• TERKINI
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Upaya Menuju Hilirisasi Sampah Melalui Regulasi

04/11/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (Desember 2024)
Ilham Yuli Isdiyanto

Selama ini, pendidikan yang dianjurkan lebih pada “membuang sampah pada tempatnya” bukan “mengelola sampah sebagaimana seharusnya”, akibatnya muncul problem penumpukan sampah yang tidak terkontrol. Jadi bukan hanya membuang sampah tidak pada tempatnya yang menjadi masalah, kini membuang sampah pada tempatnya pun menjadi masalah. Hal ini diperkuat dengan regulasi yang “ompong” dalam mengubah perilaku (law as a tool of social engineering), jika ditelisik telah banyak perundang-undangan terkait pengelolaan sampah – yang juga berkaitan dengan lingkungan hidup – bahkan cukup banyak yang mendorong pemberlakuan sanksi melalui Peraturan Daerah.

Hanya saja, persoalan kini bukan hanya pada perilaku membuang sampah namun bagaimana Pemerintah menyediakan “kotak sampah” apalagi pengelolaan sampah.Lebih mengejutkan lagi, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) malah sering dimaknai sebagai Tempat Pembuangan Akhir, padahal jelas-jelas tidak ada tempat untuk sampah.

Nilai Sampah

Hal yang paling paradoks terkait sampah, kita membuangnya namun juga membutuhkannya. Jika berdasarkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada tahun 2022, Indonesia memproduksi 34,4 juta ton. Namun di tahun yang sama berdasarkan UN Comtrade, kita juga mengimpor sampah plastik dengan jumlah 53,76 juta kg. Padahal, merujuk pada Pasal 29 ayat (1) huruf b UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah kegiatan mengimpor sampah seharusnya dilarang.

Problem sampah pada dasarnya adalah problem industri, status quo terhadap berbagai kebijakan yang ada bukanlah upaya untuk mengkurasi problem ini, namun menambah daftar panjang persoalan yang tak kunjung usai. Seperti kebutuhan akan plastik dalam dunia industri maupun perdagangan menjadikan setiap kebijakan bak simalakama. Melansir laporan data Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari 430 juta ton plastik diproduksi setiap tahun dan 2/3 nya dibuang sebagai sampah sekali pakai. Produksi yang terus menerus sebagai kebutuhan industri ternyata tidak berbanding lurus dengan proses daur ulangnya.

Sampah pada dasarnya memiliki nilai lebih, yakni jika sampah terkelola melalui startegi 3R (reduce, reuse, recycle). Sudah banyak upaya untuk mengembangkan hal ini, namun belum juga mampu dalam mengurai problem sampah. Lantas dimana persoalannya?

Dari Sampah Industri/Konsumsi Menjadi Industri Persampahan

Sampah industri/konsumsi mungkin satu-satunya yang perlu dicurigai terhadap problem sampah hari ini, mau bagaimanapun proses industrialisasi dan konsumsi akan selalu terus menerus menghasilkan volume sampah alih-alih mengurangi atau menghentikannya. Maka yang perlu dikuatkan adalah bagaimana membangun penyeimbang terhadap sampah industri/konsumsi dengan mengembangkan berbagai lini industri persampahan yang terintegrasi dan partisipasi.

Model industri persampahan ini harus mampu bukan hanya pemodal besar, namun juga usaha mikro, kecil dan menengah. Selain itu juga bukan hanya tanggungjawab pusat, melainkan provinsi, daerah kabupaten sampai desa juga perlu untuk dilibatkan. Kuncinya ada pada model kebijakan yang akan diaplikasikan, disatu sisi pengelolaan sampah bukanlah hal yang sederhana.

Pemerintah pusat maupun daerah seharusnya menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik (vide Pasal 5 UU No 18/2008). Pengelolaan sampah ini memiliki potensi besar untuk diagregasi dalam ranah industri yang sinergis. Jika melihat pada data impor sampah, maka kebutuhan atas sampah nasional sebagai bahan baku sangatlah besar.

Kebutuhan ini sejalan dengan maraknya industri dan konsumsi ditengah masyarakat yang menghasilkan sampah plastik.Menempatkan sampah sebagai bahan baku bisa disebut sebagai upaya “hilirisasi sampah”, namun hal ini membutuhkan syarat lebih dari penghasil sampah (baik industri maupun konsumsi).

Salah satunya adalah merubah mindset dari “membuang sampah” menjadi “memilah sampah”.Anjuran membuang sampah pada tempatnya saat ini sudah tidak relevan kembali, karena menempatkan setiap sampah menjadi residu, padahal seharusnya mampu diolah menjadi bahan industri kembali.

Model Regulasi Pengelolaan Sampah

Mengutip dari website Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Naisonal (SIPSN), sudah cukup banyak regulasi yang mengatur tentang sampah yang terdiri dari 1 Undang Undang, 2 Peraturan Pemerintah, 3 Peraturan Presiden, dan 9 Peraturan Menteri.Selain itu, terdapat 6 Peraturan Kebijaksanaan (beleidsregel). Banyaknya regulasi persampahan tidak menjamin adanya pengelolaan sampah yang baik dan terintegrasi. Selain itu, peran serta masyarakat tak lain memiliki pengaruh utama dalam hal pengelolaan sampah ini.

Dorongan regulasi haruslah diarahkan tidak hanya pada standarisasi pengelolaan sampah, melainkan upaya pemerintah memberikan dukungan pada upaya ini dan membantu proses perizinan bagi pengusaha yang akan melakukan pengelolaan sampah. Proses hilirisasi sampah atau industri persampahan adalah model pengelolaan sampah yang paling efektif, dimulai dari pelibatan aktif dunia industri dan masyarakat selaku konsumen.

Langkah awal untuk melakukan hal ini adalah cara pandang politik hukum terhadap pengelolaan sampah dan bukan perizinan industri persampahan, melainkan lebih pada dukungan terhadap setiap pelaku usaha hilirasi sampah dalam memenuhi standar yang ada. Jika melihat pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, maka setiap kegiatan usaha pengelolaan sampah wajib memiliki izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah, disini paradigma seharusnya diubah.

Hilirisasi sampah seharusnya dilihat sebagai bisnis strategis yang terbuka untuk dikembangkan oleh semua kalangan, potensi sampah menjadi bahan baku harus didukung oleh pemerintah dalam menyiapkan sistem distribusi yang baik, terutama menghubungkan kembali antara pengelola sampah dengan industri pengelolaannya. Melalui regulasi ini, pemasok utama sampah sebagai bahan industri harusnya ada dari masyarakat, sistem supply chain ini terhadap hilirasasi sampah dari masyarakat seharusnya seimbang dengan hilirisasi barang konsumsi yang ada diperedaran.

Untuk itu, fungsi pemerintah adalah memberikan jaminan dan dukungan terhadap setiap kegiatan usaha pengelolaan sampah termasuk insentif terhadapnya. Pengaturan yang terlalu ketat dan izin yang “belibet” tanpa ada dukungan maka upaya penanganan sampah hanyalah isapan jempol.

Sumber : https://www.suaramerdeka.com/opini/0411356809/upaya-menuju-hilirisasi-sampah-melalui-regulasi

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-04 08:59:472024-11-04 09:00:11Upaya Menuju Hilirisasi Sampah Melalui Regulasi

Mengukur Kewenangan PTUN dalam Memeriksa Perkara Administrasi Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah

30/10/2024/in Bernas, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Koran Bernas (17 Desember 2023)
Ilham Yuli Isdiyanto

Di sisi lain, yang paling mencurigakan adalah bagaimana status dari biaya jaminan ini. Pembebanan terhadap jaminan yang tidak memiliki dasar hukum akan mendorong pada bentuk ketidakpastian hukum. Nilai 1% (satu) persen dari HPS atau Pagu Anggaran akan semakin membesar mengikuti nilai pengadaan konstruksinya, sehingga nilai ini tidak bisa dikatakan “sedikit”. Jika proses sanggah banding ditolak, maka biaya yang telah diberikan sebagai jaminan apakah dikembalikan? Padahal mengacu pada Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2017 pemberian jaminan yang dimaksud berada pada konteks mitigasi wanprestasi, bukan menekan upaya administratif.

