• TERKINI
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Catatan Hukum: Hukum dan Cawe-Cawe

28/11/2024/in Bernas, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

Koran Bernas (2 Januari 2024)
Ilham Yuli Isdiyanto

Hukum dalam bentuknya yang tertulis tidak pernah menjamin akan dilaksanakan sebagaimana disebutkan dalam normanya, sehingga kepastian hukum bukan dilihat sebagai realitas hukum melainkan cita-cita hukum untuk mewujudkannya. Selama teks hukum masih terbuka pada ruang interprestasi maka hukum tidak akan pernah mampu mewujudkan kepastian teksnya. Hukum yang sudah terintervensi bukan lagi bisa disebut sebagai hukum, ia kemudian berubah menjadi “alat” untuk melegitimasi kepentingan, bukan mewujudkan ketertiban sesuai tujuan hukum itu sendiri. Artinya, saat hukum sudah keluar dari koridor tujuannya berubah haluan menjadi gerbong kepentingan, maka akan muncul ketidakpercayaan terhadap hukum oleh masyarakat. Hal ini tentu berbahaya, bagaimana mungkin bisa hukum yang tidak dipercayai dapat dipertahankan, apalagi lembaga penegak hukum yang seharusnya menjaga marwah kemudian tidak lagi mampu memertahankan kehormatan dan kewibawaannya.

Kado akhir terhadap dinamika hukum nasional ditutup dengan prestasi Mahkamah Konstitusi yang tidak konsisten membangun logika hukumnya sehingga terplesetkan menjadi “Mahkamah Keluarga” karena peran “Sang Paman”.

Seharusnya hal ini tidak mengagetkan, karena pada awal tahun 2023 arogansi sudah muncul kala drama Undang Undang Cipta Kerja diputuskan inkonstitusional bersyarat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVII/2020 namun secara arogansi pemerintah bukannya memperbaiki proses meaningfull participation tetapi malah menerbitkan Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja dan ditetapkan melalui UU No. 6/2023 pada awal tahun 2023.

Hal ini memperlihatkan, jangankan berharap pada penegakan hukum (legal enforcement) yang baik, bahkan berharap pada pembentukan hukum yang baik pun kita pesimis karena tidak menunjukkan sisi demokratisasi. Belajar dari Prof. Mahfud, MD yang memberikan barometer karakter produk hukum sangat dipengaruhi konfigurasi politiknya, maka konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang represif/konservatif ortodoks. Menariknya, saat UU Cipta Kerja dianggap nir-partisipasi, beliau menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).

Hukum dan Pikiran Tentangnya

Satjipto Rahardjo sudah sejak lama menaruh kecurigaan pada hukum nasional, ia melihat peraturan perundang-undangan kadang memiliki sifat kriminogen, yakni membuka peluang untuk melegitimasi perbuatan yang seharusnya adalah kejahatan. Dalam konteks ini, problem hukum bukan hanya pada produk perundang-undangannya, melainkan dengan cara berfikir hukumnya (legal culture).

Problem hukum yang pertama adalah problem teoritik, di mana tidak ada satu pun metode berhukum yang disepakati di Indonesia. Artinya, setiap penegakan hukum memiliki cara sendiri untuk menginterprestasikan hukum sesuai dengan kapasitasnya bahkan “kepentingannnya”.

Kasus korupsi mungkin menjadi salah satu hal yang paling banyak menjadi sorotan, yang kini masih menyisakan “pekerjaan rumah” adalah belum selesainya kasus Johnny G Plate terkait pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika karena disinyalir kerugian negara mencapai Rp. 8 triliun.

Selain itu, masyarakat dikagetkan saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Pertanian Syahrul Yasinn Limpo sebagai tersangka pemerasan dan tindak pidana pencucian uang. Kelakuan para birokrat semakin membuat masyarakat geram, apalagi skandal Syahrul Yasin Limpo dengan Firli Bahuri yang notabene Ketua KPK diendus oleh publik.

Kekecewaan dan “surprise” terhadap kasus hukum pun ternyata masih berlanjut, di mana Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eddy Hiariej menjadi tersangka gratifikasi senilai Rp. 8 miliar. Masyarakat menjadi geram karena Eddy Hiariej yang notabene adalah ahli hukum pidana termasuk akademisi seharusnya menjaga marwah kepercayaan publik, namun yang terjadi adalah diduga sebaliknya.

Maraknya kasus korupsi seakan mengarahkan bahwa penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi tidak efektif karena tidak menimbulkan efek jera. Masyarakat merindukan sosok seperti almarhum Artidjo Alkostar saat menjadi Hakim Agung selalu menjadi sosok menakutkan bagi koruptor karena menghukum lebih berat.

“Cawe-Cawe” Penegakan Hukum

Fenomena “Mahkamah Keluarga”, kasus Firli Bahuri hingga Eddy Hiariej adalah bagaimana proses penegakan hukum masih tidak “steril” dari cawe-cawe. Intervensi terhadap proses penegakan hukum mengindikasikan bahwa hukum tidak pernah berada pada ruang yang netral, secara teks hukum akan imparsial namun secara prosesnya ia penuh dengan berbagai kepentingan.

Hukum dalam bentuknya yang tertulis tidak pernah menjamin akan dilaksanakan sebagaimana disebutkan dalam normanya, sehingga kepastian hukum bukan dilihat sebagai realitas hukum melainkan cita-cita hukum untuk mewujudkannya. Selama teks hukum masih terbuka pada ruang interprestasi maka hukum tidak akan pernah mampu mewujudkan kepastian teksnya.

Hukum yang sudah terintervensi bukan lagi bisa disebut sebagai hukum, ia kemudian berubah menjadi “alat” untuk melegitimasi kepentingan, bukan mewujudkan ketertiban sesuai tujuan hukum itu sendiri. Artinya, saat hukum sudah keluar dari koridor tujuannya berubah haluan menjadi gerbong kepentingan, maka akan muncul ketidakpercayaan terhadap hukum oleh masyarakat. Hal ini tentu berbahaya, bagaimana mungkin bisa hukum yang tidak dipercayai dapat dipertahankan, apalagi lembaga penegak hukum yang seharusnya menjaga marwah kemudian tidak lagi mampu memertahankan kehormatan dan kewibawaannya.

Setelah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi dan KPK, institusi penegak hukum mana lagi yang kemudian masih tersisa untuk menjadi tumpuan pengharapan. Kebutuhan masyarakat adalah hukum benar-benar menunjukkan kewibawaannya, menjadi pelindung. Sanksi yang tegas dan benar-benar mampu membuat setiap orang berfikir untuk melanggarnya.

Resolusi Tahun Baru 2024

Persoalan hukum adalah hal mendasar, karena dia menempatkan standar dan arah tingkah laku ke depannya. Masyarakat menginginkan kepastian, yakni hukum mampu diprediksi secara nalar, bukan “dicawe-cawe” yang menjadikannya mengingkari rasa keadilan yang ada pada masyarakat.

Resolusi hukum tahun 2024 harus dimulai dengan strategi transparasi kelembagaan dan evaluasi kapasitas. Melalui transparasi kelembagaan maka akan diketahui pola penegakan hukum selama ini seperti apa, termasuk orientasi dan metode kriminalisasi yang dilakukan.

Selanjutnya adalah evaluasi kapasitas baik kapasitas kelembagaan maupun kapasitas personal. Kapasitas kelembagaan penting untuk melihat jangkauan dan upaya efektifitasnya, sedangkan kapasitas personal adalah untuk melihat kualitas dan kemampuan dari penegak hukum yang sudah berorientasi pada keadilan bukan pada pragmatisme. Terutama Hakim memiliki peran penting, karena kapasitas personalnya juga didasarkan pada sisi spiritual-religius yang tertuang pada setiap irah-irah putusannya. Salam.

 

sumber : https://koranbernas.id/catatan-hukum-hukum-dan-cawe-cawe

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-28 08:53:332024-11-28 08:54:25Catatan Hukum: Hukum dan Cawe-Cawe

Membaca Relawan

18/11/2024/in Opini, Publikasi 2024, Suara Muhammadiyah /by NewsUAD

 

Suara Muhamamdiyah (19 Februari 2024)
Sobirin Malian

Dalam setiap hajatan Pemilu ada fenomena menarik yang bisa diamati (dibaca) yaitu munculnya para  relawan atau volunteers yang bisa dikatakan sangat komit dan militan terhadap kandidat yang didukungnya.

Keterlibatan relawan sangat berpengaruh karena inisiatif mereka nampak sangat mulia. Keterlibatan ini murni panggilan hati untuk kebaikan bersama tanpa motif keuntungan dan afiliasi dengan bisnis, tanpa didikte pemerintah atau partai politik. Itulah gambaran daya societal ajaib yang sering muncul di masa darurat masyarakat. Dari berbagai pendapat para ahli, menjamurnya gejala kerelawanan dapat menjadi tanda suatu masyarakat memang sedang berada dalam situasi darurat atau negara dianggap tidak baik-baik saja.

Istilah “darurat” mengacu pada penilaian tentang situasi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu, secara mendalam dipengaruhi idiom persoalan yang sedang berlaku. Bentuk kerelawanan sangat luas, mulai dari relawan bencana alam, politik, kesehatan hingga sensus. Organisasi seperti “pemantau/saksi pemilu” atau Medecins Sans Frontieres (MSF/dokter tanpa batas), Mercy’s (yang sangat terkenal dari  Indonesia) dengan tenaga medis dan kemanusiaan di peperangan adalah contohnya.

Keberadaan berbagai kelompok relawan sering dipandang sebelah mata bahkan sering diejek tentang motif mereka menjadi relawan. Dalam kaitan ini muncul pembedaan motif “altruisme” dan “kepentingan diri”, antara idealisme dan realisme. Pembedaan itu bukan saja bersifat konyol, tetapi lebih mengarah kepada asal bunyi (asbun); stigma negatif. Stigma itu bisa saja benar, seperti banyak tindakan lain, kerelawanan digerakkan oleh banyak motif: dari heroisme sampai pencarian angka “cum” bagi curriculum vitae pangkat atau guna lamaran kerja, dari keprihatinan akan penderitaan, empati, hingga keberpihakan dalam politik. Dalam konteks ini kita mesti berhati-hati agar tidak terjebak pada meromantisme kerelawanan.

