• TERKINI
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Para Pembohong

11/11/2024/in Opini, Publikasi 2024, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (16 Januari 2024)
Sartini Wardiwiyono

Sebagai seorang dosen, penulis beberapa kali menjumpai kebohongan yang dilakukan oleh mahasiswa. Sebagian dapat ditolerir dan sebagian lagi sangat fatal. Dari manipulasi data untuk penulisan skripsi hingga pemalsuan tanda tangan. Tahun lalu, seorang jamaah haji memamerkan emas yang dibelinya dari Arab Saudi. Emas yang diakuinya berharga ratusan juta. Setelah dikejar Bea Cukai, ternyata perhiasan itu imitasi belaka, nilainya tidak sampai satu juta rupiah.

Kebohongan itu pada akhirnya akan terkuak oleh waktu. Sebaik apapun menyimpan bangkai, pada saatnya akan tercium bau busuknya. Bohong bisa berwujud berbagai ragam. Ada yang kasat mata seperti menebar berita bohong dan tetesan air mata buaya. Ada juga yang disembunyikan menjadi sebuah pertanyaan yang seolah-olah jujur. Dia sebenarnya tahu jawabannya tapi pura-pura tidak tahu. Asal bisa menghancurkan kredibilitas lawan apapun dilakukan.

Dalam politik, kebohongan ditulis dengan narasi yang indah untuk mengelabui rakyat jelata yang rata rata awam politik. Narasi-narasi itu kemudian diteruskan oleh para buzzer, menjadi sampah peradaban yang berserak di dunia maya. Mengotori ruang pikir yang seharusnya jernih dan bening. Parahnya lagi, media massa menggunakan cara yang sama guna menaikkan pengunjung onlinenya. Menjadikan berita bohong sebagai clickbait untuk menjaring traffic.

Peringatan Keras

”Dusta adalah pangkal dari segala dosa”. Sabda Nabi Muhammad SAW ini tentu menjadi peringatan keras bagi para pembohong. Kebohongan selalu melahirkan kebohongan yang baru. Seperti pelaku dan penerima money politik. Uang haram yang bakal menjadi daging tempat setan berbisik dan menggiring pemakannya ke lajur api neraka. Bila kebohongan terus dibiarkan tumbuh subur, ditolerir dan dikamuflase seakan sebuah kejujuran maka negara tidak akanmaju. Bayangkan apa yang akan terjadi bila keputusan-keputusan krusial di negara ini lahir dari data yang dimanipulasi?

Tentu akan semakin sesat jalan. Semakin jauh dari asal tujuan negara ini didirikan. Baldatun thoyibatun wa robbun ghofur. Sekarang kita memasuki tahun politik. Dusta itu bahkan sudah diniati sejak awal. Janji-janji politik yang tidak akan mungkin tercapai diumbar untuk menggaet dukungan. Lebih parah lagi para pendukung bayaran bersorak mengamini. Sebuah orkesta kebohongan yang diaransamen dengan indah.

Bulan-bulan ini dusta tidak hanya dilakukan oleh para politisi. Rakyat jelata juga latah untuk ikut dalam kubangan yang sama. Jargon ”ambil uangnya dan jangan pilih orangnya”, menjadi omongan sehari-hari. Digaungkan bahkan oleh seorang pembesar partai. Dosa risywah dan dosa kebohongan dianggap dosa biasa. Jual beli suara sudah jamak kita ketahui. Ancaman hukuman, ternyata tidak mampu mengerem laku durjana tersebut. Money politik terus menjadi momok bagi negara demokrasi. Menghancurkan sendi dasarnya. Suara rakyat malah melahirkan koruptor baru yang semakin lihai mencari cara untuk mengembalikan modal usaha.

Rakyat Berdaulat

Negara yang merdeka adalah negara yang rakyatnya berdaulat. Bisa menentukan pilihannya sendiri tanpa harus dipengaruhi oleh materi duniawi. Miskin harta tidak boleh menjadikan miskin etika. Kedaulatan suara yang menjadi tonggak demokrasi harus kita jaga. Apabila satu-satunya hak yang kita miliki ini bisa dibeli maka sejatinya kita belum merdeka. Lingkaran setan ini harus berhenti, mulai dari para akademisi. Para guru yang menjadi tiang utama peradaban. Mengajar tidak hanya sekadar menularkan ilmu. Mengajar juga menularkan semangat kejujuran. Jujur untuk bisa datang tepat waktu. Jujur untuk mengapresiasi dengan benar. Jujur untuk bisa hadir rapat sesuai dengan undangan.

Bila narasi kebohongan bisa ditulis dengan sangat indah maka narasi kejujuran harus sanggup menyainginya. Kanal-kanal media informasi harus kembali pada khittahnya. Semua berkhidmat untuk maslahat umat. Belajar dari bab thaharah tentang membersihkan barang yang terkena najis, untuk membersihkan najis aini (yang tampak) kita harus membersihkan kotoranya dahulu baru menyiramnya dengan air.

Demikian juga najis-najis kebohongan yang memenuhi jagat maya. Bersihkan dahulu sumber kebohongan dengan menegakkan aturan lalu banjiri dengan narasi kejujuran. Bila kebenaran hadir maka kebatilan pasti akan mangkir.

Sumber : https://kedu.suaramerdeka.com/pendidikan/2111537088/para-pembohong

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-11 10:52:112024-11-11 10:52:11Para Pembohong

Upaya Menuju Hilirisasi Sampah Melalui Regulasi

04/11/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (Desember 2024)
Ilham Yuli Isdiyanto

Selama ini, pendidikan yang dianjurkan lebih pada “membuang sampah pada tempatnya” bukan “mengelola sampah sebagaimana seharusnya”, akibatnya muncul problem penumpukan sampah yang tidak terkontrol. Jadi bukan hanya membuang sampah tidak pada tempatnya yang menjadi masalah, kini membuang sampah pada tempatnya pun menjadi masalah. Hal ini diperkuat dengan regulasi yang “ompong” dalam mengubah perilaku (law as a tool of social engineering), jika ditelisik telah banyak perundang-undangan terkait pengelolaan sampah – yang juga berkaitan dengan lingkungan hidup – bahkan cukup banyak yang mendorong pemberlakuan sanksi melalui Peraturan Daerah.

