• TERKINI
  • UAD BERDAMPAK
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Pendidikan Sepanjang Hayat dan Plastisitas Otak

17/09/2012/0 Comments/in Terkini /by Super News

dipo

DR. AHMAD Muhammad Diponegoro

Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Berat otak manusia sekitar 1,3 kilogram. Otak manusia adalah sebuah jaringan neuron (sel-sel yang menerima dan meneruskan sinyal – sinyal elektrokimiawi) yang luar biasa rumit. Terdapat 100 miliar neuron yang tersusun secara kompleks, dengan 100 triliun hubungan yang di duga terlibat di dalamnya, dan dengan alur – jalur sinyal neural yang jumlahnya hampir tak terhingga, yang membuatnya luar biasa sulit dipahami secara komprehensif (Pinel, 2009).

Kompleksitas otak manusia ini dapat diketahui dari kemampuannya. Sebuah organ yang dikarunia Tuhan sanggup menciptakan robot yang semakin hari semakin sempurna, membuat lengan buatan, menempuh perjalanan yang begitu jauh ke planet-planet , melakukan berbagai transplantasi organ dan yang sanggup menikmati dan mengelola pesona alam semesta, bahkan mengenal penciptanya.

Plastisitas otak.

Neuroplasitas Sampai awal 1990-an, kebanyakan pakar neurosains memikirkan otak sebagai sebuah susunan tiga dimensi dari elemen-elemen neural yang (terikat) dalam sebuah jaringan sirkuit yang massif.(“wired”) Kompleksitas pandangan wiring-diagram otak ini pernah menggemparkan, tetapi gagal menangkap salah satu fitur terpenting otak. Selama dua decade terakhir ini penelitian dengan jelas menunjukkan bahwa otak manusia bukanlah sebuah jaringan neuron yang statis – tidak dapat berubah, mandeg, tetapi sebuah organ yang plastis (dapat berubah) yang terus tumbuh dan berubah selama merespons berbagai program genetic dan pengalaman. Penemuan neuroplastisitas ini, disebut-sebut sebagai salah satu penemuan paling berpengaruh di bidang neurosains modern, dan saat ini mempengaruhi banyak bidang penelitian biopsikologis.

Secara fisiologis plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak melakukan reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas merupakan sifat yang menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi terhadap kebutuhan fungsional. Mekanisme ini termasuk perubahan kimia saraf (neurochemical), penerimaan saraf (neuroreceptive) , perubahan struktur neuron saraf dan organisasi otak. Plastisitas juga terjadi pada proses perkembangan dan kematangan sistem saraf.

Beda elastis dan plastis.

Suatu benda yang tadinya berbentuk bulat seperti bola bila mendapat tekanan atau manipulasi dan bentuknya berubah menjadi bulat lonjong. Tetapi tatkala tekanan dihilangkan maka akan kembali menjadi bulat. Sifat benda ini disebut elastis. Tetapi bila perubahan bersifat permanen maka keadaan benda ini disebut plastis. Otak saat ini disebut plastis. Istilah ini erat hubungannya dengan neuroplastisitas atau plastisitas sinaps.

Dengan demikian jelas bahwa sifat elastisitas berbeda dengan sifat plastisitas. Sifat elastik artinya kemampuan suatu benda untuk dapat kembali pada bentuk asalnya, sedangkan sifat plastisitas menunjukkan kemampuan benda untuk berubah kedalam bentuk lain.

Pendidikan sepanjang hayat

Nilai positif dari adanya sifat plastisitas adalah semakin berkembangnya optimism dalam cita-cita pendidikan, terutama pendidikan sepanjang hayat. Mereka yang tua tidak perlu berkecil hati untuk terus belajar dan mengembangkan pengalaman baru yang positif. Pasien stroke memiliki potensi untuk belajar dan berlatih sehingga sembuh. Sel saraf dapat dikembangkan dan dibentuk sehingga dapat menghasilkan gerak yang fungsional dan normal. Demikian pula di usia tua, manusia masih mampu untuk belajar, sehingga terjadi perubahan yang positif yang relatif bersifat permanen.

Nilai negatif dari adanya sufat plastisitas adalah jika metode yang diberikan tidak tepat, maka akan terbentuk pola yang tidak tepat pula.

Temuan tentang plastisitas otak ini sangatlah mendukung ungkapan bijak : tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang kubur. Banyak berita yang membuktikan ungkapan itu. Orang-orang yang sudah lanjut usia menjadi sarjana, baik di negara maju maupun berkembang karena belajar. Atau mensyukuri karunia tuhan yang berupa kemampuan otak yang bersifat plastis.

(Catatan: Artikel ini pernah dimuat di Republika; Selasa, 18 September 2012)

dipo

DR. AHMAD Muhammad Diponegoro

Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Berat otak manusia sekitar 1,3 kilogram. Otak manusia adalah sebuah jaringan neuron (sel-sel yang menerima dan meneruskan sinyal – sinyal elektrokimiawi) yang luar biasa rumit. Terdapat 100 miliar neuron yang tersusun secara kompleks, dengan 100 triliun hubungan yang di duga terlibat di dalamnya, dan dengan alur – jalur sinyal neural yang jumlahnya hampir tak terhingga, yang membuatnya luar biasa sulit dipahami secara komprehensif (Pinel, 2009).

Kompleksitas otak manusia ini dapat diketahui dari kemampuannya. Sebuah organ yang dikarunia Tuhan sanggup menciptakan robot yang semakin hari semakin sempurna, membuat lengan buatan, menempuh perjalanan yang begitu jauh ke planet-planet , melakukan berbagai transplantasi organ dan yang sanggup menikmati dan mengelola pesona alam semesta, bahkan mengenal penciptanya.

