• TERKINI
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Tantangan Ekspor CPO Indonesia

02/01/2025/in Opini, Publikasi 2024, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (31 Januari 2024)
Rifki Khoirudin

INDONESIA adalah negara agraris yang menempati peringkat teratas di antara produsen minyak sawit (CPO) teratas, salah satu ekspor utamanya. Ini merupakan sumber devisa negara yang signifikan karena merupakan 80 persen dari seluruh ekspor pertanian.

India merupakan salah satu tujuan pasar ekspor CPO Indonesia karena menjadi importir CPO tertinggi di dunia. Kinerja industri komoditas sawit Indonesia pada 2024 masih menghadapi sejumlah tantangan. Kondisi ini terkait perlambatan ekonomi global dan Tiongkok yang bisa mengancam permintaan ekspor CPO dan harga CPO hingga adanya penjegalan produk CPO RI di Eropa lewat Undang-undang Anti-deforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR).

Pengelolaan ekspor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) di Indonesia memiliki urgensi yang besar karena sektor ini memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian negara. Indonesia adalah salah satu produsen terbesar CPO di dunia, dan ekspor CPO telah menjadi pilar utama dalam penerimaan devisa negara.

Urgensi pengelolaan ekspor CPO mencakup beberapa aspek, antara lain ekonomi, sosial, lingkungan, dan keberlanjutan. Ekspor CPO memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan devisa negara. Penerimaan devisa ini sangat penting untuk membiayai impor, pembayaran utang luar negeri, serta menjaga stabilitas mata uang dan keuangan nasional.

Akan tetapi terakhir ini terdapat isu deforestasi dan pelestarian lingkungan di Indonesia dalam kaitannya dengan penanaman kelapa sawit di Indonesia. Hal ini menjadikan ekspor CPO ke Eropa khsusunya menjadi terhambat. Uni eropa saat ini sedang membahas Undang Undang Anti Deforestasi atau EU Deforestation Regulation (EUDR).

Pertemuan ini dilakukan dalam task force EUDR pada awal Februari 2024. Uni Eropa akan resmi memberlakukan Undang Undang anti Doforestasi per 16 Mei 2023. Menurut data dari GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), Fadhil Hasan mengatakan saat ini tren ekspor CPO RI ke Uni Eropa cenderung turun sebelum aturan EUDR berlaku di 2025.

Sumber Legal

Regulasi tersebut bertujuan memastikan produk yang masuk pasar Uni Eropa berasal dari sumber yang legal dan tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. Regulasi Deforestasi tersebut diperkirakan akan berdampak pada sejumlah komoditas Indonesia, seperti sawit, daging, kopi, kayu, kakao, karet, kedelai, dan turunannya.

Pada beberapa tahun yang lalu, Komisi Uni Eropa sudah menyetujui untuk memberlakukan Undang-undang anti-deforestasi pada 6 Desember 2022. Ketentuan ini akan mengatur dan memastikan konsumen di Uni Eropa untuk tidak membeli produk yang terkait deforestasi dan degradasi hutan. Dalam salah satu pasalnya mengelompokkan sawit sebagai tanaman berisiko tinggi.

Padahal sawit menjadi komoditas ekspor andalan dari Indonesia, dengan kebijakan seperti ini sawit Indonesia kehilangan pasar penjualannya. Akibat adanya penerapan regulasi tersebut, tentu akan menambah beban tambahan perizinan yang harus dipenuhi.

Dengan pemberlakuan UU Anti Deforestasi, ekspor minyak sawit mentah Indonesia bisa terpengaruh. Apalagi Uni Eropa menjadi salah satu pasar utama minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dari Indonesia. Selain Uni Eropa, India dan Cina merupakan oasar utama untuk minyak sawit mentah dari Indonesia. Disisi lain aturan Regulasi ini cenderung diskriminatif karena hanya berlaku untuk CPO namun tidak untuk minyak nabati lain seperti sun flower dan rapseed.

Jauh sebelum Undang Undang Anti Deforestasi Uni Eropa disetujui, minyak kelapa sawit Indonesia kerap penjadi perdebatan dunia internasional karena isu deforestasi. Pada April 2017, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi tentang minyak sawit dan deforestasi hutan hujan.

Tujuan akhirnya adalah larangan impor barang hasil deforestasi. Contohnya kelapa sawit Bersama produk turunannya ke wilayah Uni Eropa pada 2020. Dengan adanya kejadian tersebut, sejmlah Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Walhi dan Greenpeace menyebutkan regulasi anti deforestasi ini dapat menjadi momentum pemerintah untuk memperbaiki tata Kelola sawit yang selama ini belum maksimal. Apalagi saat ini ada seluas 3,4 juta hectare kebun kelapa sawit di Indonesia berada dikawasan hutan.

Dengan adanya regulasi tersebut, pemerintah bisa lebih selektif dalam memberikan lahan sawit dan berupaya menjaga hutang yang tersisa. Di satu sisi pemerintah bisa melakukan lobby atau pendekatan bahwa Upaya pelestarian lingkungan terkait kebun sawit di Indoesia sudah dilakukan.

Sumber https://kedu.suaramerdeka.com/ekonomi/2111723916/tantangan-ekspor-cpo-indonesia

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-01-02 10:46:352025-01-02 11:04:42Tantangan Ekspor CPO Indonesia

Mubalig Hijrah, Kaderisasi dan Dakwah Global

05/12/2024/in Opini, Publikasi 2024, Suara Muhammadiyah /by NewsUAD

 

 

Suara Muhamamdiyah (05 April 2024)
Elis Zuliati Anis

“Selama 20 hari program Mubalig Hijrah ini, pengalaman saya tidak terbatas pada pengabdian masyarakat saja, lebih dari itu, saya mendapatkan beragam pembelajaran life skill yang tidak saya dapatkan di pondok.”

Demikian Rizal (16), siswa Madrasah Mualimin Muhammadiyah, mengekspresikan kesannya terhadap kegiatan Mubalig Hijrah (MH) di desa Sumedang dan Kardangan, Purwobinangun, Pakem, Yogyakarta.

Rizal, bersama sekitar 500 santri kelas satu dan dua Aliyah di Madrasah Muallimin Muhammadiyah, berkesempatan mengikuti program MH tahun 2024 (1445H). Mereka
dikirim ke berbagai masjid dan komunitas Muslim di berbagai provinsi di Indonesia, bahkan ke luar negeri: Malaysia, Thailand, Taiwan, Hongkong, Australia, dan Jepang. Mubalig Hijrah tidak hanya bertujuan memperluas dakwah Islam, baik di Indonesia dan di luar negeri, tetapi juga merupakan perjalanan memperkuat kaderisasi Muhammadiyah dan dedikasi pengabdian masyarakat.

Keseharian Santri Mubalig Hijrah

“Pengalaman yang sungguh sangat berbeda ketika kita berdakwah dan terjun langsung di tengah masyarakat dengan beragam usia dan latar belakang.”  tutur Rizal. Rutinitas di Muallimin yang diatur dengan aturan yang ketat—dari bangun tidur hingga istirahat di malam hari—berubah saat mengikuti program MH. Diperlukan kemampuan adaptasi yang cepat, pengelolaan waktu dan komunikasi yang efektif, serta kemandirian. Lebih dari itu, menjunjung tinggi akhlak dan menunjukkan sopan santun merupakan kunci utama dalam berinteraksi dan diterima dalam lingkungan masyarakat yang beragam.

Para santri tinggal di rumah Takmir masjid atau penduduk setempat. Mereka ditugaskan imam sholat, penceramah dan terkadang muadzin. Masyarakat memiliki penilaian tinggi terhadap anak pondok, untuk tidak hanya mandiri, tapi juga unggul dalam berbagai aspek, utamanya dalam bidang keagamaan.

Mengajar baca quran merupakan kegiatan utama para santri MH, sekaligus menjadi momen berkesan. “Harus sabar sih. Anak-anak itu sangat aktif, sulit diatur”, Rizal menuturkan pengalamannya menghadapi anak-anak TPA di Masjid al-Hidayah. Menariknya, beberapa anak laki-laki tampak nyaman mengaji dipangkuan santri MH, kemudian berlarian dan bermain setelah usai mengaji.

Cerita menarik lainnya dituturkan oleh Angga, santri berusia 16 tahun dari Jawa ini menuturkan pengalamannya mengikuti MH di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, tanah kelahiran Buya Syafii Maarif yang jauh dari rumah serta berbeda budayanya. Namun, jarak dan perbedaan tersebut tidak menjadi hambatan bagi Angga untuk beradaptasi. Masyarakat sangat antusias menyambut santri MH.  Mereka tidak hanya menyediakan buka puasa dan sahur, tetapi juga meminjamkan motor untuk memudahkan transportasi di area tersebut. Beruntungnya lagi, mereka di berikan uang saku oleh masyarakat dan di bawakan pula beras ketika mereka berpamitan pulang ke daerah masing-masing. Selain di Sumpur Kudus, ada 10 santri lainnya yang dikirim ke lima nagari (desa): Unggan, Silantai, Sumpur kudus, Sumpur Kudus Selatan, dan Menganti.

Berbeda dengan pengalamannya di Jawa, tempat dia berasal, meskipun beberapa anak semakin akrab dengannya sebagai pengajar TPA, tak jarang mereka menunjukkan sikap yang kurang patuh. Namun, di Sumpur Kudus, keakraban yang tumbuh membuat anak-anak tidak hanya lebih patuh, tapi juga lebih semangat dalam belajar mengaji. Al-hasil, ketika Angga berpamitan untuk Kembali ke Jawa, anak-anak tampak sedih dan berat melepasnya. Bahkan beberapa diantara mereka menangis.

Misi Global Mubalig Hijrah Luar Negeri

Dengan syarat kemampuan berbahasa Inggris yang baik, pengetahuan Islam yang mendalam, juga harus hafal 30 juz, santri MH Muallimin tidak hanya membawa pesan Islam ke kancah global, tapi juga bertindak sebagai duta muda Muhammadiyah, berdialog langsung dengan masyarakat internasional yang kaya akan keragaman budaya.

Di Taiwan, Tangguh (16 Tahun), santri kelas satu Aliyah menuturkan pengalaman pertamanya berdakwah di negara yang minoritasnya Islam. “Berpuasa di Taiwan sangat berbeda,” ujarnya. Mencari makanan yang halal lumayan susah. Saat sahur, hanya ada satu tempat makan milik orang Indonesia yang buka.

Selama di Taiwan, Tangguh tinggal di apartemen kampus (Asia Univertsity), bersama mahasiswa Indonesia.  Meski jumlah mahasiswa Muslim lumayan banyak, yakni sekitar 80. Namun, hanya 10 sampai 12 yang sering berjamaah di Musholla. Program ramadhan pun menyesuaikan dengan kegiatan mahasiswa S1 dan S2 disana. Meski begitu, Tangguh tetap bersemangat membantu persiapan buka puasa, menyampaikan kultum, dan kadangkala menjadi imam sholat.

