• TERKINI
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Homo Muhammadiyahicus

14/04/2025/in Opini, Publikasi 2024, Suara Muhammadiyah /by NewsUAD

Suara Muhamamdiyah (26 Juni 2024)
Hilma Fanniar Rohman

Homo Economicus adalah konsep teoritis dalam ilmu ekonomi yang menggambarkan manusia sebagai agen rasional dan egois yang selalu membuat keputusan untuk memaksimalkan utilitas atau kepuasan pribadi berdasarkan informasi yang mereka miliki. Individu ini diasumsikan memiliki kemampuan untuk menilai pilihan-pilihan yang tersedia dan memilih yang terbaik bagi dirinya sendiri.

Konsep ini sangat berguna dalam membuat model ekonomi dan analisis perilaku pasar karena perilakunya yang dapat diprediksi dan logis. Namun, kritik terhadap Homo Economicus datang dari banyak arah, terutama dari ekonomi perilaku yang menunjukkan bahwa manusia sering kali bertindak tidak rasional dan dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis dan sosial.

Homo Islamicus adalah konsep yang menggambarkan perilaku ekonomi dan sosial individu dalam konteks Islam. Berbeda dengan Homo Economicus yang murni rasional dan egois, Homo Islamicus beroperasi dalam kerangka etika dan moral Islam.

Ini berarti bahwa setiap keputusan ekonomi harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, seperti larangan riba (bunga), keharusan berzakat (sedekah wajib), dan keadilan dalam perdagangan. Homo Islamicus mengutamakan tanggung jawab sosial dan kolektif, keadilan ekonomi, serta kesejahteraan masyarakat. Tindakan mereka tidak hanya didasarkan pada keuntungan material, tetapi juga pada nilai-nilai spiritual dan moral.

Homo Muhammadiyahicus adalah konsep yang memperluas Homo Islamicus dengan mengintegrasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip gerakan Muhammadiyah, Organisasi Islam terbesar di Indonesia. Muhammadiyah, yang didirikan oleh Ahmad Dahlan pada tahun 1912, menekankan pendidikan, kesejahteraan sosial, dan adaptasi terhadap modernitas sambil tetap memegang teguh prinsip-prinsip Islam.

Homo Muhammadiyahicus sangat menghargai pendidikan sebagai sarana untuk mencapai perkembangan pribadi dan kemajuan sosial, menggabungkan pendidikan agama dan sekuler untuk membentuk individu yang utuh.

Dalam perilaku ekonomi, Homo Muhammadiyahicus didorong untuk menjadi produktif dan berwirausaha, berkontribusi pada pembangunan ekonomi dengan praktik bisnis yang etis dan bertanggung jawab sosial.

Mereka melakukan pembayaran zakat melalui Lazismu, menunaikan wakaf melalui Majelis Pemberdayaan Wakaf Muhammadiyah, dan berbelanja di Logmart. Selain itu, gerakan ini sangat menekankan pada kesejahteraan sosial dan pelayanan masyarakat, tercermin dalam upaya aktif mereka dalam menyediakan layanan kesehatan, bantuan bencana, dan layanan sosial lainnya.

Ketika sakit, Homo Muhammadiyahicus berobat di RS PKU Muhammadiyah. Nilai kejujuran, integritas, dan akuntabilitas menjadi landasan dalam semua aspek kehidupan, termasuk bisnis dan politik.

Homo Muhammadiyahicus mendukung modernitas, melihat kompatibilitas Islam dengan ilmu pengetahuan modern dan perubahan sosial, serta mendorong tajdid (pembaharuan) untuk memurnikan praktik Islam dari tradisi yang tidak islami. Mereka menempuh pendidikan di sekolah dan universitas yang dikelola oleh Muhammadiyah.

Sebagai seorang Homo Muhammadiyahicus, ada kewajiban untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan organisasi Muhammadiyah, membantu mewujudkan misinya dalam reformasi sosial dan pendidikan. Lebih jauh, mereka memiliki tanggung jawab kolektif untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama dan saling mendukung, termasuk dalam aktivitas sosial melalui organisasi otonom Muhammadiyah.

Perilaku ini bukan hanya tentang kepatuhan ritual, tetapi juga tentang kontribusi nyata terhadap masyarakat. Dalam konteks lingkungan, Homo Muhammadiyahicus juga didorong untuk menerapkan praktik yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, menunjukkan komitmen untuk melindungi ciptaan Tuhan dan memastikan kesejahteraan generasi mendatang.

Dalam pandangan saya, konsep Homo Muhammadiyahicus menawarkan model yang sangat relevan dan dibutuhkan dalam membentuk individu yang tidak hanya taat beragama, tetapi juga aktif berkontribusi pada perbaikan masyarakat secara keseluruhan.

Melalui pendidikan, etika bisnis, pelayanan sosial, dan adaptasi terhadap modernitas, Homo Muhammadiyahicus dapat menjadi agen perubahan yang membawa Islam ke dalam peradaban yang lebih maju dan berkeadilan. Ini adalah cerminan dari Islam yang dinamis dan relevan dengan tantangan zaman, menawarkan jalan tengah yang mengharmoniskan nilai-nilai spiritual dengan tuntutan dunia modern.

Artikel ini telah tayang di suaramuhammadiyah.id dengan judul: Homo Muhammadiyahicus, https://www.suaramuhammadiyah.id/read/homo-muhammadiyahicus

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-04-14 10:24:532025-04-14 10:24:53Homo Muhammadiyahicus

Boikot: Senjata Kolektif untuk Kemerdekaan Palestina

04/03/2025/in Opini, Publikasi 2024, Suara Muhammadiyah /by NewsUAD

Suara Muhamamdiyah (30 Mei 2024)

Hilma Fanniar Rohman

Artikel ini telah tayang di suaramuhammadiyah.id dengan judul: Boikot: Senjata Kolektif untuk Kemerdekaan Palestina, https://www.suaramuhammadiyah.id/read/boikot-senjata-kolektif-untuk-kemerdekaan-palestina

Meskipun boikot sering kali dianggap sebagai upaya langsung untuk memberikan tekanan ekonomi, pengaruh utamanya mungkin terletak pada kemampuannya untuk meningkatkan kesadaran politik dan memicu aksi kolektif.

Baru-baru ini, pemegang waralaba Starbucks di Timur Tengah, Alshaya Group, mengumumkan pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 2.000 karyawan, atau sekitar 4% dari tenaga kerjanya. Keputusan ini, yang diambil akibat “kondisi perdagangan yang semakin sulit,” terjadi setelah boikot regional dan internasional terhadap perusahaan besar seperti McDonald’s, Amazon, Coca-Cola, Disney, dan lainnya yang dianggap mendukung Israel atau tentaranya.

Dengan serangan Israel di Gaza, Tepi Barat maupun Rafah, seruan untuk boikot juga semakin kuat di Barat. Teknologi memainkan peran kunci, dengan tagar di platform media sosial seperti X dan TikTok yang mengajak untuk memboikot perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Israel. Aplikasi seluler seperti NoThanks dan Buycott juga membantu orang mengidentifikasi merek-merek yang relevan untuk diboikot.

Apakah boikot cukup?

Banyak yang bertanya-tanya: Apakah boikot saja cukup untuk mempengaruhi perusahaan dan menghasilkan perubahan?

Bagi mereka yang berharap boikot dapat membuat perbedaan, ada kabar baik. Penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan politik Harvard, Erica Chenoweth, menunjukkan bahwa hanya sekitar 3,5% dari populasi yang dibutuhkan untuk mendorong perubahan politik. Ini menunjukkan bahwa meskipun suara-suara proaktif adalah minoritas, mereka tetap dapat membuat perubahan.

Sejarah dipenuhi dengan contoh boikot yang berhasil. Contohnya, pada tahun 1791 di Inggris, seruan untuk memboikot gula yang diproduksi oleh pedagang budak menyebabkan penurunan keuntungan dan mengubah opini publik terhadap perdagangan budak transatlantik, yang berakhir beberapa dekade kemudian.

Boikot anti-apartheid di Afrika Selatan juga efektif, mendorong pembeli internasional untuk “Melihat Labelnya.” Dikombinasikan dengan aktivisme internasional dan domestik yang lebih luas serta tekanan terhadap pemerintah Barat, boikot tersebut membantu mengakhiri rezim apartheid secara resmi pada tahun 1994.

Boikot dapat meningkatkan kesadaran politik

Namun, ada catatan penting. Meskipun boikot mungkin sedikit mengurangi keuntungan perusahaan dan ekonomi Israel, boikot juga dapat meningkatkan kesadaran politik. Untuk membuat dampak yang signifikan, boikot harus dikombinasikan dengan perubahan kebijakan pemerintah.

