Cerpenis Bertalenta dari Sastra Indonesia
Risen Dhawuh Abdullah, mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia (Sasindo) angkatan 2017 Universitas Ahmad Dahlan (UAD), menjadi salah satu mahasiswa berbakat dalam menulis cerita pendek (cerpen). Lelaki asal Pleret, Bantul, ini menekuni dunia tulis-menulis sejak kelas XII SMA. Awalnya ia membaca cerpen-cerpen di media cetak, kemudian sebuah novel berjudul Perempuan Jogja karya Achmad Munif. Sejak saat itulah ia mencoba menulis.
Gelar cerpenis yang disematkan kepadanya sudah tidak perlu diragukan. Karyanya baik cerpen maupun puisi sudah banyak dimuat di koran lokal maupun nasional, baik cetak maupun online. Seperti di koran Harian Rakyat Sulawesi Utara, Merapi, Republika, Bangka Pos, Suara Merdeka, Banjarmasin Post, Nova, Majalah Pewara Dinamika UNY, Radar Surabaya, Balairungpress UGM, Lampung Post, Kompas.id, Media Indonesia, Simalaba.net, Radar Banyuwangi, serta beberapa karyanya yang berhasil masuk di antologi Bengkel Bahasa Yogyakarta, antologi pemenang lomba Wonderland Publisher, dan beberapa puisi termaktub dalam antologi Rumah Kita Sastra Bulan Purnama yang diselenggarakan oleh Tembi Rumah Budaya.
Risen menuturkan, menulis sebenarnya tidak susah. Namun, mengangkat persoalan-persoalan di sekitar dan tema-tema kearifan lokal menjadi tantangan tersendiri. Sejatinya pengarang sastra dituntut untuk menghadirkan sesuatu yang baru. Dari temalah potensi itu ada, untuk itu diperlukan kekritisan dan kepekaan terhadap masalah sosial yang ada di sekitar kita.
Selain itu, membaca karya orang lain, mengikuti diskusi sastra, dan menghadiri acara-acara sastra, juga menjadi hal yang dilakukan untuk menemukan ide dalam menulis. Tak lupa ia menambahkan untuk selalu memperhatikan perkembangan pengarang terutama yang bergiat di media cetak.
“Bagiku sekalipun cerpen itu kurang bagus, pasti ada manfaat yang dapat diambil pelajaran dari proses kreatifnya,” tuturnya saat dihubungi via WhatsApp pada Selasa, (28-1-2020).
Jika dihitung, jumlah karya Risen yang dimuat dan ditolak tentulah banyak ditolak. Namun dari situlah justru dijadikan sebagai cambukan untuk bangkit dari rasa malas. Terlebih pengalaman yang tidak mengenakan saat sudah lama karyanya tidak muat dan ditanyai teman-teman membuatnya malu.
“Saya ingin segera mungkin ada karya yang dimuat di media besar. Semacam Kompas, Jawa Pos, dan koran Tempo. Dan semoga kesusastraan Indonesia khususnya sastra yang berbasis media cetak, ialah redaktur lebih teliti lagi dalam mengkurasi karya yang masuk media. Karena sudah banyak karya yang terpapar plagiarisme. Jika tidak ekstra, redaktur akan kecolongan,” tandasnya saat disodori pertanyaan mengenai harapan media kesusastraan. (Chk).