Di Jepang, di tengah pergantian musim dari musim dingin ke musim semi, Aflah Naufal Nabiih (16 tahun) dan dua temannya (Muhammad Faiz Fahrezi dan Muhammad Naufal Azzam) tiba di Tokyo pada hari ke-5 Ramadhan dalam program MH internasional. Perjalanan keluar negeri pertama Aflah ini telah diimpikan sejak lama. Aflah kagum pada kemajuan pendidikan dan teknologi di Jepang. Suatu hari, dia ingin kuliah di Jepang, di jurusan kedokteran.

Ketiga santri ditempatkan di tiga kota yang berbeda: Adachiku (Tokyo), Hiroshima dan Kitakyushu (Fukuoka). Aflah menuturkan selama di Jepang dia tinggal di Masjid KICC (Kitakyushu Islamic Cultural Center). Tidak seperti bangunan masjid di Indonesia dengan kubah nan megah, KICC adalah bangunan rumah biasa yang di fungsikan sebagai masjid, terletak di pinggiran kota Fukuoka.

Ditengah kesibukan mahasiswa dan pekerja di Fukuoka, kehadiran pendakwah seperti Aflah sangat dinanti. Setiap hari, selama Ramadhan, Aflah menjadi imam sholat dan imam tarawih. Bahkan Aflah juga diminta menjadi imam sholat hari raya Idul Fitri nanti dan sekaligus menyampaikan khutbah Idul Fitri. Bagi Aflah, interaksi dengan Muslim dari berbagai negara, seperti Pakistan, Syria, Banglades, Azerbaijan, menjadi pengalaman yang berkesan di hati.

“Tidak seperti di Indonesia, disini azan tidak terdengar lantang, tidak pakai mic,” Aflah menuturkan. Sebagian masyarakat akan merasa terganggu jika azan menggunakan mic. Sama hal nya di Taiwan, Islam adalah agama minoritas di Jepang. Kepercayaan masyarakat Jepang sangat beragam, diantara nya pemeluk Shinto dan Budha, dan penganut kepercayaan Tokugawa. Akan tetapi masyarakat Jepang juga dikenal banyak yang tidak memiliki afiliasi agama.

Aflah berkesempatan berinteraksi langsung dengan masyarakat Jepang dalam acara “Grand Iftar” yang disenggarakan oleh Yayasan Ainul Yaqin. Ada sekitar 30 non-Muslim Jepang yang hadir. Sebelum buka puasa bersama, ada pemaparan tentang Islam. Mereka antusias bertanya. Salah satunya meminta Aflah membacakan sebagian dari ayat al-Quran. Aflah, hafiz 30 juzz itu, melantunkan QS. al Isro’ ayat 78-83. “Indah sekali, seperti karya puisi”, kata salah satu dari mereka. Tidak hanya itu, tiga orang ingin ikut sholat maghrib, sebagian lagi mengamati aktivitas sholat maghrib hari itu di KICC.

Kaderisasi Mubalig Hijrah

Kaderisasi adalah proses estafet penting dalam sebuah perjuangan dakwah. Pada program MH ini, santri diharapkan mampu mengimplementasikan ke masyarakat ilmu-ilmu agama, setelah kurang lebih tiga tahun mereka belajar di Mualimin.

Selain didampingi oleh ustad dari Muallimin, santri juga merasakan langsung kaderisasi yang di lakukan oleh Takmir masjid setempat, pengurus Muhammadiyah dan organisasi lain yang bekerjasama dengan Muallimin.

Pak Totok, Takmir Masjid al-Hidayah  adalah salah satu sosok yang sangat dekat dengan santri MH. Beliau mendukung program MH dan memberikan kesempatan santri MH untuk mengaktualisasikan kemampuan keagamaan dan kepemimpinan para santri. Pak Totok  mengajarkan tata krama terhadap orang tua, keragaman cara hidup masyarakat, keragaman beragama masyarakat, pengetahuan dasar bertani, hingga kemampuan beradaptasi dengan lingkungan. Tidak hanya itu, Pak Totok selalu menyediakan waktunya untuk berbincang tentang  apa saja, memastikan santri merasa “feel at home”.

Di luar negeri, selain mendapatkan pendampingan di awal oleh Direktur Muallimin, santri beradaptasi dan menyesuaikan kegiatan disana. Di usia 16 tahun, mereka telah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga tentang bagaimana berdakwah di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Mereka lebih memahami budaya dan perbedaan, tidak hanya dalam Islam, tapi juga beragam penganut agama, bahkan mereka yang menyatakan tidak beragama.

Ditengah kondisi minimnya kepedulian generasi Z terhadap masyarakat. Program MH menunjukkan bahwa tidak semua gen-Z apatis terhadap lingkungan nya. Tidak hanya berkonstribusi pada masyarakat Indonesia, Gen-Z Muallimin ini bahkan telah membawa pesan pesan Islam ke kancah internasional.

Bintang bintang di langit Sumpur Kudus, Bunga-bunga Sakura bermekaran di Jepang dan dinginnya udara Taiwan, menjadi saksi kesungguhan dai muda Muallimin dalam misi Mubalig Hijrah 1445M.

Sumber : https://suaramuhammadiyah.id/read/mubalig-hijrah-kaderisasi-dan-dakwah-global

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-12-05 10:51:352024-12-05 10:51:35Mubalig Hijrah, Kaderisasi dan Dakwah Global

Ramadhan momen mengenalkan Islam di Negeri Kanguru

28/11/2024/in Antara, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Antara (19 Maret 2024)
Elis Zuliati Anis

Jakarta (ANTARA) – Ramadhan di kampus menjadi salah satu program yang selalu semarak saat bulan suci bagi umat Islam ini tiba. Menjelang azan magrib hingga waktu tarawih, masjid-masjid kampus di Indonesia biasanya dipenuhi mahasiswa untuk berbagai kegiatan keagamaan.

Takjil pun tersedia beragam di sana. Lantas, bagaimana suasana Ramadhan di Australia, negara dengan mayoritas penduduk non-muslim?

Perth, salah satu kota kecil di Australia Barat, dikenal dengan kehidupan yang sarat dengan keragaman budayanya. Kota ini menjadi rumah bagi banyak mahasiswa internasional, termasuk dari Indonesia, untuk setidaknya dua sampai lima tahun, selama masa studi.

Komunitas Indonesia di Perth sangat beragam, termasuk diantaranya komunitas Islam yang aktif memperkaya kehidupan spiritual dan pengetahuan keislaman. Berbeda dengan masjid-masjid kampus di Indonesia yang besar dan megah, University of Western Australia (UWA), tempat penulis menimba ilmu dari tahun 2017 hingga 2022, menyediakan Prayer Room (musholla). Meskipun tidak sebesar di kampus Indonesia, tempat ini menjadi ruang yang sangat berharga bagi komunitas Islam di UWA.

Prayer Room dilengkapi dengan fasilitas tempat wudhu, pantries (dapur kecil) dan kulkas. Prayer Room menjadi pusat kegiatan keagamaan dan kebersamaan kami dan dikelola oleh UWAMSA (University of Western Australia Muslim Student Association).

Ramadhan di Perth

Ketika Ramadhan tiba, tidak ada suara azan yang menggema di mana-mana, atau mendapati beragam takjil yang di jual di pasar layaknya di Tanah Air. Juga tidak ada suara imsak dan azan subuh. Namun, mahasiswa muslim di kampus beruntung diizinkan menggunakan Hacket Café yang cukup luas untuk aktivitas berkumpul, berbuka puasa dan melaksanakan salat tarawih.

Laki laki di bagian depan, perempuan di sisi belakang. Setiap hari, selama bulan Ramadhan, lebih dari 100 orang datang ke kafe yang berada di seberang Prayer Room. Saat azan magrib berkumandang di Hacket Café, para pengunjung berbuka dengan kurma dan minuman yang tersedia, kemudian melaksanakan shalat magrib berjamaah. Setelah itu, barisan panjang sajian buka puasa terbentang, dan semua orang menikmati makanan sambil bertukar kabar dan sesekali bergurau. Uniknya, teman-teman non-muslim, termasuk mahasiswa asal Indonesia, secara sukarela membantu proses penyajian makanan untuk buka bareng ini.

Setiap komunitas Islam dari negara yang berbeda mendapat kesempatan untuk menyuguhkan hidangan khas negaranya. Menu masakan dari Indonesia sangat digemari, terutama rendang, gulai nangka yang disuguhkan dengan kupat, bakso, tahu isi dan bakwan.

“Indonesian foods are so yummy,” kata seorang teman dari Turki waktu itu. Mahasiswa Indonesia pun sangat menikmati makanan-makanan Timur Tengah yang disuguhkan pada saat buka puasa. Sembari menunggu azan isya, tempat makan tersebut dibersihkan. Beberapa orang memanfaatkan waktu dengan membaca Al-Qur’an. Sementara anak-anak asyik bermain dengan teman sebaya mereka.

Di tengah kerinduan terhadap suasana Ramadhan dan keluarga di Tanah Air, pertemuan dengan teman-teman Indonesia dan muslim dari berbagai negara menjadi semacam pengobat rindu. Senyuman tulus dan sapaan hangat mereka sungguh memberi kedamaian di hati. Suasana paguyuban terbangun secara alami. Ukhuwah Islam itu ternyata merupakan keniscayaan universal.

Namun, suasana indah itu sempat terjeda saat merebaknya pandemi COVID-19 pada tahun 2020. Ini menjadi semacam ujian, betapa atmosfer Ramadhan begitu mahalnya. Dengan pembatasan sosial yang ketat, kegiatan berkumpul menjadi sangat terbatas. Tidak disangka, UWAMSA memberikan inisiatif yang luar biasa. Mereka mengantarkan takjil dan makanan dari pintu ke pintu apartemen, untuk memastikan bahwa mahasiswa muslim di kampus tersebut tetap merasakan kebersamaan dan keindahan Ramadhan.

Mengenalkan Islam

Selain menjadi bulan yang penuh rahmat, Ramadhan di UWA juga menjadi kesempatan emas untuk memperkenalkan dan merayakan keindahan Islam kepada masyarakat luas, terutama kepada teman-teman non-muslim. Banyak dari mereka yang belum tahu tentang ibadah puasa di bulan Ramadhan, sehingga pertanyaan seperti, “What kind of Religion is your Religion?” saat mengetahui tentang puasa selama sebulan menjadi momen edukatif yang berharga.

Acara Iftar Open Air menjadi kegiatan tahunan, di mana setiap orang, apapun agamanya, boleh datang ke Riley Oval, tempat lapang di kampus, untuk mengikuti diskusi keislaman dan buka bersama (Iftar). Penataan acara yang apik dengan dominasi warna putih dan lampu-lampu kecil menciptakan suasana yang hangat dan menyambut, mempererat persahabatan antara mahasiswa Muslim dan non-muslim. Kebersamaan ini tidak hanya pada momen berbuka puasa, tetapi juga kesempatan bagi teman-teman non-muslim untuk menyaksikan langsung shalat magrib berjamaah.

