• TERKINI
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Catatan Hukum: Hukum dan Cawe-Cawe

28/11/2024/in Bernas, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

Koran Bernas (2 Januari 2024)
Ilham Yuli Isdiyanto

Hukum dalam bentuknya yang tertulis tidak pernah menjamin akan dilaksanakan sebagaimana disebutkan dalam normanya, sehingga kepastian hukum bukan dilihat sebagai realitas hukum melainkan cita-cita hukum untuk mewujudkannya. Selama teks hukum masih terbuka pada ruang interprestasi maka hukum tidak akan pernah mampu mewujudkan kepastian teksnya. Hukum yang sudah terintervensi bukan lagi bisa disebut sebagai hukum, ia kemudian berubah menjadi “alat” untuk melegitimasi kepentingan, bukan mewujudkan ketertiban sesuai tujuan hukum itu sendiri. Artinya, saat hukum sudah keluar dari koridor tujuannya berubah haluan menjadi gerbong kepentingan, maka akan muncul ketidakpercayaan terhadap hukum oleh masyarakat. Hal ini tentu berbahaya, bagaimana mungkin bisa hukum yang tidak dipercayai dapat dipertahankan, apalagi lembaga penegak hukum yang seharusnya menjaga marwah kemudian tidak lagi mampu memertahankan kehormatan dan kewibawaannya.

Kado akhir terhadap dinamika hukum nasional ditutup dengan prestasi Mahkamah Konstitusi yang tidak konsisten membangun logika hukumnya sehingga terplesetkan menjadi “Mahkamah Keluarga” karena peran “Sang Paman”.

Seharusnya hal ini tidak mengagetkan, karena pada awal tahun 2023 arogansi sudah muncul kala drama Undang Undang Cipta Kerja diputuskan inkonstitusional bersyarat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVII/2020 namun secara arogansi pemerintah bukannya memperbaiki proses meaningfull participation tetapi malah menerbitkan Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja dan ditetapkan melalui UU No. 6/2023 pada awal tahun 2023.

Hal ini memperlihatkan, jangankan berharap pada penegakan hukum (legal enforcement) yang baik, bahkan berharap pada pembentukan hukum yang baik pun kita pesimis karena tidak menunjukkan sisi demokratisasi. Belajar dari Prof. Mahfud, MD yang memberikan barometer karakter produk hukum sangat dipengaruhi konfigurasi politiknya, maka konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang represif/konservatif ortodoks. Menariknya, saat UU Cipta Kerja dianggap nir-partisipasi, beliau menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).

Hukum dan Pikiran Tentangnya

Satjipto Rahardjo sudah sejak lama menaruh kecurigaan pada hukum nasional, ia melihat peraturan perundang-undangan kadang memiliki sifat kriminogen, yakni membuka peluang untuk melegitimasi perbuatan yang seharusnya adalah kejahatan. Dalam konteks ini, problem hukum bukan hanya pada produk perundang-undangannya, melainkan dengan cara berfikir hukumnya (legal culture).

Problem hukum yang pertama adalah problem teoritik, di mana tidak ada satu pun metode berhukum yang disepakati di Indonesia. Artinya, setiap penegakan hukum memiliki cara sendiri untuk menginterprestasikan hukum sesuai dengan kapasitasnya bahkan “kepentingannnya”.

Kasus korupsi mungkin menjadi salah satu hal yang paling banyak menjadi sorotan, yang kini masih menyisakan “pekerjaan rumah” adalah belum selesainya kasus Johnny G Plate terkait pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika karena disinyalir kerugian negara mencapai Rp. 8 triliun.

Selain itu, masyarakat dikagetkan saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Pertanian Syahrul Yasinn Limpo sebagai tersangka pemerasan dan tindak pidana pencucian uang. Kelakuan para birokrat semakin membuat masyarakat geram, apalagi skandal Syahrul Yasin Limpo dengan Firli Bahuri yang notabene Ketua KPK diendus oleh publik.