Hanya saja, persoalan kini bukan hanya pada perilaku membuang sampah namun bagaimana Pemerintah menyediakan “kotak sampah” apalagi pengelolaan sampah.Lebih mengejutkan lagi, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) malah sering dimaknai sebagai Tempat Pembuangan Akhir, padahal jelas-jelas tidak ada tempat untuk sampah.

Nilai Sampah

Hal yang paling paradoks terkait sampah, kita membuangnya namun juga membutuhkannya. Jika berdasarkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada tahun 2022, Indonesia memproduksi 34,4 juta ton. Namun di tahun yang sama berdasarkan UN Comtrade, kita juga mengimpor sampah plastik dengan jumlah 53,76 juta kg. Padahal, merujuk pada Pasal 29 ayat (1) huruf b UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah kegiatan mengimpor sampah seharusnya dilarang.

Problem sampah pada dasarnya adalah problem industri, status quo terhadap berbagai kebijakan yang ada bukanlah upaya untuk mengkurasi problem ini, namun menambah daftar panjang persoalan yang tak kunjung usai. Seperti kebutuhan akan plastik dalam dunia industri maupun perdagangan menjadikan setiap kebijakan bak simalakama. Melansir laporan data Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari 430 juta ton plastik diproduksi setiap tahun dan 2/3 nya dibuang sebagai sampah sekali pakai. Produksi yang terus menerus sebagai kebutuhan industri ternyata tidak berbanding lurus dengan proses daur ulangnya.

Sampah pada dasarnya memiliki nilai lebih, yakni jika sampah terkelola melalui startegi 3R (reduce, reuse, recycle). Sudah banyak upaya untuk mengembangkan hal ini, namun belum juga mampu dalam mengurai problem sampah. Lantas dimana persoalannya?

Dari Sampah Industri/Konsumsi Menjadi Industri Persampahan

Sampah industri/konsumsi mungkin satu-satunya yang perlu dicurigai terhadap problem sampah hari ini, mau bagaimanapun proses industrialisasi dan konsumsi akan selalu terus menerus menghasilkan volume sampah alih-alih mengurangi atau menghentikannya. Maka yang perlu dikuatkan adalah bagaimana membangun penyeimbang terhadap sampah industri/konsumsi dengan mengembangkan berbagai lini industri persampahan yang terintegrasi dan partisipasi.

Model industri persampahan ini harus mampu bukan hanya pemodal besar, namun juga usaha mikro, kecil dan menengah. Selain itu juga bukan hanya tanggungjawab pusat, melainkan provinsi, daerah kabupaten sampai desa juga perlu untuk dilibatkan. Kuncinya ada pada model kebijakan yang akan diaplikasikan, disatu sisi pengelolaan sampah bukanlah hal yang sederhana.

Pemerintah pusat maupun daerah seharusnya menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik (vide Pasal 5 UU No 18/2008). Pengelolaan sampah ini memiliki potensi besar untuk diagregasi dalam ranah industri yang sinergis. Jika melihat pada data impor sampah, maka kebutuhan atas sampah nasional sebagai bahan baku sangatlah besar.

Kebutuhan ini sejalan dengan maraknya industri dan konsumsi ditengah masyarakat yang menghasilkan sampah plastik.Menempatkan sampah sebagai bahan baku bisa disebut sebagai upaya “hilirisasi sampah”, namun hal ini membutuhkan syarat lebih dari penghasil sampah (baik industri maupun konsumsi).

Salah satunya adalah merubah mindset dari “membuang sampah” menjadi “memilah sampah”.Anjuran membuang sampah pada tempatnya saat ini sudah tidak relevan kembali, karena menempatkan setiap sampah menjadi residu, padahal seharusnya mampu diolah menjadi bahan industri kembali.

Model Regulasi Pengelolaan Sampah

Mengutip dari website Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Naisonal (SIPSN), sudah cukup banyak regulasi yang mengatur tentang sampah yang terdiri dari 1 Undang Undang, 2 Peraturan Pemerintah, 3 Peraturan Presiden, dan 9 Peraturan Menteri.Selain itu, terdapat 6 Peraturan Kebijaksanaan (beleidsregel). Banyaknya regulasi persampahan tidak menjamin adanya pengelolaan sampah yang baik dan terintegrasi. Selain itu, peran serta masyarakat tak lain memiliki pengaruh utama dalam hal pengelolaan sampah ini.

Dorongan regulasi haruslah diarahkan tidak hanya pada standarisasi pengelolaan sampah, melainkan upaya pemerintah memberikan dukungan pada upaya ini dan membantu proses perizinan bagi pengusaha yang akan melakukan pengelolaan sampah. Proses hilirisasi sampah atau industri persampahan adalah model pengelolaan sampah yang paling efektif, dimulai dari pelibatan aktif dunia industri dan masyarakat selaku konsumen.

Langkah awal untuk melakukan hal ini adalah cara pandang politik hukum terhadap pengelolaan sampah dan bukan perizinan industri persampahan, melainkan lebih pada dukungan terhadap setiap pelaku usaha hilirasi sampah dalam memenuhi standar yang ada. Jika melihat pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, maka setiap kegiatan usaha pengelolaan sampah wajib memiliki izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah, disini paradigma seharusnya diubah.

Hilirisasi sampah seharusnya dilihat sebagai bisnis strategis yang terbuka untuk dikembangkan oleh semua kalangan, potensi sampah menjadi bahan baku harus didukung oleh pemerintah dalam menyiapkan sistem distribusi yang baik, terutama menghubungkan kembali antara pengelola sampah dengan industri pengelolaannya. Melalui regulasi ini, pemasok utama sampah sebagai bahan industri harusnya ada dari masyarakat, sistem supply chain ini terhadap hilirasasi sampah dari masyarakat seharusnya seimbang dengan hilirisasi barang konsumsi yang ada diperedaran.

Untuk itu, fungsi pemerintah adalah memberikan jaminan dan dukungan terhadap setiap kegiatan usaha pengelolaan sampah termasuk insentif terhadapnya. Pengaturan yang terlalu ketat dan izin yang “belibet” tanpa ada dukungan maka upaya penanganan sampah hanyalah isapan jempol.