UWAMSA juga mengadakan Community Iftar, sebuah acara yang mengajak teman-teman dari berbagai agama berbeda (friends of other faith) untuk merasakan langsung pengalaman berpuasa, diakhiri dengan berbuka puasa bersama dengan sajian lezat dari berbagai negara Islam.

Mereka yang datang akan membeli tiket dan biasanya acara diselenggarakan di Wintrop Hall UWA yang cukup megah, atau di hotel berbintang seperti Hyatt Regency Perth.

Mereka yang hadir berkesempatan mendengarkan paparan inspiratif dari tokoh Islam terkemuka. Selain itu, ada pula stan pengumpulan donasi untuk membantu warga Palestina di Gaza, dan umat Islam di belahan dunia lain yang membutuhkan bantuan.

Melalui dua kesempatan menjadi volunteer fotografer di Community Iftar UWAMSA, penulis menyaksikan antusiasme luar biasa dari ratusan muslim dan non-muslim yang datang dengan pakaian terbaik mereka.

Di Australia, menghormati persetujuan untuk difoto merupakan hal yang sangat penting. Sebagai fotografer, penulis selalu meminta izin terlebih dahulu, terutama untuk foto close-up atau grup kecil. Rasanya sangat senang dapat berkontribusi dan memberikan kenangan indah pada momen kebersamaan keluarga dan teman-teman tersebut, serta kegembiraan semua orang saat berbuka puasa.

Selama empat tahun merayakan Ramadan di Perth, jauh dari Tanah Air, penulis menyaksikan keindahan dan keragaman Islam yang mempersatukan masyarakat dari berbagai negara dan latar belakang, termasuk teman-teman non-Muslim.

Rangkaian acara dan kegiatan yang dilaksanakan bukan hanya menggali lebih dalam makna Islam bagi muslim, tetapi juga menunjukkan kehangatan dan “Islam rahmatan lil alamin” kepada teman-teman dari berbagai agama dan kepercayaan. Allahu al jamil wayuhibbul jamal.

Sumber : https://www.antaranews.com/berita/4018107/ramadhan-momen-mengenalkan-islam-di-negeri-kanguru

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-28 09:09:042024-11-28 09:09:24Ramadhan momen mengenalkan Islam di Negeri Kanguru

Pentingnya literasi visual bagi Generasi Z

28/11/2024/in Antara, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Antara (14 Maret 2024)
Elis Zuliati Anis

 

Jakarta (ANTARA) – Konten apa yang paling disukai anak-anak muda, bahkan oleh kita semua, saat membuka gawai? Jawabannya mungkin tidak mengherankan, konten visual: foto dan video!Dominasi konten visual di berbagai platform media sosial telah mengubah cara manusia menerima informasi dan berinteraksi satu sama lain. Foto dan video tidak hanya menarik; mereka juga diproses lebih cepat oleh indra kita dibandingkan teks. Inilah yang menyebabkan kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam scrolling di media sosial, terpaku pada layar, terjebak dalam beragam konten visual, dan kecanduan.

Fenomena ini — semakin relevan saat ini — menegaskan urgensi untuk mengasah literasi visual, khususnya di tengah meningkatnya manipulasi visual yang dapat memengaruhi persepsi publik dan merusak kebenaran informasi. Pertanyaannya, seberapa jauh konten-konten visual tersebut memengaruhi kehidupan sosial kita, khususnya Gen-Z?

Dengan 212,9 juta pengguna internet di Indonesia pada tahun 2023, seperti yang dilaporkan dalam Digital 2023 Global Overview (2023), itu menandakan kehidupan masyarakat yang makin terintegrasi dengan dunia digital. Sebuah riset oleh Kominfo dan Kata Data Insight Center (2022) memaparkan bahwa 72,6 persen responden memilih media sosial sebagai saluran utama mereka dalam pencarian informasi, menandai pergeseran signifikan dalam cara kita memperoleh informasi.

Konten positif vs negatif

Gen-Z bukan hanya konsumen pasif konten digital, mereka juga berperan aktif sebagai produsen, menggunakan platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube untuk berbagi kreasi kreatif. Kemampuan adaptasi mereka terhadap fitur digital terbaru dan keahlian dalam mengatasi tantangan teknologi menempatkan mereka di garis depan inovasi digital.

Meskipun cakap berselancar di dunia digital, banyak Gen-Z yang menghadapi tantangan dalam menavigasi informasi digital secara efektif, misalnya, dalam mengidentifikasi keaslian konten visual yang tersebar di media sosial. Tidak semua konten visual yang tersebar di media sosial merupakan sumber informasi yang dapat dipercaya. Risiko misinformasi dan manipulasi konten visual menjadi makin nyata, khususnya dengan kian canggihnya AI (artificial intelligence) atau kecerdasan buatan.

Toby Walsh (2023), akademikus dari Australia, berbagi pandangan bahwa AI adalah teknologi yang dirancang untuk meniru kecerdasan manusia, yang memungkinkan mesin untuk belajar dari pengalaman, menyesuaikan dengan situasi baru, serta memecahkan masalah.

Teknologi yang berbasis pada pengolahan data dan pembuatan algoritma ini diprogram untuk berpikir dan bertindak layaknya manusia. Walsh menggarisbawahi pentingnya kewaspadaan terhadap kemungkinan manipulasi dan disinformasi yang mungkin timbul seiring berkembangnya teknologi AI ini.

Waspadai deepfake

Fenomena deepfake (manipulasi gambar) menunjukkan betapa mudahnya mengubah realitas visual, yang bisa menciptakan persepsi yang salah tentang individu, isu sosial, atau bahkan peristiwa penting. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait dengan kemampuan Gen-Z dalam membedakan antara konten yang otentik dan yang dimanipulasi.

Situasi menjadi makin mengkhawatirkan ketika deepfake berkaitan dengan kehidupan dan keselamatan manusia, seperti bencana alam, kekerasan, kecelakaan, atau konflik antarkelompok dan agama. Misalnya, deepfake yang menampilkan tokoh publik dalam situasi kontroversial atau menghasut dapat dengan cepat menjadi viral dan memicu konflik sosial.

Atau, misalnya, manipulasi visual yang menggambarkan bencana alam palsu tidak hanya menyesatkan tetapi juga dapat mengalihkan perhatian dan sumber daya dari situasi darurat nyata yang membutuhkan perhatian segera. Kita bisa membayangkan potensi risiko yang bakal terjadi, seperti: penyebaran ujaran kebencian, kecemasan, rasa putus asa, dan bahkan kemarahan yang membara. Potensi ini tidak hanya mengancam kebenaran informasi tetapi juga meresahkan tatanan sosial, mempengaruhi cara kita merespons berita yang kita terima. Inisiatif seperti pengembangan teknologi deteksi deepfake, regulasi yang lebih ketat, dan kampanye kesadaran publik merupakan langkah penting dalam melawan manipulasi digital.

Pengaruh teknologi ini juga terlihat dalam strategi kampanye “gemoy” yang viral di Indonesia, di mana AI dan kreativitas visual digunakan untuk mengubah citra publik seorang politikus. Greg Barton (2023), pengamat politik dari Australia, menyoroti bagaimana strategi ini dirancang untuk menarik perhatian pemilih muda, dengan mengubah citra Prabowo, yang dikenal sebagai “eks-Jenderal yang menakutkan,” menjadi “Paman gemoy yang menggemaskan.”

Meskipun strategi ini menuai beragam kritik, ternyata memiliki dampak signifikan terhadap pemilih pemula. Seperti yang dituturkan Fika Juliana Putri,19 tahun, yang merasa terkesan pada visualisasi Prabowo versi kartun gemoy dengan pipi chubby, hasil kreasi AI-generated Mid-journey, dan akan memilihnya pada pemilu 2024, seperti dilansir di beberapa media online (20/2/2024).

Bisa jadi tidak sedikit pemilih muda lainnya yang sependapat dengan Fika. Teknologi AI telah memengaruhi cara pemilih muda mengambil keputusan politik, di mana aspek visual dan kreativitas digital memiliki dampak yang tidak kalah pentingnya dengan isu-isu substantif. Fenomena ini menunjukkan pergeseran dalam faktor-faktor yang memengaruhi keputusan politik pemilih muda, menyoroti peran penting pendidikan politik, dan literasi media digital, di antaranya kemampuan berpikir kritis, mengidentifikasi, dan menganalisis strategi kampanye yang memanfaatkan teknologi canggih.

Pentingnya literasi visual

Gen-Z harus menguasai keterampilan kunci dalam berliterasi visual di media sosial, yakni kemampuan membaca, memahami, menginterpretasi, dan mengevaluasi dengan kritis konten visual yang tersebar di media sosial. Selain itu, penting bagi mereka memahami bagaimana gambar dibuat, konteks budaya dan sosialnya, serta dampaknya terhadap masyarakat.

Pentingnya literasi visual di era digital bukan hanya sebatas pada kemampuan mengenali dan menilai keaslian sebuah gambar atau video. Lebih dari itu, literasi visual mengajarkan kita cara menginterpretasikan konten visual dan mengintegrasikannya dalam praktik sehari-hari dan meningkatkan sensitivitas kritis kita.

Dengan mengasah literasi visual, Gen-Z tidak hanya dapat melindungi diri dari misinformasi, tetapi juga memanfaatkan kekuatan visual sebagai alat komunikasi yang efektif dan bertanggung jawab. Hal ini memungkinkan mereka lakukan untuk berkontribusi pada pembangunan ekosistem digital yang lebih informatif, sehat, dan berbasis pengetahuan.

sumber : https://www.antaranews.com/berita/4008813/pentingnya-literasi-visual-bagi-generasi-z

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-28 09:01:592024-11-28 09:03:06Pentingnya literasi visual bagi Generasi Z

Catatan Hukum: Hukum dan Cawe-Cawe

28/11/2024/in Bernas, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

Koran Bernas (2 Januari 2024)
Ilham Yuli Isdiyanto

Hukum dalam bentuknya yang tertulis tidak pernah menjamin akan dilaksanakan sebagaimana disebutkan dalam normanya, sehingga kepastian hukum bukan dilihat sebagai realitas hukum melainkan cita-cita hukum untuk mewujudkannya. Selama teks hukum masih terbuka pada ruang interprestasi maka hukum tidak akan pernah mampu mewujudkan kepastian teksnya. Hukum yang sudah terintervensi bukan lagi bisa disebut sebagai hukum, ia kemudian berubah menjadi “alat” untuk melegitimasi kepentingan, bukan mewujudkan ketertiban sesuai tujuan hukum itu sendiri. Artinya, saat hukum sudah keluar dari koridor tujuannya berubah haluan menjadi gerbong kepentingan, maka akan muncul ketidakpercayaan terhadap hukum oleh masyarakat. Hal ini tentu berbahaya, bagaimana mungkin bisa hukum yang tidak dipercayai dapat dipertahankan, apalagi lembaga penegak hukum yang seharusnya menjaga marwah kemudian tidak lagi mampu memertahankan kehormatan dan kewibawaannya.

Kado akhir terhadap dinamika hukum nasional ditutup dengan prestasi Mahkamah Konstitusi yang tidak konsisten membangun logika hukumnya sehingga terplesetkan menjadi “Mahkamah Keluarga” karena peran “Sang Paman”.