Kekecewaan dan “surprise” terhadap kasus hukum pun ternyata masih berlanjut, di mana Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eddy Hiariej menjadi tersangka gratifikasi senilai Rp. 8 miliar. Masyarakat menjadi geram karena Eddy Hiariej yang notabene adalah ahli hukum pidana termasuk akademisi seharusnya menjaga marwah kepercayaan publik, namun yang terjadi adalah diduga sebaliknya.

Maraknya kasus korupsi seakan mengarahkan bahwa penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi tidak efektif karena tidak menimbulkan efek jera. Masyarakat merindukan sosok seperti almarhum Artidjo Alkostar saat menjadi Hakim Agung selalu menjadi sosok menakutkan bagi koruptor karena menghukum lebih berat.

“Cawe-Cawe” Penegakan Hukum

Fenomena “Mahkamah Keluarga”, kasus Firli Bahuri hingga Eddy Hiariej adalah bagaimana proses penegakan hukum masih tidak “steril” dari cawe-cawe. Intervensi terhadap proses penegakan hukum mengindikasikan bahwa hukum tidak pernah berada pada ruang yang netral, secara teks hukum akan imparsial namun secara prosesnya ia penuh dengan berbagai kepentingan.

Hukum dalam bentuknya yang tertulis tidak pernah menjamin akan dilaksanakan sebagaimana disebutkan dalam normanya, sehingga kepastian hukum bukan dilihat sebagai realitas hukum melainkan cita-cita hukum untuk mewujudkannya. Selama teks hukum masih terbuka pada ruang interprestasi maka hukum tidak akan pernah mampu mewujudkan kepastian teksnya.

Hukum yang sudah terintervensi bukan lagi bisa disebut sebagai hukum, ia kemudian berubah menjadi “alat” untuk melegitimasi kepentingan, bukan mewujudkan ketertiban sesuai tujuan hukum itu sendiri. Artinya, saat hukum sudah keluar dari koridor tujuannya berubah haluan menjadi gerbong kepentingan, maka akan muncul ketidakpercayaan terhadap hukum oleh masyarakat. Hal ini tentu berbahaya, bagaimana mungkin bisa hukum yang tidak dipercayai dapat dipertahankan, apalagi lembaga penegak hukum yang seharusnya menjaga marwah kemudian tidak lagi mampu memertahankan kehormatan dan kewibawaannya.

Setelah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi dan KPK, institusi penegak hukum mana lagi yang kemudian masih tersisa untuk menjadi tumpuan pengharapan. Kebutuhan masyarakat adalah hukum benar-benar menunjukkan kewibawaannya, menjadi pelindung. Sanksi yang tegas dan benar-benar mampu membuat setiap orang berfikir untuk melanggarnya.

Resolusi Tahun Baru 2024

Persoalan hukum adalah hal mendasar, karena dia menempatkan standar dan arah tingkah laku ke depannya. Masyarakat menginginkan kepastian, yakni hukum mampu diprediksi secara nalar, bukan “dicawe-cawe” yang menjadikannya mengingkari rasa keadilan yang ada pada masyarakat.

Resolusi hukum tahun 2024 harus dimulai dengan strategi transparasi kelembagaan dan evaluasi kapasitas. Melalui transparasi kelembagaan maka akan diketahui pola penegakan hukum selama ini seperti apa, termasuk orientasi dan metode kriminalisasi yang dilakukan.

Selanjutnya adalah evaluasi kapasitas baik kapasitas kelembagaan maupun kapasitas personal. Kapasitas kelembagaan penting untuk melihat jangkauan dan upaya efektifitasnya, sedangkan kapasitas personal adalah untuk melihat kualitas dan kemampuan dari penegak hukum yang sudah berorientasi pada keadilan bukan pada pragmatisme. Terutama Hakim memiliki peran penting, karena kapasitas personalnya juga didasarkan pada sisi spiritual-religius yang tertuang pada setiap irah-irah putusannya. Salam.