Dilihat dari durasi waktu, kerelawanan bisa dalam jangka panjang dan tetap seperti terlibat dalam membantu korban perang, contoh di Gaza atau yang berciri sesaat sebagai respon atas situasi yang dianggap darurat. Lalu, apa yang memicu kemunculan aneka keragaman kerelawanan politik? Khususnya yang sangat menonjol dalam pemilu 2024 adalah relawan “perubahan” pendukung pasangan 01, AMIN (Anies-Muhaimin) ? Jika masifnya kerelawanan bisa menjadi tanda suatu masyarakat sedang berada pada momen darurat; apanya yang darurat ?

Darurat Politik Dinasti dan Sikap Kenegarawanan

Sinyal kedaruratan sangat nampak: ada krisis politik dinasti dan sepak terjang (cawe-cawe) Presiden yang jelas-jelas melanggar undang-undang. Lembaga hukum seperti MK pun menjadi alat permainan politik.

Warga awam pun dapat menilai bahwa politisi dan pejabat saat ini makin aneh dan itu membuat institusi politik dalam arti sempit kian membusuk. Politik dan pejabat lalu menjadi hujatan sinisme. Perguruan tinggi swasta dan negeri pun bereaksi keras, akibat sumbatan politik (partai) dan lembaga legislatif DPR/DPD tak bekerja.

Muara sinisme tadi jelas sumbernya dari Presiden yang melakukan “ketidakwarasan” politik dan sementara pilihan politik “waras” banyak diwakili oleh belahan dunia, misalnya terpilihnya Sadiq Khan sebagai wali  kota London atau Justin Trudeau sebagai PM Kanada beberapa tahun lalu sebagai contoh.

Penolakan terhadap politik dinasti di satu sisi dan dukungan terhadap politik waras yang taat hukum (konstitusi) di sisi lain, merupakan dua bentuk corak kelas politik dengan kepentingan yang secara diametral sangat berbeda. Bagaimana pun muara politik “tidak waras” dan sinisme terhadapnya sungguh mencemaskan. Patut diingat politik adalah cara kita membentuk, mengelola dan merawat kehidupan bersama, sehingga semaju apa pun sektor bisnis, misalnya, tidak akan dapat menggantikan proses politik bernegara secara sehat.

Privelese dan prerogratif “kelas politik tidak waras” inilah yang rupanya sedang membusuk. Pada kelompok ini memberi justifikasi dan narasi, “bukankah tidak semua politik dinasti itu buruk; toh banyak juga terjadi di negara-negara lain, mengapa hanya kami yang dituding ?! Maksudnya tentu agar kebusukan mereka  terbenarkan, sebab mereka tidak sendirian. Dalih seperti ini jelas menyesatkan karena yang terjadi di belahan dunia lain_politik dinasti terseleksi dengan ketat dan tetap dalam koridor hukum (konstitusi). Manakala menyimpang dari rel politik dan hukum yang benar, dinasti politik akan dipotong dengan tegas.

Tampaknya ada beberapa hambatan kondisional yang layak kita diskusikan. Pertama, institusi, menurut Boni Hargens (2018), belum sepenuhnya terbebas dari warisan Orde Baru. Hal ini terbukti Jokowi hanya berbasa-basi ketika dia menggagas konsep revolusi mental. Perjalanan pemerintahan Jokowi selama sembilan tahun sudah cukup baginya untuk menancapkan “kuku kuku kekuasaannya”. Ini pula yang menjadi salah satu akar iblisnya, the roof of evils.

Kedua, lemahnya politik nilai. Uang dan kekuasaan masih menjadi faktor determinan dalam proses politik. Kita belum terbiasa dengan persaingan nilai dan gagasan. Alhasil, politik menjadi ajang memperkaya diri melalui KKN dan memupuk kekuasaan guna investasi perjuangan politik di masa depan (kasus politik dinasti Jokowi).

Ketiga, KKN jelas-jelas melemahkan kewibawaan hukum dan kekuasaan koersif negara. Hukum tebang pilih, tumpul ke atas tajam ke bawah.Bukan karena institusi hukum lemah, tetapi karena komunikasi akibat KKN begitu kental. Pejabat dan penegak hukum menjadi mafia.

Hal ini berlaku juga dalam banyak konteks. Misalnya, mafia tambang, mafia gula, mafia bawang, garam, minyak goreng  dan lain-lain. Pengusaha tambang atau oligarkhi tidak lagi takut terhadap pemerintah karena merasa mampu membayar siapa saja yang mengganggu kepentingannya. Praktik-praktik semacam inilah yang mengekalkan kesemrawutan. Hal itu masih ditambah dengan hancurnya kepolisian dan KPK karena sudah dikangkangi oleh eksekutif (pemerintah/penguasa).

Faktor keempat, patronase. Menurut Sigel (1999) dalam setiap fenomena politik selalu ada segelintir “orang kuat” yaitu mereka yang memiliki sumber daya ekonomi dan (politik) kekuasaan. Mereka bisa mengendalikan pranata hukum dan politik secara simultan. Orang-orang kuat inilah yang menjamin para mafia (Vittorio Mete, 2019) dalam kerjanya. Apabila penegakan hukum bisa menyentuh para “orang kuat” ini, niscaya akan makin sehatlah demokrasi dan hukum. Sebaliknya, jika mereka “untouchable” tak tersentuh oleh hukum, maka mereka makin merajalela, dan bahkan melahirkan politik dinasti yang nantinya akan merusak semua tatanan hukum dan kenegaraan.

Matinya Integritas  

Integritas adalah sikap atau perilaku yang benar, jujur dan adil. Artinya orang yang berintegritas harus benar, jujur dan adil terhadap diri dan orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu, integritas adalah suatu keniscayaan, sebab tanpa penyelenggara, elite politik dan peserta pemilu yang berintegritas, maka hasil pemilu tidak berkualitas (Van Ham, Carolien., 2015:714-737).

Hasil pemilu yang tidak berkualitas menyebabkan tidak adanya ‘trust’ masyarakat terhadap para pemimpin. Hasil pemilu yang tidak ada ‘trust’ dari masyarakat memunculkan oligarki  yang membajak kedaulatan rakyat. Pemilu yang berintegritas adalah sarana dimana rakyat memberikan amanah kepada para pemimpin yang berdaulat bukan para pemimpin yang dipilih oleh rakyat, tetapi rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Pemilu yang berintegritas akan menghasilkan kualitas pemimpin yang baik pula. Namun temuan dalam banyak penelitian diantaranya oleh Gregorius Sahdan,dkk,” MEMBONGKAR MAFIA DAN OLIGARKI DALAM PEMILU 2019,” menunjukkan adanya keterputusan elektoral antara pemilih dan yang dipilih. Tidak ada hubungan antara pemilih dan pemimpin yang dipilih atau telah terjadi keterputusan elektoral. Dengan kata lain aspirasi pemilih/rakyat selaku pemilik kedaulatan tidak tersampaikan dalam pengambilan kebijakan publik. Kalau rakyat selaku pemilik kedaulatan tidak lagi berkuasa, maka hal ini merupakan tanda lonceng kematian demokrasi di Indonesia.

Politik tanpa mengutamakan integritas akan memunculkan persaingan perebutan kekuasaan yang mengabaikan nilai-nilai moral. Bila nilai-nilai moral diabaikan, politik akan memunculkan serigala-serigala (lupus-lupus) yang saling memangsa sesama. Sesungguhnya yang bersaing bukan hanya elite politik an sich dalam merebut kekuasaan, namun di balik semua itu antar ormas agama juga berebut kekuasaan melalui penguasaan penyelenggara pemilu. Memperhatikan persaingan yang ketat antar kandidat dalam Pilpres memunculkan satire merendahkan satu dengan yang lainnya. Istilah cebong dan kampret (pada Pemilu 2019) mewarnai kampanye Pilpres dan menunjukkan rendahnya moralitas elite politik. Kata cebong (anak katak) diviralkan untuk menjelekkan para pendukung Jokowi. Sebaliknya sebagai balasan atas sindiran pendukung Prabowo tersebut dimunculkan-mereka menyebut dengan kampret. Kata kampret (anak kelelawar) adalah julukan untuk para pendukung Prabowo yang hanya bisa berkoar-koar. Perang sindiran yang merendahkan antar para pendukung dalam kampanye Pilpres tersebut telah memecah masyarakat menjadi dua. Hal ini mengindikasikan bahwa elite politik tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.

Selaras dengan hal tersebut para tokoh agama dan masyarakat yang seharusnya menjadi penengah dan peneduh, malah sebaliknya mereka ikut mendukung salah satu calon kandidat. Pemilu 2019 lalu dan juga Pemilu 2024 ini telah memberi catatan buruk, khususnya matinya integritas di antara penyelenggara pemilu, elite politik dan peserta pemilu. Bila berpolitik tidak mengutamakan integritas, maka akan memunculkan manusia yang buas. Dalam bahasa Hobbes, manusia buas, disebut dengan serigala (lupus). Dalam imaji Hobbes, manusia adalah serigala yang tidak bisa diatur dan bertendensi saling memangsa. Oleh karena itu Hobbes menjuluki dengan istilah homo homini lupus – manusia adalah serigala bagi sesamanya. Ini poin penting yang membangkitkan para relawan.

Selamat Datang Relawan Politik

Seperti telah diurai di depan, motif kerelawanan selalu beragam. Begitu juga keragaman penyebab munculnya kerelawanan politik. Namun, lonjakan ketidakpercayaan terhadap perilaku Presiden Jokowi rupanya menjadi faktor sentral dalam keragaman penyebab termasuk datang dari berbagai kampus. Kalau dilihat, pada Pemilu 2024 ini kerelawanan politik itu menjadi fenomena di seluruh Indonesia. Tampak jelas para relawan itu senafas dengan keluhan mereka, bahwa mereka telah pengap dan muak dengan kondisi yang ada, dan mereka  membutuhkan perubahan. Dan itu ada pada pasangan AMIN-01.