Plastisitas otak.

Neuroplasitas Sampai awal 1990-an, kebanyakan pakar neurosains memikirkan otak sebagai sebuah susunan tiga dimensi dari elemen-elemen neural yang (terikat) dalam sebuah jaringan sirkuit yang massif.(“wired”) Kompleksitas pandangan wiring-diagram otak ini pernah menggemparkan, tetapi gagal menangkap salah satu fitur terpenting otak. Selama dua decade terakhir ini penelitian dengan jelas menunjukkan bahwa otak manusia bukanlah sebuah jaringan neuron yang statis – tidak dapat berubah, mandeg, tetapi sebuah organ yang plastis (dapat berubah) yang terus tumbuh dan berubah selama merespons berbagai program genetic dan pengalaman. Penemuan neuroplastisitas ini, disebut-sebut sebagai salah satu penemuan paling berpengaruh di bidang neurosains modern, dan saat ini mempengaruhi banyak bidang penelitian biopsikologis.

Secara fisiologis plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak melakukan reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas merupakan sifat yang menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi terhadap kebutuhan fungsional. Mekanisme ini termasuk perubahan kimia saraf (neurochemical), penerimaan saraf (neuroreceptive) , perubahan struktur neuron saraf dan organisasi otak. Plastisitas juga terjadi pada proses perkembangan dan kematangan sistem saraf.

Beda elastis dan plastis.

Suatu benda yang tadinya berbentuk bulat seperti bola bila mendapat tekanan atau manipulasi dan bentuknya berubah menjadi bulat lonjong. Tetapi tatkala tekanan dihilangkan maka akan kembali menjadi bulat. Sifat benda ini disebut elastis. Tetapi bila perubahan bersifat permanen maka keadaan benda ini disebut plastis. Otak saat ini disebut plastis. Istilah ini erat hubungannya dengan neuroplastisitas atau plastisitas sinaps.

Dengan demikian jelas bahwa sifat elastisitas berbeda dengan sifat plastisitas. Sifat elastik artinya kemampuan suatu benda untuk dapat kembali pada bentuk asalnya, sedangkan sifat plastisitas menunjukkan kemampuan benda untuk berubah kedalam bentuk lain.

Pendidikan sepanjang hayat

Nilai positif dari adanya sifat plastisitas adalah semakin berkembangnya optimism dalam cita-cita pendidikan, terutama pendidikan sepanjang hayat. Mereka yang tua tidak perlu berkecil hati untuk terus belajar dan mengembangkan pengalaman baru yang positif. Pasien stroke memiliki potensi untuk belajar dan berlatih sehingga sembuh. Sel saraf dapat dikembangkan dan dibentuk sehingga dapat menghasilkan gerak yang fungsional dan normal. Demikian pula di usia tua, manusia masih mampu untuk belajar, sehingga terjadi perubahan yang positif yang relatif bersifat permanen.

Nilai negatif dari adanya sufat plastisitas adalah jika metode yang diberikan tidak tepat, maka akan terbentuk pola yang tidak tepat pula.

Temuan tentang plastisitas otak ini sangatlah mendukung ungkapan bijak : tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang kubur. Banyak berita yang membuktikan ungkapan itu. Orang-orang yang sudah lanjut usia menjadi sarjana, baik di negara maju maupun berkembang karena belajar. Atau mensyukuri karunia tuhan yang berupa kemampuan otak yang bersifat plastis.

(Catatan: Artikel ini pernah dimuat di Republika; Selasa, 18 September 2012)

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 Super News https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Super News2012-09-17 23:29:572012-09-17 23:29:57Pendidikan Sepanjang Hayat dan Plastisitas Otak
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply Cancel reply

You must be logged in to post a comment.

TERKINI

  • Biopori dan Manfaatnya untuk Limbah Rumah Tangga12/09/2025
  • KKN UAD Dusun Cokolan: Inovasi Tong Pembakaran Minim Asap Buktikan Dampak Nyata12/09/2025
  • KKN UAD 2025 Hadirkan Greenhouse Aktif, Bank Sampah, dan Lampu Energi Surya12/09/2025
  • Omah Maggot: Solusi Cerdas Kelola Sampah Organik Ramah Lingkungan11/09/2025
  • Memanfaatkan Potensi Lokal dengan Pengolahan Abon Ikan Lele dan Kelapa11/09/2025

PRESTASI

  • Mahasiswa UAD Raih Juara II Lomba Esai Nasional Gebyar Matematika 202510/09/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Juara III Taekwondo Wali Kota Cup XII 202510/09/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Juara Harapan III Kompetisi Artikel Ilmiah Tingkat Nasional 202528/08/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Juara Harapan I di National Economic Business Competition 202527/08/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Penghargaan Karya Jurnalistik Terbaik Pers Mahasiswa 2025 dari AJI Indonesia25/08/2025

FEATURE

  • Mahkamah Konstitusi sebagai Pelaku Kekuasaan Kehakiman dalam Melindungi Hak Asasi Manusia08/09/2025
  • Konseling Harapan bagi Keluarga dan Remaja05/09/2025
  • Potensi Minyak Atsiri Bunga Cengkeh untuk Obat Antiinflamasi04/09/2025
  • Psikologi Komunitas Kelompok Rentan03/09/2025
  • Konsep Strategi Ilmiah dalam Pengelolaan Sampah DIY03/09/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top