 

sumber : https://koranbernas.id/catatan-hukum-hukum-dan-cawe-cawe

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-28 08:53:332024-11-28 08:54:25Catatan Hukum: Hukum dan Cawe-Cawe

Mengukur Kewenangan PTUN dalam Memeriksa Perkara Administrasi Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah

30/10/2024/in Bernas, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Koran Bernas (17 Desember 2023)
Ilham Yuli Isdiyanto

Di sisi lain, yang paling mencurigakan adalah bagaimana status dari biaya jaminan ini. Pembebanan terhadap jaminan yang tidak memiliki dasar hukum akan mendorong pada bentuk ketidakpastian hukum. Nilai 1% (satu) persen dari HPS atau Pagu Anggaran akan semakin membesar mengikuti nilai pengadaan konstruksinya, sehingga nilai ini tidak bisa dikatakan “sedikit”. Jika proses sanggah banding ditolak, maka biaya yang telah diberikan sebagai jaminan apakah dikembalikan? Padahal mengacu pada Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2017 pemberian jaminan yang dimaksud berada pada konteks mitigasi wanprestasi, bukan menekan upaya administratif.

Objek kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah keputusan dan atau tindakan pemerintah. Namun, menjadi pertanyaan bagaimana dengan upaya administratif pada pengadaan barang dan atau jasa pemerintah? Di sisi lain, upaya administratif yang diatur secara khusus (vide UU No. 2/2007 serta perubahan dan Perpres No. 16/2018 serta perubahan) ternyata menyisakan pertanyaan berkaitan dengan kewenangan PTUN.

Problem kewenangan adalah bagaimana jika penyedia jasa yang kalah dalam proses tender konstruksi namun mengajukan proses “banding” sebagaimana diatur dalam Pasal 78 UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintah bukan “sanggah banding” sebagaimana diatur dalam Perpres No. 12/2021? (Perubahan Perpres No. 16/2018).

Disparitas Regulasi

Upaya administrasi dalam jasa konstruksi memang berbeda dengan sistem administrasi umum lainnya. Perbedaan ini kemudian berimplikasi pada pemenuhan hak warga negara terkait, yakni hak dalam memperjuangkan hak hukumnya sebagaimana dijamin oleh konstitusi.

Muncul disparitas dalam regulasi ini berkaitan dalam hal bentuk upaya administrasi, pada administrasi umum dikenal upaya administrasi yakni “keberatan” dan “banding” (vide Pasal 75 ayat (2) UU No. 30/2014) namun pada pengadaan barang dan atau jasa di bidang konstruksi dikenal upaya administrasi berupa “sanggah” dan “sanggah banding” (vide Pasal 10 ayat (2) Perpres No. 12/2021).

Secara sederhana, nomenklatur “sanggah” dapat dipersamakan dengan “keberatan” dan “sanggah banding” dapat dipersamakan dengan “banding” berdasarkan UU No. 30/2014. Namun, ada disparitas regulasi dalam konteks ini, di mana menurut ketentuan Pasal 32 Perpres No. 12/2021 ditetapkan nilai jaminan 1% (satu persen) dari nilai Hasil Perkiraan Sendiri (HPS) atau nilai Pagu Anggaran yang dilelangkan sebagai jaminan yang harus disetor saat melakukan sanggah banding, padahal jika mengacu pada Pasal 75 ayat (5) UU No. 30/2014 seharusnya tidak ada bentuk jaminan atau biaya yang dibebankan dalam proses upaya administratif.

Pembebanan melalui biaya administratif jelas bertentangan dengan Pasal 75 ayat (5) UU No. 30/2014, namun ketentuan Pasal 32 Perpres No. 12/2021 mengacu pada Pasal 57 ayat (2) UU No. 2/2017 tentang Konstruksi yang mengatur adanya jaminan sanggah banding. Tetapi, jika diamati secara lebih teliti norma yang ada pada UU No. 2/2017 tidak mengatur nilai jaminan yang harus dibayarkan dan juga jaminan ini pada dasarnya berkaitan dengan pelaksanaan pengadaan jasa konstruksi (mitigasi wanprestasi), bukan upaya administratif (vide Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2017).

