Sikapi Culture Shock dengan Bijak
Perguruan tinggi di dunia yang membuka program internasional, memungkinkan mahasiswa untuk belajar dan menemukan perbedaan budaya antarnegara. Budaya merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Biasanya perbedaan budaya antarnegara tersebut dipengaruhi oleh faktor agama, ideologi, lingkungan, dan kebiasaan masyarakat di suatu negara tertentu.
Omar Abdul-Raoof Taha Ghaleb Al-Maktary merupakan mahasiswa darmasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang tengah menyikapi culture shock dengan bijak. Dalam ilmu sosiologi, culture shock atau keguncangan budaya merupakan ketidaksesuaian unsur-unsur yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu pola yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sebenarnya apabila dilihat dalam dua sisi, hal tersebut memiliki dampak negatif dan positif. Tinggal seperti apa kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap budaya di negara yang baru dikunjungi.
Omar, begitu sapaan akrabnya, menjelaskan beberapa perbedaan budaya yang berada di negara Yaman—yakni negara asalnya, dan Indonesia—negara yang ia tinggali belakangan ini, saat diwawancarai penulis di kampus 1 UAD, Senin, 18 Februari 2019. Ia menjelaskan perbedaan sikap dari masing-masing individu, makanan, maupun cara berpakaian.
“Kalau di Indonesia orangnya sedikit-sedikit senyum, bertemu tidak kenal saja senyum. Ya, ramah seperti itulah. Berbeda dengan di Yaman, semua orang individualis. Ketemu, ya biasa saja,” begitu ungkapnya.
Cara berpakaian antara dua negara tersebut juga berbeda. Sarung misalnya, telah menjadi pakaian yang melekat kuat di masyarakat Yaman. Bahkan sarung menjadi bagian seragam dinas kepemerintahan. Berbeda dengan masyarakat Indonesia. Sarung biasa digunakan hanya untuk melakukan kegiatan peribadatan. Contohnya seperti untuk shalat, pergi tahlilan ke tempat tetangga, dan memperingati Idulfitri maupun Iduladha.
“Di Yaman, semua perempuan menggunakan pakaian tertutup,” imbuh Omar.
Anak keenam dari pasangan Abdul-Raoof Taha dan Huda Yasin ini juga menjelaskan mengenai makanan sehari-hari. Ia mengatakan bahwa selama di Indonesia, ia belum bisa makan hanya nasi saja, tetapi harus ada temannya. Menurutnya nasi di Indonesia lebih manis. Berbeda dengan Yaman, nasi dominan campur dengan rempah-rempah. Untuk makan pagi dan malam masyarakat Yaman hanya menggunakan roti. Nasi hanya untuk makan siang.
Hal tersebut tidak menutup kemungkinan menyebabkan terjadinya fenomena culture shock pada seseorang. Bagi masyarakat yang belum siap menerima perubahan-perubahan yang terjadi maka akan timbul guncangan (shock) dalam kehidupan sosial dan budayanya, yang mengakibatkan seorang individu menjadi tertinggal atau frustrasi.
Oleh karena itu sebagai mahasiswa yang hidup di zaman yang serbamodern, setidaknya ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dapat disikapi dengan bijak. Fasilitas akses internet yang bisa dilakukan kapan saja bisa digunakan untuk membaca, mengenali, dan lebih memahami lingkungan baru yang akan kita kunjungi. Omar menjadi contoh bahwa ia yang telah hidup lama di Yaman, mampu menyesuaikan diri denga bijak ketika berada di Indonesia. (nda)