Disparitas Upaya Banding Administrasi Umum vis a vis Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Koran Bernas (9 Desember 2023)
Ilham yuli Isdiyanto
Proses upaya administrasi berbeda pada upaya administrasi pengadaan barang/jasa pemerintah. Mengacu pada ketentuan Pasal 30 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 12/2021) menyebutkan nilai jaminan sanggah banding adalah 1% (satu persen) dari nilai pengadaan yang telah ditetapkan. Dasar pengenaan jaminan ini bisa diturut melalui ketentuan Pasal 57 ayat (2) huruf e Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU No. 2/2017) yang mengatur tentang adanya jaminan sanggah banding. Namun, penempatan jaminan sanggah banding ini memiliki konsekuensi logis, bahwa bentuk upaya administrasi ini bukan lagi sebagai hak warga negara karena mensyaratkan pembebanan biaya tertentu.
BERDASARKAN ketentuan Pasal 75 ayat (5) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU No. 30/2014), seharusnya setiap upaya administrasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap keputusan dan atau tindakan pemerintah berupa keberatan dan banding tidak dibebani biaya. Namun, upaya banding terhadap hasil pengadaan jasa konstruksi ternyata dikenai “biaya” dalam bentuk “jaminan sanggah banding”. Lantas, apakah ini berkeadilan terhadap hak warga?
Menganulir Hak Warga Negara
Tujuan hukum Indonesia bukanlah untuk menegakkan hukum an sich, melainkan menegakkan “keadilan” yang notabene penuh nuansa filosofis dan konstruksi etis terhadap nilai-nilai yang ada pada masyarakat, ketimbang hanya bunyi pasal. Jaminan ini juga muncul pada konstitusi yakni Pasal 24 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yang secara tegas menempatkan “hukum dan keadilan” secara kumulatif, bukan fakultatif. Konstruksi keadilan ini sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak lain adalah “hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Dalam hal mendeliberasi keadilan, muncul UU No. 30/2014 yang sifatnya mengatur upaya administrasi untuk mengakomodir hak warga masyarakat terhadap keputusan dan/atau tindakan pemerintah yang dianggap merugikan. Hal ini kemudian diatur dalam ketentuan Pasal 75 UU No. 30/2014, di mana pada ketentuan ayat (2) disebutkan bentuk upaya administratif adalah : a) keberatan; dan b) banding. Karena sifatnya adalah hak, maka upaya administrasi ini kemudian diakomodir bebas beban biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (5) UU No. 30/2014.
Namun, proses upaya administrasi berbeda pada upaya administrasi pengadaan barang/jasa pemerintah. Mengacu pada ketentuan Pasal 30 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 12/2021) menyebutkan nilai jaminan sanggah banding adalah 1% (satu persen) dari nilai pengadaan yang telah ditetapkan. Dasar pengenaan jaminan ini bisa diturut melalui ketentuan Pasal 57 ayat (2) huruf e Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU No. 2/2017) yang mengatur tentang adanya jaminan sanggah banding. Namun, penempatan jaminan sanggah banding ini memiliki konsekuensi logis, bahwa bentuk upaya administrasi ini bukan lagi sebagai hak warga negara karena mensyaratkan pembebanan biaya tertentu.
Pensyaratan pada jaminan sanggah banding ini dicurigai melanggar asas keadilan yang berpotensi menghilangkan hak dari warga negara, jika melakukan upaya banding administrasi karena diperlukan adanya jaminan sebesar 1% (satu persen).
Problem Regulasi
Cantolan pada Pasal 32 Perpres 12/2021 tak lain adalah Pasal 57 ayat (2) UU No. 2/2017, namun ternyata ketentuan ini mengandung problem penormaan. Frasa pengaturan jaminan sanggah banding adalah bagian dari jaminan penawaran, jaminan pelaksanaan, jaminan uang muka dan jaminan pemeliharaan. Jaminan ini sangat berkaitan dengan proses pengadaan, bukan pada upaya hukum administrasinya. Penempatan jaminan sanggah banding seharusnya ditempatkan terpisah dari proses pengadaan, yakni pada upaya hukum terhadap proses pengadaan.
Pada bagian penjelasan, jaminan sanggah banding disebut sebagai jaminan yang harus diserahkan oleh Penyedia Jasa yang akan melakukan sanggah banding. Namun, ada beberapa hal yang tidak muncul dalam UU No. 2/2007, yakni: a) jaminan sanggah banding disamakan dengan bentuk jaminan lainnya, padahal jaminan sanggah banding sifatnya adalah “hak” Penyedia Jasa saat mengkuti lelang, bukan proses administratif sebagaimana bentuk jaminan lainnya; b) tidak ada standar terhadap besaran jaminan sanggah banding yang bisa dijadikan cantolan hukum bagi pengaturan di bawahnya; dan c) adanya biaya dalam proses upaya hukum administratif pada saat sanggah banding menjadikan ketidakharmonisan antarregulasi, terutama UU No. 30/2014 yang menyebutkan upaya administrasi seharusnya tidak dibebani biaya.
Perpres 13/2021 kemudian mengatur besaran jaminan sanggah banding sebesar 1% (satu) persen dari nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS) maupun dari nilai Pagu Anggaran. Penempatan adanya jaminan sanggah banding sebesar 1% (satu persen) ini tidak inheren dengan tujuan hukum, terutama dalam perspektif pemenuhan hak warga negara yang seharusnya diakomodir oleh negara.
Norma Tidak Inheren
Ada bentuk ketidakcermatan dalam ketentuan Pasal 57 ayat (2) huruf e UU No. 2/2007 dengan Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2007. Jika benar-benar dipahami ketentuan Pasal 57 ayat (3) menyebutkan pencarian jaminan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan adanya pernyataan Pengguna Jasa atas wanprestasi yang dilakukan Penyedia Jasa.
Di sinilah pokok pengaturannya, karena pada ketentuan Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2007 sebenarnya tidak mengakomodir bentuk jaminan sanggah banding, namun jaminan lainnya yang berkaitan dengan proses pengadaan. Pencampuran seperti ini jelas memunculkan ketidakpastian bahkan pertentangan di dalamnya.
Selanjutnya, di dalam regulasi baik UU No. 2/2007 maupun Perpres No.13/2021 tidak disebutkan berkaitan dengan status uang jaminan sanggah banding, apakah akan dikembalikan saat sanggah banding diterima ataupun tidak dikembalikan jika sanggah banding ditolak. Hal ini menjadi isu penting karena UU No. 2/2007 hanya mengatur berkaitan wansprestasi bukan upaya hukumnya.
Mungkin nanti perlu ada constitutional question berkaitan isu ini, namun seharusnya berkaitan terhadap sanggah banding tidak perlu secara spesifik diatur dalam peraturan perundang-undangan dikarenakan sudah diatur dalam UU No. 30/2014 terkait upaya hukum administratif yakni keberatan dan banding.
Penempatan upaya administratif melalui UU No. 30/2014 juga lebih mengakomodir hak warga negara atau Penyedia Jasa karena tidak dibebankan biaya, sehingga hak ini benar-benar teraktualisasi. Berbeda dengan penggunaan ketentuan UU No. 2/2007 dan Perpres No. 13/2021 yang menyaratkan adanya jaminan sanggah banding, sehingga akan menjadi pertanyaan besar, apakah negara segitunya setengah hati untuk mengakomodir hak warga negaranya dalam memperjuangkan haknya? Salam.