Sumber : https://www.suaramerdeka.com/opini/0411356809/upaya-menuju-hilirisasi-sampah-melalui-regulasi

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-04 08:59:472024-11-04 09:00:11Upaya Menuju Hilirisasi Sampah Melalui Regulasi

Tantangan Bank Rakyat

20/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (22 November 2023)

Sukardi

YOGYAKARTA, kedu.suaramerdeka.com – Rentenir merupakan usaha pengelolaan jasa keuangan illegal dengan beban bunga tinggi atas angsuran pengembalian yang bentuknya harian atau mingguan. Debitur yang tidak mampu membayar angsuran, dikenai pinalti tambahan beban angsuran, semakin banyak menunda pengembalian pinjaman semakin berat denda yang dikenakannya. Akibatnya, debitur yang bermasalah pengembalian angsuran bisa terkena beban yang berlipatganda. Rentenir berdalih menolong mengatasi permasalahan keuangan, tetapi dengan memberi beban bunga pengembalian yang tinggi, istilah orang Jawa ”nulung tapi menthung” (membantu sekaligus memukul).

Rentenir sering disebut lintah darat karena lintah pekerjaannya menghisap darah. Semakin lama dekat pada lintah, semakin banyak darah yang dihisap. Lintah darat penghisap dana masyarakat yang tinggalnya di darat. Rentenir pada umumnya dikelola oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan masyarakat, memahami kehidupan masyarakat bawah yang banyak mengalami permasalahan keuangan dan mampu membangun kesan bahwa ia mampu memberi solusi yang simpel, cepat atas persoalan keuangan yang dihadapi masyarakat.

Terbukti banyak warga yang terpikat. Pada tahun-tahun terakhir ini di berbagai daerah di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat banyak warga yang terjerat menjadi korban rentenir (pinjol) ilegal. Bank rakyat atau bank yang memiliki misi membantu rakyat kecil di pedesaan dan di daerah pinggiran termarjinalkan. Mau meringankan beban masyarakat, mau membantu menyiapkan modal usaha, dan mau mengangkat perekonomian masyarakat tetapi karyawannya sibuk.

Mereka padat agenda kerja di kantor, banyak pekerjaan yang menunggu membuat tidak lagi sempat blusukan ke pasar bertemu pedagang kecil, tidak lagi ke kampung-kampung membahas persoalan kesulitan perekonomian masyarakat kelas bawah. Mereka mengalami keterbatasan waktu untuk bergulat dengan masyarakat bawah yang terus dililit persoalan keuangan. Disamping itu, bank resmi tidak mungkin mencairkan pinjaman masyarakat tanpa prosedur administrasi dan persyaratan yang pasti.

Belum Mampu

Baitul Mal wa Tamwil (BMT) pun masih belum bisa memenuhi misinya. Sejak awal BMT ingin menghilangkan lintah darat di masyarakat. Lembaga ini, yang banyak keluar masuk ke lapangan, mengunjungi pedagang kecil, diharapkan menjadi pionir kuat mengatasi persoalan keuangan ummat.

Ternyata, mereka tetap belum bisa mengatasi keganasan rentenir. Bahkan pada BMT pun tidak bisa memberi pinjaman calon nasabah yang bermasalah yang tidak memiliki kemampuan angsuran. Mestinya BMT memiliki baitul mal, media penampung dana zakat, infak dan shodaqoh, sebagai dana sosial, diperuntukkan menolong umat lemah yang terlilit hutang dan benar benar tidak mampu mengembalikan pinjaman. Tampaknya BMT belum mampu menyediakan dana untuk segmen terakhir ini.

Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Baitul Mal wa Tamwil (BMT), semua mencairkan dana ke masyarakat selalu diawali dengan analisis kebutuhan dan kemampuan calon debitur. Tentu membutuhkan waktu dan selalu mempertimbangkan secara rasional kemampuan mengangsurnya. Rentenir tidak mempertimbangkan analisis kemampuan angsuran, rentenir secara cepat dapat mencairkan dana pinjaman. Mereka lebih cepat dan ”mudah” memberi pinjaman. Inilah tantangan BMT, BPR dan bank resmi lainnya, membantu masyarakat keluar dari ikatan rentenir.

Sumber : https://kedu.suaramerdeka.com/pendidikan/2110953024/tantangan-bank-rakyat

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-20 10:00:362024-10-19 10:11:23Tantangan Bank Rakyat

Apakah Cawapres Penting?

19/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (8 November 2023)
Immawan Wahyudi

YOGYAKARTA, kedu.suaramerdeka.com – Jagad politik nasional akhir-akhir ini – besar kemungkinan akan berlangsung cukup lama – ramai membahas Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Humas MKRI memberitakan bahwa polemik batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) berakhir dengan diputusnya permohonan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Realitanya, putuan MKRI itu justru menjadi awal persoalan.Buktinya, Ketua MKRI, Anwar Usman, pada hari ini (Selasa, 31-10-2023) menjalani pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan MKRI, yang dipimpin oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, terkait dugaan pelanggaran etik persidangan. Tulisan ini menelusuri seberapa penting cawapres dalam Pemilu tahun 2024? Mengapa sebegitu besar kontroversi yang ditimbulkannya dan telah mengundang begitu banyak sorotan tajam dari dalam negeri maupun luar negeri.

Dalam melaksnakan day to day government posisi wapres diatur dalam Keppres. Di antara Keputusan Presiden tentang Ketugasan Wakil Presiden adalah Keppres RI Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden Kepada Wakil Presiden untuk Melaksanakan Tugas Teknis Sehari-hari. Keppres tersebut ditanda tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jika diperhatikan bunyi teks Keppres di atas terdapat kalimat ”Penugasan Presiden Kepada Wakil Presiden Untuk Melaksanakan Tugas Teknis Sehari-hari”. Sedemikian rupa peran wapres diatur secara normatif-administratif, seakan tidak memiliki kemewahan jabatan.

Persoalan Serius

Berbeda dengan Keppres tentang ketugasan wakil presiden, Pasal 8 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terdiri salah satu ayat menyatakan ”Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”.