Pertanyaannya, mengapa ketidakpercayaan dan sinisme terhadap corak politik seperti itu memunculkan sikap kerelawanan dan tidak apatis?  Hal yang sering dilupakan, dalam lebih dari satu dasarwarsa terakhir telah berlangsung aneka eksperimen kerelawanan politik dan independensi, yang pada momen penting siap berubah menjadi partisan (partisan volunteerism). Sejatinya ketika Jokowi ikut pada 2014 juga cukup banyak dibantu oleh kerja keras relawan partisan. Juga masa sebelumnya di era SBY. Sayangnya fenomena dukungan kini berbalik akibat blundernya Jokowi.

Apakah keutamaan independensi dan kerelawanan politik demikian luhurnya? Pertanyaan ini tentu menggelikan. Kalau melihat dulu para relawan Ahok pada Pilkada DKI, nampak energi besar ada di sana tetapi para relawan ini mudah terkena sindrom “rabun politik” yang menyebabkan mereka gampang terpeleset. Pertama, kecenderungan menganggap setiap kritik kepada kepemimpinan Ahok sebagai penolakan terhadapnya. Mereka anti kritik. Padahal, mendukung tanpa kritik adalah energi menuju tribalisme politik. Kedua, para relawan tak perlu kaget dengan segala sindrom kekuasaan ini. Orang yang mendapat kuasa, sesopan apa pun pada awalnya, mudah dirasuki lupa daratan. Itulah yang dialami Jokowi setahun menjelang habis masa jabatannya, lalu memilih jalan politik dinasti.

Sebagai catatan penting, relawan jika yang diusung terpilih jangan dikira tanpa masalah__akan banyak dampak negatif ikutannya, tetapi hal positif yang penting dicatat bahwa kerelawanan mengemban misi menerobos kebuntuan hidup yang tersekat-sekat agar bangsa atau konstalasi negara dapat berubah lebih baik. Perubahan ! …itulah jawaban mengapa  para relawan itu  tumbuh meruyak dan besar bak jamur di musim hujan.

Sumber https://suaramuhammadiyah.id/read/membaca-relawan

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-18 09:21:322024-11-18 09:22:30Membaca Relawan

Politik Kebencian dan Berpikir Kritis

18/11/2024/in Opini, Publikasi 2024, Suara Muhammadiyah /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Muhammadiyah (14 januari 2024)
Sobirin Malian

Hampir di setiap pergelaran Pemilu sejak 2017 politik kebencian selalu merebak. Yang sangat menonjol ada tegangan politik intens yang menghunuskan permusuhan terhadap yang berbeda sebagai yang harus dipojokkan, dimusuhi dan dipencilkan.

Semestinya pencerdasan politik atau pendidikan politik harus hadir sebagai harapan tentang diskursus kritis yang akan mewarnai pesta demokrasi seperti sekarang ini sehingga kita mampu menikmati dan mengucapkan selamat tinggal pada politik kebencian.

Sangat disayangkan, sejak Pemilu 2014 polarisasi politik kebencian tak bisa kita lepaskan. Bahkan  politik kebencian selalu dimobilisasi hingga terus membesar sampai 2024 ini. Kebencian pada awalnya digerakkan oleh hasrat merebut kekuasaan dalam arena politik atau dunia olahraga lalu memasuki semua relung-relung dalam kehidupan dan mengancam sosiabilitas kita. Riak-riak ancaman, konflik memenuhi ruang-ruang publik menggoyang harmoni sosial bahkan keluarga.

Politik kebencian bak air bah mengalir deras menghantam siapa pun yang saling berbeda pilihan.Di dalamnya terdapat eksklusi dan sekat-sekat yang beroperasi menghasilkan dukungan politik, terutama dari generasi milineal, dan floating mass (massa yang belum menentukan pilihan). Ironisnya, alih-alih terwujud suatu solidaritas dan kedamaian, dukungan eksklusif justru semakin menegaskan segregasi (pengelompokan) yang dikukuhkan dinding tebal pemilahan antara “aku” dan “kau”, “kami” dan “mereka”.

Dalam pemilahan tersebut, perbedaan bukan sebagai rahmat yang memungkinkan interaksi, sinergi dan  solusi, tetapi sebagai perangkat penyekat. Sangat berlawanan dengan interaksi, sinergi dan solusi__penyekat adalah suatu tindakan non intercourse; ketika mereka menimbang hanya kesamaan tanpa kesediaan untuk mendialogkan perbedaan. Aspek resiprokalitas, yang menjadi ciri “rahmat dari perbedaan” justru diarahkan kepada suatu pemencilan dan rasa permusuhan. Debat pun akhirnya dilaporkan.

Sadar tidak sadar resiprokal yang berujung pemencilan telah mengancam sosiabilitas. Orang cenderung kehilangan sikap ramah terhadap perbedaan karena terhasut dan terjebak dalam politik kebencian tadi yang diseret-seret dalam permainan kekuasaan. Padahal, pelingkupan inilah yang menjadi modal solidaritas, pembentuk pilar dan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara.

Kebhinekaan telah digerus oleh kepicikan para demagog politik yang berupaya mengidentifikasikan diri dengan kelompok mayoritas, mengesankan diri sebagai pembela kepentingan mereka dan menjanjikan kebijakan-kebijakan yang seolah anti-elitisme. Gaya populisme ini masih ditambah satu kunci propaganda untuk mengidentifikasi pihak lain sebagai sumber masalah yang harus dimusuhi.

Populisme menjadi masalah dalam politik Indonesia manakala populisme dianggap berafiliasi dengan politik identitas (agama dan budaya); populisme oleh karenanya dianggap mengancam integritas masyarakat karena rentan menggiring masyarakat dan atau negara pada perpecahan.

Lebih jauh, politik identitas dibungkus agama dan budaya memiliki andil besar untuk memantik sentimental dan menarik simpati militan pengikut kelompok identitas tertentu. Populisme berbasis politik identitas disinyalir jika memobilisasi kekuatan massa dan bertendensi mengabaikan keberadaan individu atau kelompok di luar dirinya. Atas dasar itulah, Marc F Plattner (2010) menyebut populisme sebagai suatu antema bagi demokrasi, antara lain ancaman serius yang dibawa oleh gaya politiknya yang sejatinya anti keberagaman.

Politik Harapan dan Harapan Politik

Realitas yang pahit kadangkala melahirkan hikmah, menjadi pelajaran yang penting. Bahkan tidak jarang kondisi yang pahit tadi melahirkan idealisme baru sebagai harapan masa depan. Apa yang kita lakukan saat ini akan mempengaruhi masa depan kita nantinya. Jika tak ingin membuat kesalahan yang sama seperti masa lalu, lakukan hal yang lebih baik dari sekarang. Oleh karena itulah, pahitnya politik kebencian  mesti kita akhiri segera, agar kita dapat beranjak menyongsong harapan-harapan politik baru.

Pada 2024 ini, kita segera menghadapi momen pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden lalu disusul pilkada serentak, tentu masih banyak energi yang kita butuhkan untuk menghadapi momen penting politik itu. Titik ini menjadi sangat krusial bukan sekadar ia menjadi ajang pertarungan kekuasaan, melainkan ia strategis menentukan arah perkembangan negara ke depan. Apakah akan terkonsolidasi ataukah akan terjadi perubahan.

Bagaimana pun politik kebencian telah meninggalkan celah pembelahan sosial, yang mengindikasikan suatu kemunduran demokrasi. Pertanyaan penting kini, bagaimana politik itu menjadi arena pendidikan yang mampu mendewasakan, bukan terjebak pada pertikaian.

Jika para kandidat dan para pendukungnya hanya bisa mematut diri sambil mencibir, menyinyir kelemahan lawan, dapat dipastikan proses politik kita gagal menghasilkan suatu diskursus yang mencerdaskan. Sebaliknya, bila para kandidat mampu menyodorkan alternatif (program, visi, misi) yang cerdas bagi masa depan pemilih, tentu akan mendewasakan demokrasi kita, sekaligus meninggalkan politik kebencian. Dengan menolak meremehkan nalar sehat untuk diinjak-injak dogma, mari kita bersepakat…ucapkan selamat tinggal politik kebencian.

Berpikir Kritis dan Melahirkan Kebijakan

Bagaimana pun, politik kebencian dapat melahirkan konflik sosial akibat kesalahpahaman penafsiran informasi dari media sosial atau dari mana saja. Bahayanya hal ini akan menguatkan fenomena post-truth atau pascakebenaran yang berpotensi memecah belah kehidupan sosial. Selain itu, dalam keseharian kita juga dihadapkan dengan berbagai aturan dan regulasi yang dibuat oleh pihak yang berkuasa. Sebagai individu kita memang wajib mematuhi hukum yang berlaku selama itu baik bagi kehidupan bersama. Namun, kita juga harus aktif dan bersikap kritis terhadap aturan yang dibuat karena bisa saja aturan yang dibuat hanya ditujukan menguntungkan pihak tertentu tapi merugikan pihak lain.

Dalam bahasa Michel Foucault, pengetahuan (power) dan kekuasaan (knowledge) sangatlah berkaitan erat. Bentuk dominasi modern termanifestasi dalam bentuk yang tidak ‘terlihat” terutama melalui wacana yang banyak menggunakan bahasa sebagai instrumennya. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis sangat kita perlukan, terutama kritis dalam mencermati berbagai wacana yang memanfaatkan permainan bahasa (language of game). Apa Itu Berpikir Kritis? “Kritis” dalam konteks “berpikir kritis” sering diartikan secara keliru sebagai kegiatan menyerang atau menjatuhkan seseorang.