Saat ini, gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS), yang sejak tahun 2005 menyebut dirinya sebagai “gerakan yang dipimpin oleh Palestina untuk kebebasan, keadilan, dan kesetaraan,” bersama dengan organisasi lain, berada di garis depan. Selain menargetkan merek tertentu, gerakan ini juga bertujuan mendorong perusahaan untuk menarik investasinya dari Israel, dan pada akhirnya menekan Israel untuk mengakhiri pendudukan yang berlangsung lama di wilayah Palestina.

Perubahan lain juga sedang terjadi. Sementara Starbucks dan McDonald’s baru-baru ini melaporkan penurunan pertumbuhan dalam aktivitas internasional mereka, dana pensiun di seluruh Eropa juga mulai mengubah strategi investasi mereka. Ini termasuk Veilev, salah satu dana terbesar di Denmark, sementara Dana Pensiun Norwegia baru-baru ini menarik seluruh kepemilikan obligasinya dari Israel, senilai $500 juta.

Tekanan dari sektor Universitas

Tekanan dalam sektor pendidikan juga semakin besar. Beberapa universitas di AS dan Eropa telah memilih untuk menarik investasi mereka dari Israel atau perusahaan yang terkait dengan Israel sejak Oktober lalu, dan upaya ini kemungkinan akan terus berlanjut.

Ada pergeseran di kalangan akademisi. Pada bulan Desember, sebuah studi Israel yang dikirim ke parlemen Israel, Knesset, memperingatkan bahwa “boikot tidak resmi” terhadap akademisi Israel telah terjadi di Barat. Studi ini juga menyebutkan potensi bahaya terhadap posisi ilmiah dan ekonomi Israel sebagai akibatnya.

Bahkan sebelum perang saat ini, banyak penyanyi seperti Taylor Swift hingga Beyonce menolak untuk tampil di Israel, sebagian karena tekanan politik. Anggota band seperti Rage Against the Machine, Cypress Hill, dan System of a Down, telah lebih vokal, bergabung dengan ratusan artis lainnya yang berjanji untuk tidak tampil di Israel.

Dalam beberapa tahun terakhir, ada bentrokan antara aktivisme akar rumput dan pemerintah di Barat. Beberapa pemimpin Barat secara eksplisit mengecam BDS, dan beberapa sekutu utama Israel, termasuk Inggris dan AS, telah mengejar undang-undang untuk membatasi kegiatan boikot domestik terhadap “negara sahabat,” yang jelas menghambat upaya untuk memboikot Israel.

Meskipun ini mungkin menjadi hambatan bagi gerakan boikot, keretakan yang lebih luas dalam dukungan Barat mulai muncul.

Ada peningkatan tekanan hukum dan aktivisme atas penjualan senjata, yang merupakan pilar utama dukungan Barat untuk Israel. Tantangan hukum domestik telah terjadi di seluruh Eropa, termasuk baru-baru ini di Belanda, Denmark, Belgia, Spanyol, dan bahkan Inggris.

Dengan semakin memburuknya situasi di Gaza, tekanan dari kelompok hak asasi manusia dan kemanusiaan yang lebih luas telah mendorong para pemimpin untuk menyatakan keprihatinan atas tindakan Israel, meskipun hal ini belum terwujud dalam perubahan kebijakan yang signifikan.

Jelaslah, tekanan kolektif diperlukan untuk mendorong perubahan politik, dan sejarah menunjukkan bahwa respons pemerintah diperlukan untuk menciptakan perubahan tersebut. Boikot mungkin memainkan peran penting dalam hal ini.

Artikel ini telah tayang di suaramuhammadiyah.id dengan judul: Boikot: Senjata Kolektif untuk Kemerdekaan Palestina, https://www.suaramuhammadiyah.id/read/boikot-senjata-kolektif-untuk-kemerdekaan-palestina

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-03-04 10:08:042025-03-04 10:08:04Boikot: Senjata Kolektif untuk Kemerdekaan Palestina

Muhammadiyah dan Indonesia Emas 2045

04/03/2025/in Opini, Publikasi 2024, Suara Muhammadiyah /by NewsUAD

Suara Muhammadiyah (29 Mei 2024)
Yusrina Dinar Prihatika

Pemaparan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengenai Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 di Rapat Paripurna DPR RI menegaskan langkah strategis pemerintah dalam menghadapi masa transisi kepemimpinan ke pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Rencana ini menjadi bukti upaya pemerintah untuk menjaga kesinambungan pembangunan menuju Indonesia Emas 2045.

Salah satu poin penting yang disampaikan Sri Mulyani adalah pentingnya menjaga daya tarik investasi dengan memastikan stabilitas dan prediktabilitas ekonomi. Ini adalah langkah yang sangat penting mengingat investasi adalah salah satu pilar utama untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah juga menyoroti perlunya memperbaiki pemerataan ekonomi, yang berarti pembangunan tidak hanya terpusat di kota-kota besar tetapi juga menjangkau daerah-daerah terpencil.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% hingga 5,5% adalah target yang realistis dan menggambarkan optimisme yang hati-hati. Target ini ditopang oleh beberapa faktor kunci seperti terkendalinya inflasi, hilirisasi sumber daya alam, pengembangan industri kendaraan listrik, dan digitalisasi. Ini menunjukkan bahwa pemerintah memahami pentingnya diversifikasi ekonomi dan modernisasi industri untuk menjaga daya saing Indonesia di kancah global.

Namun, di tengah proyeksi yang optimis ini, ada tantangan signifikan yang harus dihadapi. Risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan global masih tinggi, dan ini tercermin dalam proyeksi yield Surat Berharga Negara (SBN) yang diperkirakan berada di kisaran 6,9% – 7,3%. Nilai tukar Rupiah yang diperkirakan berada di rentang Rp 15.300 hingga Rp 16.000 per Dolar AS juga menunjukkan bahwa pemerintah harus tetap waspada terhadap dinamika ekonomi global.

Selain itu, ketegangan geopolitik yang masih berlanjut dan fluktuasi harga minyak mentah global menjadi faktor eksternal yang memerlukan perhatian khusus. Harga minyak mentah Indonesia yang diperkirakan di kisaran US$ 75 – 85 per barel dan proyeksi lifting minyak bumi serta gas menunjukkan bahwa sektor energi tetap menjadi komponen penting dalam perekonomian Indonesia.

Secara keseluruhan, KEM-PPKF 2025 yang dipresentasikan oleh Sri Mulyani adalah langkah strategis yang dirancang untuk memastikan kelanjutan pembangunan ekonomi Indonesia. Pemerintahan baru perlu mengimplementasikan kebijakan ini dengan konsisten dan adaptif terhadap perubahan global. Tantangan ke depan memang tidak sedikit, tetapi dengan strategi yang tepat dan eksekusi yang efektif, visi Indonesia Emas 2045 dapat dicapai.

Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, dapat memainkan peran yang signifikan dalam mendukung dan memperkuat Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Berikut adalah beberapa peran yang dapat dimainkan Muhammadiyah dalam konteks ini:

Pendidikan dan Peningkatan Kualitas SDM

Peningkatan Kualitas Pendidikan: Muhammadiyah memiliki jaringan luas institusi pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dengan memperkuat kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan industri masa depan, seperti teknologi digital dan industri kendaraan listrik, Muhammadiyah dapat membantu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan siap bersaing di pasar global.

Pelatihan dan Pengembangan Keterampilan: Muhammadiyah dapat mengadakan program pelatihan dan pengembangan keterampilan di bidang teknologi, kewirausahaan, dan industri kreatif. Ini akan membantu mengatasi kesenjangan keterampilan dan mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM.

Pengembangan Ekonomi Lokal

Pemberdayaan Ekonomi Umat: Melalui berbagai program pemberdayaan ekonomi, Muhammadiyah dapat membantu masyarakat lokal untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM). Program ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi ketergantungan pada bantuan eksternal.

Pengembangan Agrowisata: Muhammadiyah dapat mendukung pengembangan destinasi agrowisata di daerah pedesaan dengan memberikan bimbingan teknis dan manajerial kepada masyarakat. Ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam memanfaatkan potensi lokal untuk meningkatkan ekonomi daerah.

Kesehatan dan Sosial

Peningkatan Layanan Kesehatan: Dengan jaringan rumah sakit dan klinik yang luas, Muhammadiyah dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan. Ini penting untuk mendukung produktivitas dan kesejahteraan masyarakat.

Program Sosial dan Kemanusiaan: Muhammadiyah dapat menjalankan berbagai program sosial dan kemanusiaan yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program ini dapat mencakup bantuan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi untuk kelompok masyarakat yang kurang mampu.

Stabilitas Sosial dan Politik

Penyuluhan dan Pendidikan Politik: Muhammadiyah dapat berperan dalam memberikan penyuluhan dan pendidikan politik kepada masyarakat untuk meningkatkan partisipasi dan pemahaman mengenai proses demokrasi. Ini penting untuk menciptakan stabilitas sosial dan politik yang kondusif bagi pembangunan ekonomi.