Di sisi lain, yang paling mencurigakan adalah bagaimana status dari biaya jaminan ini. Pembebanan terhadap jaminan yang tidak memiliki dasar hukum akan mendorong pada bentuk ketidakpastian hukum. Nilai 1% (satu) persen dari HPS atau Pagu Anggaran akan semakin membesar mengikuti nilai pengadaan konstruksinya, sehingga nilai ini tidak bisa dikatakan “sedikit”. Jika proses sanggah banding ditolak, maka biaya yang telah diberikan sebagai jaminan apakah dikembalikan? Padahal mengacu pada Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2017 pemberian jaminan yang dimaksud berada pada konteks mitigasi wanprestasi, bukan menekan upaya administratif.

Upaya Hukum PTUN

Pasca muncul UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintah, terjadi perluasan makna terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang tidak hanya sebatas pada keputusan yang konkrit, individual, dan final (vide Pasal 1 angka 9 UU No. 51/2009) namun juga termasuk tindakan faktual, keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat (vide Pasal 87 UU No. 30/2014).

Mengacu pada ketentuan ini, maka keputusan hasil lelang (tender) termasuk sebagai KTUN dan menjadi objek PTUN. Sehingga, jika dalam proses sanggah banding ditolak, maka penyedia jasa sebagai peserta tender berdasarkan asas keadilan dan asas kepastian hukum berhak mengajukan upaya hukum melalui PTUN.

Namun, bagaimana dengan peserta lelang yang mengajukan skema upaya administrasi banding bukan berdasarkan Perpres No. 12/2021 namun berdasarkan UU No. 30/2014? Maka menjawab hal ini ada beberapa hal yang perlu untuk dijadikan sebagai dasar.

Kesatu, walaupun banding berdasarkan UU No. 30/2014 tidak dikenal dalam sistem pengadaan barang dan atau jasa terutama jasa konstruksi, namun di sisi lain hakim tidak boleh menolak perkara. Hal ini sesuai dengan asas ius curia novit di mana hakim dianggap mengetahui semua hukumnya (vide Pasal 10 UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Kedua, tidak ada bentuk larangan terhadap upaya administrasi berdasarkan UU No. 30/2014 terkait pengadaan barang dan atau jasa, sehingga tidak ada konsekuensi logis jika mengajukan banding di luar Perpres No. 12/2021 maka akan gugur.

Ketiga, berdasarkan asas lex superior derogate legi inferior maka kedudukan Perpres No. 12/2021 berada di bawah UU No. 30/2014, sehingga penggunaan dasar UU No. 30/2014 sebagai dasar upaya administratif sudah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.

Melihat pada dalil-dalil ini, tidak ada masalah jika menggunakan dasar UU No. 30/2014, yakni upaya banding administrasi, pembeda utamanya dengan Perpres No. 12/2021 berkaitan jaminan sanggah banding yang wajib disetor oleh peserta lelang saat memperjuangkan haknya.

Arah Kebijakan Administrasi

Perlu digaris-bawahi, hukum administrasi lebih pada arah “kebijakan” sehingga dasarnya bukan terletak pada rechmatigheid (berdasarkan perundang-undangan) melainkan berdasarkan doelmategheid (dasar kemanfaatan).

Karena arah kebijakan administrasi yang lebih pada doelmategheid sebagai konsekuensi dari freiss emerson (kehendak bebas/diskresi), maka dasar yang digunakan bukanlah norma peraturan perundang-undangan melainkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Kontekstualisasi “banding” atau “sanggah banding” adalah upaya untuk mengakomodir hak warga negara (peserta lelang) dalam mendapatkan keadilan, oleh karenanya tidak bisa jika keadilan dikalahkan karena arah kebijakan yang lebih didasarkan pada Perpres No. 12/2021 ketimbang UU No. 30/2014. Salam.