Kesalahpahaman ini tidaklah tepat dan dapat berpotensi membatasi kebebasan berpendapat, terutama di era rezim otoriter. Di era Orba “sikap kritis” sering diidentikkan sebagai bentuk pembangkangan dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah. Tetapi di era Jokowi pun, kritik sering dianggap dapat membahayakan keberlangsungan kekuasaan. Akibatnya, mereka yang gemar mengkritisi kebijakan pemerintah selalu berujung dilaporkan dengan alasan melanggar UU ITE. Hal ini tentunya sangat mencederai paham demokrasi yang dianut oleh negara kita.

Lalu apa itu berpikir kritis? Defisini paling sederhana dari sikap atau berpikir kritis adalah kemampuan untuk memecahkan permasalahan, mempersoalkan atau mempertanyakan sesuatu hal. Rocki Gerung mengatakan, berpikir kritis artinya bercakap dalam ruang dialogis dan terbuka terhadap kritik.  Ironisnya, hari-hari ini orang mengidap resistensi terhadap kritik. Dalam hal kehidupan politik misalnya, kritik tidak dipahami sebagai suatu hal yang konstruktif melainkan sebagai ancaman terhadap jalannya pembangunan (Warta Feminis, 5/12/2017).

Berpikir kritis berarti mempertimbangkan suatu bentuk pengetahuan atau keyakinan yang diterima begitu saja (taken for granted) secara aktif, terus menerus, dan teliti dengan menyertakan alasan, mengedepankan fact-checking, dan mengambil kesimpulan yang logis. Intinya,  upaya memulihkan akal sehat publik. Dalam bukunya yang berjudul Logic as Theory of Validation: An Essay in Philosophical Logic, Richard W. Paul berargumen bahwa berpikir kritis berkenaan dengan proses disiplin-intelektual yang menuntut individu untuk terampil dan aktif dalam memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesakan, dan/atau mengevaluasi informasi berdasarkan observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, dan komunikasi yang dilakukan.

Bagi Paul, kegiatan ini dapat dijadikan pedoman untuk meyakini sesuatu dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut. Berdasarkan rujukan di atas, secara filosofis berpikir kritis bukanlah dimaksudkan untuk menyerang, mencari kesalahan, atau menjatuhkan orang lain, melainkan mengajukan argumen secara rasional untuk menghindari kesalahan berpikir dan melahirkan sebuah pandangan logis terhadap suatu hal.

Oleh karena itu, berpikir kritis tidaklah mudah karena kita dituntut untuk memiliki keterampilan intelektual dan komitmen untuk memahami dan memproses informasi yang kita terima dari sumber manapun. Selain itu, kedewasaan berpikir dan kebijaksanaan sangat diperlukan dalam kegiatan ini karena tidak semua orang mudah menerima kritikan, khususnya bagi rezim yang berkuasa, sehingga dibutuhkan sikap besar hati untuk secara sportif menerima kritikan sebagai bentuk masukan positif guna terus memperbaiki diri. Melatih diri berpikir kritis sebagai sebuah keterampilan (skill), berpikir kritis membutuhkan pengetahuan, kemampuan berbahasa, kreativitas, dan komitmen intelektual selain itu berpikir kritis membutuhkan proses yang tidak singkat.

Berpikir kritis tidaklah mudah, namun bukan berarti tidak mungkin bisa dilakukan. Mengembangkan cara berpikir kritis dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengenali suatu permasalahan serta menentukan cara atau strategi untuk mencari solusi atas suatu permasalahan. Kemudian, kita juga dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas yaitu dengan cara mencari informasi yang relevan sebanyak-banyak untuk membongkar maksud dan tujuan di balik suatu gagasan tertentu.

Selain itu, kita juga harus memiliki keterampilan bahasa yang baik karena dalam mengkritisi suatu persoalan kita akan menuangkan kritikan kita dalam bahasa yang komprehensif, lugas, dan tidak bertele-tele. Hal ini ditujukan supaya kritik tersampaikan dan dapat dimengerti dengan baik kepada yang dituju. Budaya masyarakat, maraknya fenomena post-truth, ujaran kebencian, hingga disinfomasi di era digital ini semakin menuntut kita untuk bersikap kritis terhadap segala hal. Jika tidak, kita akan terjerumus dan “terjebak” secara emosional dalam konten pemberitaan yang kadang menyesatkan.

Lahirnya, UU 19/2016 perihal Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai dasar hukum serta direncanakannya polisi virtual untuk mengontrol pelanggaran memang diperlukan. Namun yang terpenting adalah kita harus menjadikan berpikir kritis sebagai budaya dalam kehidupan sehari-hari supaya masyarakat terbiasa mengindentifikasi dan menganalisis suatu permasalahan dengan mengandalkan logika, bukan emosi sehingga tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat negatif.

Budaya berpikir kritis juga harus diperkuat, terutama di sektor pendidikan (nampaknya ini pula tujuan dari program Belajar Merdeka di kampus-kampus), untuk menciptakan sumber daya manusia yang terbiasa menggunakan rasionalitas dalam memecahkan suatu permasalahan. Keuntungan lainnya dari berpikir kritis adalah kita akan dengan sendirinya menumbuhkan rasa kemanusiaan karena kita terbiasa menggunakan logika untuk kepentingan bersama.

Yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai manusia yang dianugerahi akal sehat untuk berpikir, selain kritis terhadap hal yang merugikan, kita juga harus terbuka dan siap untuk dikritik, bukan anti-kritik. Hal ini demi kebaikan diri sendiri maupun kepentingan kolektif.

Sumber https://www.suaramuhammadiyah.id/read/politik-kebencian-dan-berpikir-kritis

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-18 09:10:562024-11-28 08:54:46Politik Kebencian dan Berpikir Kritis

Benarkah Surah Asy-Syu’ara Surah Para Pemusik?

18/11/2024/in Opini, Publikasi 2024, Suara Muhammadiyah /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Muhammadiyah (18 Mei 2024)
Muhammad Zakaria Darlin

Sontak banyak orang terkejut dengan istilah baru yang disebutkan oleh Ustadz kondang yang memiliki jutaan pengikut, Ustadz Dr. Adi Hidayat, Lc., M.A. Lulusan Bahasa dan Sastra Arab dari Tripoli Libya ini selain dikenal aktif berdakwah dengan media sosial beliau juga aktif dalam persyarikatan sebagai Wakil Ketua I Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. Dalam salah satu potongan video dakwah nya yang viral, beliau menyebutkan dalam Bahasa yang mudah difahami oleh umat, bahwa Surah Asy-Syu’ara (Surah Para Penyair) dapat diartikan sebagai Surah Para Pemusik.

Banyak pihak terkejut dengan pemaknaan ini, ada yang kecewa, berhenti mengikuti bahkan yang paling brutal ada yang sampai mengkafirkan UAH karena telah menghalalkan musik. Bagi mereka yang keras, musik apapun jenisnya dianggap secara general sebagai dosa dan maksiat layaknya zina dan minum khamar. Hadits yang dipakai sebagai dalil pengharaman adalah hadits umum yang sering diangkat tentang akan munculnya di akhir zaman kelak, suatu kaum dari umat islam yang akan menghalalkan zina, mabuk-mabukan, memakai sutra dan alat musik. Padahal jelas dalam Fiqih, permasalahan musik ini adalah ranah ikhtilaf Ulama.

Para Ulama sedari awal memang sudah berbeda pendapat tentang keharaman alat musik secara pasti, disebabkan tidak ada lafaz jelas (shorih) yang mengharamkan alat musik layaknya khamar, zina dan riba yang sudah pasti keharaman nya. Kata Musik (Al-Musiqo) merupakan kata baru di dalam nash agama Islam dan tidak pernah disebutkan secara gamblang (Shorihan) di Al-Quran maupun Sunnah tentang kehalalan ataupun keharaman nya. Kata yang sering kita dengar mengenai pengharaman musik hanya membawa kata ”Lahwul Hadits”  (kalimat senda gurau) yang disebutkan dalam surah Luqman ayat 6, kemudian kata “Al-Ma’azif”  (alat-alat yang menyebabkan senda gurau dan kelalaian) yang disebutkan di dalam hadits yang sama tentang pengharaman zina, khamar, dan sutera.

Musik di Era Jahiliyah, Shodrul Islam, Umawiyah dan Abbasiyah

Musik yang dikenal hari ini dengan berbagai genre-nya, bukan datang secara tiba-tiba. Di zaman Jahiliyah (200 tahun sebelum Islam datang), bahkan orang Arab Jahiliyah yang masih menyekutukan Allah dengan berhala, sudah mengenal istilah Al-Hida’. Al-Hida’ merupakan salah satu jenis nyanyian sederhana yang dipakai oleh Qofilah (rombongan orang Arab yang sedang safar dengan unta) memakai jenis bahar ( ketukan nada) yang dipercaya selaras dengan hentakan kaki unta. Ketukan nada ini bernama Bahar Rajaz. Bahar atau Buhur merupakan istilah dalam Ilmu Arudh dan Qawafi (salah satu cabang ilmu Bahasa Arab) yang mempelajari ketukan-ketukan nada dalam syair Arab.

Syair Arab yang mengandung unsur nada Buhur dan Qafiyah dan bisa diiringi oleh musik ini ternyata tidak pernah diharamkan dalam Islam. Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri memiliki penyair pribadi yang bernama Hassan bin Tsabit, Ka’ab bin Zuhair dan Ka’ab Bin Malik yang sedia membela Nabi dari serangan verbal berupa syair celaan (Hija’) dari orang Kafir Quraisy. Kepada Ka’ab bin Malik Nabi pernah menghadiahkan sorban nya sebagai tanda terima kasih atas syair burdah (pujian) nya untuk Nabi. Rasulullah SAW juga pernah memuji penyair wanita bernama “Khansa” sebagai penyair terbaik yang pernah ada yang dijelaskan dalam sebuah hadits. Siti Fatimah RA, anak perempuan yang paling dicintai Nabi, pun juga pernah membuat syair kesedihan (Ar-Ritsa’)  untuk Baginda Nabi setelah wafatnya beliau.