Membangun Dialog dan Toleransi: Dengan mempromosikan dialog antaragama dan antarbudaya, Muhammadiyah dapat membantu menciptakan lingkungan yang harmonis dan toleran. Stabilitas sosial ini sangat penting untuk menarik investasi dan mendukung pembangunan berkelanjutan.

Advokasi dan Kebijakan Publik

Advokasi Kebijakan Publik: Muhammadiyah dapat menggunakan pengaruhnya untuk advokasi kebijakan publik yang mendukung pembangunan berkelanjutan dan pemerataan ekonomi. Ini termasuk mendukung kebijakan yang mempromosikan investasi, inovasi, dan pengembangan infrastruktur.

Kolaborasi dengan Pemerintah: Muhammadiyah dapat berkolaborasi dengan pemerintah dalam merancang dan mengimplementasikan program-program pembangunan yang sesuai dengan visi Indonesia Emas 2045. Kolaborasi ini dapat mencakup berbagai sektor, termasuk pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

Muhammadiyah memiliki potensi besar untuk berkontribusi secara signifikan dalam mendukung Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025. Melalui pendidikan, pemberdayaan ekonomi lokal, peningkatan layanan kesehatan, stabilitas sosial, advokasi kebijakan, dan kolaborasi dengan pemerintah, Muhammadiyah dapat membantu mewujudkan visi pembangunan berkelanjutan dan mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Peran aktif Muhammadiyah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat akan sangat membantu dalam mencapai tujuan Indonesia Emas 2045.

Artikel ini telah tayang di suaramuhammadiyah.id dengan judul: Muhammadiyah dan Indonesia Emas 2045, https://www.suaramuhammadiyah.id/read/muhammadiyah-dan-indonesia-emas-2045

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2025-03-04 08:51:122025-03-04 08:51:12Muhammadiyah dan Indonesia Emas 2045

Mubalig Hijrah, Kaderisasi dan Dakwah Global

05/12/2024/in Opini, Publikasi 2024, Suara Muhammadiyah /by NewsUAD

 

 

Suara Muhamamdiyah (05 April 2024)
Elis Zuliati Anis

“Selama 20 hari program Mubalig Hijrah ini, pengalaman saya tidak terbatas pada pengabdian masyarakat saja, lebih dari itu, saya mendapatkan beragam pembelajaran life skill yang tidak saya dapatkan di pondok.”

Demikian Rizal (16), siswa Madrasah Mualimin Muhammadiyah, mengekspresikan kesannya terhadap kegiatan Mubalig Hijrah (MH) di desa Sumedang dan Kardangan, Purwobinangun, Pakem, Yogyakarta.

Rizal, bersama sekitar 500 santri kelas satu dan dua Aliyah di Madrasah Muallimin Muhammadiyah, berkesempatan mengikuti program MH tahun 2024 (1445H). Mereka
dikirim ke berbagai masjid dan komunitas Muslim di berbagai provinsi di Indonesia, bahkan ke luar negeri: Malaysia, Thailand, Taiwan, Hongkong, Australia, dan Jepang. Mubalig Hijrah tidak hanya bertujuan memperluas dakwah Islam, baik di Indonesia dan di luar negeri, tetapi juga merupakan perjalanan memperkuat kaderisasi Muhammadiyah dan dedikasi pengabdian masyarakat.

Keseharian Santri Mubalig Hijrah

“Pengalaman yang sungguh sangat berbeda ketika kita berdakwah dan terjun langsung di tengah masyarakat dengan beragam usia dan latar belakang.”  tutur Rizal. Rutinitas di Muallimin yang diatur dengan aturan yang ketat—dari bangun tidur hingga istirahat di malam hari—berubah saat mengikuti program MH. Diperlukan kemampuan adaptasi yang cepat, pengelolaan waktu dan komunikasi yang efektif, serta kemandirian. Lebih dari itu, menjunjung tinggi akhlak dan menunjukkan sopan santun merupakan kunci utama dalam berinteraksi dan diterima dalam lingkungan masyarakat yang beragam.

Para santri tinggal di rumah Takmir masjid atau penduduk setempat. Mereka ditugaskan imam sholat, penceramah dan terkadang muadzin. Masyarakat memiliki penilaian tinggi terhadap anak pondok, untuk tidak hanya mandiri, tapi juga unggul dalam berbagai aspek, utamanya dalam bidang keagamaan.

Mengajar baca quran merupakan kegiatan utama para santri MH, sekaligus menjadi momen berkesan. “Harus sabar sih. Anak-anak itu sangat aktif, sulit diatur”, Rizal menuturkan pengalamannya menghadapi anak-anak TPA di Masjid al-Hidayah. Menariknya, beberapa anak laki-laki tampak nyaman mengaji dipangkuan santri MH, kemudian berlarian dan bermain setelah usai mengaji.

Cerita menarik lainnya dituturkan oleh Angga, santri berusia 16 tahun dari Jawa ini menuturkan pengalamannya mengikuti MH di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, tanah kelahiran Buya Syafii Maarif yang jauh dari rumah serta berbeda budayanya. Namun, jarak dan perbedaan tersebut tidak menjadi hambatan bagi Angga untuk beradaptasi. Masyarakat sangat antusias menyambut santri MH.  Mereka tidak hanya menyediakan buka puasa dan sahur, tetapi juga meminjamkan motor untuk memudahkan transportasi di area tersebut. Beruntungnya lagi, mereka di berikan uang saku oleh masyarakat dan di bawakan pula beras ketika mereka berpamitan pulang ke daerah masing-masing. Selain di Sumpur Kudus, ada 10 santri lainnya yang dikirim ke lima nagari (desa): Unggan, Silantai, Sumpur kudus, Sumpur Kudus Selatan, dan Menganti.

Berbeda dengan pengalamannya di Jawa, tempat dia berasal, meskipun beberapa anak semakin akrab dengannya sebagai pengajar TPA, tak jarang mereka menunjukkan sikap yang kurang patuh. Namun, di Sumpur Kudus, keakraban yang tumbuh membuat anak-anak tidak hanya lebih patuh, tapi juga lebih semangat dalam belajar mengaji. Al-hasil, ketika Angga berpamitan untuk Kembali ke Jawa, anak-anak tampak sedih dan berat melepasnya. Bahkan beberapa diantara mereka menangis.

Misi Global Mubalig Hijrah Luar Negeri

Dengan syarat kemampuan berbahasa Inggris yang baik, pengetahuan Islam yang mendalam, juga harus hafal 30 juz, santri MH Muallimin tidak hanya membawa pesan Islam ke kancah global, tapi juga bertindak sebagai duta muda Muhammadiyah, berdialog langsung dengan masyarakat internasional yang kaya akan keragaman budaya.

Di Taiwan, Tangguh (16 Tahun), santri kelas satu Aliyah menuturkan pengalaman pertamanya berdakwah di negara yang minoritasnya Islam. “Berpuasa di Taiwan sangat berbeda,” ujarnya. Mencari makanan yang halal lumayan susah. Saat sahur, hanya ada satu tempat makan milik orang Indonesia yang buka.

Selama di Taiwan, Tangguh tinggal di apartemen kampus (Asia Univertsity), bersama mahasiswa Indonesia.  Meski jumlah mahasiswa Muslim lumayan banyak, yakni sekitar 80. Namun, hanya 10 sampai 12 yang sering berjamaah di Musholla. Program ramadhan pun menyesuaikan dengan kegiatan mahasiswa S1 dan S2 disana. Meski begitu, Tangguh tetap bersemangat membantu persiapan buka puasa, menyampaikan kultum, dan kadangkala menjadi imam sholat.

Di Jepang, di tengah pergantian musim dari musim dingin ke musim semi, Aflah Naufal Nabiih (16 tahun) dan dua temannya (Muhammad Faiz Fahrezi dan Muhammad Naufal Azzam) tiba di Tokyo pada hari ke-5 Ramadhan dalam program MH internasional. Perjalanan keluar negeri pertama Aflah ini telah diimpikan sejak lama. Aflah kagum pada kemajuan pendidikan dan teknologi di Jepang. Suatu hari, dia ingin kuliah di Jepang, di jurusan kedokteran.

Ketiga santri ditempatkan di tiga kota yang berbeda: Adachiku (Tokyo), Hiroshima dan Kitakyushu (Fukuoka). Aflah menuturkan selama di Jepang dia tinggal di Masjid KICC (Kitakyushu Islamic Cultural Center). Tidak seperti bangunan masjid di Indonesia dengan kubah nan megah, KICC adalah bangunan rumah biasa yang di fungsikan sebagai masjid, terletak di pinggiran kota Fukuoka.