Objek kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah keputusan dan atau tindakan pemerintah. Namun, menjadi pertanyaan bagaimana dengan upaya administratif pada pengadaan barang dan atau jasa pemerintah? Di sisi lain, upaya administratif yang diatur secara khusus (vide UU No. 2/2007 serta perubahan dan Perpres No. 16/2018 serta perubahan) ternyata menyisakan pertanyaan berkaitan dengan kewenangan PTUN.

Problem kewenangan adalah bagaimana jika penyedia jasa yang kalah dalam proses tender konstruksi namun mengajukan proses “banding” sebagaimana diatur dalam Pasal 78 UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintah bukan “sanggah banding” sebagaimana diatur dalam Perpres No. 12/2021? (Perubahan Perpres No. 16/2018).

Disparitas Regulasi

Upaya administrasi dalam jasa konstruksi memang berbeda dengan sistem administrasi umum lainnya. Perbedaan ini kemudian berimplikasi pada pemenuhan hak warga negara terkait, yakni hak dalam memperjuangkan hak hukumnya sebagaimana dijamin oleh konstitusi.

Muncul disparitas dalam regulasi ini berkaitan dalam hal bentuk upaya administrasi, pada administrasi umum dikenal upaya administrasi yakni “keberatan” dan “banding” (vide Pasal 75 ayat (2) UU No. 30/2014) namun pada pengadaan barang dan atau jasa di bidang konstruksi dikenal upaya administrasi berupa “sanggah” dan “sanggah banding” (vide Pasal 10 ayat (2) Perpres No. 12/2021).

Secara sederhana, nomenklatur “sanggah” dapat dipersamakan dengan “keberatan” dan “sanggah banding” dapat dipersamakan dengan “banding” berdasarkan UU No. 30/2014. Namun, ada disparitas regulasi dalam konteks ini, di mana menurut ketentuan Pasal 32 Perpres No. 12/2021 ditetapkan nilai jaminan 1% (satu persen) dari nilai Hasil Perkiraan Sendiri (HPS) atau nilai Pagu Anggaran yang dilelangkan sebagai jaminan yang harus disetor saat melakukan sanggah banding, padahal jika mengacu pada Pasal 75 ayat (5) UU No. 30/2014 seharusnya tidak ada bentuk jaminan atau biaya yang dibebankan dalam proses upaya administratif.

Pembebanan melalui biaya administratif jelas bertentangan dengan Pasal 75 ayat (5) UU No. 30/2014, namun ketentuan Pasal 32 Perpres No. 12/2021 mengacu pada Pasal 57 ayat (2) UU No. 2/2017 tentang Konstruksi yang mengatur adanya jaminan sanggah banding. Tetapi, jika diamati secara lebih teliti norma yang ada pada UU No. 2/2017 tidak mengatur nilai jaminan yang harus dibayarkan dan juga jaminan ini pada dasarnya berkaitan dengan pelaksanaan pengadaan jasa konstruksi (mitigasi wanprestasi), bukan upaya administratif (vide Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2017).

Di sisi lain, yang paling mencurigakan adalah bagaimana status dari biaya jaminan ini. Pembebanan terhadap jaminan yang tidak memiliki dasar hukum akan mendorong pada bentuk ketidakpastian hukum. Nilai 1% (satu) persen dari HPS atau Pagu Anggaran akan semakin membesar mengikuti nilai pengadaan konstruksinya, sehingga nilai ini tidak bisa dikatakan “sedikit”. Jika proses sanggah banding ditolak, maka biaya yang telah diberikan sebagai jaminan apakah dikembalikan? Padahal mengacu pada Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2017 pemberian jaminan yang dimaksud berada pada konteks mitigasi wanprestasi, bukan menekan upaya administratif.

Upaya Hukum PTUN

Pasca muncul UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintah, terjadi perluasan makna terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang tidak hanya sebatas pada keputusan yang konkrit, individual, dan final (vide Pasal 1 angka 9 UU No. 51/2009) namun juga termasuk tindakan faktual, keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat (vide Pasal 87 UU No. 30/2014).

Mengacu pada ketentuan ini, maka keputusan hasil lelang (tender) termasuk sebagai KTUN dan menjadi objek PTUN. Sehingga, jika dalam proses sanggah banding ditolak, maka penyedia jasa sebagai peserta tender berdasarkan asas keadilan dan asas kepastian hukum berhak mengajukan upaya hukum melalui PTUN.

Namun, bagaimana dengan peserta lelang yang mengajukan skema upaya administrasi banding bukan berdasarkan Perpres No. 12/2021 namun berdasarkan UU No. 30/2014? Maka menjawab hal ini ada beberapa hal yang perlu untuk dijadikan sebagai dasar.

Kesatu, walaupun banding berdasarkan UU No. 30/2014 tidak dikenal dalam sistem pengadaan barang dan atau jasa terutama jasa konstruksi, namun di sisi lain hakim tidak boleh menolak perkara. Hal ini sesuai dengan asas ius curia novit di mana hakim dianggap mengetahui semua hukumnya (vide Pasal 10 UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Kedua, tidak ada bentuk larangan terhadap upaya administrasi berdasarkan UU No. 30/2014 terkait pengadaan barang dan atau jasa, sehingga tidak ada konsekuensi logis jika mengajukan banding di luar Perpres No. 12/2021 maka akan gugur.

Ketiga, berdasarkan asas lex superior derogate legi inferior maka kedudukan Perpres No. 12/2021 berada di bawah UU No. 30/2014, sehingga penggunaan dasar UU No. 30/2014 sebagai dasar upaya administratif sudah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.

Melihat pada dalil-dalil ini, tidak ada masalah jika menggunakan dasar UU No. 30/2014, yakni upaya banding administrasi, pembeda utamanya dengan Perpres No. 12/2021 berkaitan jaminan sanggah banding yang wajib disetor oleh peserta lelang saat memperjuangkan haknya.

Arah Kebijakan Administrasi

Perlu digaris-bawahi, hukum administrasi lebih pada arah “kebijakan” sehingga dasarnya bukan terletak pada rechmatigheid (berdasarkan perundang-undangan) melainkan berdasarkan doelmategheid (dasar kemanfaatan).

Karena arah kebijakan administrasi yang lebih pada doelmategheid sebagai konsekuensi dari freiss emerson (kehendak bebas/diskresi), maka dasar yang digunakan bukanlah norma peraturan perundang-undangan melainkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Kontekstualisasi “banding” atau “sanggah banding” adalah upaya untuk mengakomodir hak warga negara (peserta lelang) dalam mendapatkan keadilan, oleh karenanya tidak bisa jika keadilan dikalahkan karena arah kebijakan yang lebih didasarkan pada Perpres No. 12/2021 ketimbang UU No. 30/2014. Salam.

