris, salah satu penyebab pengangguran dikarenakan upah.
Menurut teori ekonomi klasik, tingkat upah yang ditawarkan akan mempengaruhi penawaran tenaga kerja. Sejalan dengan hal tersebut, teori Keynes menyatakan salah satu faktor yang menyebabkan pengangguran adalah efek dari tingkat upah yang kurang fleksibel di pasar tenaga kerja.

Seperti halnya penawaran, permintaan juga dipengaruhi oleh tingkat upah. Tingkat upah dan permintaan tenaga kerja diperkirakan memiliki hubungan yang berkebalikan; ketika upah naik di pasar, maka lebih sedikit pekerja yang dibutuhkan yang menyebabkan pengangguran.

Dengan kenaikan upah, pengusaha cenderung beralih dari tenaga kerja ke penggunaan mesin atau teknologi. Begitu pula sebaliknya, dengan penetapan upah minimum yang lebih rendah mendorong perusahaan menggunakan lebih banyak tenaga kerja sehingga dapat mengurangi pengangguran. Permintaan tenaga kerja dapat dipahami sebagai jumlah pekerja yang bisa dipekerjakan atau dibutuhkan oleh pemberi kerja pada tingkat upah tertentu.

Keseimbangan terjadi ketika penawaran sama dengan permintaan. Pada saat terjadi keseimbangan, akan ada penyerapan tenaga kerja secara penuh atau full employment. Keseimbangan ini menciptakan keseimbangan antara upah dan jumlah pekerja, yang juga dikenal sebagai upah kompetitif dan pekerja kompetitif. Tingkat upah dalam kondisi ekuilibrium ini adalah tingkat upah kliring pasar.

Jika tingkat upah berada di luar tingkat upah ekuilibrium, akan ada tekanan untuk menurunkan atau meningkatkan tingkat upah. Tingkat upah yang tidak seimbang ini akan menciptakan lowongan pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga kerja, atau mungkin, akan ada terlalu banyak pekerja yang bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang jumlahnya terbatas.

Penetapan Upah
Penetapan upah minimum yang dilakukan oleh pemerintah pada suatu wilayah akan memberikan pengaruh terhadap besarnya tingkat pengangguran pada wilayah tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mempertimbangkan kebijakan upah minimum yang lebih diferensiasi berdasarkan kondisi ekonomi dan harga hidup di masing-masing provinsi.

Pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah, serikat pekerja, dan pengusaha, perlu terlibat dalam dialog tripartit yang intensif untuk mencapai kesepakatan yang adil dan berkelanjutan. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah cerdas untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara perlindungan pekerja, pertumbuhan ekonomi, dan kesetaraan regional.

sumber : https://opini.harianjogja.com/read/2024/04/23/543/1172115/opini-peran-upah-dalam-dinamika-pengangguran-di-indonesia

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-02-10 10:43:242025-02-10 10:43:24Peran Upah dalam Dinamika Pengangguran di Indonesia

Program Makan Siang dan Susu Gratis: Apakah Efektif?

24/01/2025/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (22 Maret 2024)
Muhammad Ridwan Ansari

Kontestan nomor urut 02, yaitu pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pemenang Pilpres 2024. Ada hal yang menarik dari visi misi dan program kerja dari pasangan ini yang belakangan menjadi diskursus bahkan bullying kepada pasangan ini. Program ini adalah pemberian makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren, serta bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil untuk mencegah stunting pada anak Indonesia.

Program ini penting untuk dikulik dan dikritisi lebih dalam mengingat pasangan ini akan ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk lima tahun mendatang. Program ini salah satu yang akan ditagih janjinya oleh masyarakat untuk diimplementasikan.

Program makan siang gratis atau school lunch program (SLP) untuk anak bukan hal baru di dunia. Jepang adalah satu dari puluhan negara yang sudah menginisiasi program ini sejak 1889 di sebuah sekolah dasar swasta di Kota Yamagata.

Hingga kemudian pada 1957, program SLP di Jepang diintegrasikan menjadi program wajib di SD dan SMP yang disubsidi oleh pemerintah dan dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Jepang. Program ini tentu bukan program sembarangan. Berbagai studi sudah mengevaluasi dampak program ini terhadap status kesehatan dan gizi anak sekolah.

