• TERKINI
  • UAD BERDAMPAK
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Bahasa Indonesia, Wow Begitu?!

28/11/2012/0 Comments/in Terkini /by Super News

Saya tiba-tiba teringat pada beberapa sosok Indonesianis, seperti A. Teeuw, Harry Aveling, Keith Foulcher, Greg Barton, hingga George M. Kahin. Meski mereka bukan warga pribumi (baca: WNI), namun mereka mencintai negara ini. Buktinya, mereka bisa berbahasa Indonesia dan menggunakannya secara baik. Dalam batas tertentu, mereka jauh lebih “meng-Indonesia” ketimbang diri kita. Mengapa demikian?

Menyebut nama A. Teeuw, Harry Aveling, dan Keith Foulcher dalam satu tarikan napas, berarti pula menyebut jasa-jasanya terhadap sastra Indonesia. Mendiang A. Teeuw ialah guru besar bidang kesusasteraan Indonesia modern pada Universitas Leiden, Belanda. Sementara itu, Harry Aveling merupakan pakar sastra Indonesia di La Trobe University, Australia, dan Keith Foulcher di bidang yang sama di Sydney University, Australia.

Kepakaran ketiganya di bidang sastra Indonesia sudah tak diragukan lagi. Berbagai karya bukunya dijadikan rujukan oleh para dosen, peneliti, dan mahasiswa sastra Indonesia. Saat menyusun disertasi doktoral (S-3), mereka pun sungguh-sungguh belajar bahasa Indonesia. Tak ayal jika mereka begitu mahir dalam menulis karya-karya tentang kesusasteraan Indonesia, termasuk pula membimbing penelitian para dosen kita.

Dua nama berikutnya, Greg Barton dan George M. Kahin, juga pakar di bidangnya masing-masing. Barton lebih dikenal sebagai pakar kajian Asia Tenggara di Monash University, Australia, sedangkan Kahin merupakan guru besar Cornell University, AS. Seperti ketiga nama di atas, baik Barton maupun Kahin juga menulis disertasi tentang Indonesia. Sebelum itu, mereka pun sungguh-sungguh belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa sumber penelitiannya.

Bahkan, dalam wawancaranya di sebuah harian nasional baru-baru ini, Greg Barton mengaku lebih senang berbahasa Indonesia dengan istri dan anaknya. Kata Barton, untuk menyampaikan hal yang sifatnya rahasia di tengah orang-orang Australia kami menggunakan bahasa Indonesia. Apa yang dilakukan oleh Greg Barton, juga keempat Indonesianis di atas, menjadi bukti yang tak terbantahkan tentang pesona bahasa (dan sastra) Indonesia yang luar biasa.

Alih-alih pesona bahasa Indonesia itu luar biasa, justru kita menganggapnya biasa-biasa saja. Seolah tak ada yang istimewa, bahkan kita pun cenderung tidak bangga berbahasa Indonesia. Ketidakbanggaan kita tecermin pada ucapan-ucapan sehari-hari yang cenderung mencampuradukkan bahasa asing dan bahasa Indonesia. Gejala ini saya sebut dengan istilah “Indoenglish”. Entah lazim atau tidak, fenomena “Indoenglish” kian kental di lidah kita sekarang.

Pada gilirannya, saya menduga akan terjadi ketidakbanggaan berbahasa Indonesia pada diri kita di masa-masa mendatang. Padahal, orang-orang asing, termasuk kelima Indonesianis di atas, sangat mencintai bahasa Indonesia. Untuk itu, marilah kita giatkan dan tumbuhkan perasaan cinta terhadap bahasa Indonesia. Dengan cara begitu, kita akan “meng-Indonesia” seperti halnya kelima Indonesianis tadi.

Akhirnya, semoga kita dapat menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, serta penuh kebanggaan. Tak ada artinya kebanggaan tanpa kepedulian; dan tak ada artinya kepedulian tanpa rasa cinta. Mencintai bahasa Indonesia itu berbanding lurus dengan mencintai tanah air, bangsa, dan negara ini. Jika tidak ada rasa cinta, lantas kita sendiri akan berujar dengan nada sarkastis, “Bahasa Indonesia wow begitu?!” Semoga tidak![]

Saya tiba-tiba teringat pada beberapa sosok Indonesianis, seperti A. Teeuw, Harry Aveling, Keith Foulcher, Greg Barton, hingga George M. Kahin. Meski mereka bukan warga pribumi (baca: WNI), namun mereka mencintai negara ini. Buktinya, mereka bisa berbahasa Indonesia dan menggunakannya secara baik. Dalam batas tertentu, mereka jauh lebih “meng-Indonesia” ketimbang diri kita. Mengapa demikian?

Menyebut nama A. Teeuw, Harry Aveling, dan Keith Foulcher dalam satu tarikan napas, berarti pula menyebut jasa-jasanya terhadap sastra Indonesia. Mendiang A. Teeuw ialah guru besar bidang kesusasteraan Indonesia modern pada Universitas Leiden, Belanda. Sementara itu, Harry Aveling merupakan pakar sastra Indonesia di La Trobe University, Australia, dan Keith Foulcher di bidang yang sama di Sydney University, Australia.