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-30 10:34:412024-10-30 10:34:41Mengukur Kewenangan PTUN dalam Memeriksa Perkara Administrasi Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah

Tahun Politik: Elektabilitas Mengangkangi Kualitas

26/10/2024/in Koran Merapi, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Merapi (14 Desember 2023)
Ilham Yuli Isdiyanto

Di tahun politik, para kesatria politik turun gunung. Mereka kemudian menyamar ‘seolah-olah’ menjadi bagian dari rakyat, bahkan menjadi ‘sudra’ dengan banyak dalih, sampai mengaku akan melayani ‘sudra’ yang terbiasa ‘melayani’. Akhirnya, tarik menarik posisi di kalangan rakyat, para kesatria politik kemudian berubah menjadi ‘demagog’ kelas kakap yang senantiasa berkhotbah tentang keadilan dan juga kesejahteraan. Demokrasi bukanlah binatang jinak, ia sangat liar dan mudah berubah-ubah tergantung dari siapa yang menggunakannya.

Identitas demokrasi kemudian berubah menjadi ‘kendaraan politik’ yang sangat bergantung dari ‘Pak Supir’ untuk mengarahkannya ke mana. Pernyataan Bambang Pacul terkait kuatnya pimpinan partai dalam menentukan arah kebijakan partai politik memberikan sinyal yang kuat terhadap fenomena ini. Demokrasi kemudian semakin terusik dengan hancurnya demokratisasi dengan pragmatisme politik, seperti naiknya Kaesang yang baru dua hari resmi anggota kader tiba-tiba menjadi Ketua Umum Partai Solidaristas Indonesia (PSI) padahal dalam misi partai politiknya adalah ‘melanjutkan agenda reformasi dan demokratisasi’ namun seakan melegitimasi oligarki dan dinasti.

Rapor buruk memang sedang merintangi demokrasi Indonesia, mungkin kasus ‘Mahkamah Keluarga’ yang berhasil memboyong Gibran sebagai calon wakil presiden Prabowo bukanlah puncaknya. Proses demokrasi masih berlanjut, terutama menuju pemilihan presiden dan wakil presiden 2024 nanti. Banyak ketakutan akan muncul krisis, namun di sisi lain krisis ini akan menguntungkan jika dia mampu didorong untuk di demokrasi pada level negara.

Seperti yang dikatakan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2019) bahwa krisis akan mampu dimanfaatkan guna menyelewengkan kekuasaan (otoriter) dan menciptakan sistem autokrat dengan dalih keamanan dan keselamatan. Demokrasi akan ‘dipangku’ yang dalam pemahaman filosofis Jawa adalah ‘mengendalikannya’, si Pemangku adalah aktor dengan strategi politik guna mendorong setiap tindakan ‘seakan’ demokratis dalam sudut pandang prosedur namun oligarkis dalam sudut pandang nilai demokrasi. Substansi akan kalah dengan prosedur, esensi akan kalah dengan ambisi.

Elektabilitas dan Suara Rakyat

Elektabilitas adalah seni merayu, yakni bagaimana solek personal mampu membius masyarakat luas dengan janji berlapis demi mendapatkan dukungan. Di sisi lain, di era informasi ini, elektabilitas kemudian didukung dengan track record dari tokoh tersebut apakah benar-benar layak atau tidak.Namun, sisi buruknya adalah elektabilitas juga berarti sejauh mana tokoh tersebut diperbincangkan oleh masyarakat luas, baik prestasi maupun kontroversi.

Lembaga survei memiliki peran penting dalam langkah prediktif menjelang pemilihan umum (pemilu), kemampuan prediktifnya didasarakan pada data-data yang diklaim valid dan ilmiah menjadi acuan terhadap optimisme politik. Walaupun beberapa kalangan melihat, sejauh mana kapasitas lembaga survey ini mampu memberi prediksi yang teruji secara terus menerus.

Seperti survei Litbang Kompas (11/12/2023) yang baru dirilis menempatkan elektabilitas Prabowo-Gibran 39,3%, Anies Muhamimin 16,7%, dan Ganjar-Mahfud 15,3%. Hal ini paling membingungkan adalah, dengan banyaknya kontroversi terkait pasangan Prabowo-Gibran, seperti isu ‘Mahkamah Keluarga’ ternyata tidak mempengaruhi elektabilitas secara serius.

Pertanyaan di tengah berbagai kekecewaan politik, harus dipahami bahwa irasionalitas politik dengan cara berdemokrasi bukan terletak pada kapasitas diri namun ‘seni’ menghegemoni. Hal ini dipertegas oleh pandangan Jean Baechler (2001) yang menyebut demokrasi tak lebih sebagai ‘pasar politik’, artinya proses transaksi adalah proses yang saling menguntungkan. Baik itu pertukaran antar gagasan maupun antar kepentingan.

Oleh karenanya, kredo yang seharusnya muncul adalah ‘elektabilitas bukanlah suara rakyat’ namun suara rakyat adalah ‘idealitas kondisi rakyat yang dengan sadar dan paham untuk mewujudkan kualitas demokrasi’. Jika tesis ini dimunculkan, maka pemilu akan menemukan kejenuhannya sendiri, karena proses pemilu menjadi irasional dengan ketidakcukupinya syarat kesadaran masyarakat.

Mungkin gagasan ini lebih cocok pada arah demokrasi deliberatif ketimbang demokrasi prosedural, seperti bagaimana masyarakat menyikapi peran seorang Presiden Joko Widodo yang memberikan izin anaknya untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden jelas tidak selaras dengan semangat etika demokrasi. Ketidaksetujuan rakyat sampai pada kritik terhadap Mahkamah Konstitusi tidak ditanggapi secara responsif tetapi retoris dengan mengembalikan lagi pada konstitusi dan perundang-undangan. Tidak mudah untuk memberikan saran pada Pemilu 2024, berbagai bentuk kontroversi yang membayangi dengan problem etisnya seakan membawa aura pesimistis atas terwujudnya demokratisasi pemilu nantinya.

Sikap imparsial negara mulai dipertanyakan, imbas dari dugaan conflict of interest yang semakin menjadi-jadi. Sikap berdemokrasi yang ideal didasarkan pada arah subtantif, sehingga lebih mendorong proses politik yang deliberatif. Namun, hal ini harus didasarkan pada sikap egalitarian yang proporsional, sehingga rasa keadilan dalam proses suksesi kekuasaan melalui pemilu akan juga dirasakan sportif oleh seluruh lapisan masyarakat. Harapan terbesar adalah tidak muncul krisis, berkumpulnya sejumlah tokoh bangsa dari Goenawan Muhammad sampai KH Mustofa Bisri di Rembang adalah mendorong pada upaya yang lebih kondusif untuk masa depan bangsa.

Jika krisis ini muncul, maka ada elit yang diuntungkan dan rakyatlah yang paling dirugikan. Pemilu 2024 bagian dari pendewasaan, sebagai proses berbangsa. Mungkin sudah saatnya merefleksi sistem demokrasi, kenapa sulit sekali untuk demokratis? Akhirnya, pertunjukan yang muncul adalah elektabilitas mampu mengangkangi kualitas, apalagi jika ada dukungan ‘isi tas’. Salam.

Sumber : https://www.harianmerapi.com/cermin/4011197607/tahun-politik-elektabilitas-mengangkangi-kualitas

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-26 10:04:042024-10-26 10:04:04Tahun Politik: Elektabilitas Mengangkangi Kualitas

Disparitas Upaya Banding Administrasi Umum vis a vis Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

26/10/2024/in Bernas, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Koran Bernas (9 Desember 2023)
Ilham yuli Isdiyanto

Proses upaya administrasi berbeda pada upaya administrasi pengadaan barang/jasa pemerintah. Mengacu pada ketentuan Pasal 30 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 12/2021) menyebutkan nilai jaminan sanggah banding adalah 1% (satu persen) dari nilai pengadaan yang telah ditetapkan. Dasar pengenaan jaminan ini bisa diturut melalui ketentuan Pasal 57 ayat (2) huruf e Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU No. 2/2017) yang mengatur tentang adanya jaminan sanggah banding. Namun, penempatan jaminan sanggah banding ini memiliki konsekuensi logis, bahwa bentuk upaya administrasi ini bukan lagi sebagai hak warga negara karena mensyaratkan pembebanan biaya tertentu.