Studi yg dilakukan oleh Asakura dan Sasaki di Jepang misalnya, SLP memberikan dampak signifikan terhadap kualitas diet yang lebih baik dari siswa. Tentu kualitas diet yang baik akan berkorelasi dengan status gizi dan kesehatan anak serta performa belajar anak.

Penelitian lain yang spesifik dilakukan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat oleh tim peneliti dari Unversitas IPB yang mengevaluasi dampak dari program makan siang gratis di pondok pesantren selama sembilan bulan pada murid berusia 13-18 tahun. Program ini berhasil meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktik terkait pola diet dan diikuti dengan penurunan prevalensi masalah anemia pada anak dari 42% menjadi 21%.

Poin Penting
Tentu dari berbagai pengalaman baik di Jepang dan berbagai studi yang sudah membuktikan keefektifan program SLP sebelumnya, banyak hal-hal operasional yang perlu digarisbawahi dalam implementasi program ini.

Pertama, memastikan isu supply chain mulai dari proses pengadaan, produksi hingga penyajian perlu dikelola dan dijamin standar prosesnya. Bagaimana mengatur proses pengadaan dan produksinya, apakah akan dikelola terpusat di sekolah atau dilakukan oleh pihak ketiga?
Bagaimana memastikan proses ini bebas dari praktik korupsi dan suap? Bagaimana cara memastikan semua makanan disiapkan aman dan halal terutama bagi yang beragama muslim atau memiliki riwayat alergi tertentu.

Berkaca dari program bantuan sosial yang selama ini dilakukan pemerintah, banyak sekali potensi kekeliruan sasaran dan kecurangan pengaturan paket yang diterima, yang mungkin juga bisa terjadi dalam program ini. Belum lagi potensi kontaminasi makanan yang berisiko terjadi hingga mengakibatkan keracunan bahkan kematian.

Kedua, memastikan program tepat sasaran. Pemerintah Jepang betul-betul memikirkan bukan hanya makanan bisa sampai tepat di meja siswa, namun juga isi makanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan porsi energi dan zat gizi siswa. Oleh karena itu, seorang ahli gizi ditugaskan di setiap sekolah untuk menyupervisi dan memonitoring pengaturan menu makan siang anak di sekolah. Pemberian makan siang atau susu yang tidak sesuai kebutuhan anak dan usianya, justru memicu masalah baru berupa kelebihan berat badan atau obesitas pada anak. Masalah ini tidak kalah serius dengan masalah stunting.
Melihat kompleksitas program ini dan pengalaman implementasi dari program serupa yang pernah diterapkan di Indonesia seperti bantuan langsung tunai atau bantuan sosial sembako. maka banyak juga yang memandang skeptis dan pesimis terhadap program ini.

Alih-alih berdampak positif, namun justru menjadi beban baru dalam APBN atau potensi lumbung korupsi baru. Di Jepang sendiri sebagai gambaran, satu orang anak SD dianggarkan 39 USD dan 44 USD untuk anak SMP setiap bulan untuk program SLP ini. Bukan jumlah kecil jika diterapkan di Indonesia.

Oleh karena itu, pendekatan program ini dianggap kurang efektif jika diterapkan sebagai penanggulangan stunting di Indonesia. Program pencegahan stunting lainnya yang sudah berjalan selama ini di Indonesia seperti program dengan fokus pendekatan 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) justru dapat lebih dikuatkan implementasinya.

Pemerintah perlu mendorong para akademisi melakukan kajian riset-riset implementasi kesehatan yang tidak hanya fokus terhadap penggalian akar masalah dan tantangan teknis implementasi program namun juga mencari solusi alternatif bersama dengan para pelaksana program di lapangan.
Program suplementasi tablet tambah darah (TTD) pada ibu hamil dan remaja misalnya. Program ini sudah sangat lama diterapkan di Indonesia namun selalu dihadapkan dengan masalah-masalah klasik seperti ketersediaan yang tidak adekuat dan tingkat konsumsi yang rendah.

Data dari riset kesehatan dasar pada 2018 menyebutkan dari 80,9% siswi remaja yang menerima TTD di sekolah, hanya 1,4% di antaranya yang betul-betul mengonsumsi sesuai dengan jumlah standar. Begitupula dengan data untuk ibu hamil, dari 73,2% ibu hamil yang menerima TTD hanya 38,1 yang mendapatkan jumlah sesuai standar dan mengonsumsi secara lengkap lebih dari 90 tablet.