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-30 10:34:412024-10-30 10:34:41Mengukur Kewenangan PTUN dalam Memeriksa Perkara Administrasi Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah

Disparitas Upaya Banding Administrasi Umum vis a vis Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

26/10/2024/in Bernas, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Koran Bernas (9 Desember 2023)
Ilham yuli Isdiyanto

Proses upaya administrasi berbeda pada upaya administrasi pengadaan barang/jasa pemerintah. Mengacu pada ketentuan Pasal 30 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 12/2021) menyebutkan nilai jaminan sanggah banding adalah 1% (satu persen) dari nilai pengadaan yang telah ditetapkan. Dasar pengenaan jaminan ini bisa diturut melalui ketentuan Pasal 57 ayat (2) huruf e Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU No. 2/2017) yang mengatur tentang adanya jaminan sanggah banding. Namun, penempatan jaminan sanggah banding ini memiliki konsekuensi logis, bahwa bentuk upaya administrasi ini bukan lagi sebagai hak warga negara karena mensyaratkan pembebanan biaya tertentu.

BERDASARKAN ketentuan Pasal 75 ayat (5) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU No. 30/2014), seharusnya setiap upaya administrasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap keputusan dan atau tindakan pemerintah berupa keberatan dan banding tidak dibebani biaya. Namun, upaya banding terhadap hasil pengadaan jasa konstruksi ternyata dikenai “biaya” dalam bentuk “jaminan sanggah banding”. Lantas, apakah ini berkeadilan terhadap hak warga?

Menganulir Hak Warga Negara

Tujuan hukum Indonesia bukanlah untuk menegakkan hukum an sich, melainkan menegakkan “keadilan” yang notabene penuh nuansa filosofis dan konstruksi etis terhadap nilai-nilai yang ada pada masyarakat, ketimbang hanya bunyi pasal. Jaminan ini juga muncul pada konstitusi yakni Pasal 24 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yang secara tegas menempatkan “hukum dan keadilan” secara kumulatif, bukan fakultatif. Konstruksi keadilan ini sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak lain adalah “hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Dalam hal mendeliberasi keadilan, muncul UU No. 30/2014 yang sifatnya mengatur upaya administrasi untuk mengakomodir hak warga masyarakat terhadap keputusan dan/atau tindakan pemerintah yang dianggap merugikan. Hal ini kemudian diatur dalam ketentuan Pasal 75 UU No. 30/2014, di mana pada ketentuan ayat (2) disebutkan bentuk upaya administratif adalah : a) keberatan; dan b) banding. Karena sifatnya adalah hak, maka upaya administrasi ini kemudian diakomodir bebas beban biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (5) UU No. 30/2014.

Namun, proses upaya administrasi berbeda pada upaya administrasi pengadaan barang/jasa pemerintah. Mengacu pada ketentuan Pasal 30 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 12/2021) menyebutkan nilai jaminan sanggah banding adalah 1% (satu persen) dari nilai pengadaan yang telah ditetapkan. Dasar pengenaan jaminan ini bisa diturut melalui ketentuan Pasal 57 ayat (2) huruf e Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU No. 2/2017) yang mengatur tentang adanya jaminan sanggah banding. Namun, penempatan jaminan sanggah banding ini memiliki konsekuensi logis, bahwa bentuk upaya administrasi ini bukan lagi sebagai hak warga negara karena mensyaratkan pembebanan biaya tertentu.

Pensyaratan pada jaminan sanggah banding ini dicurigai melanggar asas keadilan yang berpotensi menghilangkan hak dari warga negara, jika melakukan upaya banding administrasi karena diperlukan adanya jaminan sebesar 1% (satu persen).

Problem Regulasi

Cantolan pada Pasal 32 Perpres 12/2021 tak lain adalah Pasal 57 ayat (2) UU No. 2/2017, namun ternyata ketentuan ini mengandung problem penormaan. Frasa pengaturan jaminan sanggah banding adalah bagian dari jaminan penawaran, jaminan pelaksanaan, jaminan uang muka dan jaminan pemeliharaan. Jaminan ini sangat berkaitan dengan proses pengadaan, bukan pada upaya hukum administrasinya. Penempatan jaminan sanggah banding seharusnya ditempatkan terpisah dari proses pengadaan, yakni pada upaya hukum terhadap proses pengadaan.