BERDASARKAN ketentuan Pasal 75 ayat (5) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU No. 30/2014), seharusnya setiap upaya administrasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap keputusan dan atau tindakan pemerintah berupa keberatan dan banding tidak dibebani biaya. Namun, upaya banding terhadap hasil pengadaan jasa konstruksi ternyata dikenai “biaya” dalam bentuk “jaminan sanggah banding”. Lantas, apakah ini berkeadilan terhadap hak warga?

Menganulir Hak Warga Negara

Tujuan hukum Indonesia bukanlah untuk menegakkan hukum an sich, melainkan menegakkan “keadilan” yang notabene penuh nuansa filosofis dan konstruksi etis terhadap nilai-nilai yang ada pada masyarakat, ketimbang hanya bunyi pasal. Jaminan ini juga muncul pada konstitusi yakni Pasal 24 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yang secara tegas menempatkan “hukum dan keadilan” secara kumulatif, bukan fakultatif. Konstruksi keadilan ini sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak lain adalah “hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Dalam hal mendeliberasi keadilan, muncul UU No. 30/2014 yang sifatnya mengatur upaya administrasi untuk mengakomodir hak warga masyarakat terhadap keputusan dan/atau tindakan pemerintah yang dianggap merugikan. Hal ini kemudian diatur dalam ketentuan Pasal 75 UU No. 30/2014, di mana pada ketentuan ayat (2) disebutkan bentuk upaya administratif adalah : a) keberatan; dan b) banding. Karena sifatnya adalah hak, maka upaya administrasi ini kemudian diakomodir bebas beban biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (5) UU No. 30/2014.

Namun, proses upaya administrasi berbeda pada upaya administrasi pengadaan barang/jasa pemerintah. Mengacu pada ketentuan Pasal 30 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 12/2021) menyebutkan nilai jaminan sanggah banding adalah 1% (satu persen) dari nilai pengadaan yang telah ditetapkan. Dasar pengenaan jaminan ini bisa diturut melalui ketentuan Pasal 57 ayat (2) huruf e Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU No. 2/2017) yang mengatur tentang adanya jaminan sanggah banding. Namun, penempatan jaminan sanggah banding ini memiliki konsekuensi logis, bahwa bentuk upaya administrasi ini bukan lagi sebagai hak warga negara karena mensyaratkan pembebanan biaya tertentu.

Pensyaratan pada jaminan sanggah banding ini dicurigai melanggar asas keadilan yang berpotensi menghilangkan hak dari warga negara, jika melakukan upaya banding administrasi karena diperlukan adanya jaminan sebesar 1% (satu persen).

Problem Regulasi

Cantolan pada Pasal 32 Perpres 12/2021 tak lain adalah Pasal 57 ayat (2) UU No. 2/2017, namun ternyata ketentuan ini mengandung problem penormaan. Frasa pengaturan jaminan sanggah banding adalah bagian dari jaminan penawaran, jaminan pelaksanaan, jaminan uang muka dan jaminan pemeliharaan. Jaminan ini sangat berkaitan dengan proses pengadaan, bukan pada upaya hukum administrasinya. Penempatan jaminan sanggah banding seharusnya ditempatkan terpisah dari proses pengadaan, yakni pada upaya hukum terhadap proses pengadaan.

Pada bagian penjelasan, jaminan sanggah banding disebut sebagai jaminan yang harus diserahkan oleh Penyedia Jasa yang akan melakukan sanggah banding. Namun, ada beberapa hal yang tidak muncul dalam UU No. 2/2007, yakni: a) jaminan sanggah banding disamakan dengan bentuk jaminan lainnya, padahal jaminan sanggah banding sifatnya adalah “hak” Penyedia Jasa saat mengkuti lelang, bukan proses administratif sebagaimana bentuk jaminan lainnya; b) tidak ada standar terhadap besaran jaminan sanggah banding yang bisa dijadikan cantolan hukum bagi pengaturan di bawahnya; dan c) adanya biaya dalam proses upaya hukum administratif pada saat sanggah banding menjadikan ketidakharmonisan antarregulasi, terutama UU No. 30/2014 yang menyebutkan upaya administrasi seharusnya tidak dibebani biaya.

Perpres 13/2021 kemudian mengatur besaran jaminan sanggah banding sebesar 1% (satu) persen dari nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS) maupun dari nilai Pagu Anggaran. Penempatan adanya jaminan sanggah banding sebesar 1% (satu persen) ini tidak inheren dengan tujuan hukum, terutama dalam perspektif pemenuhan hak warga negara yang seharusnya diakomodir oleh negara.

Norma Tidak Inheren

Ada bentuk ketidakcermatan dalam ketentuan Pasal 57 ayat (2) huruf e UU No. 2/2007 dengan Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2007. Jika benar-benar dipahami ketentuan Pasal 57 ayat (3) menyebutkan pencarian jaminan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan adanya pernyataan Pengguna Jasa atas wanprestasi yang dilakukan Penyedia Jasa.

Di sinilah pokok pengaturannya, karena pada ketentuan Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2007 sebenarnya tidak mengakomodir bentuk jaminan sanggah banding, namun jaminan lainnya yang berkaitan dengan proses pengadaan. Pencampuran seperti ini jelas memunculkan ketidakpastian bahkan pertentangan di dalamnya.

Selanjutnya, di dalam regulasi baik UU No. 2/2007 maupun Perpres No.13/2021 tidak disebutkan berkaitan dengan status uang jaminan sanggah banding, apakah akan dikembalikan saat sanggah banding diterima ataupun tidak dikembalikan jika sanggah banding ditolak. Hal ini menjadi isu penting karena UU No. 2/2007 hanya mengatur berkaitan wansprestasi bukan upaya hukumnya.

Mungkin nanti perlu ada constitutional question berkaitan isu ini, namun seharusnya berkaitan terhadap sanggah banding tidak perlu secara spesifik diatur dalam peraturan perundang-undangan dikarenakan sudah diatur dalam UU No. 30/2014 terkait upaya hukum administratif yakni keberatan dan banding.

Penempatan upaya administratif melalui UU No. 30/2014 juga lebih mengakomodir hak warga negara atau Penyedia Jasa karena tidak dibebankan biaya, sehingga hak ini benar-benar teraktualisasi. Berbeda dengan penggunaan ketentuan UU No. 2/2007 dan Perpres No. 13/2021 yang menyaratkan adanya jaminan sanggah banding, sehingga akan menjadi pertanyaan besar, apakah negara segitunya setengah hati untuk mengakomodir hak warga negaranya dalam memperjuangkan haknya? Salam.

Sumber : https://koranbernas.id/disparitas-upaya-banding-administrasi-umum-vis-a-vis-pengadaan-barang-dan-jasa-pemerintah

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-26 09:42:392024-10-26 09:42:39Disparitas Upaya Banding Administrasi Umum vis a vis Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Sampah dan Pertanggungjawaban Kita

22/10/2024/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (7 Desember 2023)
Sartini Wardiwiyono

Segala kerusakan di muka Bumi 100% disebabkan oleh ulah manusia. Tidak perlu data untuk melihat hal ini. Alam nan indah permai yang diwariskan dari nenek moyang, mengalami kerusakan dan akan kita wariskan kepada anak cucu kita. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari [akibat] perbuatan mereka, agar mereka kembali [ke jalan yang benar].” (QS Ar Rum :41)

Manusia diciptakan menjadi penanggung jawab yang harus mengurusi kemakmuran Bumi. “Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari Bumi [tanah] dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat [rahmat-Nya] dan memperkenankan [doa hamba-Nya]”. (QS Hud:61).