Ditengah kesibukan mahasiswa dan pekerja di Fukuoka, kehadiran pendakwah seperti Aflah sangat dinanti. Setiap hari, selama Ramadhan, Aflah menjadi imam sholat dan imam tarawih. Bahkan Aflah juga diminta menjadi imam sholat hari raya Idul Fitri nanti dan sekaligus menyampaikan khutbah Idul Fitri. Bagi Aflah, interaksi dengan Muslim dari berbagai negara, seperti Pakistan, Syria, Banglades, Azerbaijan, menjadi pengalaman yang berkesan di hati.

“Tidak seperti di Indonesia, disini azan tidak terdengar lantang, tidak pakai mic,” Aflah menuturkan. Sebagian masyarakat akan merasa terganggu jika azan menggunakan mic. Sama hal nya di Taiwan, Islam adalah agama minoritas di Jepang. Kepercayaan masyarakat Jepang sangat beragam, diantara nya pemeluk Shinto dan Budha, dan penganut kepercayaan Tokugawa. Akan tetapi masyarakat Jepang juga dikenal banyak yang tidak memiliki afiliasi agama.

Aflah berkesempatan berinteraksi langsung dengan masyarakat Jepang dalam acara “Grand Iftar” yang disenggarakan oleh Yayasan Ainul Yaqin. Ada sekitar 30 non-Muslim Jepang yang hadir. Sebelum buka puasa bersama, ada pemaparan tentang Islam. Mereka antusias bertanya. Salah satunya meminta Aflah membacakan sebagian dari ayat al-Quran. Aflah, hafiz 30 juzz itu, melantunkan QS. al Isro’ ayat 78-83. “Indah sekali, seperti karya puisi”, kata salah satu dari mereka. Tidak hanya itu, tiga orang ingin ikut sholat maghrib, sebagian lagi mengamati aktivitas sholat maghrib hari itu di KICC.

Kaderisasi Mubalig Hijrah

Kaderisasi adalah proses estafet penting dalam sebuah perjuangan dakwah. Pada program MH ini, santri diharapkan mampu mengimplementasikan ke masyarakat ilmu-ilmu agama, setelah kurang lebih tiga tahun mereka belajar di Mualimin.

Selain didampingi oleh ustad dari Muallimin, santri juga merasakan langsung kaderisasi yang di lakukan oleh Takmir masjid setempat, pengurus Muhammadiyah dan organisasi lain yang bekerjasama dengan Muallimin.

Pak Totok, Takmir Masjid al-Hidayah  adalah salah satu sosok yang sangat dekat dengan santri MH. Beliau mendukung program MH dan memberikan kesempatan santri MH untuk mengaktualisasikan kemampuan keagamaan dan kepemimpinan para santri. Pak Totok  mengajarkan tata krama terhadap orang tua, keragaman cara hidup masyarakat, keragaman beragama masyarakat, pengetahuan dasar bertani, hingga kemampuan beradaptasi dengan lingkungan. Tidak hanya itu, Pak Totok selalu menyediakan waktunya untuk berbincang tentang  apa saja, memastikan santri merasa “feel at home”.

Di luar negeri, selain mendapatkan pendampingan di awal oleh Direktur Muallimin, santri beradaptasi dan menyesuaikan kegiatan disana. Di usia 16 tahun, mereka telah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga tentang bagaimana berdakwah di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Mereka lebih memahami budaya dan perbedaan, tidak hanya dalam Islam, tapi juga beragam penganut agama, bahkan mereka yang menyatakan tidak beragama.

Ditengah kondisi minimnya kepedulian generasi Z terhadap masyarakat. Program MH menunjukkan bahwa tidak semua gen-Z apatis terhadap lingkungan nya. Tidak hanya berkonstribusi pada masyarakat Indonesia, Gen-Z Muallimin ini bahkan telah membawa pesan pesan Islam ke kancah internasional.

Bintang bintang di langit Sumpur Kudus, Bunga-bunga Sakura bermekaran di Jepang dan dinginnya udara Taiwan, menjadi saksi kesungguhan dai muda Muallimin dalam misi Mubalig Hijrah 1445M.

Sumber : https://suaramuhammadiyah.id/read/mubalig-hijrah-kaderisasi-dan-dakwah-global

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-12-05 10:51:352024-12-05 10:51:35Mubalig Hijrah, Kaderisasi dan Dakwah Global

Membaca Relawan

18/11/2024/in Opini, Publikasi 2024, Suara Muhammadiyah /by NewsUAD

 

Suara Muhamamdiyah (19 Februari 2024)
Sobirin Malian

Dalam setiap hajatan Pemilu ada fenomena menarik yang bisa diamati (dibaca) yaitu munculnya para  relawan atau volunteers yang bisa dikatakan sangat komit dan militan terhadap kandidat yang didukungnya.

Keterlibatan relawan sangat berpengaruh karena inisiatif mereka nampak sangat mulia. Keterlibatan ini murni panggilan hati untuk kebaikan bersama tanpa motif keuntungan dan afiliasi dengan bisnis, tanpa didikte pemerintah atau partai politik. Itulah gambaran daya societal ajaib yang sering muncul di masa darurat masyarakat. Dari berbagai pendapat para ahli, menjamurnya gejala kerelawanan dapat menjadi tanda suatu masyarakat memang sedang berada dalam situasi darurat atau negara dianggap tidak baik-baik saja.

Istilah “darurat” mengacu pada penilaian tentang situasi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu, secara mendalam dipengaruhi idiom persoalan yang sedang berlaku. Bentuk kerelawanan sangat luas, mulai dari relawan bencana alam, politik, kesehatan hingga sensus. Organisasi seperti “pemantau/saksi pemilu” atau Medecins Sans Frontieres (MSF/dokter tanpa batas), Mercy’s (yang sangat terkenal dari  Indonesia) dengan tenaga medis dan kemanusiaan di peperangan adalah contohnya.

Keberadaan berbagai kelompok relawan sering dipandang sebelah mata bahkan sering diejek tentang motif mereka menjadi relawan. Dalam kaitan ini muncul pembedaan motif “altruisme” dan “kepentingan diri”, antara idealisme dan realisme. Pembedaan itu bukan saja bersifat konyol, tetapi lebih mengarah kepada asal bunyi (asbun); stigma negatif. Stigma itu bisa saja benar, seperti banyak tindakan lain, kerelawanan digerakkan oleh banyak motif: dari heroisme sampai pencarian angka “cum” bagi curriculum vitae pangkat atau guna lamaran kerja, dari keprihatinan akan penderitaan, empati, hingga keberpihakan dalam politik. Dalam konteks ini kita mesti berhati-hati agar tidak terjebak pada meromantisme kerelawanan.

Dilihat dari durasi waktu, kerelawanan bisa dalam jangka panjang dan tetap seperti terlibat dalam membantu korban perang, contoh di Gaza atau yang berciri sesaat sebagai respon atas situasi yang dianggap darurat. Lalu, apa yang memicu kemunculan aneka keragaman kerelawanan politik? Khususnya yang sangat menonjol dalam pemilu 2024 adalah relawan “perubahan” pendukung pasangan 01, AMIN (Anies-Muhaimin) ? Jika masifnya kerelawanan bisa menjadi tanda suatu masyarakat sedang berada pada momen darurat; apanya yang darurat ?

Darurat Politik Dinasti dan Sikap Kenegarawanan

Sinyal kedaruratan sangat nampak: ada krisis politik dinasti dan sepak terjang (cawe-cawe) Presiden yang jelas-jelas melanggar undang-undang. Lembaga hukum seperti MK pun menjadi alat permainan politik.

Warga awam pun dapat menilai bahwa politisi dan pejabat saat ini makin aneh dan itu membuat institusi politik dalam arti sempit kian membusuk. Politik dan pejabat lalu menjadi hujatan sinisme. Perguruan tinggi swasta dan negeri pun bereaksi keras, akibat sumbatan politik (partai) dan lembaga legislatif DPR/DPD tak bekerja.

Muara sinisme tadi jelas sumbernya dari Presiden yang melakukan “ketidakwarasan” politik dan sementara pilihan politik “waras” banyak diwakili oleh belahan dunia, misalnya terpilihnya Sadiq Khan sebagai wali  kota London atau Justin Trudeau sebagai PM Kanada beberapa tahun lalu sebagai contoh.

Penolakan terhadap politik dinasti di satu sisi dan dukungan terhadap politik waras yang taat hukum (konstitusi) di sisi lain, merupakan dua bentuk corak kelas politik dengan kepentingan yang secara diametral sangat berbeda. Bagaimana pun muara politik “tidak waras” dan sinisme terhadapnya sungguh mencemaskan. Patut diingat politik adalah cara kita membentuk, mengelola dan merawat kehidupan bersama, sehingga semaju apa pun sektor bisnis, misalnya, tidak akan dapat menggantikan proses politik bernegara secara sehat.