Pada bagian penjelasan, jaminan sanggah banding disebut sebagai jaminan yang harus diserahkan oleh Penyedia Jasa yang akan melakukan sanggah banding. Namun, ada beberapa hal yang tidak muncul dalam UU No. 2/2007, yakni: a) jaminan sanggah banding disamakan dengan bentuk jaminan lainnya, padahal jaminan sanggah banding sifatnya adalah “hak” Penyedia Jasa saat mengkuti lelang, bukan proses administratif sebagaimana bentuk jaminan lainnya; b) tidak ada standar terhadap besaran jaminan sanggah banding yang bisa dijadikan cantolan hukum bagi pengaturan di bawahnya; dan c) adanya biaya dalam proses upaya hukum administratif pada saat sanggah banding menjadikan ketidakharmonisan antarregulasi, terutama UU No. 30/2014 yang menyebutkan upaya administrasi seharusnya tidak dibebani biaya.

Perpres 13/2021 kemudian mengatur besaran jaminan sanggah banding sebesar 1% (satu) persen dari nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS) maupun dari nilai Pagu Anggaran. Penempatan adanya jaminan sanggah banding sebesar 1% (satu persen) ini tidak inheren dengan tujuan hukum, terutama dalam perspektif pemenuhan hak warga negara yang seharusnya diakomodir oleh negara.

Norma Tidak Inheren

Ada bentuk ketidakcermatan dalam ketentuan Pasal 57 ayat (2) huruf e UU No. 2/2007 dengan Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2007. Jika benar-benar dipahami ketentuan Pasal 57 ayat (3) menyebutkan pencarian jaminan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan adanya pernyataan Pengguna Jasa atas wanprestasi yang dilakukan Penyedia Jasa.

Di sinilah pokok pengaturannya, karena pada ketentuan Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2007 sebenarnya tidak mengakomodir bentuk jaminan sanggah banding, namun jaminan lainnya yang berkaitan dengan proses pengadaan. Pencampuran seperti ini jelas memunculkan ketidakpastian bahkan pertentangan di dalamnya.

Selanjutnya, di dalam regulasi baik UU No. 2/2007 maupun Perpres No.13/2021 tidak disebutkan berkaitan dengan status uang jaminan sanggah banding, apakah akan dikembalikan saat sanggah banding diterima ataupun tidak dikembalikan jika sanggah banding ditolak. Hal ini menjadi isu penting karena UU No. 2/2007 hanya mengatur berkaitan wansprestasi bukan upaya hukumnya.

Mungkin nanti perlu ada constitutional question berkaitan isu ini, namun seharusnya berkaitan terhadap sanggah banding tidak perlu secara spesifik diatur dalam peraturan perundang-undangan dikarenakan sudah diatur dalam UU No. 30/2014 terkait upaya hukum administratif yakni keberatan dan banding.

Penempatan upaya administratif melalui UU No. 30/2014 juga lebih mengakomodir hak warga negara atau Penyedia Jasa karena tidak dibebankan biaya, sehingga hak ini benar-benar teraktualisasi. Berbeda dengan penggunaan ketentuan UU No. 2/2007 dan Perpres No. 13/2021 yang menyaratkan adanya jaminan sanggah banding, sehingga akan menjadi pertanyaan besar, apakah negara segitunya setengah hati untuk mengakomodir hak warga negaranya dalam memperjuangkan haknya? Salam.

Sumber : https://koranbernas.id/disparitas-upaya-banding-administrasi-umum-vis-a-vis-pengadaan-barang-dan-jasa-pemerintah

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-26 09:42:392024-10-26 09:42:39Disparitas Upaya Banding Administrasi Umum vis a vis Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Sulitnya Regenerasi Batik Tulis Yogyakarta

17/06/2021/in Bernas /by NewsUAD
Dianugerahi predikat Kota Batik Dunia oleh Dewan Kerajinan Dunia (World Craft Council/WCC) sejak 2014 merupakan tanggung jawab besar bagi Yogyakarta. Batik tulis yang membawa kota ini memenangkan predikat tersebut semakin tidak populer di kalangan anak muda.
Sumber https://koranbernas.id/sulitnya-regenerasi-batik-tulis-yogyakarta