Semua manusia tanpa terkecuali bertugas untuk menjadi khalifah Allah agar memakmurkan Bumi. Tugas itu akan dipertanggungjawabkan. Keadilan pasti akan tegak di hari pembalasan. Semua akan menerimanya sesuai dengan kadar kerusakan yang diciptakan semasa hidup di dunia.

Bila kerusakan di muka Bumi dibiarkan tanpa ada pemberi peringatan, maka orang-orang berilmulah yang akan menerima akibat paling buruk di akhirat kelak. Bukankah para ilmuwanlah yang mampu membaca fenomena kerusakan alam? Ilmuwan pula yang mampu memprediksi sisi negatif dari inovasi yang mereka ciptakan? Ilmuwan dari segala bidang harus mempertanggungjawabkan anugerah ilmu yang dikaruniakan Allah pada mereka. “With great power comes great responsibility” perkataan Peter Parker yang terinspirasi dari Alkitab ini patut pula digarisbawahi.

Sampah Plastik
Kita ambil contoh sampah plastik. Sten Gustaf Thulin, inventor kantong plastik, menganggap kantong kertas sangat berbahaya karena merusak hutan. Kantong plastik bisa digunakan berkali-kali, sedangkan kantong kertas mahal dan hanya sekali pakai. Sekarang bagaimana hasilnya? Kantong plastik menjadi pembungkus sekali pakai karena nilai ekonomisnya lebih murah dari kertas dan menjadi masalah utama sampah dunia. Sampah plastik tidak hanya merusak kelestarian lingkungan, tetapi juga mengganggu kesehatan masyarakat. Banyak penyakit yang menimpa manusia modern karena pencemaran plastik di darat, air atau udara. Bahkan kantong plastik biodegradable yang digembar-gemborkan kalangan industri saat ini, tidak lebih berbahaya dari kantong plastik biasa. Tanpa komposter industri, sampah plastik biodegradable justru menjadi mikro plastik yang mudah terhirup dan masuk ke dalam tubuh kita.

Permasalahan sampah ini harus segera dicarikan solusi. Solusi terbaik adalah dengan meminta pertanggungjawaban dari pihak yang harus bertanggung jawab. Dari sektor industri, para pengusaha harus bertanggung jawab dengan hasil sampah produksi mereka. Mereka harus menyiapkan fasilitas untuk mengolah sampah yang mereka hasilkan.

Corporate social responsibility harus selalu digaungkan oleh ilmuwan sosial. Perundangan harus ditulis dengan detail oleh para teknokrat berdasarkan pada keseimbangan alam raya seutuhnya termasuk fenomena alam digital. Para ulama harus terus bergerak menyadarkan dan membimbing umatnya. Al mizaan yang Allah gariskan dalam firman-Nya haruslah menjadi acuan. “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca [keadilan]. Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan kamu mengurangi neraca itu.” (QS ar-Rahman [55]: 7-9).

Solusi lainnya adalah menyadarkan manusia untuk kembali menyadari tugasnya. Menjaga lingkungan adalah ibadah yang sangat mulia, tidak kalah dengan ibadah lain. Alam yang merupakan benda mati di mata kita adalah benda hidup di sisi Allah. Mereka adalah makhluk yang juga bertasbih dengan cara mereka sendiri. Rasulullah bersabda ketika berdiri di atas gunung Uhud, “Innahu yuhibunna wu nuhibbuhu” Sesungguhnya ia [Uhud] mencintai kita, begitu pula sesungguhnya kita mencintainya. Alam memiliki rasa cinta. Cinta yang tak pernah kita sadari dengan sepenuhnya.

Sampah harus kita kelola dengan baik agar tidak menjadi mesin pembunuh. Peristiwa nahas yang terjadi pada 2005 mengakibatkan 157 jiwa melayang dan dua kampung (Cilimus dan Pojok) hilang dari peta karena tergulung longsoran sampah dari TPA Leuwigajah. Nyawa-nyawa itu ada di pundak kita semua dan menanti pertanggungjawabannya di akhirat kelak.

Sumber : https://opini.harianjogja.com/read/2023/12/07/543/1157361/opini-sampah-dan-pertanggungjawaban-kita

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-22 09:41:422024-10-22 09:41:42Sampah dan Pertanggungjawaban Kita

Reviu Ulang Deklarasi HAM

22/10/2024/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (28 November 2024)
Sobirin Malian

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia telah mengalami kemunduran (15 November 2023). Guterres menyerukan pembaharuan terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) setelah 75 tahun ditandatangani oleh anggotaPBB.

Menurut Gutteres, Deklarasi HAM yang ditandatangani 10 Desember 1948 itu layak direviu atau ditinjau kembali mengingat saat ini Piagam itu seakan diserang semua pihak. Mulai dari perang yang berkecamuk di Ukraina, agresi Israel atas Palestina, holocaust suku Uyghur oleh China dan etnis Rohingya di Myanmar, diskriminasi agama minoritas di India, dan lain sebagainya. Tak kalah serius adalah adanya ancaman terhadap hak-hak dari melonjaknya angka kemiskinan, kelaparan dan bencana iklim.

Gutteres mengatakan invasi Rusia ke Ukraina dan bombardir Israel ke Gaza Palestina, telah menjadi bukti nyata pelanggaran hak asasi manusia yang paling masif dan brutal yang pernah terjadi di dunia sejak pasca Perang Dunia II.

Antonio Guterres mengatakan invasi ini telah menyebabkan kematian ribuan nyawa. Sedikitnya 15.000 anak-anak dan wanita menjadi korban, dan sejumlah fasilitas publik di Gaza hancur. Pengungsian pun meluas. Padahal, jika dibandingkan, abad yang lalu, kita telah menyaksikan kemajuan yang menakjubkan dalam hal penegakan HAM dan pembangunan manusia.

Standar Ganda

Penyebab pertama mengapa pelanggaran terus terjadi adalah: masif dan tak terkendalinya pelanggaran HAM di berbagai belahan dunia saat ini tak lepas dari adanya standar ganda yang diterapkan oleh negara-negara pemilik hak veto di PBB. Mereka adalah Amerika Serikat, Rusia, China, Prancis dan Inggris.

Standar ganda negara-negara tersebut telah membuat gagalnya berbagai usaha perdamaian yang disponsori PBB. Standar ganda di sini, terkesan di satu sisi (Amerika, China, Rusia, Prancis dan Inggris) itu mendukung adanya perdamaian, tapi di sisi lain mereka juga menyokong adanya peperangan dan memveto usaha damai internasional.

Hak veto merupakan hak istimewa yang dimiliki anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) yakni Amerika Serikat, China, Inggris, Prancis dan Rusia. Keberadaan hak veto saat ini banyak mendapat kritikan dari masyarakat internasional karena telah disalahgunakan untuk kepentingan negara pemegang hak veto.

Salah satu contoh penyalahgunaan hak veto dapat dilihat pada kasus jatuhnya pesawat Malaysia Airlines di Ukraina. Rusia menjatuhkan veto terhadap draf resolusi No. S/2015/562 yang berisi tuntutan untuk membentuk lembaga peradilan khusus untuk menyelidiki kasus jatuhnya pesawat tersebut, sehingga Piagam tersebut tidak dapat diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB. Contoh lain, penyelesaian konflik Israel-Palestina. Tercatat tidak kurang 20 kali Amerika memveto keinginan Palestina untuk merdeka yang membuat nasib bangsa dan negara Palestina terus terkatung-katung.