Privelese dan prerogratif “kelas politik tidak waras” inilah yang rupanya sedang membusuk. Pada kelompok ini memberi justifikasi dan narasi, “bukankah tidak semua politik dinasti itu buruk; toh banyak juga terjadi di negara-negara lain, mengapa hanya kami yang dituding ?! Maksudnya tentu agar kebusukan mereka  terbenarkan, sebab mereka tidak sendirian. Dalih seperti ini jelas menyesatkan karena yang terjadi di belahan dunia lain_politik dinasti terseleksi dengan ketat dan tetap dalam koridor hukum (konstitusi). Manakala menyimpang dari rel politik dan hukum yang benar, dinasti politik akan dipotong dengan tegas.

Tampaknya ada beberapa hambatan kondisional yang layak kita diskusikan. Pertama, institusi, menurut Boni Hargens (2018), belum sepenuhnya terbebas dari warisan Orde Baru. Hal ini terbukti Jokowi hanya berbasa-basi ketika dia menggagas konsep revolusi mental. Perjalanan pemerintahan Jokowi selama sembilan tahun sudah cukup baginya untuk menancapkan “kuku kuku kekuasaannya”. Ini pula yang menjadi salah satu akar iblisnya, the roof of evils.

Kedua, lemahnya politik nilai. Uang dan kekuasaan masih menjadi faktor determinan dalam proses politik. Kita belum terbiasa dengan persaingan nilai dan gagasan. Alhasil, politik menjadi ajang memperkaya diri melalui KKN dan memupuk kekuasaan guna investasi perjuangan politik di masa depan (kasus politik dinasti Jokowi).

Ketiga, KKN jelas-jelas melemahkan kewibawaan hukum dan kekuasaan koersif negara. Hukum tebang pilih, tumpul ke atas tajam ke bawah.Bukan karena institusi hukum lemah, tetapi karena komunikasi akibat KKN begitu kental. Pejabat dan penegak hukum menjadi mafia.

Hal ini berlaku juga dalam banyak konteks. Misalnya, mafia tambang, mafia gula, mafia bawang, garam, minyak goreng  dan lain-lain. Pengusaha tambang atau oligarkhi tidak lagi takut terhadap pemerintah karena merasa mampu membayar siapa saja yang mengganggu kepentingannya. Praktik-praktik semacam inilah yang mengekalkan kesemrawutan. Hal itu masih ditambah dengan hancurnya kepolisian dan KPK karena sudah dikangkangi oleh eksekutif (pemerintah/penguasa).

Faktor keempat, patronase. Menurut Sigel (1999) dalam setiap fenomena politik selalu ada segelintir “orang kuat” yaitu mereka yang memiliki sumber daya ekonomi dan (politik) kekuasaan. Mereka bisa mengendalikan pranata hukum dan politik secara simultan. Orang-orang kuat inilah yang menjamin para mafia (Vittorio Mete, 2019) dalam kerjanya. Apabila penegakan hukum bisa menyentuh para “orang kuat” ini, niscaya akan makin sehatlah demokrasi dan hukum. Sebaliknya, jika mereka “untouchable” tak tersentuh oleh hukum, maka mereka makin merajalela, dan bahkan melahirkan politik dinasti yang nantinya akan merusak semua tatanan hukum dan kenegaraan.

Matinya Integritas  

Integritas adalah sikap atau perilaku yang benar, jujur dan adil. Artinya orang yang berintegritas harus benar, jujur dan adil terhadap diri dan orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu, integritas adalah suatu keniscayaan, sebab tanpa penyelenggara, elite politik dan peserta pemilu yang berintegritas, maka hasil pemilu tidak berkualitas (Van Ham, Carolien., 2015:714-737).

Hasil pemilu yang tidak berkualitas menyebabkan tidak adanya ‘trust’ masyarakat terhadap para pemimpin. Hasil pemilu yang tidak ada ‘trust’ dari masyarakat memunculkan oligarki  yang membajak kedaulatan rakyat. Pemilu yang berintegritas adalah sarana dimana rakyat memberikan amanah kepada para pemimpin yang berdaulat bukan para pemimpin yang dipilih oleh rakyat, tetapi rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Pemilu yang berintegritas akan menghasilkan kualitas pemimpin yang baik pula. Namun temuan dalam banyak penelitian diantaranya oleh Gregorius Sahdan,dkk,” MEMBONGKAR MAFIA DAN OLIGARKI DALAM PEMILU 2019,” menunjukkan adanya keterputusan elektoral antara pemilih dan yang dipilih. Tidak ada hubungan antara pemilih dan pemimpin yang dipilih atau telah terjadi keterputusan elektoral. Dengan kata lain aspirasi pemilih/rakyat selaku pemilik kedaulatan tidak tersampaikan dalam pengambilan kebijakan publik. Kalau rakyat selaku pemilik kedaulatan tidak lagi berkuasa, maka hal ini merupakan tanda lonceng kematian demokrasi di Indonesia.

Politik tanpa mengutamakan integritas akan memunculkan persaingan perebutan kekuasaan yang mengabaikan nilai-nilai moral. Bila nilai-nilai moral diabaikan, politik akan memunculkan serigala-serigala (lupus-lupus) yang saling memangsa sesama. Sesungguhnya yang bersaing bukan hanya elite politik an sich dalam merebut kekuasaan, namun di balik semua itu antar ormas agama juga berebut kekuasaan melalui penguasaan penyelenggara pemilu. Memperhatikan persaingan yang ketat antar kandidat dalam Pilpres memunculkan satire merendahkan satu dengan yang lainnya. Istilah cebong dan kampret (pada Pemilu 2019) mewarnai kampanye Pilpres dan menunjukkan rendahnya moralitas elite politik. Kata cebong (anak katak) diviralkan untuk menjelekkan para pendukung Jokowi. Sebaliknya sebagai balasan atas sindiran pendukung Prabowo tersebut dimunculkan-mereka menyebut dengan kampret. Kata kampret (anak kelelawar) adalah julukan untuk para pendukung Prabowo yang hanya bisa berkoar-koar. Perang sindiran yang merendahkan antar para pendukung dalam kampanye Pilpres tersebut telah memecah masyarakat menjadi dua. Hal ini mengindikasikan bahwa elite politik tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.

Selaras dengan hal tersebut para tokoh agama dan masyarakat yang seharusnya menjadi penengah dan peneduh, malah sebaliknya mereka ikut mendukung salah satu calon kandidat. Pemilu 2019 lalu dan juga Pemilu 2024 ini telah memberi catatan buruk, khususnya matinya integritas di antara penyelenggara pemilu, elite politik dan peserta pemilu. Bila berpolitik tidak mengutamakan integritas, maka akan memunculkan manusia yang buas. Dalam bahasa Hobbes, manusia buas, disebut dengan serigala (lupus). Dalam imaji Hobbes, manusia adalah serigala yang tidak bisa diatur dan bertendensi saling memangsa. Oleh karena itu Hobbes menjuluki dengan istilah homo homini lupus – manusia adalah serigala bagi sesamanya. Ini poin penting yang membangkitkan para relawan.

Selamat Datang Relawan Politik

Seperti telah diurai di depan, motif kerelawanan selalu beragam. Begitu juga keragaman penyebab munculnya kerelawanan politik. Namun, lonjakan ketidakpercayaan terhadap perilaku Presiden Jokowi rupanya menjadi faktor sentral dalam keragaman penyebab termasuk datang dari berbagai kampus. Kalau dilihat, pada Pemilu 2024 ini kerelawanan politik itu menjadi fenomena di seluruh Indonesia. Tampak jelas para relawan itu senafas dengan keluhan mereka, bahwa mereka telah pengap dan muak dengan kondisi yang ada, dan mereka  membutuhkan perubahan. Dan itu ada pada pasangan AMIN-01.

Pertanyaannya, mengapa ketidakpercayaan dan sinisme terhadap corak politik seperti itu memunculkan sikap kerelawanan dan tidak apatis?  Hal yang sering dilupakan, dalam lebih dari satu dasarwarsa terakhir telah berlangsung aneka eksperimen kerelawanan politik dan independensi, yang pada momen penting siap berubah menjadi partisan (partisan volunteerism). Sejatinya ketika Jokowi ikut pada 2014 juga cukup banyak dibantu oleh kerja keras relawan partisan. Juga masa sebelumnya di era SBY. Sayangnya fenomena dukungan kini berbalik akibat blundernya Jokowi.

Apakah keutamaan independensi dan kerelawanan politik demikian luhurnya? Pertanyaan ini tentu menggelikan. Kalau melihat dulu para relawan Ahok pada Pilkada DKI, nampak energi besar ada di sana tetapi para relawan ini mudah terkena sindrom “rabun politik” yang menyebabkan mereka gampang terpeleset. Pertama, kecenderungan menganggap setiap kritik kepada kepemimpinan Ahok sebagai penolakan terhadapnya. Mereka anti kritik. Padahal, mendukung tanpa kritik adalah energi menuju tribalisme politik. Kedua, para relawan tak perlu kaget dengan segala sindrom kekuasaan ini. Orang yang mendapat kuasa, sesopan apa pun pada awalnya, mudah dirasuki lupa daratan. Itulah yang dialami Jokowi setahun menjelang habis masa jabatannya, lalu memilih jalan politik dinasti.