Secara yuridis-normatif posisi wapres sangat strategis jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan benar-benar terjadi. Namun secara real sosiologis hal itu belum pernah terjadi. Oleh sebab itu umumnya masyarakat secara awam memandang jabatan wapres bukan posisi penting. Pada sisi lain ada pandangan yang menganggap bahwa posisi calon wapres adalah persoalan yang sangat serius. Mungkin hal ini berkaitan dengan kemungkinan ada calon presiden yang terhitung lanjut usia. Sangatlah wajar jika pembicaraan cawapres menjadi lebih heboh karena bisa menggantikan posisi presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) UUD RI Tahun 1945.

Guna memberikan perspektif yang luas, membicarakan kekuasaan keprsidenan perlu kiranya kita hubungkan sejarah hubungan Dwi Tunggal Bung Karno dan Bung Hatta. Hal ini berkaitan dengan masalah esensial bernegara yakni cara pandang dan sikap hidup para the founding fahters RI. Perspektif ini kita perlukan agar kita tidak terus menerus melihat politik kekuasaan dengan pragmatisme. Ibarat lampu mobil, hanya menyalakan lampu jarak pendek, sebagaimana kita rasakan pada situasi politik nasional dewasa ini.

Pada saat Bung Karno menegaskan demokrasi terpimpin, bung Hatta tidak lagi sejalan dengan Bung Karno. Dalam kalangan terbatas, Bung Hatta pernah didorong untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Tetapi Bung Hatta menolak. Alasannya simpel, ”Kalau saya berhasil mengkudeta maka pada saatnya saya juga akan dikudeta”. Di negeri adi kuasa, Amerika Serikat, peran wakil presiden di masa lalu hanya jadi bahan lelucon, tetapi jabatan ini telah berkembang untuk memberikan kekuasaan lebih besar dan memiliki arti yang lebih penting.

Christopher Devine, asisten profesor ilmu politik di University of Dayton, yang mempelajari politik wakil presiden, berseloroh bahwa tugas wakil presiden hanyalah menghadiri upacara pemakaman mewakili preisden. Tapi lanjutnya, ”Zaman telah berubah. Wakil presiden sebenarnya adalah jabatan yang sangat penting”. Seloroh lain dinyatakan oleh Thomas R. Marshall, Wapres AS di bawah pemerintahan Presiden Woodrow Wilson (1913-1921). “Once there were two brothers. One ran away to sea, the other was elected vice President, and nothing was ever heard of them again.”

Sumber : https://kedu.suaramerdeka.com/nasional/2110786567/apakah-cawapres-penting

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-19 14:00:152024-10-19 09:34:23Apakah Cawapres Penting?

Oligopoli Real Estate di Indonesia

19/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (18 Oktober 2023)
Rifki Khoirudin

Selain kebutuhan primer masyarakat, properti merupakan produk investasi yang cukup menjanjikan, khususnya jenis properti real estate seperti rumah, tanah dan bangunan lainnya. Nilai aset yang terus meningkat, fluktuasi harga yang jarang terjadi, ditambah risiko yang relatif rendah menjadikan properti salah satu produk investasi yang diidam- idamkan masyarakat.

Di sisi lain, para pengembang properti juga merespons positif adanya subsidi bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 138/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Berdasarkan Pasal 7 PMK 138/2020, subsidi bunga KPR diberikan kepada debitur perbankan atau perusahaan pembiayaan sampai dengan tipe 70. Sementara itu dari sisi konsumen, pembelian properti residensial mayoritas masih dibiayai dari fasilitas KPR. Hal ini tercermin dari hasil survei yang mengindikasikan bahwa sebagian besar konsumen (75,08 persen) membeli properti residensial dengan menggunakan fasilitas KPR, sementara sebanyak 16,89 persen lainnya dengan tunai bertahap dan secara tunai sebanyak 8,04 persen.

Di Indonesia maupun di negara lain, persaingan pasar (market competition) berfungsi untuk mendistribusikan sumber daya kepada berbagai pihak/pengguna. Kekuatan permintaan dan penawaran pasar berinteraksi dalam perekonomian untuk menentukan harga atas barang, modal, maupun jasa yang dipertukarkan dan kepada siapa hal tersebut dialokasikan. Sumber daya real estat dialokasikan di antara berbagai penggunanya, yakni kepada individu, rumah tangga, bisnis, dan institusi di pasar real estat.

Pasar pengguna real estat dicirikan oleh persaingan di antara pengguna terhadap lokasi fisik dan ruang. Kompetisi pasar pengguna menentukan siapa yang dapat menggunakan bidang tanah dan berapa yang harus mereka tawarkan untuk dapat menggunakan bidang tanah tersebut. Peserta utama (primary participant) di pasar pengguna di antaranya adalah para penghuni potensial, penghuninya adalah si pemilik maupun dari penyewa.

Pengaruh Pasar

Pada akhirnya, permintaan terhadap real estat berasal dari adanya kebutuhan dari para individu, perusahaan, dan institusi akan kemudahan akses ke lokasi lain serta tempat berlindung/shelters untuk mengakomodasi kegiatan mereka. Selain itu, posisi/kondisi keuangan, keinginan dan kebutuhan rumah tangga dan perusahaan turut menentukan keputusan untuk memiliki dan menempati properti atau menyewa properti kepada orang lain.

Pemerintah juga turut mempengaruhi pasar dan nilai dari real estat dalam berbagai cara. Pemerintah daerah mungkin memiliki pengaruh terbesar pada real estat dibandingkan tingkatan pemerintahaan lainnya. Misalnya, pemerintah daerah dapat mempengaruhi pasokan dan biaya real estat melalui kebijakan zonasi dan peraturan penggunaan lahan lainnya, biaya-biaya untuk pengembangan lahan baru, dan regulasi terhadap bangunan yang membatasi konstruksi.

Pasar properti di kawasan Jabodetabek memiliki pasar yang cenderung oligopoli. Hal ini ditandai adanya beberapa perusahaan pengembang menguasai pasar tersebut. Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Erani Yustika mengungkapkan sebanyak 72 persen lahan properti di Jabodetabek sudah dikuasai oleh beberapa perusahaan pengembang atau sekitar 42.000 hektar, 72 persen dari total lahan properti, kalau dari teori ekonomi itu sudah jadi lahan oligopoli.