Prinsip Persamaan

Keberadaan hak veto tersebut tentu bertentangan dengan prinsip persamaan kedaulatan. Prinsip persamaan kedaulatan menempatkan semua negara anggota PBB dalam kedudukan yang sama, baik dari segi hak dan kewajiban. Adanya hak veto membuat kelima negara anggota tetap DK PBB seakan memiliki kedaulatan yang lebih dibandingkan dengan negara anggota lainnya. Mereka memiliki hak yang melebihi negara-negara anggota PBB lain.

Penyebab kedua, lamban dan tak berdayanya hukum internasional dalam mengambil sikap untuk menghukum si pelanggar HAM. Memang mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat berdasarkan instrumen hukum internasional telah dilakukan oleh PBB dengan membentuk pengadilan pidana baik yang bersifat ad hoc seperti Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR).

Sedangkan pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen yaitu International Criminal Court (ICC). Kesemua lembaga HAM Internasional dan prosedur yang harus ditempuh tampaknya terlalu panjang dan berliku. Lebih dari itu tidak cukup “berwibawa” dan dihormati oleh negara bandel seperti Israel. Atas dasar itulah penulis sepakat dengan Sekjen PBB Gutteres, bahwa Deklarasi HAM 1948 perlu ditinjau ulang dengan mereformasi sistem dan prosedurnya agar tidak bertele-tele. Dan tak kalah penting adalah adanya komitmen dan political will seluruh anggota PBB untuk mendukung penegakan hukum terhadap negara pelanggar HAM.

Negara-negara dengan hak veto di PBB saatnya menggunakan hati nurani di dalam penggunaan haknya dengan orientasi dan dedikasi demi perdamaian dunia agar Bumi makin damai. Bukan kepentingan politik negara yang merugikan perdamaian dan menciptakan kesenjangan kian jembar di antara negara-negara di dunia.

Sumber : https://opini.harianjogja.com/read/2023/11/28/543/1156384/opini-reviu-ulang-deklarasi-ham

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-22 09:17:372024-10-22 09:17:37Reviu Ulang Deklarasi HAM

Tantangan Bank Rakyat

20/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (22 November 2023)

Sukardi

YOGYAKARTA, kedu.suaramerdeka.com – Rentenir merupakan usaha pengelolaan jasa keuangan illegal dengan beban bunga tinggi atas angsuran pengembalian yang bentuknya harian atau mingguan. Debitur yang tidak mampu membayar angsuran, dikenai pinalti tambahan beban angsuran, semakin banyak menunda pengembalian pinjaman semakin berat denda yang dikenakannya. Akibatnya, debitur yang bermasalah pengembalian angsuran bisa terkena beban yang berlipatganda. Rentenir berdalih menolong mengatasi permasalahan keuangan, tetapi dengan memberi beban bunga pengembalian yang tinggi, istilah orang Jawa ”nulung tapi menthung” (membantu sekaligus memukul).

Rentenir sering disebut lintah darat karena lintah pekerjaannya menghisap darah. Semakin lama dekat pada lintah, semakin banyak darah yang dihisap. Lintah darat penghisap dana masyarakat yang tinggalnya di darat. Rentenir pada umumnya dikelola oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan masyarakat, memahami kehidupan masyarakat bawah yang banyak mengalami permasalahan keuangan dan mampu membangun kesan bahwa ia mampu memberi solusi yang simpel, cepat atas persoalan keuangan yang dihadapi masyarakat.

Terbukti banyak warga yang terpikat. Pada tahun-tahun terakhir ini di berbagai daerah di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat banyak warga yang terjerat menjadi korban rentenir (pinjol) ilegal. Bank rakyat atau bank yang memiliki misi membantu rakyat kecil di pedesaan dan di daerah pinggiran termarjinalkan. Mau meringankan beban masyarakat, mau membantu menyiapkan modal usaha, dan mau mengangkat perekonomian masyarakat tetapi karyawannya sibuk.

Mereka padat agenda kerja di kantor, banyak pekerjaan yang menunggu membuat tidak lagi sempat blusukan ke pasar bertemu pedagang kecil, tidak lagi ke kampung-kampung membahas persoalan kesulitan perekonomian masyarakat kelas bawah. Mereka mengalami keterbatasan waktu untuk bergulat dengan masyarakat bawah yang terus dililit persoalan keuangan. Disamping itu, bank resmi tidak mungkin mencairkan pinjaman masyarakat tanpa prosedur administrasi dan persyaratan yang pasti.

Belum Mampu

Baitul Mal wa Tamwil (BMT) pun masih belum bisa memenuhi misinya. Sejak awal BMT ingin menghilangkan lintah darat di masyarakat. Lembaga ini, yang banyak keluar masuk ke lapangan, mengunjungi pedagang kecil, diharapkan menjadi pionir kuat mengatasi persoalan keuangan ummat.

Ternyata, mereka tetap belum bisa mengatasi keganasan rentenir. Bahkan pada BMT pun tidak bisa memberi pinjaman calon nasabah yang bermasalah yang tidak memiliki kemampuan angsuran. Mestinya BMT memiliki baitul mal, media penampung dana zakat, infak dan shodaqoh, sebagai dana sosial, diperuntukkan menolong umat lemah yang terlilit hutang dan benar benar tidak mampu mengembalikan pinjaman. Tampaknya BMT belum mampu menyediakan dana untuk segmen terakhir ini.

Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Baitul Mal wa Tamwil (BMT), semua mencairkan dana ke masyarakat selalu diawali dengan analisis kebutuhan dan kemampuan calon debitur. Tentu membutuhkan waktu dan selalu mempertimbangkan secara rasional kemampuan mengangsurnya. Rentenir tidak mempertimbangkan analisis kemampuan angsuran, rentenir secara cepat dapat mencairkan dana pinjaman. Mereka lebih cepat dan ”mudah” memberi pinjaman. Inilah tantangan BMT, BPR dan bank resmi lainnya, membantu masyarakat keluar dari ikatan rentenir.

Sumber : https://kedu.suaramerdeka.com/pendidikan/2110953024/tantangan-bank-rakyat

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-20 10:00:362024-10-19 10:11:23Tantangan Bank Rakyat

Keterkaitan antara Arus Urbanisasi, Pembangunan Berkelanjutan dan Praktik Penilaian di Pedesaan

19/10/2024/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (12 November 2023)
Rifki Khoirudin

Maraknya pembangunan di kota-kota besar di Indonesia dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Sebagai dampaknya, kota-kota tersebut akan menjadi magnet bagi penduduk untuk berdatangan mencari pekerjaan dan bertempat tinggal. Hal ini sering disebut dengan urbanisasi. Namun urbanisasi ini menimbulkan berbagai macam masalah karena tidak ada pengendalian di dalamnya. Masalah ini lah yang dihadapi Negara Indonesia saat ini yaitu pertumbuhan konsentrasi penduduk yang tinggi. Lebih buruk lagi, hal ini tidak diikuti dengan kecepatan yang sebanding dengan perkembangan industrialisasi. Masalah ini akhirnya menimbulkan fenomena yaitu urbanisasi berlebih.

Urbanisasi adalah masalah yang cukup serius. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Hal inilah yang mendorong masyarakat untuk melakukan urbanisasi dengan tujuan bisa mendapat kehidupan yang layak. Selain itu, daya tarik daerah tujuan juga menentukan masyarakat untuk melakukan urbanisasi. Para urban yang tidak memiliki skill kecuali bertani akan kesulitan mencari pekerjaan di daerah perkotaan, karena lapangan pekerjaan di kota menuntut skill yang sesuai dengan bidangnya. Ditambah lagi, lapangan pekerjaan yang juga semakin sedikit sehingga adanya persaingan ketat dalam mencari pekerjaan.