Seharusnya hal ini tidak mengagetkan, karena pada awal tahun 2023 arogansi sudah muncul kala drama Undang Undang Cipta Kerja diputuskan inkonstitusional bersyarat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVII/2020 namun secara arogansi pemerintah bukannya memperbaiki proses meaningfull participation tetapi malah menerbitkan Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja dan ditetapkan melalui UU No. 6/2023 pada awal tahun 2023.

Hal ini memperlihatkan, jangankan berharap pada penegakan hukum (legal enforcement) yang baik, bahkan berharap pada pembentukan hukum yang baik pun kita pesimis karena tidak menunjukkan sisi demokratisasi. Belajar dari Prof. Mahfud, MD yang memberikan barometer karakter produk hukum sangat dipengaruhi konfigurasi politiknya, maka konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang represif/konservatif ortodoks. Menariknya, saat UU Cipta Kerja dianggap nir-partisipasi, beliau menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).

Hukum dan Pikiran Tentangnya

Satjipto Rahardjo sudah sejak lama menaruh kecurigaan pada hukum nasional, ia melihat peraturan perundang-undangan kadang memiliki sifat kriminogen, yakni membuka peluang untuk melegitimasi perbuatan yang seharusnya adalah kejahatan. Dalam konteks ini, problem hukum bukan hanya pada produk perundang-undangannya, melainkan dengan cara berfikir hukumnya (legal culture).

Problem hukum yang pertama adalah problem teoritik, di mana tidak ada satu pun metode berhukum yang disepakati di Indonesia. Artinya, setiap penegakan hukum memiliki cara sendiri untuk menginterprestasikan hukum sesuai dengan kapasitasnya bahkan “kepentingannnya”.

Kasus korupsi mungkin menjadi salah satu hal yang paling banyak menjadi sorotan, yang kini masih menyisakan “pekerjaan rumah” adalah belum selesainya kasus Johnny G Plate terkait pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika karena disinyalir kerugian negara mencapai Rp. 8 triliun.

Selain itu, masyarakat dikagetkan saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Pertanian Syahrul Yasinn Limpo sebagai tersangka pemerasan dan tindak pidana pencucian uang. Kelakuan para birokrat semakin membuat masyarakat geram, apalagi skandal Syahrul Yasin Limpo dengan Firli Bahuri yang notabene Ketua KPK diendus oleh publik.

Kekecewaan dan “surprise” terhadap kasus hukum pun ternyata masih berlanjut, di mana Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eddy Hiariej menjadi tersangka gratifikasi senilai Rp. 8 miliar. Masyarakat menjadi geram karena Eddy Hiariej yang notabene adalah ahli hukum pidana termasuk akademisi seharusnya menjaga marwah kepercayaan publik, namun yang terjadi adalah diduga sebaliknya.

Maraknya kasus korupsi seakan mengarahkan bahwa penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi tidak efektif karena tidak menimbulkan efek jera. Masyarakat merindukan sosok seperti almarhum Artidjo Alkostar saat menjadi Hakim Agung selalu menjadi sosok menakutkan bagi koruptor karena menghukum lebih berat.

“Cawe-Cawe” Penegakan Hukum

Fenomena “Mahkamah Keluarga”, kasus Firli Bahuri hingga Eddy Hiariej adalah bagaimana proses penegakan hukum masih tidak “steril” dari cawe-cawe. Intervensi terhadap proses penegakan hukum mengindikasikan bahwa hukum tidak pernah berada pada ruang yang netral, secara teks hukum akan imparsial namun secara prosesnya ia penuh dengan berbagai kepentingan.

Hukum dalam bentuknya yang tertulis tidak pernah menjamin akan dilaksanakan sebagaimana disebutkan dalam normanya, sehingga kepastian hukum bukan dilihat sebagai realitas hukum melainkan cita-cita hukum untuk mewujudkannya. Selama teks hukum masih terbuka pada ruang interprestasi maka hukum tidak akan pernah mampu mewujudkan kepastian teksnya.

Hukum yang sudah terintervensi bukan lagi bisa disebut sebagai hukum, ia kemudian berubah menjadi “alat” untuk melegitimasi kepentingan, bukan mewujudkan ketertiban sesuai tujuan hukum itu sendiri. Artinya, saat hukum sudah keluar dari koridor tujuannya berubah haluan menjadi gerbong kepentingan, maka akan muncul ketidakpercayaan terhadap hukum oleh masyarakat. Hal ini tentu berbahaya, bagaimana mungkin bisa hukum yang tidak dipercayai dapat dipertahankan, apalagi lembaga penegak hukum yang seharusnya menjaga marwah kemudian tidak lagi mampu memertahankan kehormatan dan kewibawaannya.

Setelah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi dan KPK, institusi penegak hukum mana lagi yang kemudian masih tersisa untuk menjadi tumpuan pengharapan. Kebutuhan masyarakat adalah hukum benar-benar menunjukkan kewibawaannya, menjadi pelindung. Sanksi yang tegas dan benar-benar mampu membuat setiap orang berfikir untuk melanggarnya.

Resolusi Tahun Baru 2024

Persoalan hukum adalah hal mendasar, karena dia menempatkan standar dan arah tingkah laku ke depannya. Masyarakat menginginkan kepastian, yakni hukum mampu diprediksi secara nalar, bukan “dicawe-cawe” yang menjadikannya mengingkari rasa keadilan yang ada pada masyarakat.

Resolusi hukum tahun 2024 harus dimulai dengan strategi transparasi kelembagaan dan evaluasi kapasitas. Melalui transparasi kelembagaan maka akan diketahui pola penegakan hukum selama ini seperti apa, termasuk orientasi dan metode kriminalisasi yang dilakukan.

Selanjutnya adalah evaluasi kapasitas baik kapasitas kelembagaan maupun kapasitas personal. Kapasitas kelembagaan penting untuk melihat jangkauan dan upaya efektifitasnya, sedangkan kapasitas personal adalah untuk melihat kualitas dan kemampuan dari penegak hukum yang sudah berorientasi pada keadilan bukan pada pragmatisme. Terutama Hakim memiliki peran penting, karena kapasitas personalnya juga didasarkan pada sisi spiritual-religius yang tertuang pada setiap irah-irah putusannya. Salam.

 

sumber : https://koranbernas.id/catatan-hukum-hukum-dan-cawe-cawe

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-28 08:53:332024-11-28 08:54:25Catatan Hukum: Hukum dan Cawe-Cawe

Membaca Relawan

18/11/2024/in Opini, Publikasi 2024, Suara Muhammadiyah /by NewsUAD

 

Suara Muhamamdiyah (19 Februari 2024)
Sobirin Malian

Dalam setiap hajatan Pemilu ada fenomena menarik yang bisa diamati (dibaca) yaitu munculnya para  relawan atau volunteers yang bisa dikatakan sangat komit dan militan terhadap kandidat yang didukungnya.

Keterlibatan relawan sangat berpengaruh karena inisiatif mereka nampak sangat mulia. Keterlibatan ini murni panggilan hati untuk kebaikan bersama tanpa motif keuntungan dan afiliasi dengan bisnis, tanpa didikte pemerintah atau partai politik. Itulah gambaran daya societal ajaib yang sering muncul di masa darurat masyarakat. Dari berbagai pendapat para ahli, menjamurnya gejala kerelawanan dapat menjadi tanda suatu masyarakat memang sedang berada dalam situasi darurat atau negara dianggap tidak baik-baik saja.

Istilah “darurat” mengacu pada penilaian tentang situasi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu, secara mendalam dipengaruhi idiom persoalan yang sedang berlaku. Bentuk kerelawanan sangat luas, mulai dari relawan bencana alam, politik, kesehatan hingga sensus. Organisasi seperti “pemantau/saksi pemilu” atau Medecins Sans Frontieres (MSF/dokter tanpa batas), Mercy’s (yang sangat terkenal dari  Indonesia) dengan tenaga medis dan kemanusiaan di peperangan adalah contohnya.

Keberadaan berbagai kelompok relawan sering dipandang sebelah mata bahkan sering diejek tentang motif mereka menjadi relawan. Dalam kaitan ini muncul pembedaan motif “altruisme” dan “kepentingan diri”, antara idealisme dan realisme. Pembedaan itu bukan saja bersifat konyol, tetapi lebih mengarah kepada asal bunyi (asbun); stigma negatif. Stigma itu bisa saja benar, seperti banyak tindakan lain, kerelawanan digerakkan oleh banyak motif: dari heroisme sampai pencarian angka “cum” bagi curriculum vitae pangkat atau guna lamaran kerja, dari keprihatinan akan penderitaan, empati, hingga keberpihakan dalam politik. Dalam konteks ini kita mesti berhati-hati agar tidak terjebak pada meromantisme kerelawanan.

Dilihat dari durasi waktu, kerelawanan bisa dalam jangka panjang dan tetap seperti terlibat dalam membantu korban perang, contoh di Gaza atau yang berciri sesaat sebagai respon atas situasi yang dianggap darurat. Lalu, apa yang memicu kemunculan aneka keragaman kerelawanan politik? Khususnya yang sangat menonjol dalam pemilu 2024 adalah relawan “perubahan” pendukung pasangan 01, AMIN (Anies-Muhaimin) ? Jika masifnya kerelawanan bisa menjadi tanda suatu masyarakat sedang berada pada momen darurat; apanya yang darurat ?

Darurat Politik Dinasti dan Sikap Kenegarawanan

Sinyal kedaruratan sangat nampak: ada krisis politik dinasti dan sepak terjang (cawe-cawe) Presiden yang jelas-jelas melanggar undang-undang. Lembaga hukum seperti MK pun menjadi alat permainan politik.

Warga awam pun dapat menilai bahwa politisi dan pejabat saat ini makin aneh dan itu membuat institusi politik dalam arti sempit kian membusuk. Politik dan pejabat lalu menjadi hujatan sinisme. Perguruan tinggi swasta dan negeri pun bereaksi keras, akibat sumbatan politik (partai) dan lembaga legislatif DPR/DPD tak bekerja.

Muara sinisme tadi jelas sumbernya dari Presiden yang melakukan “ketidakwarasan” politik dan sementara pilihan politik “waras” banyak diwakili oleh belahan dunia, misalnya terpilihnya Sadiq Khan sebagai wali  kota London atau Justin Trudeau sebagai PM Kanada beberapa tahun lalu sebagai contoh.

Penolakan terhadap politik dinasti di satu sisi dan dukungan terhadap politik waras yang taat hukum (konstitusi) di sisi lain, merupakan dua bentuk corak kelas politik dengan kepentingan yang secara diametral sangat berbeda. Bagaimana pun muara politik “tidak waras” dan sinisme terhadapnya sungguh mencemaskan. Patut diingat politik adalah cara kita membentuk, mengelola dan merawat kehidupan bersama, sehingga semaju apa pun sektor bisnis, misalnya, tidak akan dapat menggantikan proses politik bernegara secara sehat.