Apabila oligopoli memang benar terjadi di pasar properti di Indonesia, maka telah terjadi kesepakatan-kesepakatan yang hanya akan menguntungkan kalangan pengembang tertentu saja. Salah satunya adalah pengembang dapat menentukan harga untuk para konsumennya tanpa perlu melihat permintaan pasar. Dampak yang akan terjadi, apabila terus-menerus seperti ini adalah konsumen akan merasa dirugikan. Konsumen tidak bisa ikut menentukan harga dan konsumen pun tidak bisa lagi berpindah ke pengembang lain karena mereka sebenarnya pemain yang sama.

Konsumen harus membayar lebih mahal untuk sesuatu yang sepertinya lebih rendah. Sehingga yang terbentuk di pasar bukan lagi mekanisme pasar, tapi sudah merupakan kondesi anarki. Solusi yang diberikan untuk masalah ini seharusnya ada tindakan dari pemerintah untuk memutus rantai pasar ini dengan membeli kepemilikan dari pengembang tersebut. Pemerintah bisa menjadi pemain dalam properti dan memberikan harga yang sesuai dengan mekanisme pasar.

Agar praktek oligopoli tidak terjadi, pemerintah perlu pula membuat pembatasan waktu atas pembangunan bagi swasta yang sudah mempunyai lahan luas, kalau tidak ada batas waktu, pemilik tanah bisa menahan supply agar tetap tinggi. Jadi agar rumah semakin terjangkau, harus ada batas waktu pembangunan, apabila melewati batas waktu tanah sebaiknya dikuasai negara.

Sumber : https://kedu.suaramerdeka.com/pendidikan/2110551806/oligopoli-real-estate-di-indonesia

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-19 09:24:512024-10-19 09:25:27Oligopoli Real Estate di Indonesia

Darurat Antraks

17/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (20 Juli 2023)

Asep Rustiawan

YOGYAKARTA, kedu.suaramerdeka.com – Penyakit antraks kembali menjadi perhatian publik. Per tanggal 6 Juli 2023 terjadi tiga kematian suspek antraks di Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul. Uji serologis pada kegiatan tracing terhadap 125 warga menunjukkan sebanyak 87 orang (70 persen) terindikasi positif. Penyebab antraks yakni bakteri Bacillus anthracis yang dapat menular dari satu hewan ke hewan lainnya atau ke manusia.

Ada dua bentuk bakteri antraks yaitu sel aktif dan spora aktif. Ketika berada di lingkungan yang sesuai, misalnya berada dalam tubuh inang, bakteri antraks berbentuk sel aktif yang hidup, dapat berkembang biak dan mengeluarkan racun yang merusak dan berbahaya bagi tubuh inang.

Akan tetapi jika berada di lingkungan yang tidak sesuai, seperti tubuh inang yang sudah mati atau berada di alam bebas, bakteri antraks berbentuk spora. Dinding spora sangat kuat, tahan terhadap pengaruh lingkungan seperti panas, kekeringan, bahkan tahan terhadap sterilisasi bahan kimia. Dalam bentuk spora ini bakteri tidak aktif, seolah-olah ”tertidur”, tidak berkembang biak tetapi dapat tetap bertahan hidup sampai puluhan tahun (50-250 tahun).

Jika suatu saat kondisi lingkungan sudah sesuai, misalnya masuk ke dalam tubuh inang yang baru, spora akan berubah kembali menjadi sel aktif yang dapat berkembangbiak dan mengeluarkan racun. Itulah sebabnya hewan yang mati karena antraks harus dimusnahkan (eradikasi) karena dalam bentuk spora, bakteri dapat bertahan hidup lama di alam.

Antraks menyerang hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing atau domba. Hewan-hewan ini tanpa sengaja memakan atau menghirup spora yang berada di tanah ketika merumput. Segera setelah berada di dalam tubuh hewan, spora akan berubah menjadi sel aktif, tumbuh dan berkembang biak. Dalam waktu beberapa hari sel aktif bakteri akan beredar ke seluruh tubuh melalui aliran darah yang akhirnya mengakibatkan kematian. Dalam 1 ml darah dapat terkandung 10-100 juta bakteri.

Antraks pada Manusia

Manusia dapat tertular bakteri antraks melalui tiga cara yaitu pertama, melalui lubang luka pada kulit, akibat kontak langsung antara manusia dengan hewan sakit seperti menyembelih, menguliti, memotong-motong daging atau terciprat darah. Kejadian ini akan mengakibatkan penyakit antraks kulit, yaitu munculnya benjolan di kulit yang dapat disertai gatal.

Paling sering muncul di area wajah, leher dan lengan. Benjolan kemudian berubah menjadi borok berbentuk bulat tanpa rasa nyeri dengan kawah berwarna kehitaman. Sebagian besar antraks pada manusia adalah antraks kulit, dan dianggap sebagai penyakit antraks yang paling tidak berbahaya apabila segera ditangani dengan tepat.

Kedua, melalui saluran pencernaan, akibat mengkonsumsi daging atau air yang terkontaminasi sel aktif atau spora antraks. Kejadian ini mengakibatkan penyakit antraks pencernaan dengan gejala-gejala demam, mual, muntah, sakit tenggorokan, sulit menelan, sakit perut, diare, BAB berdarah, sakit kepala, dan munculnya benjolan di leher. Tanpa ditangani dengan baik, lebih dari separuh pasien antraks pencernaan meninggal dunia.

Ketiga, melalui saluran pernafasan, akibat menghirup spora antraks, dan mengakibatkan penyakit antraks pernafasan. Gejala-gejalanya dapat berupa demam, nyeri otot, mudah lelah, dada terasa tidak nyaman, sesak nafas, dan dapat menyebabkan radang otak (meningitis). Penyakit Antrak pernafasan dianggap paling berbahaya, tanpa pengobatan yang tepat hampir selalu berakhir dengan kematian.

Selain ketiga jenis penyakit Antrak di atas, ada satu jenis baru yang ditemukan di Eropa akibat pemakaian obat-obatan terlarang dengan suntikan, disebut penyakit antraks injeksi. Mirip dengan antraks kulit tetapi menyebar cepat ke seluruh tubuh sehingga lebih sulit diobati. Gejalanya berupa kemerahan di sekitar lokasi suntikan, pembengkakan, kegagalan multi organ, syok, dapat menyebabkan meningitis yang berakhir dengan kematian. Penyakit antrak pada hewan dan manusia dapat disembuhkan apabila segera ditangani dan diobati dengan benar. Semakin lama ditunda, semakin besar risiko penyakitnya.