Sumber https://opini.harianjogja.com/read/2024/03/22/543/1168792/opini-program-makan-siang-dan-susu-gratis-apakah-efektif

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-01-24 10:00:572025-01-23 10:10:00Program Makan Siang dan Susu Gratis: Apakah Efektif?

Etika Digital Gen Z

23/01/2025/in Opini, Publikasi 2024, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (03 April 2024)
Ismira Dewi

GEN Z merupakan generasi yang saat ini tergolong usia remaja hingga dewasa awal yang berusia antara 18-25 tahun. Temuan melalui sebuah riset menunjukkan, generasi Z lebih mudah terpapar dan terhubung dengan penggunaan teknologi digital.

Generasi ini hidup di dalam era digital yang dihadapkan pada berbagai keuntungan dan tantangan serta permasalahan yang kompleks. Internet mudah mereka akses menyebabkan individu dapat memperoleh informasi beragam melalui media sosial.

Penggunaan media sosial tentunya berpengaruh pada generasi saat ini. Penggunaan smartphone yang berlebih menimbulkan permasalahan dalam berbagai setting, sehingga mereka mulai mengabaikan orang sekitar dan berdampak pada kehidupan sosialnya.

Dalam psikologi, ada istilah phubbing, yang berasal dari gabungan kata “phone” dan “snubbing”. Phubbing muncul sejak adanya perilaku mengabaikan seseorang dalam lingkungan sosial dengan melihat smartphone dibandingkan memperhatikan orang yang sedang berinteraksi bersama.

Phubbing dapat merusak interaksi sosial, membuat orang yang diabaikan merasa tidak dihargai, dan mengganggu komunikasi antarindividu. Beberapa contoh dari fenonema perilaku phubbing, misal saat berada dalam pertemuan atau acara sosial, seseorang lebih memperhatikan layar ponselnya daripada berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya.

Berdasarkan konsep teori ekologi, Urie Bronfrenbrenner, menjelaskan perkembangan individu sebagai hasil interaksi antara alam sekitar individu. Mikrosistem melibatkan hubungan personal dan bertatap muka. Dalam hal ini individu berinteraksi dengan individu lain, di dalam rumah, sekolah, maupun tempat kerja.

Mengganggu Interaksi

Ketika individu melakukan phubbing, tentu dapat mengganggu interaksi personal di dalam mikrosistem. Hal ini dapat memengaruhi kualitas komunikasi antarindividu, kepuasan hubungan, dan rasa memiliki. Selain itu, mesosistem juga berperan dalam fenomena phubbing.

Mesosistem adalah interaksi antardua atau lebih mikrosistem yang mengandung individu yang sedang berkembang. Sistem tersebut bisa jadi mengandung hubungan antara rumah dengan sekolah. Dalam hal ini, phubbing di rumah seperti mengabaikan anggota keluarga karena terlalu fokus pada smartphone dapat mengganggu hubungan antaranggota keluarga dan mengurangi kualitas interaksi di dalam rumah tangga.

Kondisi tersebut secara tidak langsung akan berpengaruh pula ketika individu berinteraksi dengan orang di sekitar lingkungan sekolah. Anak akan menunjukkan perilaku kurang perduli, seolah mereka lebih tertarik pada smartphone mereka daripada berinteraksi dengan teman sekelas atau guru. Perilaku ini kemudian berkontribusi pada makrosystem, yang mencakup norma-norma sosial dan budaya.

Dalam konteks makrosistem, phubbing dapat memengaruhi persepsi individu tentang perilaku phubbing sebagai sesuatu yang normatif atau umum sehingga dianggap suatu hal yang biasa saja. Padahal perilaku tersebut tampak tidak perduli dan mengabaikan lingkungan sekitar yang tentunya kurang sesuai dengan pada norma dan budaya setempat.

Kesimpulannya, memahami karakteristik individu dan ciri-ciri kepribadian, serta mempertimbangkan dampak phubbing terhadap hubungan interpersonal dalam mikrosistem, mesosistem, dan makrosistem, penting untuk memahami konsekuensi negatif phubbing dan pengaruhnya terhadap interaksi sosial dan dinamika dalam menjalin komunikasi interpersonal.