Privelese dan prerogratif “kelas politik tidak waras” inilah yang rupanya sedang membusuk. Pada kelompok ini memberi justifikasi dan narasi, “bukankah tidak semua politik dinasti itu buruk; toh banyak juga terjadi di negara-negara lain, mengapa hanya kami yang dituding ?! Maksudnya tentu agar kebusukan mereka  terbenarkan, sebab mereka tidak sendirian. Dalih seperti ini jelas menyesatkan karena yang terjadi di belahan dunia lain_politik dinasti terseleksi dengan ketat dan tetap dalam koridor hukum (konstitusi). Manakala menyimpang dari rel politik dan hukum yang benar, dinasti politik akan dipotong dengan tegas.

Tampaknya ada beberapa hambatan kondisional yang layak kita diskusikan. Pertama, institusi, menurut Boni Hargens (2018), belum sepenuhnya terbebas dari warisan Orde Baru. Hal ini terbukti Jokowi hanya berbasa-basi ketika dia menggagas konsep revolusi mental. Perjalanan pemerintahan Jokowi selama sembilan tahun sudah cukup baginya untuk menancapkan “kuku kuku kekuasaannya”. Ini pula yang menjadi salah satu akar iblisnya, the roof of evils.

Kedua, lemahnya politik nilai. Uang dan kekuasaan masih menjadi faktor determinan dalam proses politik. Kita belum terbiasa dengan persaingan nilai dan gagasan. Alhasil, politik menjadi ajang memperkaya diri melalui KKN dan memupuk kekuasaan guna investasi perjuangan politik di masa depan (kasus politik dinasti Jokowi).

Ketiga, KKN jelas-jelas melemahkan kewibawaan hukum dan kekuasaan koersif negara. Hukum tebang pilih, tumpul ke atas tajam ke bawah.Bukan karena institusi hukum lemah, tetapi karena komunikasi akibat KKN begitu kental. Pejabat dan penegak hukum menjadi mafia.

Hal ini berlaku juga dalam banyak konteks. Misalnya, mafia tambang, mafia gula, mafia bawang, garam, minyak goreng  dan lain-lain. Pengusaha tambang atau oligarkhi tidak lagi takut terhadap pemerintah karena merasa mampu membayar siapa saja yang mengganggu kepentingannya. Praktik-praktik semacam inilah yang mengekalkan kesemrawutan. Hal itu masih ditambah dengan hancurnya kepolisian dan KPK karena sudah dikangkangi oleh eksekutif (pemerintah/penguasa).

Faktor keempat, patronase. Menurut Sigel (1999) dalam setiap fenomena politik selalu ada segelintir “orang kuat” yaitu mereka yang memiliki sumber daya ekonomi dan (politik) kekuasaan. Mereka bisa mengendalikan pranata hukum dan politik secara simultan. Orang-orang kuat inilah yang menjamin para mafia (Vittorio Mete, 2019) dalam kerjanya. Apabila penegakan hukum bisa menyentuh para “orang kuat” ini, niscaya akan makin sehatlah demokrasi dan hukum. Sebaliknya, jika mereka “untouchable” tak tersentuh oleh hukum, maka mereka makin merajalela, dan bahkan melahirkan politik dinasti yang nantinya akan merusak semua tatanan hukum dan kenegaraan.

Matinya Integritas  

Integritas adalah sikap atau perilaku yang benar, jujur dan adil. Artinya orang yang berintegritas harus benar, jujur dan adil terhadap diri dan orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu, integritas adalah suatu keniscayaan, sebab tanpa penyelenggara, elite politik dan peserta pemilu yang berintegritas, maka hasil pemilu tidak berkualitas (Van Ham, Carolien., 2015:714-737).

Hasil pemilu yang tidak berkualitas menyebabkan tidak adanya ‘trust’ masyarakat terhadap para pemimpin. Hasil pemilu yang tidak ada ‘trust’ dari masyarakat memunculkan oligarki  yang membajak kedaulatan rakyat. Pemilu yang berintegritas adalah sarana dimana rakyat memberikan amanah kepada para pemimpin yang berdaulat bukan para pemimpin yang dipilih oleh rakyat, tetapi rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Pemilu yang berintegritas akan menghasilkan kualitas pemimpin yang baik pula. Namun temuan dalam banyak penelitian diantaranya oleh Gregorius Sahdan,dkk,” MEMBONGKAR MAFIA DAN OLIGARKI DALAM PEMILU 2019,” menunjukkan adanya keterputusan elektoral antara pemilih dan yang dipilih. Tidak ada hubungan antara pemilih dan pemimpin yang dipilih atau telah terjadi keterputusan elektoral. Dengan kata lain aspirasi pemilih/rakyat selaku pemilik kedaulatan tidak tersampaikan dalam pengambilan kebijakan publik. Kalau rakyat selaku pemilik kedaulatan tidak lagi berkuasa, maka hal ini merupakan tanda lonceng kematian demokrasi di Indonesia.

Politik tanpa mengutamakan integritas akan memunculkan persaingan perebutan kekuasaan yang mengabaikan nilai-nilai moral. Bila nilai-nilai moral diabaikan, politik akan memunculkan serigala-serigala (lupus-lupus) yang saling memangsa sesama. Sesungguhnya yang bersaing bukan hanya elite politik an sich dalam merebut kekuasaan, namun di balik semua itu antar ormas agama juga berebut kekuasaan melalui penguasaan penyelenggara pemilu. Memperhatikan persaingan yang ketat antar kandidat dalam Pilpres memunculkan satire merendahkan satu dengan yang lainnya. Istilah cebong dan kampret (pada Pemilu 2019) mewarnai kampanye Pilpres dan menunjukkan rendahnya moralitas elite politik. Kata cebong (anak katak) diviralkan untuk menjelekkan para pendukung Jokowi. Sebaliknya sebagai balasan atas sindiran pendukung Prabowo tersebut dimunculkan-mereka menyebut dengan kampret. Kata kampret (anak kelelawar) adalah julukan untuk para pendukung Prabowo yang hanya bisa berkoar-koar. Perang sindiran yang merendahkan antar para pendukung dalam kampanye Pilpres tersebut telah memecah masyarakat menjadi dua. Hal ini mengindikasikan bahwa elite politik tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.

Selaras dengan hal tersebut para tokoh agama dan masyarakat yang seharusnya menjadi penengah dan peneduh, malah sebaliknya mereka ikut mendukung salah satu calon kandidat. Pemilu 2019 lalu dan juga Pemilu 2024 ini telah memberi catatan buruk, khususnya matinya integritas di antara penyelenggara pemilu, elite politik dan peserta pemilu. Bila berpolitik tidak mengutamakan integritas, maka akan memunculkan manusia yang buas. Dalam bahasa Hobbes, manusia buas, disebut dengan serigala (lupus). Dalam imaji Hobbes, manusia adalah serigala yang tidak bisa diatur dan bertendensi saling memangsa. Oleh karena itu Hobbes menjuluki dengan istilah homo homini lupus – manusia adalah serigala bagi sesamanya. Ini poin penting yang membangkitkan para relawan.

Selamat Datang Relawan Politik

Seperti telah diurai di depan, motif kerelawanan selalu beragam. Begitu juga keragaman penyebab munculnya kerelawanan politik. Namun, lonjakan ketidakpercayaan terhadap perilaku Presiden Jokowi rupanya menjadi faktor sentral dalam keragaman penyebab termasuk datang dari berbagai kampus. Kalau dilihat, pada Pemilu 2024 ini kerelawanan politik itu menjadi fenomena di seluruh Indonesia. Tampak jelas para relawan itu senafas dengan keluhan mereka, bahwa mereka telah pengap dan muak dengan kondisi yang ada, dan mereka  membutuhkan perubahan. Dan itu ada pada pasangan AMIN-01.

Pertanyaannya, mengapa ketidakpercayaan dan sinisme terhadap corak politik seperti itu memunculkan sikap kerelawanan dan tidak apatis?  Hal yang sering dilupakan, dalam lebih dari satu dasarwarsa terakhir telah berlangsung aneka eksperimen kerelawanan politik dan independensi, yang pada momen penting siap berubah menjadi partisan (partisan volunteerism). Sejatinya ketika Jokowi ikut pada 2014 juga cukup banyak dibantu oleh kerja keras relawan partisan. Juga masa sebelumnya di era SBY. Sayangnya fenomena dukungan kini berbalik akibat blundernya Jokowi.

Apakah keutamaan independensi dan kerelawanan politik demikian luhurnya? Pertanyaan ini tentu menggelikan. Kalau melihat dulu para relawan Ahok pada Pilkada DKI, nampak energi besar ada di sana tetapi para relawan ini mudah terkena sindrom “rabun politik” yang menyebabkan mereka gampang terpeleset. Pertama, kecenderungan menganggap setiap kritik kepada kepemimpinan Ahok sebagai penolakan terhadapnya. Mereka anti kritik. Padahal, mendukung tanpa kritik adalah energi menuju tribalisme politik. Kedua, para relawan tak perlu kaget dengan segala sindrom kekuasaan ini. Orang yang mendapat kuasa, sesopan apa pun pada awalnya, mudah dirasuki lupa daratan. Itulah yang dialami Jokowi setahun menjelang habis masa jabatannya, lalu memilih jalan politik dinasti.

Sebagai catatan penting, relawan jika yang diusung terpilih jangan dikira tanpa masalah__akan banyak dampak negatif ikutannya, tetapi hal positif yang penting dicatat bahwa kerelawanan mengemban misi menerobos kebuntuan hidup yang tersekat-sekat agar bangsa atau konstalasi negara dapat berubah lebih baik. Perubahan ! …itulah jawaban mengapa  para relawan itu  tumbuh meruyak dan besar bak jamur di musim hujan.

Sumber https://suaramuhammadiyah.id/read/membaca-relawan

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-18 09:21:322024-11-18 09:22:30Membaca Relawan

Politik Kebencian dan Berpikir Kritis

18/11/2024/in Opini, Publikasi 2024, Suara Muhammadiyah /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Muhammadiyah (14 januari 2024)
Sobirin Malian

Hampir di setiap pergelaran Pemilu sejak 2017 politik kebencian selalu merebak. Yang sangat menonjol ada tegangan politik intens yang menghunuskan permusuhan terhadap yang berbeda sebagai yang harus dipojokkan, dimusuhi dan dipencilkan.

Semestinya pencerdasan politik atau pendidikan politik harus hadir sebagai harapan tentang diskursus kritis yang akan mewarnai pesta demokrasi seperti sekarang ini sehingga kita mampu menikmati dan mengucapkan selamat tinggal pada politik kebencian.

Sangat disayangkan, sejak Pemilu 2014 polarisasi politik kebencian tak bisa kita lepaskan. Bahkan  politik kebencian selalu dimobilisasi hingga terus membesar sampai 2024 ini. Kebencian pada awalnya digerakkan oleh hasrat merebut kekuasaan dalam arena politik atau dunia olahraga lalu memasuki semua relung-relung dalam kehidupan dan mengancam sosiabilitas kita. Riak-riak ancaman, konflik memenuhi ruang-ruang publik menggoyang harmoni sosial bahkan keluarga.