Sebagai catatan penting, relawan jika yang diusung terpilih jangan dikira tanpa masalah__akan banyak dampak negatif ikutannya, tetapi hal positif yang penting dicatat bahwa kerelawanan mengemban misi menerobos kebuntuan hidup yang tersekat-sekat agar bangsa atau konstalasi negara dapat berubah lebih baik. Perubahan ! …itulah jawaban mengapa  para relawan itu  tumbuh meruyak dan besar bak jamur di musim hujan.

Sumber https://suaramuhammadiyah.id/read/membaca-relawan

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-18 09:21:322024-11-18 09:22:30Membaca Relawan

Politik Kebencian dan Berpikir Kritis

18/11/2024/in Opini, Publikasi 2024, Suara Muhammadiyah /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Muhammadiyah (14 januari 2024)
Sobirin Malian

Hampir di setiap pergelaran Pemilu sejak 2017 politik kebencian selalu merebak. Yang sangat menonjol ada tegangan politik intens yang menghunuskan permusuhan terhadap yang berbeda sebagai yang harus dipojokkan, dimusuhi dan dipencilkan.

Semestinya pencerdasan politik atau pendidikan politik harus hadir sebagai harapan tentang diskursus kritis yang akan mewarnai pesta demokrasi seperti sekarang ini sehingga kita mampu menikmati dan mengucapkan selamat tinggal pada politik kebencian.

Sangat disayangkan, sejak Pemilu 2014 polarisasi politik kebencian tak bisa kita lepaskan. Bahkan  politik kebencian selalu dimobilisasi hingga terus membesar sampai 2024 ini. Kebencian pada awalnya digerakkan oleh hasrat merebut kekuasaan dalam arena politik atau dunia olahraga lalu memasuki semua relung-relung dalam kehidupan dan mengancam sosiabilitas kita. Riak-riak ancaman, konflik memenuhi ruang-ruang publik menggoyang harmoni sosial bahkan keluarga.

Politik kebencian bak air bah mengalir deras menghantam siapa pun yang saling berbeda pilihan.Di dalamnya terdapat eksklusi dan sekat-sekat yang beroperasi menghasilkan dukungan politik, terutama dari generasi milineal, dan floating mass (massa yang belum menentukan pilihan). Ironisnya, alih-alih terwujud suatu solidaritas dan kedamaian, dukungan eksklusif justru semakin menegaskan segregasi (pengelompokan) yang dikukuhkan dinding tebal pemilahan antara “aku” dan “kau”, “kami” dan “mereka”.

Dalam pemilahan tersebut, perbedaan bukan sebagai rahmat yang memungkinkan interaksi, sinergi dan  solusi, tetapi sebagai perangkat penyekat. Sangat berlawanan dengan interaksi, sinergi dan solusi__penyekat adalah suatu tindakan non intercourse; ketika mereka menimbang hanya kesamaan tanpa kesediaan untuk mendialogkan perbedaan. Aspek resiprokalitas, yang menjadi ciri “rahmat dari perbedaan” justru diarahkan kepada suatu pemencilan dan rasa permusuhan. Debat pun akhirnya dilaporkan.

Sadar tidak sadar resiprokal yang berujung pemencilan telah mengancam sosiabilitas. Orang cenderung kehilangan sikap ramah terhadap perbedaan karena terhasut dan terjebak dalam politik kebencian tadi yang diseret-seret dalam permainan kekuasaan. Padahal, pelingkupan inilah yang menjadi modal solidaritas, pembentuk pilar dan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara.

Kebhinekaan telah digerus oleh kepicikan para demagog politik yang berupaya mengidentifikasikan diri dengan kelompok mayoritas, mengesankan diri sebagai pembela kepentingan mereka dan menjanjikan kebijakan-kebijakan yang seolah anti-elitisme. Gaya populisme ini masih ditambah satu kunci propaganda untuk mengidentifikasi pihak lain sebagai sumber masalah yang harus dimusuhi.

Populisme menjadi masalah dalam politik Indonesia manakala populisme dianggap berafiliasi dengan politik identitas (agama dan budaya); populisme oleh karenanya dianggap mengancam integritas masyarakat karena rentan menggiring masyarakat dan atau negara pada perpecahan.

Lebih jauh, politik identitas dibungkus agama dan budaya memiliki andil besar untuk memantik sentimental dan menarik simpati militan pengikut kelompok identitas tertentu. Populisme berbasis politik identitas disinyalir jika memobilisasi kekuatan massa dan bertendensi mengabaikan keberadaan individu atau kelompok di luar dirinya. Atas dasar itulah, Marc F Plattner (2010) menyebut populisme sebagai suatu antema bagi demokrasi, antara lain ancaman serius yang dibawa oleh gaya politiknya yang sejatinya anti keberagaman.

Politik Harapan dan Harapan Politik

Realitas yang pahit kadangkala melahirkan hikmah, menjadi pelajaran yang penting. Bahkan tidak jarang kondisi yang pahit tadi melahirkan idealisme baru sebagai harapan masa depan. Apa yang kita lakukan saat ini akan mempengaruhi masa depan kita nantinya. Jika tak ingin membuat kesalahan yang sama seperti masa lalu, lakukan hal yang lebih baik dari sekarang. Oleh karena itulah, pahitnya politik kebencian  mesti kita akhiri segera, agar kita dapat beranjak menyongsong harapan-harapan politik baru.

Pada 2024 ini, kita segera menghadapi momen pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden lalu disusul pilkada serentak, tentu masih banyak energi yang kita butuhkan untuk menghadapi momen penting politik itu. Titik ini menjadi sangat krusial bukan sekadar ia menjadi ajang pertarungan kekuasaan, melainkan ia strategis menentukan arah perkembangan negara ke depan. Apakah akan terkonsolidasi ataukah akan terjadi perubahan.

Bagaimana pun politik kebencian telah meninggalkan celah pembelahan sosial, yang mengindikasikan suatu kemunduran demokrasi. Pertanyaan penting kini, bagaimana politik itu menjadi arena pendidikan yang mampu mendewasakan, bukan terjebak pada pertikaian.

Jika para kandidat dan para pendukungnya hanya bisa mematut diri sambil mencibir, menyinyir kelemahan lawan, dapat dipastikan proses politik kita gagal menghasilkan suatu diskursus yang mencerdaskan. Sebaliknya, bila para kandidat mampu menyodorkan alternatif (program, visi, misi) yang cerdas bagi masa depan pemilih, tentu akan mendewasakan demokrasi kita, sekaligus meninggalkan politik kebencian. Dengan menolak meremehkan nalar sehat untuk diinjak-injak dogma, mari kita bersepakat
ucapkan selamat tinggal politik kebencian.

Berpikir Kritis dan Melahirkan Kebijakan

Bagaimana pun, politik kebencian dapat melahirkan konflik sosial akibat kesalahpahaman penafsiran informasi dari media sosial atau dari mana saja. Bahayanya hal ini akan menguatkan fenomena post-truth atau pascakebenaran yang berpotensi memecah belah kehidupan sosial. Selain itu, dalam keseharian kita juga dihadapkan dengan berbagai aturan dan regulasi yang dibuat oleh pihak yang berkuasa. Sebagai individu kita memang wajib mematuhi hukum yang berlaku selama itu baik bagi kehidupan bersama. Namun, kita juga harus aktif dan bersikap kritis terhadap aturan yang dibuat karena bisa saja aturan yang dibuat hanya ditujukan menguntungkan pihak tertentu tapi merugikan pihak lain.

Dalam bahasa Michel Foucault, pengetahuan (power) dan kekuasaan (knowledge) sangatlah berkaitan erat. Bentuk dominasi modern termanifestasi dalam bentuk yang tidak ‘terlihat” terutama melalui wacana yang banyak menggunakan bahasa sebagai instrumennya. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis sangat kita perlukan, terutama kritis dalam mencermati berbagai wacana yang memanfaatkan permainan bahasa (language of game). Apa Itu Berpikir Kritis? “Kritis” dalam konteks “berpikir kritis” sering diartikan secara keliru sebagai kegiatan menyerang atau menjatuhkan seseorang.

Kesalahpahaman ini tidaklah tepat dan dapat berpotensi membatasi kebebasan berpendapat, terutama di era rezim otoriter. Di era Orba “sikap kritis” sering diidentikkan sebagai bentuk pembangkangan dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah. Tetapi di era Jokowi pun, kritik sering dianggap dapat membahayakan keberlangsungan kekuasaan. Akibatnya, mereka yang gemar mengkritisi kebijakan pemerintah selalu berujung dilaporkan dengan alasan melanggar UU ITE. Hal ini tentunya sangat mencederai paham demokrasi yang dianut oleh negara kita.