Sumber : https://kedu.suaramerdeka.com/pendidikan/2112860241/darurat-antraks

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-17 10:15:242024-10-17 10:16:47Darurat Antraks

Pancasila dan Imajinasi Ke-Indonesia-an

10/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (2 Juni 2023)

Ilham Yuli Isdiyanto

Problem utama bangsa Indonesia adalah ketidakmampuan mengimajinasikan “bagaimana Indonesia berPancasila”. Pendidikan lebih sibuk membahas apa itu Pancasila daripada sedikit demi sedikit mempraktikkannya.Sudah cukup banyak tafsir terhadap Pancasila, tetapi masih minim aktualisasi terhadapnya. Pada tahun 2014, Pusat Kajian MPR RI menerbitkan judul buku yang berani yakni “Radikalisasi Pancasila” yang berangkat dari gagasan Kuntowijoyo yang ingin “merevolusi” gagasan Pancasila yang cenderung pasif menjadi lebih aktif, tidak hanya persuasif namun aktualitatif.

Meradikalisasi Pancasila seharusnya berangkat dari pertanyaan “radikal”, seperti pernah ada seorang mahasiswa mempertanyakan kepada saya bagaimana tanggapan saya tentang temannya yang tidak percaya dan mempertanyakan Pancasila?
maka saya jawab “menurut saya itu langkah awal yang bagus, bagaimana kita memahami sesuatu jika kita tidak mempertanyakannya?” Nalar kritis dimulai dari pertanyaan, bukan anggukan. Sudah saatnya mempertanyakan Pancasila dari segala macam multidemensi, dari kreativitas anak-anak, obrolan ibu-ibu, kegiatan “mabar” kids zaman now, sampai pada ekosistem perguruan tinggi.

Mempertanyakan Pancasila adalah esensi dan partisipasi masyarakat membangun bangsa, titik berangkat refleksi nasional. Pernyataan satire Sudjiwo Tedjo di forum Indonesia Lawyer Club TvOne di negeri Pancasila tidak mungkin ada orang miskin adalah refleksi atas upaya radikalisasi Pancasila. Kemudian, imajinasi tentang negara Pancasila harus berada pada level tertinggi, masyarakat makmur sejahtera. Nyatanya, penduduk miskin Indonesia sebesar 26,36 juta orang (BPS September 2022) adalah kontradiktif dengan ide Pancasila.

Bukan dalam pengertian konseptual namun memang kemiskinan konsep terhadapnya dalam berbagai macam bentuk kebijakan.Membuat kebijakan adalah proses imaji, yakni bagaimana Pemerintah harus mampu membayangkan sedetail mungkin setiap rencana kebijakan yang akan dilakukannya baik secara prosedur, bikorasi, produk hukum hingga implementasi dan dampaknya. Semua tidak lepas dari imaji, bahkan negara itu sendiri menurut Benedict Anderson (1983) tidak lebih dari komunitas imajiner (magined communities). Untuk mampu mengaktualisasikan Pancasila adalah mendorong proses imajinasi terhadap masyarakat Pancasila mulai dari sistem pendidikan.

Kemudian, mendorong pembentukan daya nalar yang kritis dan kreatif untuk anak bangsa jauh lebih penting daripada sekedar menyuruh mendengarkan. Soekarno dan Moh. Hatta pernah berbeda pandangan, untuk menyiapkan kemerdekaan apakah mengutamakan aksi masa atau mengutamakan kesadaran (pendidikan). Soekarno kemudian mencoba menyakinkan Moh. Hatta bahwa setelah merdeka, maka intelektualitas akan lebih mudah diwujudkan.

Para founding fathers memperjuangkan kemerdekaan berdasarkan imajinasi bahwa Indonesia nantinya akan menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja yakni negara yang makmur, adil dan sejahtera. Keyakinan akan hidup lebih baik dan menjadi negara besar adalah nyala api perjuangan untuk tidak pernah menyerah. Untuk menjamin perwujudan imajinasi ini, founding fathers kemudian menyematkannya dalam Preambule Undang Undang Dasar 1945 untuk pengingat bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia (staatidee) ada didalamnya. Imajinasi untuk mewujudkan negara gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja harus menjadi nyala dalam kegelapan berbagai problematika bangsa.

Pemaknaan terhadap Pancasila harus dibarengi dengan pengaktualisasian terhadap Pancasila. Pancasila harus hadir dalam berbagai bentuk pembicaraan, pidato, maupun orbolan ringan di coffe shop. Bukan sebagai peningkatan kesadaran namun sebagai pengingat bahwa Pancasila merupakan manifesto dan tuntutan rakyat terhadap negara untuk Indonesia lebih baik.

 

sumber https://www.suaramerdeka.com/opini/048993161/pancasila-dan-imajinasi-ke-indonesia-an

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-10 13:27:412024-10-10 13:27:41Pancasila dan Imajinasi Ke-Indonesia-an

Pemilu: Partai Kebobolan, Rakyat Kemalingan

08/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (23 Aptril 2023)

Ilham Yuli Isdiyanto

Pemilihan umum (pemilu) saat ini ibarat sebuah toko dalam pulau terpencil. Masyarakat hanya diberikan pilihan produk seadanya, tanpa ada perbandingan dengan toko lainnya, sehingga harus membeli bagaimanapun kualitasnya. Partai politik adalah produsen dari produk yang dijual ditoko tersebut. Jika tidak melewati quality control yang baik, maka pada akhirnya rakyatlah yang paling dirugikan.

Partai Politik dan “Ksatria Politik”

Dalam dunia pendidikan dan profesional terdapat standarisasi untuk mendorong perwujudan kompetensi pada bidang tertentu.
Karena itu, sangat disayangkan bila tidak ada standarisasi secara nasional dalam proses kaderisasi di tubuh partai politik untuk menghasilkan kader-kader partai yang kompeten, berintegritas dan bermoral.