Politik kebencian bak air bah mengalir deras menghantam siapa pun yang saling berbeda pilihan.Di dalamnya terdapat eksklusi dan sekat-sekat yang beroperasi menghasilkan dukungan politik, terutama dari generasi milineal, dan floating mass (massa yang belum menentukan pilihan). Ironisnya, alih-alih terwujud suatu solidaritas dan kedamaian, dukungan eksklusif justru semakin menegaskan segregasi (pengelompokan) yang dikukuhkan dinding tebal pemilahan antara “aku” dan “kau”, “kami” dan “mereka”.

Dalam pemilahan tersebut, perbedaan bukan sebagai rahmat yang memungkinkan interaksi, sinergi dan  solusi, tetapi sebagai perangkat penyekat. Sangat berlawanan dengan interaksi, sinergi dan solusi__penyekat adalah suatu tindakan non intercourse; ketika mereka menimbang hanya kesamaan tanpa kesediaan untuk mendialogkan perbedaan. Aspek resiprokalitas, yang menjadi ciri “rahmat dari perbedaan” justru diarahkan kepada suatu pemencilan dan rasa permusuhan. Debat pun akhirnya dilaporkan.

Sadar tidak sadar resiprokal yang berujung pemencilan telah mengancam sosiabilitas. Orang cenderung kehilangan sikap ramah terhadap perbedaan karena terhasut dan terjebak dalam politik kebencian tadi yang diseret-seret dalam permainan kekuasaan. Padahal, pelingkupan inilah yang menjadi modal solidaritas, pembentuk pilar dan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara.

Kebhinekaan telah digerus oleh kepicikan para demagog politik yang berupaya mengidentifikasikan diri dengan kelompok mayoritas, mengesankan diri sebagai pembela kepentingan mereka dan menjanjikan kebijakan-kebijakan yang seolah anti-elitisme. Gaya populisme ini masih ditambah satu kunci propaganda untuk mengidentifikasi pihak lain sebagai sumber masalah yang harus dimusuhi.

Populisme menjadi masalah dalam politik Indonesia manakala populisme dianggap berafiliasi dengan politik identitas (agama dan budaya); populisme oleh karenanya dianggap mengancam integritas masyarakat karena rentan menggiring masyarakat dan atau negara pada perpecahan.

Lebih jauh, politik identitas dibungkus agama dan budaya memiliki andil besar untuk memantik sentimental dan menarik simpati militan pengikut kelompok identitas tertentu. Populisme berbasis politik identitas disinyalir jika memobilisasi kekuatan massa dan bertendensi mengabaikan keberadaan individu atau kelompok di luar dirinya. Atas dasar itulah, Marc F Plattner (2010) menyebut populisme sebagai suatu antema bagi demokrasi, antara lain ancaman serius yang dibawa oleh gaya politiknya yang sejatinya anti keberagaman.

Politik Harapan dan Harapan Politik

Realitas yang pahit kadangkala melahirkan hikmah, menjadi pelajaran yang penting. Bahkan tidak jarang kondisi yang pahit tadi melahirkan idealisme baru sebagai harapan masa depan. Apa yang kita lakukan saat ini akan mempengaruhi masa depan kita nantinya. Jika tak ingin membuat kesalahan yang sama seperti masa lalu, lakukan hal yang lebih baik dari sekarang. Oleh karena itulah, pahitnya politik kebencian  mesti kita akhiri segera, agar kita dapat beranjak menyongsong harapan-harapan politik baru.

Pada 2024 ini, kita segera menghadapi momen pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden lalu disusul pilkada serentak, tentu masih banyak energi yang kita butuhkan untuk menghadapi momen penting politik itu. Titik ini menjadi sangat krusial bukan sekadar ia menjadi ajang pertarungan kekuasaan, melainkan ia strategis menentukan arah perkembangan negara ke depan. Apakah akan terkonsolidasi ataukah akan terjadi perubahan.

Bagaimana pun politik kebencian telah meninggalkan celah pembelahan sosial, yang mengindikasikan suatu kemunduran demokrasi. Pertanyaan penting kini, bagaimana politik itu menjadi arena pendidikan yang mampu mendewasakan, bukan terjebak pada pertikaian.

Jika para kandidat dan para pendukungnya hanya bisa mematut diri sambil mencibir, menyinyir kelemahan lawan, dapat dipastikan proses politik kita gagal menghasilkan suatu diskursus yang mencerdaskan. Sebaliknya, bila para kandidat mampu menyodorkan alternatif (program, visi, misi) yang cerdas bagi masa depan pemilih, tentu akan mendewasakan demokrasi kita, sekaligus meninggalkan politik kebencian. Dengan menolak meremehkan nalar sehat untuk diinjak-injak dogma, mari kita bersepakat…ucapkan selamat tinggal politik kebencian.

Berpikir Kritis dan Melahirkan Kebijakan

Bagaimana pun, politik kebencian dapat melahirkan konflik sosial akibat kesalahpahaman penafsiran informasi dari media sosial atau dari mana saja. Bahayanya hal ini akan menguatkan fenomena post-truth atau pascakebenaran yang berpotensi memecah belah kehidupan sosial. Selain itu, dalam keseharian kita juga dihadapkan dengan berbagai aturan dan regulasi yang dibuat oleh pihak yang berkuasa. Sebagai individu kita memang wajib mematuhi hukum yang berlaku selama itu baik bagi kehidupan bersama. Namun, kita juga harus aktif dan bersikap kritis terhadap aturan yang dibuat karena bisa saja aturan yang dibuat hanya ditujukan menguntungkan pihak tertentu tapi merugikan pihak lain.

Dalam bahasa Michel Foucault, pengetahuan (power) dan kekuasaan (knowledge) sangatlah berkaitan erat. Bentuk dominasi modern termanifestasi dalam bentuk yang tidak ‘terlihat” terutama melalui wacana yang banyak menggunakan bahasa sebagai instrumennya. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis sangat kita perlukan, terutama kritis dalam mencermati berbagai wacana yang memanfaatkan permainan bahasa (language of game). Apa Itu Berpikir Kritis? “Kritis” dalam konteks “berpikir kritis” sering diartikan secara keliru sebagai kegiatan menyerang atau menjatuhkan seseorang.

Kesalahpahaman ini tidaklah tepat dan dapat berpotensi membatasi kebebasan berpendapat, terutama di era rezim otoriter. Di era Orba “sikap kritis” sering diidentikkan sebagai bentuk pembangkangan dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah. Tetapi di era Jokowi pun, kritik sering dianggap dapat membahayakan keberlangsungan kekuasaan. Akibatnya, mereka yang gemar mengkritisi kebijakan pemerintah selalu berujung dilaporkan dengan alasan melanggar UU ITE. Hal ini tentunya sangat mencederai paham demokrasi yang dianut oleh negara kita.

Lalu apa itu berpikir kritis? Defisini paling sederhana dari sikap atau berpikir kritis adalah kemampuan untuk memecahkan permasalahan, mempersoalkan atau mempertanyakan sesuatu hal. Rocki Gerung mengatakan, berpikir kritis artinya bercakap dalam ruang dialogis dan terbuka terhadap kritik.  Ironisnya, hari-hari ini orang mengidap resistensi terhadap kritik. Dalam hal kehidupan politik misalnya, kritik tidak dipahami sebagai suatu hal yang konstruktif melainkan sebagai ancaman terhadap jalannya pembangunan (Warta Feminis, 5/12/2017).

Berpikir kritis berarti mempertimbangkan suatu bentuk pengetahuan atau keyakinan yang diterima begitu saja (taken for granted) secara aktif, terus menerus, dan teliti dengan menyertakan alasan, mengedepankan fact-checking, dan mengambil kesimpulan yang logis. Intinya,  upaya memulihkan akal sehat publik. Dalam bukunya yang berjudul Logic as Theory of Validation: An Essay in Philosophical Logic, Richard W. Paul berargumen bahwa berpikir kritis berkenaan dengan proses disiplin-intelektual yang menuntut individu untuk terampil dan aktif dalam memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesakan, dan/atau mengevaluasi informasi berdasarkan observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, dan komunikasi yang dilakukan.

Bagi Paul, kegiatan ini dapat dijadikan pedoman untuk meyakini sesuatu dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut. Berdasarkan rujukan di atas, secara filosofis berpikir kritis bukanlah dimaksudkan untuk menyerang, mencari kesalahan, atau menjatuhkan orang lain, melainkan mengajukan argumen secara rasional untuk menghindari kesalahan berpikir dan melahirkan sebuah pandangan logis terhadap suatu hal.

Oleh karena itu, berpikir kritis tidaklah mudah karena kita dituntut untuk memiliki keterampilan intelektual dan komitmen untuk memahami dan memproses informasi yang kita terima dari sumber manapun. Selain itu, kedewasaan berpikir dan kebijaksanaan sangat diperlukan dalam kegiatan ini karena tidak semua orang mudah menerima kritikan, khususnya bagi rezim yang berkuasa, sehingga dibutuhkan sikap besar hati untuk secara sportif menerima kritikan sebagai bentuk masukan positif guna terus memperbaiki diri. Melatih diri berpikir kritis sebagai sebuah keterampilan (skill), berpikir kritis membutuhkan pengetahuan, kemampuan berbahasa, kreativitas, dan komitmen intelektual selain itu berpikir kritis membutuhkan proses yang tidak singkat.

Berpikir kritis tidaklah mudah, namun bukan berarti tidak mungkin bisa dilakukan. Mengembangkan cara berpikir kritis dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengenali suatu permasalahan serta menentukan cara atau strategi untuk mencari solusi atas suatu permasalahan. Kemudian, kita juga dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas yaitu dengan cara mencari informasi yang relevan sebanyak-banyak untuk membongkar maksud dan tujuan di balik suatu gagasan tertentu.

Selain itu, kita juga harus memiliki keterampilan bahasa yang baik karena dalam mengkritisi suatu persoalan kita akan menuangkan kritikan kita dalam bahasa yang komprehensif, lugas, dan tidak bertele-tele. Hal ini ditujukan supaya kritik tersampaikan dan dapat dimengerti dengan baik kepada yang dituju. Budaya masyarakat, maraknya fenomena post-truth, ujaran kebencian, hingga disinfomasi di era digital ini semakin menuntut kita untuk bersikap kritis terhadap segala hal. Jika tidak, kita akan terjerumus dan “terjebak” secara emosional dalam konten pemberitaan yang kadang menyesatkan.

Lahirnya, UU 19/2016 perihal Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai dasar hukum serta direncanakannya polisi virtual untuk mengontrol pelanggaran memang diperlukan. Namun yang terpenting adalah kita harus menjadikan berpikir kritis sebagai budaya dalam kehidupan sehari-hari supaya masyarakat terbiasa mengindentifikasi dan menganalisis suatu permasalahan dengan mengandalkan logika, bukan emosi sehingga tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat negatif.