Kepakaran ketiganya di bidang sastra Indonesia sudah tak diragukan lagi. Berbagai karya bukunya dijadikan rujukan oleh para dosen, peneliti, dan mahasiswa sastra Indonesia. Saat menyusun disertasi doktoral (S-3), mereka pun sungguh-sungguh belajar bahasa Indonesia. Tak ayal jika mereka begitu mahir dalam menulis karya-karya tentang kesusasteraan Indonesia, termasuk pula membimbing penelitian para dosen kita.

Dua nama berikutnya, Greg Barton dan George M. Kahin, juga pakar di bidangnya masing-masing. Barton lebih dikenal sebagai pakar kajian Asia Tenggara di Monash University, Australia, sedangkan Kahin merupakan guru besar Cornell University, AS. Seperti ketiga nama di atas, baik Barton maupun Kahin juga menulis disertasi tentang Indonesia. Sebelum itu, mereka pun sungguh-sungguh belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa sumber penelitiannya.

Bahkan, dalam wawancaranya di sebuah harian nasional baru-baru ini, Greg Barton mengaku lebih senang berbahasa Indonesia dengan istri dan anaknya. Kata Barton, untuk menyampaikan hal yang sifatnya rahasia di tengah orang-orang Australia kami menggunakan bahasa Indonesia. Apa yang dilakukan oleh Greg Barton, juga keempat Indonesianis di atas, menjadi bukti yang tak terbantahkan tentang pesona bahasa (dan sastra) Indonesia yang luar biasa.

Alih-alih pesona bahasa Indonesia itu luar biasa, justru kita menganggapnya biasa-biasa saja. Seolah tak ada yang istimewa, bahkan kita pun cenderung tidak bangga berbahasa Indonesia. Ketidakbanggaan kita tecermin pada ucapan-ucapan sehari-hari yang cenderung mencampuradukkan bahasa asing dan bahasa Indonesia. Gejala ini saya sebut dengan istilah “Indoenglish”. Entah lazim atau tidak, fenomena “Indoenglish” kian kental di lidah kita sekarang.

Pada gilirannya, saya menduga akan terjadi ketidakbanggaan berbahasa Indonesia pada diri kita di masa-masa mendatang. Padahal, orang-orang asing, termasuk kelima Indonesianis di atas, sangat mencintai bahasa Indonesia. Untuk itu, marilah kita giatkan dan tumbuhkan perasaan cinta terhadap bahasa Indonesia. Dengan cara begitu, kita akan “meng-Indonesia” seperti halnya kelima Indonesianis tadi.

Akhirnya, semoga kita dapat menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, serta penuh kebanggaan. Tak ada artinya kebanggaan tanpa kepedulian; dan tak ada artinya kepedulian tanpa rasa cinta. Mencintai bahasa Indonesia itu berbanding lurus dengan mencintai tanah air, bangsa, dan negara ini. Jika tidak ada rasa cinta, lantas kita sendiri akan berujar dengan nada sarkastis, “Bahasa Indonesia wow begitu?!” Semoga tidak![]

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 Super News https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Super News2012-11-28 19:12:002012-11-28 19:12:00Bahasa Indonesia, Wow Begitu?!
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply Cancel reply

You must be logged in to post a comment.

TERKINI

  • Omah Maggot: Solusi Cerdas Kelola Sampah Organik Ramah Lingkungan11/09/2025
  • Memanfaatkan Potensi Lokal dengan Pengolahan Abon Ikan Lele dan Kelapa11/09/2025
  • Mahasiswa KKN UAD Ajak Warga Kalijeruk Buat Spray Antinyamuk Berbahan Sereh11/09/2025
  • Mahasiswa Teknik Industri UAD Magang di PT Tokai Toyota Auto Body Extrusion11/09/2025
  • Mahasiswa UAD Meriahkan Milad ke-2 Kubro Siswo di Kliwonan10/09/2025

PRESTASI

  • Mahasiswa UAD Raih Juara II Lomba Esai Nasional Gebyar Matematika 202510/09/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Juara III Taekwondo Wali Kota Cup XII 202510/09/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Juara Harapan III Kompetisi Artikel Ilmiah Tingkat Nasional 202528/08/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Juara Harapan I di National Economic Business Competition 202527/08/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Penghargaan Karya Jurnalistik Terbaik Pers Mahasiswa 2025 dari AJI Indonesia25/08/2025

FEATURE

  • Mahkamah Konstitusi sebagai Pelaku Kekuasaan Kehakiman dalam Melindungi Hak Asasi Manusia08/09/2025
  • Konseling Harapan bagi Keluarga dan Remaja05/09/2025
  • Potensi Minyak Atsiri Bunga Cengkeh untuk Obat Antiinflamasi04/09/2025
  • Psikologi Komunitas Kelompok Rentan03/09/2025
  • Konsep Strategi Ilmiah dalam Pengelolaan Sampah DIY03/09/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top