Tradisi baik ini berlanjut hingga ke zaman kekhalifahan, setiap khalifah bahkan memiliki penyair pribadi nya masing-masing. Di zaman Umawiyah dan Abbasiyah berkembang pesat ilmu kepenyairan hingga muncul tokoh-tokoh penyair besar beberapa penyair yang paling terkenal seperti Akhthol, Farazdaq, Jarir,  Ibnu Rumi, Al-Mutanabbi, dan Abu Nawas.

Bukan hanya membolehkan syair Arab, bahkan Nabi pernah membolehkan mizmar (jenis alat musik tiup) di dalam rumah beliau yang digunakan oleh beberapa anak perempuan saat hari raya. Nabi juga tidak mempermasalahkan syair yang diiringi alat musik, di saat Nabi datang ke Madinah untuk pertama kali, pun disambut oleh Kaum Anshar dengan genderang gendang syair pujian “Thola’al Badru ‘Alaina”, Nabi tidak mengharamkan nya. Bahkan ketika ada walimah di Madinah dalam keadaan senyap, Nabi pernah bertanya kepada para wanita di sana :”kenapa tidak dibunyikan nyanyian padahal orang Madinah sangat menyukai nyanyian?” (HR. Bukhari). Nabi justru merasa heran, di saat resepsi walimah yang berbahagia di Madinah saat itu, kenapa malah tidak ada musik?

Islam tidak sulit dan sesempit tempurung hingga mengharamkan sesuatu tanpa alasan. Islam sudah sejak lama menyentuh aspek-aspek baik di setiap unsur kehidupan yang bahkan belum terfikirkan oleh kita sebelumnya. Terlepas dari ikhtilaf Ulama dalam hukum fiqih nya, secara istilah kata musik (Al-Musiqo) sudah dipakai sejak zaman Abbasiyah dalam kitab Ibnu Sina “Asy-Syifa (Ar-Riyadhiyat) : Jawami’ Ilmu Musiqo”.  Dasar-dasar pembolehan syair sejak zaman Nabi hidup sampai zaman Kekhalifahan Abbasiyah, (baik dengan musik ataupun tanpa alat musik),  merupakan dalil terbesar yang pernah ada untuk membolehkan mendengarkan syair, selama itu baik, tidak mengandung maksiat dan tidak melalaikan dari mengingat Allah SWT.

Jadi bukanlah sebuah hal yang baru apabila Surah Asy-Syu’ara (Surah Para Penyair) diartikan oleh UAH secara kontekstual menjadi (Surah Para Pemusik), karena memang pada dasarnya syair-syair Arab itu memang memiliki unsur “musiqo syi’ir” atau musik syair tersendiri, yaitu ketukan nada pada Bahar dan Qawafi nya. Sehingga bukanlah syair Arab apabila tidak ada unsur musiknya, dan tidak akan tercipta musik dalam dunia Islam tanpa adanya syair Arab. Keduanya bagaikan dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan, dan siapapun yang membaca sejarah akan dapat melihatnya.

sumber https://suaramuhammadiyah.id/read/benarkah-surah-asy-syu-ara-surah-para-pemusik

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-18 09:03:232024-11-18 09:23:01Benarkah Surah Asy-Syu’ara Surah Para Pemusik?

Penggunaan Kata ‘Islami’ Bikin Pecah Umat Islam?

14/11/2024/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (8 Maret 2024)
Muhammad Zakaria Darlin

Makna kata ‘islami’ tidak sama dengan kata ‘muslim’, apalagi dengan kata ‘Islam’. Namun akhir-akhir ini sering kita mendengar di media massa, khotbah dan ceramah, bahkan percakapan keseharian, bahwa setiap manusia yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya mestilah menjadi seorang yang islami.

Islami dalam KBBI dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat keislaman: akhlak. Penggunaan kata ‘islami’ dalam pangkuan makna yang demikian tidaklah sepenuhnya benar dan tidak pula sepenuhnya salah. Akan tetapi memakai sebuah padanan kata yang akar rumputnya adalah ajaran agama Islam, tentu harus berdasarkan kepada sumber-sumber syariat yang terpercaya. Bukan sekadar ritme harmoni kata yang indah, apalagi bentuk luaran yang tampak memukau, seakan sudah mengikuti pagu dan aturan-aturan dalam beragama, lantas mencatutnya menjadi sebuah terminologi baru dalam beragama.

Terminologi istilah agama yang akar rumputnya adalah syariat, sudah tentu harus mengikuti aturan baku dalam Bahasa Arab. Istilah islami ini bahkan tidak pernah sekalipun disebutkan Allah di dalam Al-Qur’an. Terminologi baru yang memaknai ‘islamis’ atau ‘Islamiyyun’ sebagai penunjukan terhadap seseorang muslim yang ke-Islamannya bagus, melebihi makna kata ‘muslim’ yang disematkan Allah sebanyak 39 kali di dalam Al-Qur’an, dapat dikatakan sebagai sebuah inovasi golongan kanan yang berniat memecah belah umat Islam itu sendiri.

Jika dilihat dari siyaq kalam (konteks bahasa) yang dipakai di setiap ayat-ayat yang menggunakan kata ‘Islam’ dalam Al-Qur’an, kata ‘Islam’ hanya dipakai untuk dimaknai sebagai sebuah agama saja, sebagai lawan dari syirik. Sementara kata ‘muslim’ dengan segala perubahan morfologisnya seperti ‘muslimin’, ‘muslimah’ dan ‘muslimat’ dipakai untuk ragam variasi makna di dalam Al-Qur’an.

Contohnya sebagai lawan kata dari ‘musyrik’, penguat makna ‘iman’, disematkan dengan kata ‘anak saleh’, menjelaskan sifat utama wanita ‘salihah’, dijadikan sifat untuk sebuah umat, menguatkan bahwa Ibrahim dan keturunannya bukan ‘musyrikin’, lawan kata ‘mujrimin’ (pendosa besar), tafriq (pembeda) muslim dengan ahli kitab, disandingkan dengan sifat tawakal dan makna lainnya yang sangat tidak terbatas artinya.

Ini artinya ajaran Islam tidak pernah membeda-bedakan antara muslim yang baik dengan muslim yang tidak baik dengan penggunaan kalimat mi’yariy (menghukum) dan mengancam ke-Islaman seorang yang telah bersyahadat, seperti halnya islami dan Ghoiru Islami. Jika memang terminologi islami ini lebih tepat daripada kata ‘muslim’, tentu Allah akan menggunakannya di dalam Al-Qur’an sebagai pengganti yang lebih tepat daripada menggunakan kata ‘muslim’, atau setidaknya melekatkannya dalam frasa dengan kata ‘muslim’, seperti muslim islami dan Muslim Ghairu Islami.

Sehingga akan terlihat perbedaan antara muslim yang taat dengan yang tidak taat. Tapi frasa ini tidak pernah ditemukan di dalam Al-Qur’an. Apalagi dipakai secara mandiri untuk mensifati orang yang baik ke-Islamannya dan membedakannya dengan yang tidak baik ke-Islamannya.

Islam Politis

Penggunaan frasa, ‘fulan’ sebagai orang yang paling islami atau partai atau golongan fulan sangatlah islami dari partai lainnya untuk orang-orang yang berjuang demi tegaknya syariat Islam di muka Bumi, bahkan label-label yang melekat pada mereka sebagai orang terbaik yang mempresentasikan agama islam dan kebalikan dari mereka yang dianggap sebagai musuh Islam, meskipun dia beragama Islam, adalah klaim yang tidak berdasar di dalam perspektif agama yang akan menumbuhkan lagi benih-benih Firoq Islamiyah (golongan-golongan Islam politis) yang tumbuh berkembang di masa lampau seperti halnya di zaman Umawiyah.

Zaman di mana terpecahnya kaum muslimin ke dalam banyak golongan berdasarkan fanatisme politik, seperti golongan Umawiyyin, Syiah, Khawarij, Murjiah, hingga Zubairiyyin, yang tujuannya jelas untuk mencari kekuasaan semata dengan mengeksploitasi ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis agar berkesesuaian penafsirannya dengan syahwat politik masing-masing.

Maka jika istilah ‘islami’ ini terus dipakai dengan pemaknaan yang melenceng seperti ini, tentu ditakutkan akan menyebabkan perpecahan terjadi kembali di dalam tubuh umat Islam itu sendiri. Padahal Rasulullah SAW telah bersusah payah berdarah-darah memadamkan api perpecahan dan kebencian antarsesama umat muslim, hingga mempersaudarakan manusia semasa hidup beliau.

Maka tidak ada kalimat yang seindah pesan dari Baginda Nabi, agar tidak fanatik terhadap ke-Islaman, kesalihahan dan kehebatan diri serta golongan pilihan pribadi, apalagi sampai rela mati di jalan tersebut, sebagaimana sabdanya yang mengatakan, “Bukanlah dari umat ku siapa yang mengkampanyekan fanatisme, dan bukanlah dari umatku siapa yang berperang atas nama fanatisme, dan bukanlah dari umatku siapa yang mati karena membela fanatisme (HR. Abu Dawud).”

Sumber : https://opini.harianjogja.com/read/2024/03/08/543/1167246/opini-penggunaan-kata-islami-bikin-pecah-umat-islam

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-14 11:25:282024-11-14 11:25:28Penggunaan Kata 'Islami' Bikin Pecah Umat Islam?

Perlunya Memperhatikan Warga Lansia di Era Ageing Population

11/11/2024/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (02 Februari 2024)
Leonny Dwi Rizkita

Era ageing population merupakan periode waktu di mana suatu negara memiliki rasio populasi warga lansia dengan tren yang terus meningkat. Indonesia disebutkan telah memasuki era ageing population ini sejak 2015 berdasarkan data sensus penduduk yaitu jumlah penduduk yang berusia di atas 60 tahun telah mencapai angka 7%. Tren ini akan semakin naik tiap tahunnya dan diperkirakan pada akhir 2030, jumlah warga lansia di Indonesia dapat mencapai 48,19 juta penduduk. Kuantitas yang meninggi diharapkan sejalan dengan kualitas manusia di dalam dan luar. Terlebih, risiko penyakit akan lebih banyak menghantui pada mereka yang telah menginjak usia lanjut.