Budaya berpikir kritis juga harus diperkuat, terutama di sektor pendidikan (nampaknya ini pula tujuan dari program Belajar Merdeka di kampus-kampus), untuk menciptakan sumber daya manusia yang terbiasa menggunakan rasionalitas dalam memecahkan suatu permasalahan. Keuntungan lainnya dari berpikir kritis adalah kita akan dengan sendirinya menumbuhkan rasa kemanusiaan karena kita terbiasa menggunakan logika untuk kepentingan bersama.

Yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai manusia yang dianugerahi akal sehat untuk berpikir, selain kritis terhadap hal yang merugikan, kita juga harus terbuka dan siap untuk dikritik, bukan anti-kritik. Hal ini demi kebaikan diri sendiri maupun kepentingan kolektif.

Sumber https://www.suaramuhammadiyah.id/read/politik-kebencian-dan-berpikir-kritis

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-18 09:10:562024-11-28 08:54:46Politik Kebencian dan Berpikir Kritis

Benarkah Surah Asy-Syu’ara Surah Para Pemusik?

18/11/2024/in Opini, Publikasi 2024, Suara Muhammadiyah /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Muhammadiyah (18 Mei 2024)
Muhammad Zakaria Darlin

Sontak banyak orang terkejut dengan istilah baru yang disebutkan oleh Ustadz kondang yang memiliki jutaan pengikut, Ustadz Dr. Adi Hidayat, Lc., M.A. Lulusan Bahasa dan Sastra Arab dari Tripoli Libya ini selain dikenal aktif berdakwah dengan media sosial beliau juga aktif dalam persyarikatan sebagai Wakil Ketua I Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. Dalam salah satu potongan video dakwah nya yang viral, beliau menyebutkan dalam Bahasa yang mudah difahami oleh umat, bahwa Surah Asy-Syu’ara (Surah Para Penyair) dapat diartikan sebagai Surah Para Pemusik.

Banyak pihak terkejut dengan pemaknaan ini, ada yang kecewa, berhenti mengikuti bahkan yang paling brutal ada yang sampai mengkafirkan UAH karena telah menghalalkan musik. Bagi mereka yang keras, musik apapun jenisnya dianggap secara general sebagai dosa dan maksiat layaknya zina dan minum khamar. Hadits yang dipakai sebagai dalil pengharaman adalah hadits umum yang sering diangkat tentang akan munculnya di akhir zaman kelak, suatu kaum dari umat islam yang akan menghalalkan zina, mabuk-mabukan, memakai sutra dan alat musik. Padahal jelas dalam Fiqih, permasalahan musik ini adalah ranah ikhtilaf Ulama.

Para Ulama sedari awal memang sudah berbeda pendapat tentang keharaman alat musik secara pasti, disebabkan tidak ada lafaz jelas (shorih) yang mengharamkan alat musik layaknya khamar, zina dan riba yang sudah pasti keharaman nya. Kata Musik (Al-Musiqo) merupakan kata baru di dalam nash agama Islam dan tidak pernah disebutkan secara gamblang (Shorihan) di Al-Quran maupun Sunnah tentang kehalalan ataupun keharaman nya. Kata yang sering kita dengar mengenai pengharaman musik hanya membawa kata ”Lahwul Hadits”  (kalimat senda gurau) yang disebutkan dalam surah Luqman ayat 6, kemudian kata “Al-Ma’azif”  (alat-alat yang menyebabkan senda gurau dan kelalaian) yang disebutkan di dalam hadits yang sama tentang pengharaman zina, khamar, dan sutera.

Musik di Era Jahiliyah, Shodrul Islam, Umawiyah dan Abbasiyah

Musik yang dikenal hari ini dengan berbagai genre-nya, bukan datang secara tiba-tiba. Di zaman Jahiliyah (200 tahun sebelum Islam datang), bahkan orang Arab Jahiliyah yang masih menyekutukan Allah dengan berhala, sudah mengenal istilah Al-Hida’. Al-Hida’ merupakan salah satu jenis nyanyian sederhana yang dipakai oleh Qofilah (rombongan orang Arab yang sedang safar dengan unta) memakai jenis bahar ( ketukan nada) yang dipercaya selaras dengan hentakan kaki unta. Ketukan nada ini bernama Bahar Rajaz. Bahar atau Buhur merupakan istilah dalam Ilmu Arudh dan Qawafi (salah satu cabang ilmu Bahasa Arab) yang mempelajari ketukan-ketukan nada dalam syair Arab.

Syair Arab yang mengandung unsur nada Buhur dan Qafiyah dan bisa diiringi oleh musik ini ternyata tidak pernah diharamkan dalam Islam. Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri memiliki penyair pribadi yang bernama Hassan bin Tsabit, Ka’ab bin Zuhair dan Ka’ab Bin Malik yang sedia membela Nabi dari serangan verbal berupa syair celaan (Hija’) dari orang Kafir Quraisy. Kepada Ka’ab bin Malik Nabi pernah menghadiahkan sorban nya sebagai tanda terima kasih atas syair burdah (pujian) nya untuk Nabi. Rasulullah SAW juga pernah memuji penyair wanita bernama “Khansa” sebagai penyair terbaik yang pernah ada yang dijelaskan dalam sebuah hadits. Siti Fatimah RA, anak perempuan yang paling dicintai Nabi, pun juga pernah membuat syair kesedihan (Ar-Ritsa’)  untuk Baginda Nabi setelah wafatnya beliau.

Tradisi baik ini berlanjut hingga ke zaman kekhalifahan, setiap khalifah bahkan memiliki penyair pribadi nya masing-masing. Di zaman Umawiyah dan Abbasiyah berkembang pesat ilmu kepenyairan hingga muncul tokoh-tokoh penyair besar beberapa penyair yang paling terkenal seperti Akhthol, Farazdaq, Jarir,  Ibnu Rumi, Al-Mutanabbi, dan Abu Nawas.

Bukan hanya membolehkan syair Arab, bahkan Nabi pernah membolehkan mizmar (jenis alat musik tiup) di dalam rumah beliau yang digunakan oleh beberapa anak perempuan saat hari raya. Nabi juga tidak mempermasalahkan syair yang diiringi alat musik, di saat Nabi datang ke Madinah untuk pertama kali, pun disambut oleh Kaum Anshar dengan genderang gendang syair pujian “Thola’al Badru ‘Alaina”, Nabi tidak mengharamkan nya. Bahkan ketika ada walimah di Madinah dalam keadaan senyap, Nabi pernah bertanya kepada para wanita di sana :”kenapa tidak dibunyikan nyanyian padahal orang Madinah sangat menyukai nyanyian?” (HR. Bukhari). Nabi justru merasa heran, di saat resepsi walimah yang berbahagia di Madinah saat itu, kenapa malah tidak ada musik?

Islam tidak sulit dan sesempit tempurung hingga mengharamkan sesuatu tanpa alasan. Islam sudah sejak lama menyentuh aspek-aspek baik di setiap unsur kehidupan yang bahkan belum terfikirkan oleh kita sebelumnya. Terlepas dari ikhtilaf Ulama dalam hukum fiqih nya, secara istilah kata musik (Al-Musiqo) sudah dipakai sejak zaman Abbasiyah dalam kitab Ibnu Sina “Asy-Syifa (Ar-Riyadhiyat) : Jawami’ Ilmu Musiqo”.  Dasar-dasar pembolehan syair sejak zaman Nabi hidup sampai zaman Kekhalifahan Abbasiyah, (baik dengan musik ataupun tanpa alat musik),  merupakan dalil terbesar yang pernah ada untuk membolehkan mendengarkan syair, selama itu baik, tidak mengandung maksiat dan tidak melalaikan dari mengingat Allah SWT.

Jadi bukanlah sebuah hal yang baru apabila Surah Asy-Syu’ara (Surah Para Penyair) diartikan oleh UAH secara kontekstual menjadi (Surah Para Pemusik), karena memang pada dasarnya syair-syair Arab itu memang memiliki unsur “musiqo syi’ir” atau musik syair tersendiri, yaitu ketukan nada pada Bahar dan Qawafi nya. Sehingga bukanlah syair Arab apabila tidak ada unsur musiknya, dan tidak akan tercipta musik dalam dunia Islam tanpa adanya syair Arab. Keduanya bagaikan dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan, dan siapapun yang membaca sejarah akan dapat melihatnya.

sumber https://suaramuhammadiyah.id/read/benarkah-surah-asy-syu-ara-surah-para-pemusik

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-18 09:03:232024-11-18 09:23:01Benarkah Surah Asy-Syu’ara Surah Para Pemusik?

Penggunaan Kata ‘Islami’ Bikin Pecah Umat Islam?

14/11/2024/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (8 Maret 2024)
Muhammad Zakaria Darlin

Makna kata ‘islami’ tidak sama dengan kata ‘muslim’, apalagi dengan kata ‘Islam’. Namun akhir-akhir ini sering kita mendengar di media massa, khotbah dan ceramah, bahkan percakapan keseharian, bahwa setiap manusia yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya mestilah menjadi seorang yang islami.

Islami dalam KBBI dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat keislaman: akhlak. Penggunaan kata ‘islami’ dalam pangkuan makna yang demikian tidaklah sepenuhnya benar dan tidak pula sepenuhnya salah. Akan tetapi memakai sebuah padanan kata yang akar rumputnya adalah ajaran agama Islam, tentu harus berdasarkan kepada sumber-sumber syariat yang terpercaya. Bukan sekadar ritme harmoni kata yang indah, apalagi bentuk luaran yang tampak memukau, seakan sudah mengikuti pagu dan aturan-aturan dalam beragama, lantas mencatutnya menjadi sebuah terminologi baru dalam beragama.

Terminologi istilah agama yang akar rumputnya adalah syariat, sudah tentu harus mengikuti aturan baku dalam Bahasa Arab. Istilah islami ini bahkan tidak pernah sekalipun disebutkan Allah di dalam Al-Qur’an. Terminologi baru yang memaknai ‘islamis’ atau ‘Islamiyyun’ sebagai penunjukan terhadap seseorang muslim yang ke-Islamannya bagus, melebihi makna kata ‘muslim’ yang disematkan Allah sebanyak 39 kali di dalam Al-Qur’an, dapat dikatakan sebagai sebuah inovasi golongan kanan yang berniat memecah belah umat Islam itu sendiri.

Jika dilihat dari siyaq kalam (konteks bahasa) yang dipakai di setiap ayat-ayat yang menggunakan kata ‘Islam’ dalam Al-Qur’an, kata ‘Islam’ hanya dipakai untuk dimaknai sebagai sebuah agama saja, sebagai lawan dari syirik. Sementara kata ‘muslim’ dengan segala perubahan morfologisnya seperti ‘muslimin’, ‘muslimah’ dan ‘muslimat’ dipakai untuk ragam variasi makna di dalam Al-Qur’an.

Contohnya sebagai lawan kata dari ‘musyrik’, penguat makna ‘iman’, disematkan dengan kata ‘anak saleh’, menjelaskan sifat utama wanita ‘salihah’, dijadikan sifat untuk sebuah umat, menguatkan bahwa Ibrahim dan keturunannya bukan ‘musyrikin’, lawan kata ‘mujrimin’ (pendosa besar), tafriq (pembeda) muslim dengan ahli kitab, disandingkan dengan sifat tawakal dan makna lainnya yang sangat tidak terbatas artinya.