Masyarakat yang tidak memiliki skill hanya bisa bekerja sebagai buruh kasar, pembantu rumah tangga, tukang kebun, dan pekerjaan lainnya yang lebih mengandalkan otot dari pada otak. Sedangkan masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan, umumnya hanya menjadi tunawisma, tunakarya dan tunasusila. Sedangkan tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) disepakati sebelum Perjanjian Paris UNFCCC pada tahun 2015, dan agenda PBB tahun 2030 adalah untuk pembangunan berkelanjutan. SDGs ini telah disepakati oleh 193 negara di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 25 September 2015.

Negara Indonesia juga turut mengadopsi dan melaksanakan konsep SDGs untuk tercapai pada tahun 2030 nanti. Sedangkan tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang disepakati sebelum Perjanjian Paris UNFCCC pada tahun 2015 ini adalah untuk pembangunan berkelanjutan. yang berfokus pada 17 tujuan yang diantaranya adalah menghapus kemiskinan (no poverty) mengurangi ketimpangan (reduce inequality), dan kota dan komunitas yang berkelanjutan (sustainable cities and communities).

Permasalahan antara pembangunan desa, arus urbanisasi, dan kenaikan harga properti residensial merupakan sebuah fenomena yang kompleks dan sulit untuk diselesaikan dengan satu solusi tunggal. Namun, terdapat beberapa solusi atau penyelesaian yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Permasalahan ini menjadi semakin penting karena semakin banyak orang yang pindah ke kota dan meninggalkan desa, dan juga karena harga properti di daerah perkotaan semakin tinggi. Pemerintah harus memperkuat program pembangunan desa yang bertujuan meningkatkan kualitas infrastruktur dan aksesibilitas. Hal ini akan meningkatkan kualitas hidup di desa dan dapat mengurangi arus urbanisasi.

Kedua, pemerintah juga harus memperhatikan kebijakan pembangunan kota yang berkelanjutan dengan memperhatikan faktor-faktor yang memengaruhi harga properti residensial di kota. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memperluas ketersediaan lahan untuk perumahan, memperluas aksesibilitas kota, dan mengimplementasikan kebijakan harga yang adil bagi para pengembang properti. Terakhir, pemerintah dapat membangun kerjasama antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk mendorong pembangunan kota dan desa yang berkelanjutan.

Infrastruktur yang memadai menjadi kunci penting dalam mengembangkan desa dan menarik investasi. Pembangunan infrastruktur dapat mencakup berbagai aspek, seperti jalan, listrik, air bersih, dan sanitasi. Pengembangan infrastruktur dapat membuka akses ke desa dan memudahkan mobilitas masyarakat. Selain itu, pemerintah juga dapat membangun infrastruktur kota yang berkelanjutan dengan meningkatkan aksesibilitas dan transportasi publik. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu merantau ke kota dan dapat tetap tinggal di desa.

Sebagai contoh, sebuah studi yang dilakukan oleh (Bappenas, 2018) menemukan bahwa penguatan program pembangunan desa yang berorientasi pada pengembangan ekonomi lokal dapat membantu menurunkan arus urbanisasi. Program tersebut juga mendorong peningkatan kualitas infrastruktur dan aksesibilitas, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat di desa. Selain itu, pemerintah dapat mengambil langkah untuk meningkatkan ketersediaan lahan untuk perumahan dengan cara mempercepat proses perijinan dan mengoptimalkan penggunaan lahan yang ada. Hal ini akan membantu menekan harga properti di kota dan memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin membeli rumah di kota.

Sumber : https://opini.harianjogja.com/read/2023/11/12/543/1154769/opini-keterkaitan-antara-arus-urbanisasi-pembangunan-berkelanjutan-dan-praktik-penilaian-di-pedesaan

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-19 16:00:152024-10-19 09:39:37Keterkaitan antara Arus Urbanisasi, Pembangunan Berkelanjutan dan Praktik Penilaian di Pedesaan

Apakah Cawapres Penting?

19/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (8 November 2023)
Immawan Wahyudi

YOGYAKARTA, kedu.suaramerdeka.com – Jagad politik nasional akhir-akhir ini – besar kemungkinan akan berlangsung cukup lama – ramai membahas Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Humas MKRI memberitakan bahwa polemik batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) berakhir dengan diputusnya permohonan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Realitanya, putuan MKRI itu justru menjadi awal persoalan.Buktinya, Ketua MKRI, Anwar Usman, pada hari ini (Selasa, 31-10-2023) menjalani pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan MKRI, yang dipimpin oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, terkait dugaan pelanggaran etik persidangan. Tulisan ini menelusuri seberapa penting cawapres dalam Pemilu tahun 2024? Mengapa sebegitu besar kontroversi yang ditimbulkannya dan telah mengundang begitu banyak sorotan tajam dari dalam negeri maupun luar negeri.

Dalam melaksnakan day to day government posisi wapres diatur dalam Keppres. Di antara Keputusan Presiden tentang Ketugasan Wakil Presiden adalah Keppres RI Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden Kepada Wakil Presiden untuk Melaksanakan Tugas Teknis Sehari-hari. Keppres tersebut ditanda tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jika diperhatikan bunyi teks Keppres di atas terdapat kalimat ”Penugasan Presiden Kepada Wakil Presiden Untuk Melaksanakan Tugas Teknis Sehari-hari”. Sedemikian rupa peran wapres diatur secara normatif-administratif, seakan tidak memiliki kemewahan jabatan.

Persoalan Serius

Berbeda dengan Keppres tentang ketugasan wakil presiden, Pasal 8 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terdiri salah satu ayat menyatakan ”Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”.

Secara yuridis-normatif posisi wapres sangat strategis jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan benar-benar terjadi. Namun secara real sosiologis hal itu belum pernah terjadi. Oleh sebab itu umumnya masyarakat secara awam memandang jabatan wapres bukan posisi penting. Pada sisi lain ada pandangan yang menganggap bahwa posisi calon wapres adalah persoalan yang sangat serius. Mungkin hal ini berkaitan dengan kemungkinan ada calon presiden yang terhitung lanjut usia. Sangatlah wajar jika pembicaraan cawapres menjadi lebih heboh karena bisa menggantikan posisi presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) UUD RI Tahun 1945.

Guna memberikan perspektif yang luas, membicarakan kekuasaan keprsidenan perlu kiranya kita hubungkan sejarah hubungan Dwi Tunggal Bung Karno dan Bung Hatta. Hal ini berkaitan dengan masalah esensial bernegara yakni cara pandang dan sikap hidup para the founding fahters RI. Perspektif ini kita perlukan agar kita tidak terus menerus melihat politik kekuasaan dengan pragmatisme. Ibarat lampu mobil, hanya menyalakan lampu jarak pendek, sebagaimana kita rasakan pada situasi politik nasional dewasa ini.

Pada saat Bung Karno menegaskan demokrasi terpimpin, bung Hatta tidak lagi sejalan dengan Bung Karno. Dalam kalangan terbatas, Bung Hatta pernah didorong untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Tetapi Bung Hatta menolak. Alasannya simpel, ”Kalau saya berhasil mengkudeta maka pada saatnya saya juga akan dikudeta”. Di negeri adi kuasa, Amerika Serikat, peran wakil presiden di masa lalu hanya jadi bahan lelucon, tetapi jabatan ini telah berkembang untuk memberikan kekuasaan lebih besar dan memiliki arti yang lebih penting.

