Kaum Milenial Merupakan Penduduk Asli di Dunia
Sering kali orang beranggapan negatif ketika berpikir tentang kaum milenial. Dari penafsiran itu, banyak pula pendidik dan kaum agama yang tidak mengerti cara mendidik kaum milenial, karena yang mampu mendidik kaum milenial hanyalah pengusaha atau pedagang. Dari ketidaktahuan itu, banyak organisasi agama yang bubar atau mengubah visi dan misi sebelumnya.
Perlu diketahui, otak kaum milenial diciptakan sangat berbeda dengan orangtua sekarang. Meskipun memiliki emosi yang memuncak, sebetulnya mereka sangat jujur untuk mengutarakan pemikirannya kepada orangtua.
“Ada hadits yang menjelaskan, kalau mau mendidik anak, didiklah sesuai dengan zamannya. Kaum milenial juga merupakan penduduk asli di dunia ini, kita yang orangtua hanya menjadi orang imigran yang sebentar lagi akan dibuang atau tidak ada di dunia ini,” jelas Irfan Amalee saat mengisi acara tentang “Dakwah Komunitas untuk Era Milenial” dalam acara pengajian Ramadan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY. Dengan mengusung tema “Menyemai Dakwah Komunitas untuk Islam Berkemajuan”, acara yang berlangsung di kampus 4 Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Jln. Ringroad Selatan, Tamanan, Banguntapan, Bantul, Sabtu (2/6/2018) ini berjalan sukses.
Irfan Amalee menceritakan tragedi kebakaran masjid Tolikara di Papua yang dibakar oleh masyarakat sana. Dari kejadian itu, banyak orang yang beranggapan negatif terhadap orang Papua, apalagi dengan agama Kristen. Dengan menggunakan media, banyak orang menyebarkan kabar hoax terkait kejadian itu. Namun, di sana juga ada seorang milenial yang bernama Panji. Ia menanggapi berita di media dan mencoba melawannya.
“Istimewanya, Panji sebagai kaum milenial memecahkan masalah dengan respons sangat baik, yakni dengan kata sederhana dan menggalang dana melalui media daring.”
Untuk mengalihkan berita hoax, Panji melakukan penggalangan dana hingga bisa terkumpul sekitar 300 juta rupiah dalam waktu sangat singkat.
Irfan Amalee menerangkan, kaum milenial bisa mengubah peristiwa dunia dengan cara mereka sendiri. Mereka sangat tidak percaya dengan organisasi besar yang di dalamnya didominasi orangtua. Sebab, kepercayaan mereka terhadap orangtua hanya 16% saja, selebihnya dia percaya kepada kaum milenial dan dirinya sendiri. Mereka mempunyai pemikiran dengan tujuan mengubah dunia agar lebih baik lagi.
“Bagi kaum milenial, waktu lebih berharga daripada uang. Mereka sebagai pewaris dunia yang sah memiliki pola berpikir berbeda dengan orangtua.”
Selain itu, kaum milenial bekerja dalam proyek sendiri atau bersama orang lain. Ketika ada proyek yang tidak menarik dan tidak sesuai dengan gaya pemikirannya, mereka dengan tegas menolak. Bagi mereka, keunikan dan kretivitas suatu proyek adalah hal yang penting. Misalnya seperti Indonesia Berbagi, Indonesia Berkebun, Indonesia Mengajar, Laskar Sedekah, Berbagi Nasi, dan Kampung Belajar. (ASE)