Ini artinya ajaran Islam tidak pernah membeda-bedakan antara muslim yang baik dengan muslim yang tidak baik dengan penggunaan kalimat mi’yariy (menghukum) dan mengancam ke-Islaman seorang yang telah bersyahadat, seperti halnya islami dan Ghoiru Islami. Jika memang terminologi islami ini lebih tepat daripada kata ‘muslim’, tentu Allah akan menggunakannya di dalam Al-Qur’an sebagai pengganti yang lebih tepat daripada menggunakan kata ‘muslim’, atau setidaknya melekatkannya dalam frasa dengan kata ‘muslim’, seperti muslim islami dan Muslim Ghairu Islami.

Sehingga akan terlihat perbedaan antara muslim yang taat dengan yang tidak taat. Tapi frasa ini tidak pernah ditemukan di dalam Al-Qur’an. Apalagi dipakai secara mandiri untuk mensifati orang yang baik ke-Islamannya dan membedakannya dengan yang tidak baik ke-Islamannya.

Islam Politis

Penggunaan frasa, ‘fulan’ sebagai orang yang paling islami atau partai atau golongan fulan sangatlah islami dari partai lainnya untuk orang-orang yang berjuang demi tegaknya syariat Islam di muka Bumi, bahkan label-label yang melekat pada mereka sebagai orang terbaik yang mempresentasikan agama islam dan kebalikan dari mereka yang dianggap sebagai musuh Islam, meskipun dia beragama Islam, adalah klaim yang tidak berdasar di dalam perspektif agama yang akan menumbuhkan lagi benih-benih Firoq Islamiyah (golongan-golongan Islam politis) yang tumbuh berkembang di masa lampau seperti halnya di zaman Umawiyah.

Zaman di mana terpecahnya kaum muslimin ke dalam banyak golongan berdasarkan fanatisme politik, seperti golongan Umawiyyin, Syiah, Khawarij, Murjiah, hingga Zubairiyyin, yang tujuannya jelas untuk mencari kekuasaan semata dengan mengeksploitasi ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis agar berkesesuaian penafsirannya dengan syahwat politik masing-masing.

Maka jika istilah ‘islami’ ini terus dipakai dengan pemaknaan yang melenceng seperti ini, tentu ditakutkan akan menyebabkan perpecahan terjadi kembali di dalam tubuh umat Islam itu sendiri. Padahal Rasulullah SAW telah bersusah payah berdarah-darah memadamkan api perpecahan dan kebencian antarsesama umat muslim, hingga mempersaudarakan manusia semasa hidup beliau.

Maka tidak ada kalimat yang seindah pesan dari Baginda Nabi, agar tidak fanatik terhadap ke-Islaman, kesalihahan dan kehebatan diri serta golongan pilihan pribadi, apalagi sampai rela mati di jalan tersebut, sebagaimana sabdanya yang mengatakan, “Bukanlah dari umat ku siapa yang mengkampanyekan fanatisme, dan bukanlah dari umatku siapa yang berperang atas nama fanatisme, dan bukanlah dari umatku siapa yang mati karena membela fanatisme (HR. Abu Dawud).”

Sumber : https://opini.harianjogja.com/read/2024/03/08/543/1167246/opini-penggunaan-kata-islami-bikin-pecah-umat-islam

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-14 11:25:282024-11-14 11:25:28Penggunaan Kata 'Islami' Bikin Pecah Umat Islam?

Perlunya Memperhatikan Warga Lansia di Era Ageing Population

11/11/2024/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (02 Februari 2024)
Leonny Dwi Rizkita

Era ageing population merupakan periode waktu di mana suatu negara memiliki rasio populasi warga lansia dengan tren yang terus meningkat. Indonesia disebutkan telah memasuki era ageing population ini sejak 2015 berdasarkan data sensus penduduk yaitu jumlah penduduk yang berusia di atas 60 tahun telah mencapai angka 7%. Tren ini akan semakin naik tiap tahunnya dan diperkirakan pada akhir 2030, jumlah warga lansia di Indonesia dapat mencapai 48,19 juta penduduk. Kuantitas yang meninggi diharapkan sejalan dengan kualitas manusia di dalam dan luar. Terlebih, risiko penyakit akan lebih banyak menghantui pada mereka yang telah menginjak usia lanjut.

Penurunan tingkat kebugaran tubuh dan proses penuaan yang alami menjadi penyebab utama banyaknya kasus penyakit kronis dialami oleh para warga lansia ini. Jika berkaca pada kejadian pandemi Covid-19, pasien yang sudah memiliki komorbid (kombinasi beberapa penyakit) cenderung sangat mudah jatuh ke kondisi berat dan kritis. Sebagai contoh, Disebutkan dalam suatu artikel ilmiah yang dipublikasikan pada 2021 di Journal of Nutrition, Health & Aging oleh Dai, et al. bahwa sebanyak 73,9% pasien lansia dengan penyakit kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah), hipertensi, penyakit paru-paru kronis cenderung akan jatuh ke kondisi kritis akibat infeksi virus Covid-19. Kerentanan populasi usia lanjut terhadap penyakit menjadi perhatian penting di masa-masa mendatang, terlebih jika era ageing population sudah di depan mata.

Jika berkaca dari data, WHO melaporkan pada Desember 2023 kenaikan angka kematian orang yang mengalami penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskular (e.g: serangan jantung mendadak dan strok), kanker, penyakit pernapasan kronis (e.g: penyakit paru obstruktif kronis dan asma), serta diabetes melitus mencapai lebih dari 30 juta dengan proporsi terbanyak dialami oleh mereka di bawah usia 70 tahun. Data dari Kementerian Kesehatan 2022 melalui Laporan Kinerja Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2022 terdapat tiga provinsi di Indonesia yang cakupan deteksi dini hipertensi, diabetes melitus, serta obesitas yang terendah, salah satunya DIY. Rata-rata masih di bawah 10%.

Dampak yang dapat dirasakan dari rendahnya deteksi dini penyakit tidak menular antara lain semakin menurunnya kualitas hidup hingga dapat berkomplikasi menjadi penyakit lain yang jauh lebih berbahaya, yaitu penyakit kardiovaskular. Salah satu penyebab tertinggi dari kejadian penyakit kardiovaskular ialah hipertensi (tekanan darah tinggi).

Diperlukan gerakan sadar kesehatan pada warga lansia, khususnya di DIY, kita bisa melihat lokasi tersentral salah satunya tempat pengajian seperti yang dilakukan oleh UAD (Universitas Ahmad Dahlan) melalui kegiatan pengabdian dosen bersama mahasiswa kedokteran di Kalurahan Banguntapan, Bantul. Meskipun antusiasme warga lansia cukup tinggi, perhatian terkait persoalan kesehatan di kalangan warga lansia masih kurang terutama pemahaman mengenai gangguan mental yang dapat menghantui mereka.

Keingintahuan yang besar dari warga lansia menjadi salah satu tanda positif untuk memulai suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Namun demikian, pada umumnya, penyakit hipertensi maupun diabetes melitus merupakan penyakit tidak menular yang cenderung menetap begitu seseorang mengalaminya, terlebih pada warga lansia. Sehingga, memahami dan berdamai dengan kondisi tersebut sangat diperlukan agar mencegah terjadinya perburukan.

Cek Kesehatan

Cara terbaik untuk memfasilitasi proses penerimaan dan edukasi yang tepat ialah konsultasi kesehatan dengan ahlinya yaitu dengan dokter. Perlunya semangat untuk tetap sehat. Dimulai dari pikiran dan kesadaran untuk mencari ilmu kepada orang yang tepat. Beberapa tips yang dapat dilakukan terkait deteksi hipertensi sesuai rekomendasi PDHI (Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia) antara lain penapisan hipertensi semakin dirutinkan pada mereka yang sudah menginjak usia di atas 50 tahun.

Jika ingin menggunakan home blood pressure monitoring (HBPM) atau pengukuran tekanan darah di rumah, pastikan posisi sebelum pemeriksaan sudah tepat yaitu jika dalam duduk atau berdiri, monitor sejajar dengan posisi jantung, lalu duduk bersandar di kursi dan lengan diletakkan di meja, kaki menapak di lantai dan tidak disilangkan.

Selain persoalan penyakit fisik berupa hipertensi maupun diabetes melitus, warga lansia merupakan golongan masyarakat yang rentan mengalami gangguan psikis, seperti depresi. Banyak faktor yang dapat mendasari hal tersebut. Jika kedua gangguan tersebut ditemui secara bersamaan pada seorang individu lansia, maka kemampuan dalam melanjutkan hidup dapat terganggu di beberapa aspek.

Hal ini dapat tercermin dari Quality of Life (kualitas hidup) warga lansia tersebut. Semakin tinggi angka kualitas hidup seseorang maka proyeksi dalam menjalani hidup meskipun dalam keterbatasan akan semakin baik. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran dibutuhkan suatu pergerakan yang cermat dan penuh integritas. Semangat untuk maju bersama guna mencapai era ageing population Indonesia yang lebih berkualitas.

Sumber : https://opini.harianjogja.com/read/2024/02/02/543/1163508/opini-perlunya-memperhatikan-warga-lansia-di-era-ageing-population

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-11 15:00:502024-11-11 12:47:10Perlunya Memperhatikan Warga Lansia di Era Ageing Population
Page 3 of 41234

TERKINI

  • UAD Selenggarakan Pengajian Songsong Iduladha02/06/2025
  • Peran Kader IMM dalam Menyikapi Isu Pelecehan Seksual02/06/2025
  • Sinergitas Mahasiswa Hadis Menuju Organisasi Progresif02/06/2025
  • Tips Menulis Artikel Ilmiah ala Santi Santika02/06/2025
  • Membekali Mahasiswa dengan Pelatihan Etika dan Kecerdasan Emosional Digital02/06/2025

PRESTASI

  • Mahasiswa FAI UAD Raih Juara 3 Lomba Qiroatul Akhbar02/06/2025
  • Mahasiswa FKM UAD Raih Juara I Lomba Futsal STPN 2025 Se-DIY31/05/2025
  • Inovasi Tim Jelantina Raih Juara 3 Lomba Poster26/05/2025
  • Mahasiswi UAD Raih Gold Medal dan Penghargaan Khusus di Ajang Internasional26/05/2025
  • Tim Bouqet Snack PBSI PPG UAD Juara 1 Lomba Video dalam Gelar Karya 202526/05/2025

FEATURE

  • Mahasiswa Harus Responsif dalam Era Digital02/06/2025
  • Ni’matus Syakirah: yang Penting Proses, Bukan Nilai02/06/2025
  • Indonesia Membutuhkan Generasi yang Melek Teknologi den Rendah Hati02/06/2025
  • Perjalanan Hanifia Merawat Cinta Al-Qur’an31/05/2025
  • Cerita Inspiratif Rino, Meniti Karier dan Perjalanan Melawan Burnout31/05/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top