Penurunan tingkat kebugaran tubuh dan proses penuaan yang alami menjadi penyebab utama banyaknya kasus penyakit kronis dialami oleh para warga lansia ini. Jika berkaca pada kejadian pandemi Covid-19, pasien yang sudah memiliki komorbid (kombinasi beberapa penyakit) cenderung sangat mudah jatuh ke kondisi berat dan kritis. Sebagai contoh, Disebutkan dalam suatu artikel ilmiah yang dipublikasikan pada 2021 di Journal of Nutrition, Health & Aging oleh Dai, et al. bahwa sebanyak 73,9% pasien lansia dengan penyakit kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah), hipertensi, penyakit paru-paru kronis cenderung akan jatuh ke kondisi kritis akibat infeksi virus Covid-19. Kerentanan populasi usia lanjut terhadap penyakit menjadi perhatian penting di masa-masa mendatang, terlebih jika era ageing population sudah di depan mata.

Jika berkaca dari data, WHO melaporkan pada Desember 2023 kenaikan angka kematian orang yang mengalami penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskular (e.g: serangan jantung mendadak dan strok), kanker, penyakit pernapasan kronis (e.g: penyakit paru obstruktif kronis dan asma), serta diabetes melitus mencapai lebih dari 30 juta dengan proporsi terbanyak dialami oleh mereka di bawah usia 70 tahun. Data dari Kementerian Kesehatan 2022 melalui Laporan Kinerja Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2022 terdapat tiga provinsi di Indonesia yang cakupan deteksi dini hipertensi, diabetes melitus, serta obesitas yang terendah, salah satunya DIY. Rata-rata masih di bawah 10%.

Dampak yang dapat dirasakan dari rendahnya deteksi dini penyakit tidak menular antara lain semakin menurunnya kualitas hidup hingga dapat berkomplikasi menjadi penyakit lain yang jauh lebih berbahaya, yaitu penyakit kardiovaskular. Salah satu penyebab tertinggi dari kejadian penyakit kardiovaskular ialah hipertensi (tekanan darah tinggi).

Diperlukan gerakan sadar kesehatan pada warga lansia, khususnya di DIY, kita bisa melihat lokasi tersentral salah satunya tempat pengajian seperti yang dilakukan oleh UAD (Universitas Ahmad Dahlan) melalui kegiatan pengabdian dosen bersama mahasiswa kedokteran di Kalurahan Banguntapan, Bantul. Meskipun antusiasme warga lansia cukup tinggi, perhatian terkait persoalan kesehatan di kalangan warga lansia masih kurang terutama pemahaman mengenai gangguan mental yang dapat menghantui mereka.

Keingintahuan yang besar dari warga lansia menjadi salah satu tanda positif untuk memulai suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Namun demikian, pada umumnya, penyakit hipertensi maupun diabetes melitus merupakan penyakit tidak menular yang cenderung menetap begitu seseorang mengalaminya, terlebih pada warga lansia. Sehingga, memahami dan berdamai dengan kondisi tersebut sangat diperlukan agar mencegah terjadinya perburukan.

Cek Kesehatan

Cara terbaik untuk memfasilitasi proses penerimaan dan edukasi yang tepat ialah konsultasi kesehatan dengan ahlinya yaitu dengan dokter. Perlunya semangat untuk tetap sehat. Dimulai dari pikiran dan kesadaran untuk mencari ilmu kepada orang yang tepat. Beberapa tips yang dapat dilakukan terkait deteksi hipertensi sesuai rekomendasi PDHI (Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia) antara lain penapisan hipertensi semakin dirutinkan pada mereka yang sudah menginjak usia di atas 50 tahun.

Jika ingin menggunakan home blood pressure monitoring (HBPM) atau pengukuran tekanan darah di rumah, pastikan posisi sebelum pemeriksaan sudah tepat yaitu jika dalam duduk atau berdiri, monitor sejajar dengan posisi jantung, lalu duduk bersandar di kursi dan lengan diletakkan di meja, kaki menapak di lantai dan tidak disilangkan.

Selain persoalan penyakit fisik berupa hipertensi maupun diabetes melitus, warga lansia merupakan golongan masyarakat yang rentan mengalami gangguan psikis, seperti depresi. Banyak faktor yang dapat mendasari hal tersebut. Jika kedua gangguan tersebut ditemui secara bersamaan pada seorang individu lansia, maka kemampuan dalam melanjutkan hidup dapat terganggu di beberapa aspek.

Hal ini dapat tercermin dari Quality of Life (kualitas hidup) warga lansia tersebut. Semakin tinggi angka kualitas hidup seseorang maka proyeksi dalam menjalani hidup meskipun dalam keterbatasan akan semakin baik. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran dibutuhkan suatu pergerakan yang cermat dan penuh integritas. Semangat untuk maju bersama guna mencapai era ageing population Indonesia yang lebih berkualitas.

Sumber : https://opini.harianjogja.com/read/2024/02/02/543/1163508/opini-perlunya-memperhatikan-warga-lansia-di-era-ageing-population

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-11 15:00:502024-11-11 12:47:10Perlunya Memperhatikan Warga Lansia di Era Ageing Population

Pentingnya Optimalisasi Wakaf

11/11/2024/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (26 Januari 2024)
Budi Jaya Putra

Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk 273 juta jiwa berdasarkan data terbaru Kemendagri April 2022 lalu. Namun besarnya jumlah penduduk tersebut tidak sejalan dengan tingkat kemakmuran warganya. Hal ini dapat dilihat bahwa Indonesia berada di peringkat 111 dari 189 dari seluruh negara dalam hal pembangunan manusia. Hal ini bukan berarti Indonesia bebas dari kemiskinan, namun hal tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia masih jauh tertinggal dari negara lain. Kemiskinan masih menjadi permasalahan utama di Indonesia yang mayoritas warganya beragama Islam.

Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamiin tentunya memberikan solusi bagi permasalahan kemiskinan tersebut sebab Islam memberikan sebuah instrumen yang dijadikan sebuah kewajiban bagi umatnya yaitu zakat. Seseorang dapat meningkatkan kekayaannya dengan membayar zakat kepada mereka yang membutuhkan. Selain itu, membayar zakat dapat menyucikan dan menyucikan yang membayar dari keserakahan, keegoisan, dan kesombongan, serta akan memperoleh keridaan Allah SWT.

Salah satu instrumen menyelesaikan masalah kemiskinan yaitu melalui instrumen wakaf produktif. Setiap individu dalam agama Islam dituntut untuk berperan aktif dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan serta menumbuhkembangkan kualitas hidup dalam sebuah proses kebersamaan melalui zakat, infak dan sedekah. Perkembangan ilmu ekonomi dan hukum di Indonesia, selain dari instrumen ZIS terdapat instrumen yang dapat digunakan oleh lembaga-lembaga Islam dalam memberdayakan umat serta mengentaskan kemiskinan.

Pada 2004 telah terdapat undang-undang tentang wakaf yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. UU mengatur wakaf, harta wakaf, institusionalisasi wakaf dan manajemen pengembangan wakaf. Wakaf berperan penting dalam ekonomi dan sosial sehingga pengelolaan wakaf harus secara transparan dan produktif sehingga memiliki kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan berbagai infrastruktur untuk pemberdayaan dan kemandirian umat.

Perkembangan wakaf di Indonesia tidak terjadi secara masif seperti instrumen ZIS serta potensi wakaf yang belum mampu menunjukkan dan memberikan kemanfaatan secara langsung kepada umat. Tujuan dari wakaf bukan hanya mengumpulkan sumber dana atau dalam bentuk apapun dari donator dan distribusikan. Namun kekayaan dan optimalisasi sumber-sumber wakaf harus memberi manfaat oleh anggota kelompoknya atau masyarakat sekitar, sehingga pemanfaatan wakaf produktif bukan terbatas untuk aktivitas keagamaan namun memiliki cakupan yang lebih luas dalam meningkatkan dan memperkuat perkembangan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

Sebagai salah satu amal jariah dan sukarela, wakaf yang produktif dapat mendorong pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Peran penting wakaf adalah dapat mempromosikan agama, pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, bahkan tempat tinggal atau organisasi melalui pembangunan fasilitas pelayanan publik seperti masjid, lembaga pendidikan, rumah sakit dll.

Hambatan Wakaf

Hambatan utama dalam pengelolaan wakaf adalah nazhir yaitu pengelola wakaf utama. Kelemahan bagi nazhir ialah belum memiliki pengalaman tentang bagaimana memberdayakan harta benda wakaf sehingga bisa menghasilkan atau memberikan nilai ekonomi terhadap umat.

Pengelolaan wakaf nonproduktif menjadi wakaf produktif bukanlah hal yang mudah dilakukan, diperlukan keahlian serta kemampuan manajemen, sense of entrepreneurship dan mampu menangkap informasi-informasi secara tepat. Selain dari sisi nazhir, hambatan pengelolaan wakaf produktif adalah peran harta wakaf untuk meningkatkan kesejahteraan umat, pola pengembangan harta wakaf serta karateristiknya.

Pengelolaan wakaf produktif merupakan benda wakaf yang dipergunakan dalam kegiatan produksi dan hasilnya didistribusikan sesuai dengan tujuan wakaf. Wakaf produktif berupa tanah pertanian atau perkebunan, gedung-gedung komersial, yang dikelola sedemikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan yang sebagian hasilnya disalurkan kepada penerima manfaat wakaf. Dengan demikian wakaf produktif menjadi luas manfaatnya untuk kegiatan sosial dan keagamaan, kantor dan lembaga pendidikan. Bukan sebatas tempat ibadah semata.

Mengelola wakaf menjadi wakaf produktif dan konsisten, terbukti dapat memberi dampak positif terhadap penerima manfaat baik secara langsung dan tidak langsung kepada masyarakat. Sehingga terjadi pengoptimalisasian tanah wakaf yang belum produktif dan produktif untuk kegiatan usaha UMKM dan meningkatkan amal usaha pada sektor ekonomi.

