Kuliah Mahal Kerja Susah, Nasib Anak Muda Indonesia
Suara Merdeka (24 Mei 20240)
Hilma Fanniar Rohman
Pada tahun 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hampir 10 juta pemuda di Indonesia, atau sekitar 22,25 persen dari populasi usia 15-24 tahun, tidak terlibat dalam pendidikan, pekerjaan, atau pelatihan (NEET). Dari jumlah ini, sekitar 5,73 juta adalah perempuan dan 4,17 juta adalah laki-laki. Kebanyakan dari mereka adalah bagian dari Generasi Z yang seharusnya berada di masa produktif. Biaya pendidikan yang tinggi, terutama Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri, dikhawatirkan dapat memperburuk situasi ini.
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Maliki, menyatakan bahwa tingginya biaya pendidikan adalah salah satu tantangan utama yang perlu diatasi untuk mengurangi jumlah pemuda NEET. Menurut Maliki, biaya yang tinggi membuat banyak lulusan SMA tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sementara itu, mahasiswa di berbagai perguruan tinggi negeri sedang menghadapi kenaikan UKT, yang memicu aksi demonstrasi.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Abdul Haris, berargumen meskipun biaya kuliah di PTN tinggi, namun masih lebih terjangkau dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Maliki juga menekankan bahwa selain biaya pendidikan, motivasi diri pemuda juga penting. Ia berpendapat bahwa pemuda harus memiliki tujuan yang jelas apakah mereka ingin melanjutkan pendidikan atau bekerja. Ia menambahkan bahwa pendidikan yang murah tidak akan efektif jika peserta didik tidak tahu apa yang mereka inginkan.
Karena ini bisa mengakibatkan ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki dan kebutuhan dunia kerja. Selain itu, Maliki menyoroti masalah lain yaitu keputusasaan yang dialami pemuda akibat lamaran pekerjaan yang terus-menerus ditolak. Penolakan yang berulang membuat banyak pemuda kehilangan semangat dan kepercayaan diri untuk mencari pekerjaan, yang pada akhirnya memperburuk situasi NEET.
Mengatasi Masalah NEET di Kalangan Pemuda Indonesia
Jumlah pemuda NEET yang mencapai hampir 10 juta merupakan masalah serius yang membutuhkan perhatian mendesak. Tingginya biaya pendidikan, terutama UKT di perguruan tinggi negeri, memang menjadi salah satu faktor utama yang menghambat pemuda untuk melanjutkan pendidikan. Namun, ini bukan satu-satunya masalah. Penting untuk memahami bahwa pendidikan yang terjangkau harus diiringi dengan panduan karier yang baik.
Pemuda perlu dibekali dengan informasi dan motivasi yang jelas tentang prospek karir mereka. Program bimbingan karier dan pelatihan vokasional yang relevan harus diperkuat. Hal ini untuk memastikan bahwa lulusan SMA dan perguruan tinggi memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Selain itu, pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk menciptakan lebih banyak peluang kerja bagi pemuda.
Program magang, pelatihan kerja, dan inisiatif kewirausahaan bisa menjadi solusi untuk mengurangi angka pengangguran di kalangan pemuda. Perusahaan juga harus lebih terbuka dalam memberikan kesempatan kerja kepada pemuda, meskipun mereka mungkin belum memiliki pengalaman kerja yang panjang. Di sisi lain, dukungan psikologis dan emosional bagi pemuda yang mengalami penolakan kerja sangat penting.
Program konseling dan bimbingan karier harus tersedia untuk membantu mereka mengatasi rasa putus asa dan membangun kembali kepercayaan diri mereka. Secara keseluruhan, mengatasi masalah NEET di Indonesia memerlukan pendekatan yang komprehensif. Yang mencakup penurunan biaya pendidikan, peningkatan motivasi dan bimbingan karier, serta penciptaan lebih banyak peluang kerja. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan pemuda Indonesia dapat lebih produktif dan berkontribusi positif terhadap pembangunan negara.
sumber : https://www.suaramerdeka.com/opini/0412742248/kuliah-mahal-kerja-susah-nasib-anak-muda-indonesia