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Sulitnya-Regenerasi-Batik-Tulis-Yogyakarta.png 559 607 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2021-06-17 12:23:282021-06-17 12:23:28Sulitnya Regenerasi Batik Tulis Yogyakarta

Kapasitas Rumah Sakit Tak Memadai, UAD Bangun Shelter Covid-19

22/04/2021/in Bernas /by NewsUAD
Banyak rumah sakit yang saat ini kekurangan bed untuk menampung pasien Covid-19 di DIY. Tingginya angka penambahan kasus baru setiap hari menjadi salah satu penyebabnya.

Bahkan saat ini kasus positif Covid-19 di DIY sudah mencapai lebih dari 22 ribu. Setiap hari lebih dari 200 kasus baru, muncul.

Sumber https://news.koranbernas.id/kapasitas-rumah-sakit-tak-memadai-uad-bangun-shelter-covid19

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Kapasitas-Rumah-Sakit-Tak-Memadai-UAD-Bangun-Shelter-Covid-19.png 625 611 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2021-04-22 12:27:072021-04-22 12:27:07Kapasitas Rumah Sakit Tak Memadai, UAD Bangun Shelter Covid-19

UAD Serius Berkiprah Menangani Covid-19

22/12/2020/in Bernas /by NewsUAD

Pandemi Covid-19 membuat kampus terus berinovasi dan berperan dalam penanganan berbagai masalah yang muncul. Hal ini pula yang dilakukan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta yang mengembangkan tujuh inovasi dalam penanganan Covid-19.

Sumber https://www.youtube.com/watch?list=PLodnuGHF7LZcLnzcl1_8vwEr18sN2swi7&v=5MLF7hErez4&feature=youtu.be

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/UAD-Serius-Berkiprah-Menangani-Covid-19.png 605 863 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2020-12-22 09:40:362020-12-22 09:40:36UAD Serius Berkiprah Menangani Covid-19

Ikut Menangani Covid-19, Ini Tujuh Inovasi UAD

22/12/2020/in Bernas /by NewsUAD
Pandemi Covid-19 membuat kampus terus berinovasi dan berperan dalam penanganan berbagai masalah yang muncul. Hal ini pula yang dilakukan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta yang mengembangkan tujuh inovasi dalam penanganan Covid-19.

Peneliti kampus ini membuat Pistol Covid-19 yang mampu melemahkan virus. Kampus tersebut juga membuat laboratorium Jarak Jauh, Imunostimulan Berbasis Herbal, hand sanitizer, Buku Pembelajaran Masa Pandemi Covid-19, Pembelajaran Radio Komunitas hingga Portal Otomatis.

Sumber https://koranbernas.id/ikut-menangani-covid19-ini-tujuh-inovasi-uad-

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Ikut-Menangani-Covid-19-Ini-Tujuh-Inovasi-UAD.png 553 607 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2020-12-22 09:37:342020-12-22 09:37:34Ikut Menangani Covid-19, Ini Tujuh Inovasi UAD

Program Hibah BLSN : Dr Suparman Presentasikan Hasil Riset di London

18/02/2020/in Bernas /by NewsUAD
Dr Suparman, M.Si, DEA, Dosen Magister Pendidikan Matematika (MPMAT) Program Pascasarjana (PPs) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, mempresentasikan hasil penelitiannya di The 2nd International Conference on Science & Technology Research (ICSTR).

