Tahsin al-Qur’an: Salah Satu Jalan menuju Moral and Intellectual Integrity
Universitas Ahmad Dahlan (UAD) mempunyai tagline Moral and Intellectual Integrity. Untuk mewujudkan itu terdapat berbagai cara, salah satunya adalah diselenggarakannya program tahsin membaca al-Qur’an. Program ini diwujudkan oleh Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI). Berikut hasil wawancara dengan H. Nur Kholis Arman Maimun, M.Ag., selaku Kepala Pusat AIK dan Layanan Sosial Keagamaan.
Kenapa mahasiswa perlu mengikuti program tahsin?
Program mengaji atau tahsin Qur’an merupakan sasaran mutu UAD. Sasaran ini harus diimplementasikan tentunya. Melalui program tahsin, LPSI berharap agar semua lulusan fasih membaca al-Qur’an. Mereka (mahasiswa) sebenarnya butuh, kami saja yang sering merasa tidak butuh, makannya kami sosialisasikan kegiatan ini. Dulu memang agak berat, tapi sekarang sudah seperti menjadi budaya. Kalau belum ikut tahsin, mereka akan merasa gelisah. Hal tersebut karena ada beberapa jaring pengaman, yakni dalam kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan ujian pendadaran. Salah satu syarat mengikuti KKN dan ujian pendadaran mendapat nilai minimal B. Kami tidak mengeluarkan sertifikat jika belum mencapai nilai B. Tentu kami tidak hanya menguji mereka, tapi juga menyediakan layanan pembinaan. Metode pembinaan ini sudah direvisi beberapa kali agar tidak menyita dan mengganggu kuliah mahasiswa.
Bagaimana cara mengikuti pembinaan tahsin al-Qur’an?
Apabila mahasiswa ingin mengikuti, bisa melihat di portal LPSI. Sekarang sudah dibuka pendaftaran, mahasiswa hanya tinggal memilih jadwal sesuai keinginan sendiri. Target kami adalah 14 kali pertemuan, mahasiswa sudah bisa tes dan lulus dengan nilai baik. Tapi pertemuan ini disesuaikan dengan kemampuan masing-masing mahasiswa selama pembinaan.
Berapa jumlah ustadz dan ustadzah yang mengampu?
Ada 38 orang. Kegiatan ini sekarang dipusatkan Islamic Center, karena dulu ketika di masjid masing-masing kampus, sangat berjubel sehingga mengganggu aktivitas ibadah shalat Dhuha dosen dan karyawan. Sekarang sudah jarang, karena mahasiswa yang bisa mengaji sudah banyak.
Apakah harus ikut pembinaan agar bisa tes mengaji?
Apabila nilai mata kuliah sertifikasi 1 di semester 2 mendapat minimal nilai B, bisa langsung ikut tes. Hal ini untuk memangkas antrean yang panjang. Tapi, jika tes belum lulus selama tiga kali, mahasiswa harus tetap mengikuti pembinaan.
Apakah ini bagian dari tagline UAD atau Catur Darma Muhammadiyah?
Tentunya, karena ini dimasukkan di sasaran mutu untuk mewujudkan moral and intellectual integrity. Moralnya di membaca al-Qur’an, al-Islam, dan Kemuhammadiyahan (AIK) yang bisa diukur. Sulit mengukur kualitas, maka kami mengukur melalui kuantitas dengan sertifikat yang nyata. Harapannya memang kualitas, tapi secara ukuran kami memakai kuantitas. Kompetensi ini disertakan dalam Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI).
Sudah berjalan berapa tahun program ini?
Kalau mengawalinya sekitar 8 tahun. Dulu unsur memaksanya cukup kuat, tapi kemarin ketika KKN, ramai-ramai mahasiswa mendaftar.
Bagaimana perkembangan program ini?
Antusiasnya alhamdulillah, kami membuat target setiap tahun yang mendapat nilai A naik 5%, dan selama tiga tahun belakang, kami mencapai target itu. Artinya perkembangannya semakin bagus.
Selain mahasiswa, apakah karyawan dan dosen juga bisa ikut? Kenapa?
Ya, bisa. Selain di Islamic Center, kami juga menyiapkan di masing-masing unit. Ustadz mendatangi langsung ke unit sesuai jadwal. Unit itu bisa di fakultas atau lembaga-lembaga. Kami ada 12 ustadz untuk dosen dan karyawan. Program ini berguna untuk kenaikan jabatan karyawan karena ada kriteria harus bisa mengaji yang dibuktikan dengan sertifikat. Tapi ada kendala untuk dosen karena kenaikan jabatan melalui Kopertis bukan melalui kami, jadi belum ada jaring pengamannya. Alasan inilah yang membuat tidak banyak dosen ikut program ini. Kami masih belum tahu untuk memotivasi dosen, tapi kami tetap berusaha dengan terus mengirim ustadz.
Harapan dari program ini ke depan?
Harapan kami, tidak ada lagi mahasiswa, dosen, maupun karyawan yang pernah mengenyam pendidikan di UAD tetapi tidak bisa membaca al-Qur’an. Bagi kami sumber ajaran agama berada dalam al-Qur’an. Kalau baca saja tidak bisa, apalagi mau menggalinya. Setidaknya bisa membaca terlebih dulu, soal tahap selanjutnya diserahkan kepada masing-masing. Setelah lulus, mereka bisa membaca al-Qur’an, karena belum tentu di luar ada program seperti ini. Jadi, mereka bisa mengajarkan kepada anak-anak agar tidak terjadi kembali “kecelakaan” seperti sekarang ini.