Christopher Devine, asisten profesor ilmu politik di University of Dayton, yang mempelajari politik wakil presiden, berseloroh bahwa tugas wakil presiden hanyalah menghadiri upacara pemakaman mewakili preisden. Tapi lanjutnya, ”Zaman telah berubah. Wakil presiden sebenarnya adalah jabatan yang sangat penting”. Seloroh lain dinyatakan oleh Thomas R. Marshall, Wapres AS di bawah pemerintahan Presiden Woodrow Wilson (1913-1921). “Once there were two brothers. One ran away to sea, the other was elected vice President, and nothing was ever heard of them again.”

Sumber : https://kedu.suaramerdeka.com/nasional/2110786567/apakah-cawapres-penting

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-19 14:00:152024-10-19 09:34:23Apakah Cawapres Penting?

Oligopoli Real Estate di Indonesia

19/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (18 Oktober 2023)
Rifki Khoirudin

Selain kebutuhan primer masyarakat, properti merupakan produk investasi yang cukup menjanjikan, khususnya jenis properti real estate seperti rumah, tanah dan bangunan lainnya. Nilai aset yang terus meningkat, fluktuasi harga yang jarang terjadi, ditambah risiko yang relatif rendah menjadikan properti salah satu produk investasi yang diidam- idamkan masyarakat.

Di sisi lain, para pengembang properti juga merespons positif adanya subsidi bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 138/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Berdasarkan Pasal 7 PMK 138/2020, subsidi bunga KPR diberikan kepada debitur perbankan atau perusahaan pembiayaan sampai dengan tipe 70. Sementara itu dari sisi konsumen, pembelian properti residensial mayoritas masih dibiayai dari fasilitas KPR. Hal ini tercermin dari hasil survei yang mengindikasikan bahwa sebagian besar konsumen (75,08 persen) membeli properti residensial dengan menggunakan fasilitas KPR, sementara sebanyak 16,89 persen lainnya dengan tunai bertahap dan secara tunai sebanyak 8,04 persen.

Di Indonesia maupun di negara lain, persaingan pasar (market competition) berfungsi untuk mendistribusikan sumber daya kepada berbagai pihak/pengguna. Kekuatan permintaan dan penawaran pasar berinteraksi dalam perekonomian untuk menentukan harga atas barang, modal, maupun jasa yang dipertukarkan dan kepada siapa hal tersebut dialokasikan. Sumber daya real estat dialokasikan di antara berbagai penggunanya, yakni kepada individu, rumah tangga, bisnis, dan institusi di pasar real estat.

Pasar pengguna real estat dicirikan oleh persaingan di antara pengguna terhadap lokasi fisik dan ruang. Kompetisi pasar pengguna menentukan siapa yang dapat menggunakan bidang tanah dan berapa yang harus mereka tawarkan untuk dapat menggunakan bidang tanah tersebut. Peserta utama (primary participant) di pasar pengguna di antaranya adalah para penghuni potensial, penghuninya adalah si pemilik maupun dari penyewa.

Pengaruh Pasar

Pada akhirnya, permintaan terhadap real estat berasal dari adanya kebutuhan dari para individu, perusahaan, dan institusi akan kemudahan akses ke lokasi lain serta tempat berlindung/shelters untuk mengakomodasi kegiatan mereka. Selain itu, posisi/kondisi keuangan, keinginan dan kebutuhan rumah tangga dan perusahaan turut menentukan keputusan untuk memiliki dan menempati properti atau menyewa properti kepada orang lain.

Pemerintah juga turut mempengaruhi pasar dan nilai dari real estat dalam berbagai cara. Pemerintah daerah mungkin memiliki pengaruh terbesar pada real estat dibandingkan tingkatan pemerintahaan lainnya. Misalnya, pemerintah daerah dapat mempengaruhi pasokan dan biaya real estat melalui kebijakan zonasi dan peraturan penggunaan lahan lainnya, biaya-biaya untuk pengembangan lahan baru, dan regulasi terhadap bangunan yang membatasi konstruksi.

Pasar properti di kawasan Jabodetabek memiliki pasar yang cenderung oligopoli. Hal ini ditandai adanya beberapa perusahaan pengembang menguasai pasar tersebut. Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Erani Yustika mengungkapkan sebanyak 72 persen lahan properti di Jabodetabek sudah dikuasai oleh beberapa perusahaan pengembang atau sekitar 42.000 hektar, 72 persen dari total lahan properti, kalau dari teori ekonomi itu sudah jadi lahan oligopoli.

Apabila oligopoli memang benar terjadi di pasar properti di Indonesia, maka telah terjadi kesepakatan-kesepakatan yang hanya akan menguntungkan kalangan pengembang tertentu saja. Salah satunya adalah pengembang dapat menentukan harga untuk para konsumennya tanpa perlu melihat permintaan pasar. Dampak yang akan terjadi, apabila terus-menerus seperti ini adalah konsumen akan merasa dirugikan. Konsumen tidak bisa ikut menentukan harga dan konsumen pun tidak bisa lagi berpindah ke pengembang lain karena mereka sebenarnya pemain yang sama.

Konsumen harus membayar lebih mahal untuk sesuatu yang sepertinya lebih rendah. Sehingga yang terbentuk di pasar bukan lagi mekanisme pasar, tapi sudah merupakan kondesi anarki. Solusi yang diberikan untuk masalah ini seharusnya ada tindakan dari pemerintah untuk memutus rantai pasar ini dengan membeli kepemilikan dari pengembang tersebut. Pemerintah bisa menjadi pemain dalam properti dan memberikan harga yang sesuai dengan mekanisme pasar.

Agar praktek oligopoli tidak terjadi, pemerintah perlu pula membuat pembatasan waktu atas pembangunan bagi swasta yang sudah mempunyai lahan luas, kalau tidak ada batas waktu, pemilik tanah bisa menahan supply agar tetap tinggi. Jadi agar rumah semakin terjangkau, harus ada batas waktu pembangunan, apabila melewati batas waktu tanah sebaiknya dikuasai negara.

Sumber : https://kedu.suaramerdeka.com/pendidikan/2110551806/oligopoli-real-estate-di-indonesia

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-19 09:24:512024-10-19 09:25:27Oligopoli Real Estate di Indonesia
Page 1 of 3123

TERKINI

  • BEM FH UAD Adakan Program “Dikabarin”31/05/2025
  • BHP UAD Adakan Pelatihan Fotografi Bersama Canon Indonesia31/05/2025
  • Bidang Humas dan Protokol UAD Selenggarakan Upgrading Student Support31/05/2025
  • UAD Raih Penghargaan LPTK Terbaik dalam Penyelenggaraan PPG 202431/05/2025
  • UAD Pertahankan Peringkat Pertama PTS Nasional Penerima Hibah Penelitian Kemendiktisaintek 202531/05/2025

PRESTASI

  • Mahasiswa FKM UAD Raih Juara I Lomba Futsal STPN 2025 Se-DIY31/05/2025
  • Inovasi Tim Jelantina Raih Juara 3 Lomba Poster26/05/2025
  • Mahasiswi UAD Raih Gold Medal dan Penghargaan Khusus di Ajang Internasional26/05/2025
  • Tim Bouqet Snack PBSI PPG UAD Juara 1 Lomba Video dalam Gelar Karya 202526/05/2025
  • Tim Arabian PPG PGSD UAD Juara 2 Lomba Poster dalam Gelar Karya 202524/05/2025

FEATURE

  • Perjalanan Hanifia Merawat Cinta Al-Qur’an31/05/2025
  • Cerita Inspiratif Rino, Meniti Karier dan Perjalanan Melawan Burnout31/05/2025
  • Peran Matematika dan Sains Dalam Teknologi31/05/2025
  • Alya: UKM Karate Mendukung Pengembangan Diri Saya31/05/2025
  • Danang, Apoteker UAD dengan 21 Publikasi Ilmiah, 8 Terindeks Scopus24/05/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top