Tahun Politik: Elektabilitas Mengangkangi Kualitas
Harian Merapi (14 Desember 2023)
Ilham Yuli Isdiyanto
Di tahun politik, para kesatria politik turun gunung. Mereka kemudian menyamar ‘seolah-olah’ menjadi bagian dari rakyat, bahkan menjadi ‘sudra’ dengan banyak dalih, sampai mengaku akan melayani ‘sudra’ yang terbiasa ‘melayani’. Akhirnya, tarik menarik posisi di kalangan rakyat, para kesatria politik kemudian berubah menjadi ‘demagog’ kelas kakap yang senantiasa berkhotbah tentang keadilan dan juga kesejahteraan. Demokrasi bukanlah binatang jinak, ia sangat liar dan mudah berubah-ubah tergantung dari siapa yang menggunakannya.
Identitas demokrasi kemudian berubah menjadi ‘kendaraan politik’ yang sangat bergantung dari ‘Pak Supir’ untuk mengarahkannya ke mana. Pernyataan Bambang Pacul terkait kuatnya pimpinan partai dalam menentukan arah kebijakan partai politik memberikan sinyal yang kuat terhadap fenomena ini. Demokrasi kemudian semakin terusik dengan hancurnya demokratisasi dengan pragmatisme politik, seperti naiknya Kaesang yang baru dua hari resmi anggota kader tiba-tiba menjadi Ketua Umum Partai Solidaristas Indonesia (PSI) padahal dalam misi partai politiknya adalah ‘melanjutkan agenda reformasi dan demokratisasi’ namun seakan melegitimasi oligarki dan dinasti.
Rapor buruk memang sedang merintangi demokrasi Indonesia, mungkin kasus ‘Mahkamah Keluarga’ yang berhasil memboyong Gibran sebagai calon wakil presiden Prabowo bukanlah puncaknya. Proses demokrasi masih berlanjut, terutama menuju pemilihan presiden dan wakil presiden 2024 nanti. Banyak ketakutan akan muncul krisis, namun di sisi lain krisis ini akan menguntungkan jika dia mampu didorong untuk di demokrasi pada level negara.
Seperti yang dikatakan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2019) bahwa krisis akan mampu dimanfaatkan guna menyelewengkan kekuasaan (otoriter) dan menciptakan sistem autokrat dengan dalih keamanan dan keselamatan. Demokrasi akan ‘dipangku’ yang dalam pemahaman filosofis Jawa adalah ‘mengendalikannya’, si Pemangku adalah aktor dengan strategi politik guna mendorong setiap tindakan ‘seakan’ demokratis dalam sudut pandang prosedur namun oligarkis dalam sudut pandang nilai demokrasi. Substansi akan kalah dengan prosedur, esensi akan kalah dengan ambisi.
Elektabilitas dan Suara Rakyat
Elektabilitas adalah seni merayu, yakni bagaimana solek personal mampu membius masyarakat luas dengan janji berlapis demi mendapatkan dukungan. Di sisi lain, di era informasi ini, elektabilitas kemudian didukung dengan track record dari tokoh tersebut apakah benar-benar layak atau tidak.Namun, sisi buruknya adalah elektabilitas juga berarti sejauh mana tokoh tersebut diperbincangkan oleh masyarakat luas, baik prestasi maupun kontroversi.
Lembaga survei memiliki peran penting dalam langkah prediktif menjelang pemilihan umum (pemilu), kemampuan prediktifnya didasarakan pada data-data yang diklaim valid dan ilmiah menjadi acuan terhadap optimisme politik. Walaupun beberapa kalangan melihat, sejauh mana kapasitas lembaga survey ini mampu memberi prediksi yang teruji secara terus menerus.
Seperti survei Litbang Kompas (11/12/2023) yang baru dirilis menempatkan elektabilitas Prabowo-Gibran 39,3%, Anies Muhamimin 16,7%, dan Ganjar-Mahfud 15,3%. Hal ini paling membingungkan adalah, dengan banyaknya kontroversi terkait pasangan Prabowo-Gibran, seperti isu ‘Mahkamah Keluarga’ ternyata tidak mempengaruhi elektabilitas secara serius.
Pertanyaan di tengah berbagai kekecewaan politik, harus dipahami bahwa irasionalitas politik dengan cara berdemokrasi bukan terletak pada kapasitas diri namun ‘seni’ menghegemoni. Hal ini dipertegas oleh pandangan Jean Baechler (2001) yang menyebut demokrasi tak lebih sebagai ‘pasar politik’, artinya proses transaksi adalah proses yang saling menguntungkan. Baik itu pertukaran antar gagasan maupun antar kepentingan.
Oleh karenanya, kredo yang seharusnya muncul adalah ‘elektabilitas bukanlah suara rakyat’ namun suara rakyat adalah ‘idealitas kondisi rakyat yang dengan sadar dan paham untuk mewujudkan kualitas demokrasi’. Jika tesis ini dimunculkan, maka pemilu akan menemukan kejenuhannya sendiri, karena proses pemilu menjadi irasional dengan ketidakcukupinya syarat kesadaran masyarakat.
Mungkin gagasan ini lebih cocok pada arah demokrasi deliberatif ketimbang demokrasi prosedural, seperti bagaimana masyarakat menyikapi peran seorang Presiden Joko Widodo yang memberikan izin anaknya untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden jelas tidak selaras dengan semangat etika demokrasi. Ketidaksetujuan rakyat sampai pada kritik terhadap Mahkamah Konstitusi tidak ditanggapi secara responsif tetapi retoris dengan mengembalikan lagi pada konstitusi dan perundang-undangan. Tidak mudah untuk memberikan saran pada Pemilu 2024, berbagai bentuk kontroversi yang membayangi dengan problem etisnya seakan membawa aura pesimistis atas terwujudnya demokratisasi pemilu nantinya.
Sikap imparsial negara mulai dipertanyakan, imbas dari dugaan conflict of interest yang semakin menjadi-jadi. Sikap berdemokrasi yang ideal didasarkan pada arah subtantif, sehingga lebih mendorong proses politik yang deliberatif. Namun, hal ini harus didasarkan pada sikap egalitarian yang proporsional, sehingga rasa keadilan dalam proses suksesi kekuasaan melalui pemilu akan juga dirasakan sportif oleh seluruh lapisan masyarakat. Harapan terbesar adalah tidak muncul krisis, berkumpulnya sejumlah tokoh bangsa dari Goenawan Muhammad sampai KH Mustofa Bisri di Rembang adalah mendorong pada upaya yang lebih kondusif untuk masa depan bangsa.
Jika krisis ini muncul, maka ada elit yang diuntungkan dan rakyatlah yang paling dirugikan. Pemilu 2024 bagian dari pendewasaan, sebagai proses berbangsa. Mungkin sudah saatnya merefleksi sistem demokrasi, kenapa sulit sekali untuk demokratis? Akhirnya, pertunjukan yang muncul adalah elektabilitas mampu mengangkangi kualitas, apalagi jika ada dukungan ‘isi tas’. Salam.
Sumber : https://www.harianmerapi.com/cermin/4011197607/tahun-politik-elektabilitas-mengangkangi-kualitas