Korupsi dan Rontoknya Ideologi
Harian Terbit (1 Juni 2023)
Sobirin Malian
Dalam suatu kesempatan pidato di Dewan Konstitusi Nasional, menjelang revolusi Perancis, Alex de Tocqueville, menyatakan: “oleh karena terkesan dalam masyarakat tenang-tenang saja, tidak ada gejolak yang berarti dan revolusi dianggap masih jauh, maka kita menganggap negara tidak ada masalah. Tuan-tuan…izinkan saya menyatakan bahwa, Anda sekalian sedang menipu diri sendiri. Saya yakin, saat ini kita sedang tidur diatas gunung berapi, bara api…(Alex de Tocqueville, On Democracy, Revolution and Society: 1980).
Apa kira-kira yang dapat kita tangkap makna dari pidato Alex de Tocqueville di depan Assemble Nationale Constituante, Perancis) itu. Pada tahun 1848 itu, ia mengingatkan rezim Orleans bahwa Perancis saat itu tidak dalam kondisi baik-baik saja. Cengkeraman aristokrasi yang berusaha mempertahankan status quo-nya, menurut De Tocqueville, sudah tidak relevan. Lalu ia menyatakan, harus ada solusi politik ke arah terbebas dari kungkungan aristokrasi. Apa yang dirasakan Alex de Tocqueville saat itu tampaknya sama dengan kondisi kita sekarang. Bahwa negara ini sesungguhnya tidak sedang dalam baik-baik saja. Kita sejatinya sedang mengalami guncangan politik dan hukum yang luar biasa.
Episentrum Persoalan
Bangsa ini terus diguncang berbagai skandal menjelang tahun politik 2024. Selain kasus terbaru, “Bancakan Korupsi Proyek Tower BTS Rp8 Triliun yang melibatkan Menkominfo”, masih banyak kasus rasuah yang belum terungkap dan belum tertangani. Pertanyaan yang perlu kita ajukan sebagai anak bangsa adalah, apakah kecemasan kita hanya pada kasus lenyapnya uang negara yang digondol para koruptor itu?
Jawabnya: Tidak ! Episentrum masalah bukan semata kerugian negara (korupsi), masalah lain masih banyak, misalnya, ancaman perpanjangan masa jabatan Presiden atau penundaan Pemilu masih saja membayangi. Juga masalah peradilan dan hukum di mana saat ini publik seperti mengalami ketidakpercayaan pada MK, MA, Kejagung, KPK dan lain-lain.
Lembaga peradilan seolah mengalami ketidakpercayaan di titik nadir terendah akibat beberapa putusannya sangat bertolak belakang dengan harapan publik. Putusan MK soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, dirasa sangat janggal dan dianggap sebagai putusan yang syarat dengan nuansa politik karena menjelang Pemilu 2024. Isu teraktual yang menarik perhatian publik adalah diduga bocornya putusan MK yang dirilis Prof. Denny Indrayana yang isinya putusan MK lebih memilih sistem proposional tertutup.
Dari beberapa putusan MK yang kontroversial itu – sejumlah akademisi menilai problem besar MK itu terletak pada hakim-hakimnya yang tidak lagi sebagai negarawan dan penegak yang adil, malah terkesan menjadi corong penguasa.Masalah kenegaraan lain yang tidak kalah besar adalah bagaimana relasi sebab akibat antara penguasa, hukum dan eksistensi bangsa. Muatan utama refleksi tidak masalah semata masalah korupsi dan kerugian negara, tetapi permasalahan ideologis (ideological corruption).
Dalam korupsi uang negara, ada ancaman bahaya terselubung, yakni pembunuhan ideologi kenegaraan dan ideologi kebangsaan. Pembunuhan ideologi masuk dari pintu sindikatisme berupa pelaksanaan kebijakan-kebijakan (kotor) negara terutama terhadap para buzzer dan influencer untuk kepentingan persekongkolan jahat kendati memakai baju dan slogan kepentingan umum. Dalam sindikalisme korupsi atau sindikat korupsi, empat pilar kebangsaan Tunggal Ika – yang bersifat ko-eksistentif digerogoti oleh kepentingan persekongkolan atau lebih jauh kepentingan oligarki. Ekses yang paling mencelakakan adalah deklinasi dan polarisasi yang mengancam kepercayaan publik terhadap ideologi dan simbol-simbol kebangsaan. Dari situ lahirlah gerakan-gerakan pencarian keselamatan publik.
Gerakan-gerakan primordial berslogan khilafah, politik identitas sesungguhnya pijaran-pijaran kecil dari sumber letupan masalah, yakni sindikalisme, Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Gerakan-gerakan ini dapat saja kita sebut sebagai impian kolektif (collective dream) semacam utopia bersama masyarakat kecil yang ingin segera keluar dari himpitan hidup kita yang selama ini ditumpukan kepada wakil rakyat tetapi tak kunjung hadir mewakili kepentingan mereka. Dalam sindikasi korupsi – jembatan representasi dibebankan pada partai politik, lembaga legislatif, yudikatif maupun eksekutif yang mengalami patahan tak tersambungkan.
Menurut Gaetamo Mosca patahan paling menyolok ada pada kelakuan destruktif lembaga legislatif, yudikatif yang berbuntut keraguan akan masa depan pemerintah (The Ruling Class, 1939). Jadi guncangan besar eksistensi bangsa ini terletak di situ, sebab dari sudut sindikalisme, korupsi tidak lagi sekadar penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan diri dan kelompok. Namun, korupsi merupakan tindakan sekelompok orang berkuasa yang sengaja menghancurkan ideologi negara lewat sindikat korupsi. Dalam sindikalisme korupsi bersemayam pengeroposan ideologi negara.
Secara sederhana dapat dijelaskan, dari kasus e-KTP atau Proyek BTS Menkominfo, Hambalang atau kasus besar lainnya, dapat dipastikan kasus korupsi tidak lagi menjadi perilaku kotor personal. Artinya, korupsi sudah masuk ranah sindikasi korupsi (Corruption Syndicate); persekongkolan jahat di tingkat elit negara (termasuk partai politik) untuk merampas uang negara secara sistematis dan itu sejatinya menggerogoti ideologi negara, karena mereka seharusnya yang bertanggungjawab atas kelangsungan dan berkomitmen menjaga ruh ideologi. Tetapi yang terjadi mereka menjadi contoh yang buruk sebagai pelaksana ideologi negara. Akhirnya, ideologi negara Pancasila justru dikotori oleh perilaku tidak terpuji. Ideologi pun rontok.
sumber https://www.harianterbit.com/opini/2748983830/korupsi-dan-rontoknya-ideologi