Lalu apa itu berpikir kritis? Defisini paling sederhana dari sikap atau berpikir kritis adalah kemampuan untuk memecahkan permasalahan, mempersoalkan atau mempertanyakan sesuatu hal. Rocki Gerung mengatakan, berpikir kritis artinya bercakap dalam ruang dialogis dan terbuka terhadap kritik.  Ironisnya, hari-hari ini orang mengidap resistensi terhadap kritik. Dalam hal kehidupan politik misalnya, kritik tidak dipahami sebagai suatu hal yang konstruktif melainkan sebagai ancaman terhadap jalannya pembangunan (Warta Feminis, 5/12/2017).

Berpikir kritis berarti mempertimbangkan suatu bentuk pengetahuan atau keyakinan yang diterima begitu saja (taken for granted) secara aktif, terus menerus, dan teliti dengan menyertakan alasan, mengedepankan fact-checking, dan mengambil kesimpulan yang logis. Intinya,  upaya memulihkan akal sehat publik. Dalam bukunya yang berjudul Logic as Theory of Validation: An Essay in Philosophical Logic, Richard W. Paul berargumen bahwa berpikir kritis berkenaan dengan proses disiplin-intelektual yang menuntut individu untuk terampil dan aktif dalam memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesakan, dan/atau mengevaluasi informasi berdasarkan observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, dan komunikasi yang dilakukan.

Bagi Paul, kegiatan ini dapat dijadikan pedoman untuk meyakini sesuatu dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut. Berdasarkan rujukan di atas, secara filosofis berpikir kritis bukanlah dimaksudkan untuk menyerang, mencari kesalahan, atau menjatuhkan orang lain, melainkan mengajukan argumen secara rasional untuk menghindari kesalahan berpikir dan melahirkan sebuah pandangan logis terhadap suatu hal.

Oleh karena itu, berpikir kritis tidaklah mudah karena kita dituntut untuk memiliki keterampilan intelektual dan komitmen untuk memahami dan memproses informasi yang kita terima dari sumber manapun. Selain itu, kedewasaan berpikir dan kebijaksanaan sangat diperlukan dalam kegiatan ini karena tidak semua orang mudah menerima kritikan, khususnya bagi rezim yang berkuasa, sehingga dibutuhkan sikap besar hati untuk secara sportif menerima kritikan sebagai bentuk masukan positif guna terus memperbaiki diri. Melatih diri berpikir kritis sebagai sebuah keterampilan (skill), berpikir kritis membutuhkan pengetahuan, kemampuan berbahasa, kreativitas, dan komitmen intelektual selain itu berpikir kritis membutuhkan proses yang tidak singkat.

Berpikir kritis tidaklah mudah, namun bukan berarti tidak mungkin bisa dilakukan. Mengembangkan cara berpikir kritis dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengenali suatu permasalahan serta menentukan cara atau strategi untuk mencari solusi atas suatu permasalahan. Kemudian, kita juga dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas yaitu dengan cara mencari informasi yang relevan sebanyak-banyak untuk membongkar maksud dan tujuan di balik suatu gagasan tertentu.

Selain itu, kita juga harus memiliki keterampilan bahasa yang baik karena dalam mengkritisi suatu persoalan kita akan menuangkan kritikan kita dalam bahasa yang komprehensif, lugas, dan tidak bertele-tele. Hal ini ditujukan supaya kritik tersampaikan dan dapat dimengerti dengan baik kepada yang dituju. Budaya masyarakat, maraknya fenomena post-truth, ujaran kebencian, hingga disinfomasi di era digital ini semakin menuntut kita untuk bersikap kritis terhadap segala hal. Jika tidak, kita akan terjerumus dan “terjebak” secara emosional dalam konten pemberitaan yang kadang menyesatkan.

Lahirnya, UU 19/2016 perihal Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai dasar hukum serta direncanakannya polisi virtual untuk mengontrol pelanggaran memang diperlukan. Namun yang terpenting adalah kita harus menjadikan berpikir kritis sebagai budaya dalam kehidupan sehari-hari supaya masyarakat terbiasa mengindentifikasi dan menganalisis suatu permasalahan dengan mengandalkan logika, bukan emosi sehingga tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat negatif.

Budaya berpikir kritis juga harus diperkuat, terutama di sektor pendidikan (nampaknya ini pula tujuan dari program Belajar Merdeka di kampus-kampus), untuk menciptakan sumber daya manusia yang terbiasa menggunakan rasionalitas dalam memecahkan suatu permasalahan. Keuntungan lainnya dari berpikir kritis adalah kita akan dengan sendirinya menumbuhkan rasa kemanusiaan karena kita terbiasa menggunakan logika untuk kepentingan bersama.

Yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai manusia yang dianugerahi akal sehat untuk berpikir, selain kritis terhadap hal yang merugikan, kita juga harus terbuka dan siap untuk dikritik, bukan anti-kritik. Hal ini demi kebaikan diri sendiri maupun kepentingan kolektif.

Sumber https://www.suaramuhammadiyah.id/read/politik-kebencian-dan-berpikir-kritis

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-18 09:10:562024-11-28 08:54:46Politik Kebencian dan Berpikir Kritis

Benarkah Surah Asy-Syu’ara Surah Para Pemusik?

18/11/2024/in Opini, Publikasi 2024, Suara Muhammadiyah /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Muhammadiyah (18 Mei 2024)
Muhammad Zakaria Darlin

Sontak banyak orang terkejut dengan istilah baru yang disebutkan oleh Ustadz kondang yang memiliki jutaan pengikut, Ustadz Dr. Adi Hidayat, Lc., M.A. Lulusan Bahasa dan Sastra Arab dari Tripoli Libya ini selain dikenal aktif berdakwah dengan media sosial beliau juga aktif dalam persyarikatan sebagai Wakil Ketua I Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. Dalam salah satu potongan video dakwah nya yang viral, beliau menyebutkan dalam Bahasa yang mudah difahami oleh umat, bahwa Surah Asy-Syu’ara (Surah Para Penyair) dapat diartikan sebagai Surah Para Pemusik.

Banyak pihak terkejut dengan pemaknaan ini, ada yang kecewa, berhenti mengikuti bahkan yang paling brutal ada yang sampai mengkafirkan UAH karena telah menghalalkan musik. Bagi mereka yang keras, musik apapun jenisnya dianggap secara general sebagai dosa dan maksiat layaknya zina dan minum khamar. Hadits yang dipakai sebagai dalil pengharaman adalah hadits umum yang sering diangkat tentang akan munculnya di akhir zaman kelak, suatu kaum dari umat islam yang akan menghalalkan zina, mabuk-mabukan, memakai sutra dan alat musik. Padahal jelas dalam Fiqih, permasalahan musik ini adalah ranah ikhtilaf Ulama.

Para Ulama sedari awal memang sudah berbeda pendapat tentang keharaman alat musik secara pasti, disebabkan tidak ada lafaz jelas (shorih) yang mengharamkan alat musik layaknya khamar, zina dan riba yang sudah pasti keharaman nya. Kata Musik (Al-Musiqo) merupakan kata baru di dalam nash agama Islam dan tidak pernah disebutkan secara gamblang (Shorihan) di Al-Quran maupun Sunnah tentang kehalalan ataupun keharaman nya. Kata yang sering kita dengar mengenai pengharaman musik hanya membawa kata ”Lahwul Hadits”  (kalimat senda gurau) yang disebutkan dalam surah Luqman ayat 6, kemudian kata “Al-Ma’azif”  (alat-alat yang menyebabkan senda gurau dan kelalaian) yang disebutkan di dalam hadits yang sama tentang pengharaman zina, khamar, dan sutera.

Musik di Era Jahiliyah, Shodrul Islam, Umawiyah dan Abbasiyah

Musik yang dikenal hari ini dengan berbagai genre-nya, bukan datang secara tiba-tiba. Di zaman Jahiliyah (200 tahun sebelum Islam datang), bahkan orang Arab Jahiliyah yang masih menyekutukan Allah dengan berhala, sudah mengenal istilah Al-Hida’. Al-Hida’ merupakan salah satu jenis nyanyian sederhana yang dipakai oleh Qofilah (rombongan orang Arab yang sedang safar dengan unta) memakai jenis bahar ( ketukan nada) yang dipercaya selaras dengan hentakan kaki unta. Ketukan nada ini bernama Bahar Rajaz. Bahar atau Buhur merupakan istilah dalam Ilmu Arudh dan Qawafi (salah satu cabang ilmu Bahasa Arab) yang mempelajari ketukan-ketukan nada dalam syair Arab.