Beberapa solusi mengatasi perilaku phubbing antara lalin, pertama Microsistem. Orangtua hendaknya memberi batasan pada anak dalam menggunakan smartphone. Orangtua dapat meningkatkan komunikasi dengan meninggalkan ponsel. Penyebab utama seseorang melakukan phubbing adalah ponsel yang berada dalam jangkauan, seperti di dalam saku atau tas, ketika sedang berinteraksi dengan orang lain.

Kedua, Mesosistem. Penggunaan teknologi yang mengakomodasi perilaku yang sehat sehingga perlu adanya peraturan yang mengakomodasi perilaku yang sehat, seperti tidak menggunakan gadget saat berhadapan dengan banyak orang.

Salah satu teknik konseling juga dapat diterapkan guna mengatasi perilaku phubbing. Makrosistem. Mengidentifikasi munculnya perilaku phubbing dan mengembangkan strategi untuk mengelola gangguan agar tetap hadir dalam interaksi sosial. Melatih diri untuk menjadi pendengar aktif, dan terlibat dalam interaksi sosial terutama saat berada dalam suatu komunitas maupun kelompok. Perlu juga adanya ada penguatan dalam nilai agama di keluarga maupun di sekolah. Agama diharapkan mampu menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keluarga dan pengasuhan anak.

Sumber https://kedu.suaramerdeka.com/pendidikan/2112352158/etika-digital-gen-z

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-01-23 10:02:322025-01-23 10:02:57Etika Digital Gen Z

Mendengar Psikologis Generasi ”Strawberry”

02/01/2025/in Opini, Publikasi 2024, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (20 Maret 2024)
Annisa & Windy Aristiani

YOGYAKARTA, kedu.suaramerdeka.com – Remaja masa kini, sering disebut sebagai generasi ”strawberry”, hidup di tengah arus informasi yang begitu cepat dan tekanan yang semakin meningkat. Di balik kehidupan sosial media yang tampak glamor, ada realitas yang tidak selalu terlihat.

Menurut studi peneliti Universitas Indonesia, angka prevalensi self-harm atau perilaku melukai diri sendiri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan sekitar 20 hingga 30 persen remaja di Indonesia pernah melakukan tindakan self-harm, setidaknya sekali dalam hidup mereka.

Studi di Yogyakarta menemukan bahwa sekitar satu dari 10 remaja di wilayah ini telah melakukan self-harm. Angka itu menyoroti pentingnya upaya yang lebih besar dalam mengatasi masalah kesehatan mental di kalangan remaja.

Faktor-faktor seperti tekanan akademik, masalah hubungan sosial, ekspektasi sosial yang tinggi dan ketidakmampuan untuk mengatasi stres dapat berkontribusi terhadap peningkatan kasus self-harm. Dalam menghadapi tantangan tersebut, salah satu cara yang dapat kita lakukan yakni mendengar aktif.

Perilaku self harm merupakan bentuk dari kegagalan mengekspresikan emosi atau perasaan yang tidak menyenangkan. Luka atau rasa nyeri yang dialami ketika melakukan self harm dianggap sebagai perasaan yang setara dengan kekecewaan atau kesulitan yang dihadapi.

Secara psikologis semakin tidak percaya diri, rasa rendah diri, tidak berguna, tidak diperhatikan. Self harm juga dapat meningkatkan risiko infeksi karena alat yang digunakan. Seiring berjalannya waktu, hal tersebut dapat menyebabkan perilaku self harm dapat semakin meningkat, dan yang terburuk adalah percobaan bunuh diri jika tidak tertangani dengan baik.

Memahami Perasaan

Mendengar aktif bukan sekadar mendengarkan perkataan seseorang, tetapi juga memahami perasaan dan emosi. Ini melibatkan empati, kesabaran, dan keinginan yang tulus untuk memahami dan membantu. Menjadi teman akan mengurangi rasa sendirian.

Dengan mendengar aktif, kita dapat memberikan mereka ruang untuk berbagi tanpa takut dihakimi atau diabaikan. Melalui mendengarkan aktif, kita dapat membantu remaja mengeksplorasi akar permasalahan mereka dan mencari solusi yang sesuai. Ketika remaja merasa didengar dan dipahami, hal ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan memperkuat koneksi sosial mereka.