Sumber : https://opini.harianjogja.com/read/2024/01/26/543/1162757/opini-pentingnya-optimalisasi-wakaf

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-11 12:35:382024-11-11 12:43:39Pentingnya Optimalisasi Wakaf

Para Pembohong

11/11/2024/in Opini, Publikasi 2024, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (16 Januari 2024)
Sartini Wardiwiyono

Sebagai seorang dosen, penulis beberapa kali menjumpai kebohongan yang dilakukan oleh mahasiswa. Sebagian dapat ditolerir dan sebagian lagi sangat fatal. Dari manipulasi data untuk penulisan skripsi hingga pemalsuan tanda tangan. Tahun lalu, seorang jamaah haji memamerkan emas yang dibelinya dari Arab Saudi. Emas yang diakuinya berharga ratusan juta. Setelah dikejar Bea Cukai, ternyata perhiasan itu imitasi belaka, nilainya tidak sampai satu juta rupiah.

Kebohongan itu pada akhirnya akan terkuak oleh waktu. Sebaik apapun menyimpan bangkai, pada saatnya akan tercium bau busuknya. Bohong bisa berwujud berbagai ragam. Ada yang kasat mata seperti menebar berita bohong dan tetesan air mata buaya. Ada juga yang disembunyikan menjadi sebuah pertanyaan yang seolah-olah jujur. Dia sebenarnya tahu jawabannya tapi pura-pura tidak tahu. Asal bisa menghancurkan kredibilitas lawan apapun dilakukan.

Dalam politik, kebohongan ditulis dengan narasi yang indah untuk mengelabui rakyat jelata yang rata rata awam politik. Narasi-narasi itu kemudian diteruskan oleh para buzzer, menjadi sampah peradaban yang berserak di dunia maya. Mengotori ruang pikir yang seharusnya jernih dan bening. Parahnya lagi, media massa menggunakan cara yang sama guna menaikkan pengunjung onlinenya. Menjadikan berita bohong sebagai clickbait untuk menjaring traffic.

Peringatan Keras

”Dusta adalah pangkal dari segala dosa”. Sabda Nabi Muhammad SAW ini tentu menjadi peringatan keras bagi para pembohong. Kebohongan selalu melahirkan kebohongan yang baru. Seperti pelaku dan penerima money politik. Uang haram yang bakal menjadi daging tempat setan berbisik dan menggiring pemakannya ke lajur api neraka. Bila kebohongan terus dibiarkan tumbuh subur, ditolerir dan dikamuflase seakan sebuah kejujuran maka negara tidak akanmaju. Bayangkan apa yang akan terjadi bila keputusan-keputusan krusial di negara ini lahir dari data yang dimanipulasi?

Tentu akan semakin sesat jalan. Semakin jauh dari asal tujuan negara ini didirikan. Baldatun thoyibatun wa robbun ghofur. Sekarang kita memasuki tahun politik. Dusta itu bahkan sudah diniati sejak awal. Janji-janji politik yang tidak akan mungkin tercapai diumbar untuk menggaet dukungan. Lebih parah lagi para pendukung bayaran bersorak mengamini. Sebuah orkesta kebohongan yang diaransamen dengan indah.

Bulan-bulan ini dusta tidak hanya dilakukan oleh para politisi. Rakyat jelata juga latah untuk ikut dalam kubangan yang sama. Jargon ”ambil uangnya dan jangan pilih orangnya”, menjadi omongan sehari-hari. Digaungkan bahkan oleh seorang pembesar partai. Dosa risywah dan dosa kebohongan dianggap dosa biasa. Jual beli suara sudah jamak kita ketahui. Ancaman hukuman, ternyata tidak mampu mengerem laku durjana tersebut. Money politik terus menjadi momok bagi negara demokrasi. Menghancurkan sendi dasarnya. Suara rakyat malah melahirkan koruptor baru yang semakin lihai mencari cara untuk mengembalikan modal usaha.

Rakyat Berdaulat

Negara yang merdeka adalah negara yang rakyatnya berdaulat. Bisa menentukan pilihannya sendiri tanpa harus dipengaruhi oleh materi duniawi. Miskin harta tidak boleh menjadikan miskin etika. Kedaulatan suara yang menjadi tonggak demokrasi harus kita jaga. Apabila satu-satunya hak yang kita miliki ini bisa dibeli maka sejatinya kita belum merdeka. Lingkaran setan ini harus berhenti, mulai dari para akademisi. Para guru yang menjadi tiang utama peradaban. Mengajar tidak hanya sekadar menularkan ilmu. Mengajar juga menularkan semangat kejujuran. Jujur untuk bisa datang tepat waktu. Jujur untuk mengapresiasi dengan benar. Jujur untuk bisa hadir rapat sesuai dengan undangan.

Bila narasi kebohongan bisa ditulis dengan sangat indah maka narasi kejujuran harus sanggup menyainginya. Kanal-kanal media informasi harus kembali pada khittahnya. Semua berkhidmat untuk maslahat umat. Belajar dari bab thaharah tentang membersihkan barang yang terkena najis, untuk membersihkan najis aini (yang tampak) kita harus membersihkan kotoranya dahulu baru menyiramnya dengan air.

Demikian juga najis-najis kebohongan yang memenuhi jagat maya. Bersihkan dahulu sumber kebohongan dengan menegakkan aturan lalu banjiri dengan narasi kejujuran. Bila kebenaran hadir maka kebatilan pasti akan mangkir.

Sumber : https://kedu.suaramerdeka.com/pendidikan/2111537088/para-pembohong

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-11 10:52:112024-11-11 10:52:11Para Pembohong

Etika Kehidupan Berbangsa

06/11/2024/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (30 Januari 2024)
Immawan Wahyudi

Judul tulisan sederhana ini menggunakan nama atau judul dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Mengapa akhir-akhir ini isu tentang etika tiba-tiba menyeruak di sela-sela kegaduhan debat capres-cawapres? Penulis tidak berkompeten untuk menjawab pertanyaan ini. Setiap kita akan memiliki argumen dan sudut pandang yang berbeda. Namun bisa kita simpulkan bahwa etika bagi kehidupan berbangsa, juga benegara, isu etika sangatlah penting. Bukti yuridis formal pentingnya etika adalah adanya TAP MPR di atas.

Dalam argumentasi filosofis TAP MPR tersebut menyatakan, “bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, diperlukan pencerahan sekaligus pengamalan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sedangkan argumentasi sosiologisnya menyatakan, “bahwa etika kehidupan berbangsa dewasa ini mengalami kemunduran yang turut menyebabkan terjadinya krisis multidimensi.” Oleh sebab itu diperlukan suatu cara yang dalam TAP MPR tersebut dinyatakan; “bahwa untuk itu diperlukan adanya rumusan tentang pokok-pokok etika kehidupan berbangsa sebagai acuan bagi pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia dalam rangka menyelamatkan dan meningkatkan mutu kehidupan berbangsa itu.”

Filosofis Etika

Dalam wilayah berpikir yang seharusnya ada (das sollen) untuk menjawab tantangan dari kenyataan yang ada (das sein) dan untuk menyibak wilayah yang masih kita anggap gelap (das ding an sich) isu tentang etika bukan persoalan yang pantas untuk ditunda-tunda. Misalnya saat ini kita sedang sibuk memantau dan atau sedang menyiapkan kampanye, umumnya akan sangat terpengaruh pada isu etika. Apakah seseorang calon presiden atau calon anggota legislatif baik atau tidak baik adalah wilayah etika.

Dalam dunia politik acapkali moral diposisikan pada tempat yang tidak penting–kalau bisa, malah diminimalkan peranannya. Padahal secara pemahaman mendalam tentang politik justru moralitas atau etika merupakan ruh dari cara berfikir dan berperilaku politik. Kita bisa menyebut misalnya pandangan ImmanueL Kant yang membedakan antara politisi moral dan moralis politik.

Politisi moral adalah orang yang memahami prinsip-prinsip kearifan politik sedemikian rupa sehingga ia bisa hidup dengan moralitas. Sedangkan moralis politik adalah orang yang mereka-reka moralitas supaya cocok dengan kalangan negarawan, kalangan penguasa. Politisi moral tidak terjerumus dalam kubangan ambisi dan pencarian kekuasaan. Sedangkan moralis politik menggabungkan antara politik dengan moralitas dengan cara yang sepenuhnya salah. Moralis politik memanfaatkan hasrat alami manusia untuk melayani pemimpin mereka dari sisi moral dengan cara menciptakan suatu etika yang hanya ditujukan untuk memenuhi tujuan dari segelintir oarng yang berkuasa. (Howard Williams, Filsafat Politik Immanuel Kant, JP-Press & IMM, Jakarta, 2003, hal. 54 – 55)

Dalam realitanya, sejalan dengan perkembangan teori-teroi baru ilmu komunikasi, orang dipaksa untuk mematut-matut diri sehingga apa yang dikatakan dan apa yang ditulis dalam baliho misalnya, seringkali memberikan gambaran yang bertentangan. Orang yang sedang mengikuti kontestasi acapkali tidak berpikir apa yang sebenarnya ada pada dirinya tapi berpikir apa yang tidak ada pada dirinya agar masyarakat beranggapan bahwa dirinya adalah orang baik.

Selain terori moral politik dari Immanuel Kant dapat kita sitir pandangan Emile Durkheim yang menteorikan posisi moralitas dalam ilmu yang positivistik. Menurutnya, moralitas bertumpu pada tiga sikap dasar. Pertama, moralitas harus dilihat sebagai fakta sosial yang kehadirannya terlepas dari keinginan subjektif. Kedua, moralitas merupakan bagian yang fungsional dari masyarakat. Ketiga, moralitas terlibat dalam proses historis yang bersifat evolusioner dan berubah sesuai dengan zaman yang ada. (Taufik Abdullah dan AC van der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, YOI, Jakarta, 1986, hal. 11)

Etika dan Realitas Sosial

Sejalan dengan pandangan Immanuel Kant dan Durkheim di atas, muncul pertanyaan penting: Mengapa mustika indah kepribadian “bangsa ketimuran” lenyap bak air bah ditelan Bumi? Tentu hal ini memerlukan perenungan bersama, mendalam, jujur dan optimistik. Dengan kredo semacam ini diharapkan mustika ketimuran akan dapat kita temukan kembali dalam realita sosial yang benar-benar berfungsi di tengah tuntutan perlunya penegakan etika dalam berbangsa dan bernegara. TAP MPR Nomor VI/2001 Pasal 3 menyatakan; “Merekomendasikan kepada Presiden Republik Indonesia dan lembaga-lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan ketetapan ini sebagai salah satu acuan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa.”