Syair Arab yang mengandung unsur nada Buhur dan Qafiyah dan bisa diiringi oleh musik ini ternyata tidak pernah diharamkan dalam Islam. Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri memiliki penyair pribadi yang bernama Hassan bin Tsabit, Ka’ab bin Zuhair dan Ka’ab Bin Malik yang sedia membela Nabi dari serangan verbal berupa syair celaan (Hija’) dari orang Kafir Quraisy. Kepada Ka’ab bin Malik Nabi pernah menghadiahkan sorban nya sebagai tanda terima kasih atas syair burdah (pujian) nya untuk Nabi. Rasulullah SAW juga pernah memuji penyair wanita bernama “Khansa” sebagai penyair terbaik yang pernah ada yang dijelaskan dalam sebuah hadits. Siti Fatimah RA, anak perempuan yang paling dicintai Nabi, pun juga pernah membuat syair kesedihan (Ar-Ritsa’)  untuk Baginda Nabi setelah wafatnya beliau.

Tradisi baik ini berlanjut hingga ke zaman kekhalifahan, setiap khalifah bahkan memiliki penyair pribadi nya masing-masing. Di zaman Umawiyah dan Abbasiyah berkembang pesat ilmu kepenyairan hingga muncul tokoh-tokoh penyair besar beberapa penyair yang paling terkenal seperti Akhthol, Farazdaq, Jarir,  Ibnu Rumi, Al-Mutanabbi, dan Abu Nawas.

Bukan hanya membolehkan syair Arab, bahkan Nabi pernah membolehkan mizmar (jenis alat musik tiup) di dalam rumah beliau yang digunakan oleh beberapa anak perempuan saat hari raya. Nabi juga tidak mempermasalahkan syair yang diiringi alat musik, di saat Nabi datang ke Madinah untuk pertama kali, pun disambut oleh Kaum Anshar dengan genderang gendang syair pujian “Thola’al Badru ‘Alaina”, Nabi tidak mengharamkan nya. Bahkan ketika ada walimah di Madinah dalam keadaan senyap, Nabi pernah bertanya kepada para wanita di sana :”kenapa tidak dibunyikan nyanyian padahal orang Madinah sangat menyukai nyanyian?” (HR. Bukhari). Nabi justru merasa heran, di saat resepsi walimah yang berbahagia di Madinah saat itu, kenapa malah tidak ada musik?

Islam tidak sulit dan sesempit tempurung hingga mengharamkan sesuatu tanpa alasan. Islam sudah sejak lama menyentuh aspek-aspek baik di setiap unsur kehidupan yang bahkan belum terfikirkan oleh kita sebelumnya. Terlepas dari ikhtilaf Ulama dalam hukum fiqih nya, secara istilah kata musik (Al-Musiqo) sudah dipakai sejak zaman Abbasiyah dalam kitab Ibnu Sina “Asy-Syifa (Ar-Riyadhiyat) : Jawami’ Ilmu Musiqo”.  Dasar-dasar pembolehan syair sejak zaman Nabi hidup sampai zaman Kekhalifahan Abbasiyah, (baik dengan musik ataupun tanpa alat musik),  merupakan dalil terbesar yang pernah ada untuk membolehkan mendengarkan syair, selama itu baik, tidak mengandung maksiat dan tidak melalaikan dari mengingat Allah SWT.

Jadi bukanlah sebuah hal yang baru apabila Surah Asy-Syu’ara (Surah Para Penyair) diartikan oleh UAH secara kontekstual menjadi (Surah Para Pemusik), karena memang pada dasarnya syair-syair Arab itu memang memiliki unsur “musiqo syi’ir” atau musik syair tersendiri, yaitu ketukan nada pada Bahar dan Qawafi nya. Sehingga bukanlah syair Arab apabila tidak ada unsur musiknya, dan tidak akan tercipta musik dalam dunia Islam tanpa adanya syair Arab. Keduanya bagaikan dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan, dan siapapun yang membaca sejarah akan dapat melihatnya.

sumber https://suaramuhammadiyah.id/read/benarkah-surah-asy-syu-ara-surah-para-pemusik

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-18 09:03:232024-11-18 09:23:01Benarkah Surah Asy-Syu’ara Surah Para Pemusik?

UAD: Universitas Ada Dimana-mana, Resmikan Kampus 6

23/04/2021/in Suara Muhammadiyah /by NewsUAD

 

Universitas Ahmad Dahlan (UAD) terus berkembang sebagai institusi pendidikan tinggi kebanggan persyarikatan Muhammadiyah. Spirit pendiri Muhammadiyah menjadi ikhtiar Universitas Ahmad Dahlan mencerdaskan kehidupan bangsa untuk hadir lebih dekat dengan masyarakat.

Kini UAD bukan hanya akronim Universitas Ahmad Dahlan, melainkan bisa juga sebagai Universitas Ada Dimana-mana. Hal tersebut ditandai dengan diresmikannya Kampus 6 Universitas Ahmad Dahlan di Triharjo, Wates, Kulon Progo pada Kamis (25/2/2021).

Sumber https://suaramuhammadiyah.id/2021/02/26/uad-universitas-ada-dimana-mana-resmikan-kampus-6/

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/UAD-Universitas-Ada-Dimana-mana-Resmikan-Kampus-6.png 649 795 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2021-04-23 10:48:362021-04-23 10:48:36UAD: Universitas Ada Dimana-mana, Resmikan Kampus 6

Meluncur ke Sulbar, Tim Medis UAD Tambah Kekuatan MDMC

22/04/2021/in Suara Muhammadiyah /by NewsUAD
Meluncur ke Sulbar, Tim Medis UAD Tambah Kekuatan MDMC. Untuk memberi dukungan layanan kedaruratan kesehatan bagi warga terdampak gempa bumi di Sulawesi Barat yang dijalankan oleh Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Jum’at (29/01) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta mengirim tim medisnya.
Sumber https://suaramuhammadiyah.id/2021/01/30/meluncur-ke-sulbar-tim-medis-uad-tambah-kekuatan-mdmc/

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Meluncur-ke-Sulbar-Tim-Medis-UAD-Tambah-Kekuatan-MDMC.png 647 787 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2021-04-22 12:14:022021-04-22 12:14:02Meluncur ke Sulbar, Tim Medis UAD Tambah Kekuatan MDMC

Game Guess The Corruptor Karya Jempolan Mahasiswa UAD

15/04/2021/in Suara Muhammadiyah /by NewsUAD
Game “Guess The Coruptor” atau berburu koruptor adalah buah kreatifitas dari pengabdian mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. Game jempolan ini dibuat oleh mahasiswa tergabung dalam Tim yang PKM-M UAD Yogyakarta dari program Kemendikbud.

Tim ini terdiri dari Ketua Duhana, dan anggotanya adalah Febri, Hasna, ketiganya mahasiswa S1 PGSD serta Defri (Teknik Elektro). Di bawah bimbingan Mufti Khakim (Dosen FH UAD), program ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan melihat fenomena perilaku korupsi yang merajalela menyerang di semua sektor kehidupan.

Sumber https://suaramuhammadiyah.id/2020/09/26/game-guess-the-corruptor-karya-jempolan-mahasiswa-uad/

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Game-Guess-The-Corruptor-Karya-Jempolan-Mahasiswa-UAD.png 647 791 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2021-04-15 13:27:532021-04-15 13:27:53Game Guess The Corruptor Karya Jempolan Mahasiswa UAD
Page 1 of 3123

TERKINI

  • BEM FH UAD Adakan Program “Dikabarin”31/05/2025
  • BHP UAD Adakan Pelatihan Fotografi Bersama Canon Indonesia31/05/2025
  • Bidang Humas dan Protokol UAD Selenggarakan Upgrading Student Support31/05/2025
  • UAD Raih Penghargaan LPTK Terbaik dalam Penyelenggaraan PPG 202431/05/2025
  • UAD Pertahankan Peringkat Pertama PTS Nasional Penerima Hibah Penelitian Kemendiktisaintek 202531/05/2025

PRESTASI

  • Mahasiswa FKM UAD Raih Juara I Lomba Futsal STPN 2025 Se-DIY31/05/2025
  • Inovasi Tim Jelantina Raih Juara 3 Lomba Poster26/05/2025
  • Mahasiswi UAD Raih Gold Medal dan Penghargaan Khusus di Ajang Internasional26/05/2025
  • Tim Bouqet Snack PBSI PPG UAD Juara 1 Lomba Video dalam Gelar Karya 202526/05/2025
  • Tim Arabian PPG PGSD UAD Juara 2 Lomba Poster dalam Gelar Karya 202524/05/2025

FEATURE

  • Perjalanan Hanifia Merawat Cinta Al-Qur’an31/05/2025
  • Cerita Inspiratif Rino, Meniti Karier dan Perjalanan Melawan Burnout31/05/2025
  • Peran Matematika dan Sains Dalam Teknologi31/05/2025
  • Alya: UKM Karate Mendukung Pengembangan Diri Saya31/05/2025
  • Danang, Apoteker UAD dengan 21 Publikasi Ilmiah, 8 Terindeks Scopus24/05/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top