Dilihat dampak sosial, kader partai politik yang nantinya menjadi bagian penyelenggara negara seharusnya lebih ketat daripada standar profesi lainnya yang biasanya bergerak di wilayah swasta atau privat. Melalui standarisasi ini, partai politik jangan hanya sebatas pada filterisasi calon politisi, namun secara moral menyelenggarakan kaderisasi dengan standar kompetensi yang jelas, terukur, dan teruji. Hal ini dimaksudkan agar partai politik tidak “kebobolan” karena mendukung calon-calon yang tidak kompeten dan tidak bermoral, akibatnya muncul “pejabat-pejabat politik” yang kurang kompeten melaksanakan tugas.

Bahkan lebih parahnya adalah berperilaku korup. Fenomena seperti ini kemudian ditangkap oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2019) yang menyatakan demokrasi kemudian terbunuh bukan oleh militer, melainkan pemimpin-pemimpin yang terpilih secara legal. Seperti fenomena Hitler, terpilih secara demokratis kemudian membunuh demokrasi dengan fasis. Pejabat yang korup maupun despot tidak ada bedanya dalam hal sama-sama merugikan rakyat. Asumsi ini harus dilihat sebagai bagian dari fenomena untuk membunuh demokrasi.Koruptor adalah politisi dengan mental “pedagang”, bukan mental “ksatria”. Sehingga memunculkan “pasar politik” bukan “gelanggang politik”.

Menurut Jean Beachler (2001), penggunaan istilah “pasar politik” merujuk pada pertukaran tempat tempat tranksaksi. Hanya saja pasar ini tidak fair karena produk apapun harus dibeli oleh konstituen walaupun kualitas produk tersebut buruk. Jika produk yang ditawarkan tidak ada yang memenuhi kualifikasi, maka harus dipilih dari salah satunya, memilih yang terbaik dari terburuk. Inilah realitas pasar politik hari ini. Berbeda dengan “gelanggang politik” di mana setiap kstaria politik yang masuk sudah memiliki kualifikasi petarung yang kompeten.

Partai Politik “Kebobolan”

Partai politik seharusnya menjadi kawah candradimuka untuk melahirkan ksatria-ksatria politik yang kompeten dan berintegritas. Mereka muncul sebagai pembela-pembela rakyat kecil dengan kekuatan dan kewenangannya. Namun, kaderisasi ini kemudian macet, sehingga muncul kader-kader dadakan yang belum matang secara kapasitas politik. Alih-alih melakukan kaderisasi, fenomena yang terjadi seperti “jual tiket” untuk memasuki “kendaraan politik” (Dian Aulia, 2016) karena terdesak kebutuhan pembiayaan.

Dari sinilah semua masalah itu dimulai, proses filterisasi yang macet kemudian menghasilkan politikus instan, bukan politikus yang lahir melalui proses kaderisasi yang ketat dan berjenjang. Akibatnya yang muncul bukanlah “ksatria politik”, melainkan demagog (Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, 2019). Alhasil, menurut laporan KPK (2020), sepanjang 2004 sampai 2020 tercatat ada 274 anggota DPR/DPRD yang menjadi tersangka korupsi. Lebih mencengangkan lagi, menurut Wakil Ketua KPT, Nurul Gufron (2021) ada 429 kepala daerah hasil Pilihan Kepala Daerah yang terjerat korupsi.

Partai politik haruslah mengakui telah terjadi “kebobolan”, biaya politik yang mahal dan filterisasi tanpa kaderisasi adalah penyebab utama korupsi banyak terjadi. Rakyat jelas sudah gerah dengan berbagai persoalan korupsi ini, bahkan kasus dugaan korupsi Bupati Meranti yang sampai pada mengagunkan tanah dan kantor Bupati Meranti menjadi sorotan serius dari rakyat. Di sisi lain, tidak ada pertanggungjawaban serius dari partai politik terhadap kadernya yang terbukti melakukan korupsi. Sanksi hanya ditujukan pada pelaku, bukan naungan partai politiknya. Sistem hukum Indonesia yang mengacu pada pertanggungjawaban individual menjadi dasarnya hal ini.

Sehingga adanya korupsi oleh kader politik yang paling dirugikan adalah rakyat, tidak ada sanksi legal terhadap partai politik. Hal ini kemudian tidak mendorong adanya keseriusan dari partai politik untuk menghasilkan kader-kader yang primus inter pares, produk yang dihasilkan partai politik adalah “ksatria politik” terbaik dari yang terbaik, bukan terkaya atau terkenal semata.

Revisi Regulasi

Pasal 29 ayat (1) huruf b dan c UU No. 2/2011 hanya mengatur hak rekrutmen terhadap bakal calon anggota DPR/DPRD dan bakal calon Kepala Daaerah, tanpa ada dasar kewajiban standar nasional terhadap bakal calon ini. Ketentuan ini membuka peluang partai politik hanya sebagai “kendaraan politik” an sich tanpa ada kewajiban untuk melaksanakan kaderisasi secara maksimal. Untuk mampu mendorong kaderisasi secara maksimal, terhadap ketentuan ini perlu dilakukan beberapa perubahan.

Di antaranya, a) dimasukkan standarisasi terhadap calon bakal calon anggota DPR/DPRD dan kepala daerah dengan memperhatikan keinginan masyarakat, kompetensi, dan track record;

Lalu b) regulasi perlu memperhatikan juga minimal keikutsertaan sebagai kader di Partai Politik sehingga terjadi proses demokratisasi bukan sebatas elektabilitas maupun modalitas;

Dan c) adanya filterasisasi secara terbuka berbasis pada uji kelayakan dan kepatutan dengan hasil laporannya yang dibuka secara publik.

Negara dengan otoritasnya seharusnya memiliki peluang untuk menghalau munculnya kualitas politikus yang buruk dan korup. Jangan sampai hukum kemudian bersifat kriminogen (Sajtipto R, 2007) yakni membuka peluang untuk tindakan-tindakan korup itu sendiri. Standarisasi terhadap bakal calon anggota DPR/DPRD maupun kepala daerah harus diubah dari kebijakan politik menjadi kebijakan rasional. Jangan sampai muncul “maling-maling” yang masuk ke dalam penyelenggaraan negara karena mereka mampu membeli “tiket” untuk memasuki “kendaraan politik”.