Etika Kekuasaan

Jika kita detailkan isu etika dalam konteks politik kekuasaan seharusnya ada norma-norma tentang etika pemerintahan, etika jabatan, dan ada etika pejabat. Bentuk pelanggaran etika kekuasaan misalnya memperoleh kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Kerugian paling meresahkan dan meruntuhkan kehormatan pemerintahan adalah pelanggaran terhadap sumpah jabatan dan puncaknya pelanggaran tethadap konstitusi. Oleh sebab itu pelanggaran terhadap etika kekuasaan jauh berbeda dengan pelanggaran etika sosial. Pelanggaran etika selalu mengandung unsur kerugian. Jika etika sosial yang dilanggar paling ringan dampaknya adalah kerugian individual dan yang paling berat ialah kerugian kehormatan dan harmoni sosial. Sementara pelanggaran terhadap etika kekuasaan jauh lebih berat, lebih mendalam, dan lebih besar pengaruh kerusakannya bahkan dapat bermuara pada hilangnya sistem bernegara dan bernegara berdasarkan yang sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.

sumber : https://opini.harianjogja.com/read/2024/01/30/543/1163237/opini-etika-kehidupan-berbangsa

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-06 12:35:172024-11-06 12:35:17Etika Kehidupan Berbangsa

Etika Kehidupan Berbangsa

02/10/2024/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (30 Januari 2024)

Immawan Wahyudi

Judul tulisan sederhana ini menggunakan nama atau judul dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Mengapa akhir-akhir ini isu tentang etika tiba-tiba menyeruak di sela-sela kegaduhan debat capres-cawapres? Penulis tidak berkompeten untuk menjawab pertanyaan ini. Setiap kita akan memiliki argumen dan sudut pandang yang berbeda. Namun bisa kita simpulkan bahwa etika bagi kehidupan berbangsa, juga benegara, isu etika sangatlah penting. Bukti yuridis formal pentingnya etika adalah adanya TAP MPR di atas.

Dalam argumentasi filosofis TAP MPR tersebut menyatakan, “bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, diperlukan pencerahan sekaligus pengamalan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sedangkan argumentasi sosiologisnya menyatakan, “bahwa etika kehidupan berbangsa dewasa ini mengalami kemunduran yang turut menyebabkan terjadinya krisis multidimensi.” Oleh sebab itu diperlukan suatu cara yang dalam TAP MPR tersebut dinyatakan; “bahwa untuk itu diperlukan adanya rumusan tentang pokok-pokok etika kehidupan berbangsa sebagai acuan bagi pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia dalam rangka menyelamatkan dan meningkatkan mutu kehidupan berbangsa itu.”
Filosofis Etika

Dalam wilayah berpikir yang seharusnya ada (das sollen) untuk menjawab tantangan dari kenyataan yang ada (das sein) dan untuk menyibak wilayah yang masih kita anggap gelap (das ding an sich) isu tentang etika bukan persoalan yang pantas untuk ditunda-tunda. Misalnya saat ini kita sedang sibuk memantau dan atau sedang menyiapkan kampanye, umumnya akan sangat terpengaruh pada isu etika. Apakah seseorang calon presiden atau calon anggota legislatif baik atau tidak baik adalah wilayah etika.

Dalam dunia politik acapkali moral diposisikan pada tempat yang tidak penting–kalau bisa, malah diminimalkan peranannya. Padahal secara pemahaman mendalam tentang politik justru moralitas atau etika merupakan ruh dari cara berfikir dan berperilaku politik. Kita bisa menyebut misalnya pandangan ImmanueL Kant yang membedakan antara politisi moral dan moralis politik.

Politisi moral adalah orang yang memahami prinsip-prinsip kearifan politik sedemikian rupa sehingga ia bisa hidup dengan moralitas. Sedangkan moralis politik adalah orang yang mereka-reka moralitas supaya cocok dengan kalangan negarawan, kalangan penguasa. Politisi moral tidak terjerumus dalam kubangan ambisi dan pencarian kekuasaan. Sedangkan moralis politik menggabungkan antara politik dengan moralitas dengan cara yang sepenuhnya salah. Moralis politik memanfaatkan hasrat alami manusia untuk melayani pemimpin mereka dari sisi moral dengan cara menciptakan suatu etika yang hanya ditujukan untuk memenuhi tujuan dari segelintir oarng yang berkuasa. (Howard Williams, Filsafat Politik Immanuel Kant, JP-Press & IMM, Jakarta, 2003, hal. 54 – 55)

Dalam realitanya, sejalan dengan perkembangan teori-teroi baru ilmu komunikasi, orang dipaksa untuk mematut-matut diri sehingga apa yang dikatakan dan apa yang ditulis dalam baliho misalnya, seringkali memberikan gambaran yang bertentangan. Orang yang sedang mengikuti kontestasi acapkali tidak berpikir apa yang sebenarnya ada pada dirinya tapi berpikir apa yang tidak ada pada dirinya agar masyarakat beranggapan bahwa dirinya adalah orang baik.

Selain terori moral politik dari Immanuel Kant dapat kita sitir pandangan Emile Durkheim yang menteorikan posisi moralitas dalam ilmu yang positivistik. Menurutnya, moralitas bertumpu pada tiga sikap dasar. Pertama, moralitas harus dilihat sebagai fakta sosial yang kehadirannya terlepas dari keinginan subjektif. Kedua, moralitas merupakan bagian yang fungsional dari masyarakat. Ketiga, moralitas terlibat dalam proses historis yang bersifat evolusioner dan berubah sesuai dengan zaman yang ada. (Taufik Abdullah dan AC van der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, YOI, Jakarta, 1986, hal. 11)

Etika dan Realitas Sosial

Sejalan dengan pandangan Immanuel Kant dan Durkheim di atas, muncul pertanyaan penting: Mengapa mustika indah kepribadian “bangsa ketimuran” lenyap bak air bah ditelan Bumi? Tentu hal ini memerlukan perenungan bersama, mendalam, jujur dan optimistik. Dengan kredo semacam ini diharapkan mustika ketimuran akan dapat kita temukan kembali dalam realita sosial yang benar-benar berfungsi di tengah tuntutan perlunya penegakan etika dalam berbangsa dan bernegara. TAP MPR Nomor VI/2001 Pasal 3 menyatakan; “Merekomendasikan kepada Presiden Republik Indonesia dan lembaga-lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan ketetapan ini sebagai salah satu acuan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa.”

Etika Kekuasaan

Jika kita detailkan isu etika dalam konteks politik kekuasaan seharusnya ada norma-norma tentang etika pemerintahan, etika jabatan, dan ada etika pejabat. Bentuk pelanggaran etika kekuasaan misalnya memperoleh kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Kerugian paling meresahkan dan meruntuhkan kehormatan pemerintahan adalah pelanggaran terhadap sumpah jabatan dan puncaknya pelanggaran tethadap konstitusi. Oleh sebab itu pelanggaran terhadap etika kekuasaan jauh berbeda dengan pelanggaran etika sosial. Pelanggaran etika selalu mengandung unsur kerugian. Jika etika sosial yang dilanggar paling ringan dampaknya adalah kerugian individual dan yang paling berat ialah kerugian kehormatan dan harmoni sosial. Sementara pelanggaran terhadap etika kekuasaan jauh lebih berat, lebih mendalam, dan lebih besar pengaruh kerusakannya bahkan dapat bermuara pada hilangnya sistem bernegara dan bernegara berdasarkan yang sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Sumber https://opini.harianjogja.com/read/2024/01/30/543/1163237/opini-etika-kehidupan-berbangsa

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-02 09:56:032024-10-05 10:53:22Etika Kehidupan Berbangsa
Page 4 of 41234

TERKINI

  • Belajar Wayang ala PBSI UAD, Kuno tapi Kena!02/08/2025
  • Wisuda Periode IV, UAD Luluskan 1.158 Mahasiswa02/08/2025
  • UAD, DPRD DIY, dan DLH Bantul Dorong Inovasi Teknologi Pirolisis sebagai Solusi Pengelolaan Sampah Berkelanjutan31/07/2025
  • NGOBRAS, Kupas Tuntas Beasiswa Unggulan untuk Mahasiswa Berprestasi30/07/2025
  • Webinar Strategi Karier Industri Pangan, PSTP UAD Hadirkan Praktisi PT Mayora30/07/2025

PRESTASI

  • Mahasiswi UAD Raih Juara I Lomba Tilawah Al-Qur’an ASLAMA PTMA 2025 Tingkat Nasional01/08/2025
  • Mahasiswa Kedokteran UAD Raih Juara Harapan I Dimas Kulon Progo 202531/07/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Juara II dalam Ajang Social Business Pitch Presentation31/07/2025
  • Ciptakan Aplikasi JustiTech, Tim LLC FH UAD Raih Empat Prestasi dalam National Essay Competition 202530/07/2025
  • Angkat Isu Ekonomi, Estria Raih Dua Penghargaan dalam Kompetisi Artikel Ilmiah Tingkat Nasional28/07/2025

FEATURE

  • Tujuh Pintu yang Mengundang Setan ke Hati02/08/2025
  • Burnout di Balik Jas Putih: Siapa yang Peduli?28/07/2025
  • Tantangan Hafiz dalam Meraih Medali Kyorugi Senior Putra U-5426/07/2025
  • Cerita Mahasiswa Hukum UAD Raih Medali Perak Kyorugi Senior Putri U-5323/07/2025
  • Efektivitas Ketepatan Data dan Kebijakan Publik22/07/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top