Salah satu yang memiliki peran penting dalam membangun percaya diri seorang remaja yakni orang tua. Tetapi tidak semua orang tua memahami bersikap dan memberikan perhatian kepada anaknya. Tidak sedikit yang bahkan tidak mau mendengarkan cerita remeh anaknya sehingga anak akhirnya menutup diri.

Ada pula orang tua yang merasa sudah sering berbicara tapi lupa mendengarkan. Memberikan waktu dan perhatian tentu sangat penting. Meluangkan waktu khusus untuk berbicara dengan remaja/anak tanpa gangguan dari ponsel atau kegiatan lainnya, tunjukkan bahwa kita peduli dengan apa yang mereka katakan.

Selain itu kita juga perlu mempraktikkan empati. Cobalah untuk melihat situasi dari sudut pandang remaja. Jangan langsung menilai atau mengkritik, tetapi berusaha untuk memahami perasaan mereka. Hindari pembicaraan yang hanya mengecilkan perasaan mereka. Apapun yang dirasakan remaja, itu nyata bagi mereka. Hindari meremehkan atau mengabaikan perasaan mereka, bahkan jika bagi kita terdengar sepele.

Mendengar aktif bukanlah hal yang mudah, tetapi dapat memiliki dampak yang besar pada kesehatan mental dan kesejahteraan remaja generasi ”strawberry”. Dengan memberikan ruang bagi mereka untuk berbicara dan merasa didengar, kita dapat membantu mengurangi tingkat self-harm dan memperkuat koneksi emosional yang penting dalam pembentukan identitas mereka. Ingatlah, satu-satunya cara untuk benar-benar memahami remaja adalah dengan mendengarkan dengan hati yang terbuka dan tanpa henti.

sumber https://kedu.suaramerdeka.com/pendidikan/2112209056/mendengar-psikologis-generasi-strawberry

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-01-02 11:04:022025-01-02 11:04:02Mendengar Psikologis Generasi ''Strawberry''

Masa Depan Ekspor Indonesia

02/01/2025/in Opini, Publikasi 2024, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (9 Maret 20240)
Nurul Azizah Az Zakiyyah

LIBERALISASI perdagangan sebagai gagasan ekonomi telah menarik perhatian besar dalam beberapa dekade terakhir. Ini menjadi fenomena di tengah era globalisasi. Dalam konteks globalisasi, hubungan ekonomi antara negara-negara di seluruh dunia semakin terjalin dan liberalisasi perdagangan menjadi salah satu elemen kunci yang memfasilitasi pertukaran barang dan jasa secara lintas batas.

Respons terhadap keinginan untuk membentuk pasar global yang lebih terbuka dan efisien menjadi pendorong utama munculnya konsep tersebut. Berdasarkan perspektif kepentingan negara, liberalisasi perdagangan memiliki potensi untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dengan membuka peluang akses pasar yang lebih luas bagi produk dan jasa.

Ketika terjadi pengurangan hambatan-hambatan perdagangan, negara-negara memiliki kesempatan untuk memanfaatkan keunggulan komparatif, meningkatkan produktivitas, dan mendorong inovasi. Proses liberalisasi perdagangan juga mampu meningkatkan efisiensi ekonomi karena persaingan yang lebih ketat mendorong perusahaan untuk meningkatkan kualitas produk, mengurangi biaya produksi, dan meningkatkan efisiensi operasional mereka.

Dalam kerangka liberalisasi perdagangan, negara-negara dapat fokus pada produksi barang dan jasa sesuai dengan keunggulan komparatif. Hasilnya, terjadi diversifikasi dan spesialisasi dalam produksi di tingkat global, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan secara keseluruhan. Dengan demikian, liberalisasi perdagangan bukan hanya menjadi faktor yang memfasilitasi pertukaran ekonomi, tetapi juga merupakan alat untuk menciptakan peluang dan memacu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Perjanjian Liberalisasi

Sebagai negara yang terbuka, Indonesia telah terlibat dalam berbagai perjanjian perdagangan secara regional, bilateral, maupun internasional. Tujuan utamanya mengurangi hambatan perdagangan. Beberapa perjanjian liberalisasi perdagangan yang telah dilakukan Indonesia melibatkan ASEAN Free Trade Area (AFTA), Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dengan beberapa negara, dan beberapa perjanjian lainnya.

