Sekolah dan Kultur Masyarakat
Dani Fadillah*
Dalam tulisan ini penulis mencoba mengulas tentang hubungan antara substansi pendidikan dan perilaku masyarakat suatu bangsa dengan mengulas hal tersebut lebih dalam untuk melihat apakah setiap anak telah mendapatkan bekal yang cukup di sekolah untuk mengantarkan dirinya hingga maupun keturunannya menjadi warga negara yang bertanggung jawab serta tidak merugikan pihak lain. Tidah hanya sebatas hanya pengetahuan, namun juga keterampilan. Dan yang lebih penting lagi adalah perilaku yang terbentuk dengan berbagai pembinaannya di sekolah agar menjadi kultur kehidupan pribadi, kelompok, dan bangsa.
Kita sadari atau tidak, tidak sedikit masyarakat kita yang saat ini terjebak dalam kebanggaan yang bersifat fatamorgana semata. Hal tersebut mampu kita ukur atas selera atau gengsi yang terakumulasi dalam sikap publik yang biasanya kerap mengabaikan benar atau salah, mau pun etis atau tidaknya sesuatu dalam tiap tindak tanduknya. Sderhananya dapat kita contohkan seperti ini; bayangkan ada orang tua yang memaksakan anaknya yang masih di bangku TK nol kecil bisa membaca dan menulis, sehingga sang anak bisa dipamerkan pada tetangga dan kerabat-kerabatnya. Tanpa memperhatikan terlebih dahulu bahwa suatu keterampilan tertentu yang diberikan pada usia dan anak yang tidak tepat dapat kontra produktif trhadap perkembangans ang anak.
Pada kasus untuk anak-anak yang berusia lebih dewasa, ada siswa yang memaksakan diri (beberapa kasus, orang tua dan kerabat-kerabatnya yang memaksa) untuk masuk jurusan IPA karena merasa bahwa jurusan non-IPA tidak bergengsi, tidak prospektif, dan tempatnya anak-anak bodoh. Sehingga mereka menutup mata atas kemungkinan potensi keberhasilannya dalam mengarungi hidup pasca kelulusan lebih besar jika masuk jurusan IPS atau Bahasa.
Terakhir banyak orang tua yang tidak peduli, bahkan cenderung bangga jika anaknya pergi sekolah dengan menggunakan kendaraan bermotor sendirian walaupun usianya masih di bawah umur. Terkadng ketika bercerita dengan keerabat, dengan bangga pula bercerita bahwa anaknya mendapatkan SIM dengan cara “tidak wajar”. Hingga akhirnya peristiwa kecelakaan lalu lintas beberapa waktu yang lalu yang disebabkan oleh seorang pengemudi di bawah umur hingga menelan korban jiwa mulai sedikit membuat banyak orang tua merasa was-was. Ini diakibatkan karena banyak masyarakat kita yang memahami SIM hanya secarik kertas yang harus ada di dalam dompet seseorang agar boleh mengemudi. Kita belum memaknai bahwa SIM sebagai suatu bukti bahwa pemegang SIM memang benar cukup umur, sehat jasmani dan rohani, mengetahui regulasi dan etika berlalu lintas. Pemahaman inilah yang menjadi salah satu pendorong masyarakat untuk mendapatkan SIM dengan menghalalkan segala cara. Pemahaman tersebut sudah menjadi kultur masyarakat yang tentunya tidak lepas dari kualitas kultur di tempat pendidikan.
Setiap warga negara Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan formal, tentu masih ingat adanya mata pelajaran Pendidikan Agama dan kepancasilaan yang terus berubah penamaannya mulai dari Pendidikan Moral Pancasila (PMP) hingga Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Kita paham bahwa para petinggi bangsa ini memasukkan kedua mata pelajaran tersebut bertujuan ingin membentuk karakter bangsa sesuai tujuan pendidikan nasional, di mana pembangunan karakter menjadi salah satu sasaran. Akan tetapi sudah selama ini kita merdeka, mampukah kedua mata pelajaran tersebut membentuk karakter bangsa yang ideal? Sebenarnya sih sah-sah saja jika para pemangku kepentingan beralasan bahwa belum maksimalnya mata pelajaran tersebut karena pengaruh negatif lingkungan masyarakat, yang mengakibatkan para pelajar yang telah ditanamkan tata nilai positif tidak mampu melawan arus negatif di luar sekolah. Akan tetapi jangan lupa pula bahwa masyarakat, termasuk di dalamnya pare pemegang kebijakan, adalah kumpulan personal yang dulunya juga mengenyam pendidikan di sekolah yang memiliki kesamaan sistem dan kultur yang relatif sama pula.
Oleh arena itu, kita wajib mengkaji ulang dan terbuka untuk melihat apakah substansi pendidikan karakter serta strategi penyampaiannya sudah mampu membangun individu manusia seutuhnya, atau yang dalam bahasa agama disebut sebagai insan kamil. Pembelajaran yang hanya mengandalkan strategi jarum suntik dan hanya sebatas ‘tahu’ tidaklah cukup. Peserta didik selama di sekolah perlu adanya contoh konkret dari orang dewasa sebagai model yang dapat ditiru dan pembiasaan terus menerus atas perilaku positif kepada peserta didik sehingga menjadi suatu kultur positif di sekolah. Inilah yang harus diakui oleh semua pihak, bahwa selama ini upaya kita belum maksimal dalam membangun perilaku bangsa yang positif pembangunan kultur sekolah yang kondusif sehingga mampu membentuk kultur bangsa yang kondusif pula.
Sudah saatnya para pemerintah menggandeng berbagai pihak untuk menemukan resep jitu untuk itu. Saat ini ada banyak institusi swasta seperti yayasan dengan sistem pendidikan boarding school yang memiliki resep atau konsep bagaimana menyiapkan iklim di sekolah yang mampu membangun kultur bangsa yang lebih baik melalui pendidikan.
*Dosen Ilmu Komunikasi UAD
Ketua Bid. Keilmuan dan Riset DPD IMM DIY
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!