Sementara kader-kader kompeten yang mempercayai proses demokratisasi partai politik harus gigit jari karena ketidakmampuannya membeli tiket. Perlu diingat, proses politik yang baik dan jujur adalah syarat dalam mewujukan good and clean governance. Revisi lainnya adalah berkaitan dengan pemberian sanksi terhadap partai politik jika ada kadernya yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Perlu ada revisi terhadap Pasal 239 ayat (2) huruf c jo Pasal 242 ayat (1) UU No 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Masih terdapat hak dari partai politik untuk melakukan penggantian antarwaktu (recall) seharusnya dihapus. Artinya, jika partai politik tidak diberikan hak untuk melakukan recall terhadap kadernya yang korup, maka akan menjadi preseden untuk lebih berhati-hati dalam proses filterisasi bakal calonnya.

Poin-poin di atas tidak lain adalah upaya untuk menempatkan posisi kedaulatan rakyat secara hakiki dalam sebuah sistem. Jika sistem sengaja dibangun dengan celah, maka sebenarnya bukan lagi disebut kebobolan, melainkan sudah masuk sebagai kesengajaan. Rakyat kemudian selalu menjadi korban karena selalu kemalingan perilaku korup. Jika kondisi ini terbiarkan, kektidakpercayaan rakyat akan semakin tinggi dan eskalasi semakin besar yang dapat memicu kemarahan. Jangan sampai rakyat marah.

Sumber https://www.suaramerdeka.com/opini/048553879/pemilu-partai-kebobolan-rakyat-kemalingan

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-08 09:33:292024-10-08 09:34:40Pemilu: Partai Kebobolan, Rakyat Kemalingan

Wajah Kultural Hukum Indonesia

08/02/2023/in Opini, Publikasi 2022, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (12 Oktober 2022)

Immawan Wahyudi

ORANG Jepang sudah lama mengkritik proses persidangan di Amerika Serikat sebagai arena adu gulat, bukan untuk mencari keadilan. Orang Jepang lebih membanggakan persidangan di negerinya sebagai precise justice. (Satjipto Rahardjo, Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, hal 63).

Dalam kuliah tahun 1999 di Magister Hukum UII, Prof Satjipto acapkali memberikan gambaran wajah hukum dari suatu praktik peradilan yang kemudian menjadi kisah abadi wajah kultural hukum suatu masyarakat. Berkaitan dengan praktik peradilan di Amerika Serikat yang dijadikan contoh adalah kasus OJ Simpson –seorang atlet tersohor yang dituduh melakukan pembunuhan tingkat dua terhadap istrinya. Sedemikian rupa masyarakat meyakini OJ Simpson bersalah. Namun atas kepiawaian kuasa hukum OJ Simpson, oleh juri dinyatakan tidak bersalah.

 

Selengkapnya https://smjogja.com/wajah-kultural-hukum-indonesia/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2023-02-08 09:53:592023-02-08 09:53:59Wajah Kultural Hukum Indonesia

Kenalkan Sastra Lewat Siniar

08/02/2023/in Opini, Publikasi 2022, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (21 September 2022)

Yosi Wulandari

Peran teknologi dalam berbagai aspek kehidupan sudah tidak dapat dielakkan lagi. Begitupun dalam dunia sastra, pergeseran yang terjadi dalam segala dinamikanya juga telah menghadirkan genre sastra yang erat dengan kondisi sekarang, yaitu sastra digital. Akan tetapi, karya-karya sastra lama atau angkatan-angkatan masa lalu tetap memiliki potensi agar tetap dekat dan mendapat tempat di hati generasi Z ataupun Alfa dan generasi seterusnya.

Muatan dan kekuatan nilai pada karya-karya sastra telah menjadi motivasi penting bagi para pemerhati sastra untuk terus berinovasi. Inovasi teknologi untuk menggiatkan sastra mulai dilirik yakni teknologi siniar sastra. Siniar atau podcast sastra pada eranya sekarang tentu menjadi peluang bagi sastra untuk bisa hidup kembali, khususnya sastra-sastra Indonesia era sebelum reformasi. Konsep siniar sastra inilah yang dikenal dengan alih wahana sastra

 

Selengkapnya  https://smjogja.com/kenalkan-sastra-lewat-siniar/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2023-02-08 09:50:502023-02-08 10:37:52Kenalkan Sastra Lewat Siniar
Page 2 of 10‹1234›»

TERKINI

  • UAD Gelar FiTalks 2025: Kupas Tuntas Peluang dan Ancaman Era Kecerdasan Buatan (AI)12/07/2025
  • UAD Selenggarakan Pelatihan Koding dan Kecerdasan Artifisial (AI) untuk Guru SD dan SMP DIY12/07/2025
  • BIMAWA UAD Gelar Penerjunan dan Pembekalan Tim PPKO dan PKM11/07/2025
  • Prodi Ilmu Komunikasi 2022 Gelar Talkshow “Internship Insight”, Bahas Dunia Magang dan Karier PR11/07/2025
  • IMM PBII UAD Terima Kunjungan Studi Banding dari IMM FPB UMY11/07/2025

PRESTASI

  • UKM Karate UAD Borong Medali di Ajang Nasional12/07/2025
  • Langkah Berani Arya Eka Putra: Dari Keraguan Menjadi Juara I Pilmapres LLDikti V10/07/2025
  • Irgiawan, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UAD Raih Juara II Nasional di Ajang SILAT APIK-PTMA 202510/07/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Bronze Medal dan Best Poster di Kompetisi Nasional Business Plan05/07/2025
  • Mahasiswa Gizi UAD Raih Juara I Lomba Poster Contest 2025 Tingkat Nasional05/07/2025

FEATURE

  • Al-Qur’an sebagai Pedoman dalam Kehidupan11/07/2025
  • Terapi Kesehatan Mental Menurut Al-Qur’an dan as-Sunnah10/07/2025
  • Teman Sebaya Bukan Cuma Pendengar: Look, Listen, Link10/07/2025
  • Apa Kabar Kesehatan Mental Mahasiswa?09/07/2025
  • Kepribadian dan Metode Pendidikan Nabi05/07/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top