Upaya pemerintah untuk merampingkan tarif dengan reformasi yang berkelanjutan bertujuan mengurangi bea masuk dan mempermudah aliran barang. Selain itu, peningkatan fokusmengatasi hambatan non-tarif, seperti perizinan dan regulasi, menjadi bagian integral dari langkah-langkah menuju liberalisasi perdagangan.

Kondisi surplus ekspor Indonesia, terutama pada saat ini, menciptakan nuansa positif dalam arena perdagangan yang dapat memberikan dampak positif pada perekonomian negara. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) surplus neraca perdagangan Indonesia terus berlanjut, mencapai puncaknya pada Februari 2023.

Angka surplus yang mencapai USD 21,4 miliar mengindikasikan bahwa nilai ekspor Indonesia melebihi impor dalam periode tersebut. Hal ini menjadi berita baik karena menandakan daya saing produk Indonesia di pasar internasional dan kontribusi positif terhadap neraca pembayaran negara.

Nuansa positif perdagangan Indonesia dalam kondisi surplus ekspor tersebut dapat dijelaskan melalui beberapa faktor. Pertumbuhan ekspor yang solid dari sektor-sektor strategis, seperti komoditas pertanian dan mineral, telah memberikan kontribusi positif terhadap surplus ekspor. Harga-harga komoditas yang menguntungkan dan permintaan global yang stabil turut membantu menjaga keseimbangan positif dalam neraca perdagangan.

Selain itu, surplus ekspor menciptakan ketegangan positif dalam pemahaman internasional terhadap daya saing ekonomi Indonesia. Ini dapat meningkatkan citra negara di mata investor dan mitra dagang, membuka peluang untuk lebih banyak kerja sama perdagangan, investasi asing, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan demikian, kondisi surplus ekspor Indonesia tidak hanya mencerminkan kesehatan ekonomi nasional saat ini, tetapi juga menjadi fondasi untuk perkembangan ekonomi yang lebih positif di masa depan.

Dengan terus mengupayakan liberalisasi perdagangan, Indonesia membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kemakmuran yang lebih luas. Masa depan ekspor Indonesia terlihat cerah dengan adopsi kebijakan yang mendukung, perjanjian perdagangan yang cermat, dan komitmen untuk terus meningkatkan daya saing produk di pasar internasional. Indonesia dapat memanfaatkan momentum liberalisasi perdagangan untuk memperluas akses pasar, mengoptimalkan keunggulan komparatif, dan merangkul potensi kolaborasi global.

Sumber https://kedu.suaramerdeka.com/pendidikan/2112099558/masa-depan-ekspor-indonesia

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-01-02 10:51:052025-01-02 10:51:05Masa Depan Ekspor Indonesia
Page 2 of 41234

TERKINI

  • UAD Selenggarakan Pengajian Songsong Iduladha02/06/2025
  • Peran Kader IMM dalam Menyikapi Isu Pelecehan Seksual02/06/2025
  • Sinergitas Mahasiswa Hadis Menuju Organisasi Progresif02/06/2025
  • Tips Menulis Artikel Ilmiah ala Santi Santika02/06/2025
  • Membekali Mahasiswa dengan Pelatihan Etika dan Kecerdasan Emosional Digital02/06/2025

PRESTASI

  • Mahasiswa FAI UAD Raih Juara 3 Lomba Qiroatul Akhbar02/06/2025
  • Mahasiswa FKM UAD Raih Juara I Lomba Futsal STPN 2025 Se-DIY31/05/2025
  • Inovasi Tim Jelantina Raih Juara 3 Lomba Poster26/05/2025
  • Mahasiswi UAD Raih Gold Medal dan Penghargaan Khusus di Ajang Internasional26/05/2025
  • Tim Bouqet Snack PBSI PPG UAD Juara 1 Lomba Video dalam Gelar Karya 202526/05/2025

FEATURE

  • Mahasiswa Harus Responsif dalam Era Digital02/06/2025
  • Ni’matus Syakirah: yang Penting Proses, Bukan Nilai02/06/2025
  • Indonesia Membutuhkan Generasi yang Melek Teknologi den Rendah Hati02/06/2025
  • Perjalanan Hanifia Merawat Cinta Al-Qur’an31/05/2025
  • Cerita Inspiratif Rino, Meniti Karier dan Perjalanan Melawan Burnout31/05/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top