Menjadi Hiperealitas di Era Pesatnya Perkembangan Teknologi
Sejak digaungkannya Revolusi Industri abad 19, salah satu komoditi yang berkembang pesat adalah teknologi. Teknologi telah menjadi semiotika zaman yang beroreintasi pada kepraktisan. Berbagai produk teknologi mutakhir seperti penggunaan satelit, mikro-prosesor komputer, dan pelayanan radio tahap tinggi (termasuk di dalamnya smartphone atau telepon pintar dengan segudang aplikasinya). Teknologi mutakhir selain menawarkan kemudahan dalam urusan hiburan hingga pekerjaan, juga mengantarkan manusia menjadi hiperealitas.
Jean Budrillard dalam bukunya Simulacra and Simulation mengemukakan hiperealitas merupakan perubahan orientasi dari medium ke medium lainnya. Realitas seolah berpindah pada realitas buatan melalui citra-citra fatamorgana. Budrillard mencontohkan, tidak ada tempat paling hiperealitis selain padang pasir, dan padang pasir itu Amerika. Memaknai contoh Budrillard, bahwasanya hiperealitas merupakan sebuah fatamorgana yang apabila didatangi lebih dekat segera menghilang. Hal itu seperti seseorang yang menghadapi televisi, film, dan video tiga dimensi, dalam dimensi itu terdapat realitas dari berbagai aktivitas kehidupan atau perasaan, seperti kesenangan dan kesedihan yang apabila dicermati dengan kesadaran merupakan sebuah kesemuan. Artinya, menjadi hiperealitas adalah sebuah fenomena saat realitas buatan dimaknai lebih nyata dibanding realitas itu sendiri.
Realitas-realitas buatan yang dimaknai lebih nyata dibanding realitas itu sendiri, pada era mutakhir berupa media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, dan lain sebagainya. Media sosial kini lebih dipilih masyarakat sebagai basis komunikasi. Fenomena tersebut, nyatanya tidak dapat dinafikan lagi seperti yang dinyatakan Everett M. Rogers tahun 1986 melalui bukunya Communication Technology: The New Media in Society bahwasanya perkembangan teknologi telah menempatkan komunikasi di garis depan revolusi sosial. Sebuah revolusi yang mengarahkan manusia menjadi hiperealitas.
Menurut Jonathan J. Kandell dalam Internet Addiction on Campus: The Vulnerability of College Students pada Jurnal Cyberpsychology & Behavior Vol. 1 No. 1 (1998), mahasiswa adalah kelompok yang terlihat lebih rentan terhadap ketergantungan pada internet dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Hal itu karena mahasiswa berada pada fase emerging adulthood, yaitu masa transisi dari remaja akhir menuju ke dewasa muda dan sedang mengalami dinamika psikologis.
Yanti Dwi Astuti melalui penelitiannya yang berjudul Simulation of Social Reality through New Media Study on Yogyakarta Students Smartphones Users pada Jurnal Pekommas, Vol. 2 No. 1 (2017) menemukan bahwasanya mahasiswa di Kota Yogyakarta meskipun mereka berada dalam jarak yang sangat dekat, mereka lebih memilih untuk berkomunikasi menggunakan smartphone dibandingkan berinteraksi satu sama lainnya secara langsung. Itu artinya, mereka lebih mengindahkan realitas buatan (media sosial) daripada realitas lingkungan sosial di sekelilingnya. Yanti dalam penelitiannya mengidentifikasi akibat menjadi hiperealitas, mahasiswa Kota Yogyakarta berpola pikir instan, individual, mudah melakukan pencitraan diri, terasing dari realitas sosial (aliensi), dan ketergantungan realitas buatan seperti media sosial.
Dikemukakan Schrock Andrew pada tesisnya Myspace or Ourspace: A Media System Dependency View of Myspace Dependency Theory, mendefinisikan tentang ketergantungan berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan atau pencapaian tujuan dengan bergantung pada sumber daya lain, dalam hal ini media sosial. Media tersebut dianggap sebagai satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan. Seolah-olah manusia tidak bisa hidup tanpa bantuannya, sehingga masyarakat mencari kepuasan dalam teknologi dan menerima perintah dari teknologi. Keberadaannya dianggap sebagai kekuatan sosial yang dominan. Seperti halnya yang diungkapkan Neil Postman dalam Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology karya Joseph Straubhaar, Robert LaRose, dan Lucinda Davenport, teknologi mendorong budaya technopoly yaitu suatu budaya masyarakat di dalamnya mendewakan teknologi dan teknologi tersebut mengontrol semua aspek kehidupan. (Efri)