International conference yang diselenggarakan oleh Scientific & Technical Researh Association (STRA) ini, berlangsung di Canada Water Theatre and Library, 21 Surrey Quays Road, London, United Kingdom (UK), Kamis-Jumat (12-13/9/2019)

 

Sumber https://www.bernas.id/69258-program-hibah-blsn–dr-suparman-presentasikan-hasil-riset-di-london.html

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/program-hibah-blsn-dr-suparman-presentasikan-hasil-riset.jpg 669 749 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2020-02-18 11:07:112020-02-18 11:07:11Program Hibah BLSN : Dr Suparman Presentasikan Hasil Riset di London

Hadapi Perkembangan Teknologi, Mahasiswa Wajib Miliki Sertifikat Kompetensi

15/02/2020/in Bernas /by NewsUAD
Mahasiswa milenial era Industri 4.0 dan Global dihadapkan pada tantangan industri 4.0 dan society 5.0 Era Distrupsi. Hal ini disampaikan oleh Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) RI Paristiyanti Nurwardani. Hal ini disampaikan dalam kuliah umumnya di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta pada Senin (2/9).

Paristiyanti menyebutkan peran manusia akan diganti oleh mesin, robot, atau A1. Fakta tersebut ditunjukan oleh data yang dimiliki. Sebanyak 75-375 juta tenaga kerja global beralih profesi. Sementara itu 1,8 juta pekerjaan digantikan artificial intelligency. Perkembangan teknologi akan melahirkan berbagai profesi yang saat ini belum ada.

 

Sumber https://bernasnews.com/hadapi-perkembangan-teknologi-mahasiswa-wajib-miliki-sertifikat-kompetensi/

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/hadapi-perkembangan-teknologi.jpg 669 685 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2020-02-15 08:59:242020-02-15 08:59:24Hadapi Perkembangan Teknologi, Mahasiswa Wajib Miliki Sertifikat Kompetensi

Pesta Lokal UAD Yogyakarta Berikan Suguhan Seni Adiluhung

20/01/2020/in Bernas /by NewsUAD
Dalam rangka mensyukuri prestasi yang telah diraih dan menandai puncak milad ke-59, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta menggelar wayang kulit di Kampus Utama Jl Ahmad Yani Ringroad Selatan, Tamanan, Banguntapan, Bantul, Sabtu (18/1/2020).

UAD Yogyakarta merealisasikan tri dharma perguruan tinggi melalui penerapan budaya asli Indonesia dalam pembangunan yang berkelanjutan melalui literasi media.

Sumber https://www.bernas.id/71429-pesta-lokal-uad-yogyakarta-berikan-suguhan-seni-adiluhung.html

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Pesta-Lokal-UAD-Yogyakarta-Berikan-Suguhan-Seni-Adiluhung.png 667 751 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2020-01-20 11:34:382020-11-19 13:00:54Pesta Lokal UAD Yogyakarta Berikan Suguhan Seni Adiluhung
Page 1 of 212

TERKINI

  • UAD Selenggarakan Pengajian Songsong Iduladha02/06/2025
  • Peran Kader IMM dalam Menyikapi Isu Pelecehan Seksual02/06/2025
  • Sinergitas Mahasiswa Hadis Menuju Organisasi Progresif02/06/2025
  • Tips Menulis Artikel Ilmiah ala Santi Santika02/06/2025
  • Membekali Mahasiswa dengan Pelatihan Etika dan Kecerdasan Emosional Digital02/06/2025

PRESTASI

  • Mahasiswa FAI UAD Raih Juara 3 Lomba Qiroatul Akhbar02/06/2025
  • Mahasiswa FKM UAD Raih Juara I Lomba Futsal STPN 2025 Se-DIY31/05/2025
  • Inovasi Tim Jelantina Raih Juara 3 Lomba Poster26/05/2025
  • Mahasiswi UAD Raih Gold Medal dan Penghargaan Khusus di Ajang Internasional26/05/2025
  • Tim Bouqet Snack PBSI PPG UAD Juara 1 Lomba Video dalam Gelar Karya 202526/05/2025

FEATURE

  • Mahasiswa Harus Responsif dalam Era Digital02/06/2025
  • Ni’matus Syakirah: yang Penting Proses, Bukan Nilai02/06/2025
  • Indonesia Membutuhkan Generasi yang Melek Teknologi den Rendah Hati02/06/2025
  • Perjalanan Hanifia Merawat Cinta Al-Qur’an31/05/2025
  • Cerita Inspiratif Rino, Meniti Karier dan Perjalanan Melawan Burnout31/05/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top