• TERKINI
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Korupsi dan Kekuasaan

24/06/2013/0 Comments/in Terkini /by Super News

*Hendra Darmawan

Dosen Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Univeristas Ahmad Dahlan (UAD)

Diktum Lord Acton (1834-1902) yang mengatakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” rupanya masih relevan bahkan di masa 100 tahun setelah kematian pencetusnya. Sejarah manusia mencatat bahwa kekuasaan yang mutlak cenderung menjadikan seseorang berbuat korupsi, dan itu berlaku hingga sekarang.

Secara garis besar terdapat dua jenis korupsi; (1) korupsi karena kebutuhan (corruption by need) dan (2) korupsi karena keserakahan (corruption by greed). Jenis pertama jelas dilakukan lantaran keterdesakan ekonomi atau gaji yang tidak mencukupi sehingga oknum tersebut melakukan penyelewengan sampai merugikan negara. Corruption by need biasanya dilakukan secara individu, tidak sistematis dan dalam skala yang tidak terlalu besar. Praktek ini juga pernah dilakukan oleh para pegawai rendahan VOC pada tahun 1799 yang akhirnya menyebabkan lembaga tersebut bangkrut.

Adapun corruption by greed adalah jenis korupsi yang cukup ‘menggemaskan’ karena dilakukan oleh individu/sekelompok orang yang sebenarnya tidak kekurangan (kaya) namun karena serakah dan memiliki kesempatan maka terjadilah korupsi. Dalam hal ini kekuasaanlah yang kerap disebut-sebut sebagai katalisator seseorang berbuat korup; kesempatan datang karena yang bersangkutan memiliki wewenang untuk melakukan apa saja yang ia sukai. Korupsi jenis ini biasanya dilakukan secara sistematis, skala besar, berjamaah dan memiliki efek domino yang kuat.

Bukan rahasia lagi jika para penguasa Negara kita menjadi penganot corruption by greed. Berdasarkan Corruption Perception Indeks tahun 2012, Indonesia menempati urutan ke-118 dari 176 negara paling korup di dunia, atau dengan skor 32 pada skala 100 (www.trancparency.org). Mengapa demikian? Dari dimensi lintas budaya, Hofstede (2001) menggolongkan Indonesia kedalam kategori negara dengan power distance yang tinggi. Ini artinya bahwa hierarki kekuasaan menjadi hal yang utama dalam konteks struktural ataupun relasi sosial dan rakyat menerima kekuasaan yang tidak terdistribusi secara adil/merata tersebut. Power distance yang tinggi memberikan konsekuensi bahwa orang Indonesia memiliki ketergantungan tinggi terhadap kekuasaan, terdapat ketimpangan hak antara yang berkuasa dan yang tidak, karakteristik pemimpin yang cenderung dominan dan tersentral, serta komunikasi terjadi secara tidak langsung sehingga sulit mendapatkan feedback dari bawahan. Konsekuensi terakhir ini seringkali menjadi dalih sulitnya pengungkapan korupsi di sebuah instansi, karena budaya pekewuh dan sungkan pada atasan lebih dominan daripada mengungkap kebenaran. Akhirnya kejahatan elit terlegitimasi.

Jarak kekuasaan memang sudah terjadi sejak zaman kerajaan majapahit dengan istilah feodalisme dan budaya patrimonial. Raja yang dianggap representasi Tuhan di dunia ditempatkan sebagai makhluk tanpa cacat oleh rakyatnya. Apa yang dilakukan dan diperintahkan semua dianggap benar. Sehingga pada masa tersebut Raja berhak menguasai tanah seluruh negeri secara bebas meskipun tidak demi kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya. Itulah bibit-bibit korupsi.

Solusi: Distribusi Kekuasaan

Kita telah sepakat bahwa korupsi merupakan musuh bersama dan para koruptor mesti diganjar hukuman setimpal. Namun demikian, perlu kiranya dirumuskan beberapa solusi konkret untuk mencegah korupsi kekuasaan. Pertama, merubah paradigma kekuasaan, Paradigma ini baik bagi penguasa atau juga yang dikuasai/diperintah. Kedua belah pihak harus sepakat bahwa kekuasaan tidak bersifat mutlak dan menindas, tapi justru melindungi dan sebagai alat strategis untuk mensejahterakan rakyat. Kedua, distribusi kekuasaan yang adil. Kesempatan berkuasa harus diberikan kepada semua pihak yang mampu dan dalam jangka waktu yang proporsional, sehingga tidak terjadi kejumudan kekuasaan.  Ketiga, membangun sistem kontrol yang ketat. Lingkungan masyarakat(cultural) dan birokrasi yang bersih (structural) harus menjadi lokomotif pengontrol pemimpin yang korup, sehingga tidak perlu lagi ada budaya pekewuhuntuk menegur penguasa yang salah.

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 Super News https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Super News2013-06-24 03:06:342013-06-24 03:06:34Korupsi dan Kekuasaan
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply Cancel reply

You must be logged in to post a comment.

TERKINI

  • UAD Gelar Wisuda Periode III Tahun Akademik 2024/202510/05/2025
  • PBI UAD Gelar Syawalan dan Lantik Pengurus KAMADA Periode 2025–202809/05/2025
  • Mahasiswa UAD Latih Kemampuan Jurnalistik Lewat Magang di Lembaga Muhammadiyah09/05/2025
  • PBSI FKIP UAD Gelar Sapa Prodi, Mahasiswa Dapat Ruang Suara dan Solusi09/05/2025
  • IMM FKM UAD Jalin Sinergi Inovatif dengan IMM Psikologi UMP09/05/2025

PRESTASI

  • UKM Voli UAD Raih 2 Trofi pada Ajang Febipharm Championship 202508/05/2025
  • Mahasiswi Magister Kesehatan Masyarakat UAD Berprestasi di Nusantara Writing Festival 305/05/2025
  • Mahasiswa FEB UAD Raih Juara I Lomba Futsal dalam Semarak Milad IMM DIY03/05/2025
  • Pramudya Wijaya, Sabet Juara II Menyanyi Kategori Solo Pop Putra dan Solo Keroncong Putra02/05/2025
  • IMM Djazman Al-Kindi Sabet Juara I & II dalam Semarak Milad IMM se-DIY02/05/2025

FEATURE

  • Masyarakat yang Tangguh dalam Menghadapi Bencana09/05/2025
  • ABCDE-in Hidupmu: Strategi Membangun Karier dan Finansial Sejak Dini08/05/2025
  • Membentuk Mentalitas Juara Seorang Atlet08/05/2025
  • Bencana Urusan Bersama, Bukan Tanggung Jawab Tunggal07/05/2025
  • Pendidikan sebagai Jalan Jihad Melawan Kemiskinan07/05/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top