Penggunaan Kata ‘Islami’ Bikin Pecah Umat Islam?
Harian Jogja (8 Maret 2024)
Muhammad Zakaria Darlin
Makna kata ‘islami’ tidak sama dengan kata ‘muslim’, apalagi dengan kata ‘Islam’. Namun akhir-akhir ini sering kita mendengar di media massa, khotbah dan ceramah, bahkan percakapan keseharian, bahwa setiap manusia yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya mestilah menjadi seorang yang islami.
Islami dalam KBBI dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat keislaman: akhlak. Penggunaan kata ‘islami’ dalam pangkuan makna yang demikian tidaklah sepenuhnya benar dan tidak pula sepenuhnya salah. Akan tetapi memakai sebuah padanan kata yang akar rumputnya adalah ajaran agama Islam, tentu harus berdasarkan kepada sumber-sumber syariat yang terpercaya. Bukan sekadar ritme harmoni kata yang indah, apalagi bentuk luaran yang tampak memukau, seakan sudah mengikuti pagu dan aturan-aturan dalam beragama, lantas mencatutnya menjadi sebuah terminologi baru dalam beragama.
Terminologi istilah agama yang akar rumputnya adalah syariat, sudah tentu harus mengikuti aturan baku dalam Bahasa Arab. Istilah islami ini bahkan tidak pernah sekalipun disebutkan Allah di dalam Al-Qur’an. Terminologi baru yang memaknai ‘islamis’ atau ‘Islamiyyun’ sebagai penunjukan terhadap seseorang muslim yang ke-Islamannya bagus, melebihi makna kata ‘muslim’ yang disematkan Allah sebanyak 39 kali di dalam Al-Qur’an, dapat dikatakan sebagai sebuah inovasi golongan kanan yang berniat memecah belah umat Islam itu sendiri.
Jika dilihat dari siyaq kalam (konteks bahasa) yang dipakai di setiap ayat-ayat yang menggunakan kata ‘Islam’ dalam Al-Qur’an, kata ‘Islam’ hanya dipakai untuk dimaknai sebagai sebuah agama saja, sebagai lawan dari syirik. Sementara kata ‘muslim’ dengan segala perubahan morfologisnya seperti ‘muslimin’, ‘muslimah’ dan ‘muslimat’ dipakai untuk ragam variasi makna di dalam Al-Qur’an.
Contohnya sebagai lawan kata dari ‘musyrik’, penguat makna ‘iman’, disematkan dengan kata ‘anak saleh’, menjelaskan sifat utama wanita ‘salihah’, dijadikan sifat untuk sebuah umat, menguatkan bahwa Ibrahim dan keturunannya bukan ‘musyrikin’, lawan kata ‘mujrimin’ (pendosa besar), tafriq (pembeda) muslim dengan ahli kitab, disandingkan dengan sifat tawakal dan makna lainnya yang sangat tidak terbatas artinya.
Ini artinya ajaran Islam tidak pernah membeda-bedakan antara muslim yang baik dengan muslim yang tidak baik dengan penggunaan kalimat mi’yariy (menghukum) dan mengancam ke-Islaman seorang yang telah bersyahadat, seperti halnya islami dan Ghoiru Islami. Jika memang terminologi islami ini lebih tepat daripada kata ‘muslim’, tentu Allah akan menggunakannya di dalam Al-Qur’an sebagai pengganti yang lebih tepat daripada menggunakan kata ‘muslim’, atau setidaknya melekatkannya dalam frasa dengan kata ‘muslim’, seperti muslim islami dan Muslim Ghairu Islami.
Sehingga akan terlihat perbedaan antara muslim yang taat dengan yang tidak taat. Tapi frasa ini tidak pernah ditemukan di dalam Al-Qur’an. Apalagi dipakai secara mandiri untuk mensifati orang yang baik ke-Islamannya dan membedakannya dengan yang tidak baik ke-Islamannya.
Islam Politis
Penggunaan frasa, ‘fulan’ sebagai orang yang paling islami atau partai atau golongan fulan sangatlah islami dari partai lainnya untuk orang-orang yang berjuang demi tegaknya syariat Islam di muka Bumi, bahkan label-label yang melekat pada mereka sebagai orang terbaik yang mempresentasikan agama islam dan kebalikan dari mereka yang dianggap sebagai musuh Islam, meskipun dia beragama Islam, adalah klaim yang tidak berdasar di dalam perspektif agama yang akan menumbuhkan lagi benih-benih Firoq Islamiyah (golongan-golongan Islam politis) yang tumbuh berkembang di masa lampau seperti halnya di zaman Umawiyah.
Zaman di mana terpecahnya kaum muslimin ke dalam banyak golongan berdasarkan fanatisme politik, seperti golongan Umawiyyin, Syiah, Khawarij, Murjiah, hingga Zubairiyyin, yang tujuannya jelas untuk mencari kekuasaan semata dengan mengeksploitasi ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis agar berkesesuaian penafsirannya dengan syahwat politik masing-masing.
Maka jika istilah ‘islami’ ini terus dipakai dengan pemaknaan yang melenceng seperti ini, tentu ditakutkan akan menyebabkan perpecahan terjadi kembali di dalam tubuh umat Islam itu sendiri. Padahal Rasulullah SAW telah bersusah payah berdarah-darah memadamkan api perpecahan dan kebencian antarsesama umat muslim, hingga mempersaudarakan manusia semasa hidup beliau.
Maka tidak ada kalimat yang seindah pesan dari Baginda Nabi, agar tidak fanatik terhadap ke-Islaman, kesalihahan dan kehebatan diri serta golongan pilihan pribadi, apalagi sampai rela mati di jalan tersebut, sebagaimana sabdanya yang mengatakan, “Bukanlah dari umat ku siapa yang mengkampanyekan fanatisme, dan bukanlah dari umatku siapa yang berperang atas nama fanatisme, dan bukanlah dari umatku siapa yang mati karena membela fanatisme (HR. Abu Dawud).”