Dosen UAD Bicara Kejantanan Orang Madura
“Orang Madura terkenal kasar, keras, dan semaunya sendiri. Tetapi jika bertemu dan berkomunikasi dengan orang Madura secara langsung, maka kita tidak akan menemukan stereotip kasar, keras, dan lain-lain itu. Mereka sangat santun, tidak ada yang keras seperti anggapan banyak orang,” kata Budi saat menjadi pengulas dalam acara “Psikologi Kejantanan Orang Madura” yang diadakan oleh Civitas Kotheka di Gedung Kesenian Pamekasan, Jalan Trunojoyo, Kelurahan Patemon, Selasa malam (12-2-2019).
Budi yang pernah melakukan observasi ke beberapa daerah di Madura itu berkesimpulan bahwa sikap orang Madura bergantung pada lawan bicaranya. Kalau santun dibalas lebih santun. Sebaliknya, kalau kasar akan dibalas lebih kasar.
Lelaki asal Lawangan Daya, Kecamatan Pademawu, Pamekasan, itu menuturkan, carok menjadi cara orang Madura mempertahankan kejantanannya. Sebab hal itu menjadi senjata untuk menjaga kehormatan. Bahkan, dalam praktiknya carok direncanakan.
Baginya, praktik carok unik. Bisa terjadi karena diundang. Tentunya, hal itu sudah direncanakan. Sebelum carok, berbagai persiapan dilakukan oleh kedua belah pihak.
“Beberapa persiapan biasanya dilakukan sebelum carok dimulai. Jadi, pelaku carok akan meningkatkan ibadahnya sebagai bekal spiritual. Persiapan dalam hal supranatural juga dilakukan,” ujarnya.
Pada koloman budaya yang rutin tersebut juga menghadirkan Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si., Dosen Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. Menanggapi tema tentang kejantanan orang Madura, Hadi, pangggilan akrabnya mengatakan, karakter kejantanan orang Madura berhubungan dengan psikologi maskulinitas. Yakni sebuah perilaku atau simbol-simbol kelaki-lakian. Baik laki-laki maupun perempuan juga bersifat maskulinitas.
Namun, psikologi kejantanan orang Madura lebih dikenal pada stereotip bentuk kekerasan. Hal itu muncul karena faktor lingkungan sehingga terbentuk tradisi, dan sudah terjadi sejak zaman dahulu.
“Kita bisa lihat di daerah yang rawan terjadi carok. Biasanya kalau ada yang mati karena carok, pakaiannya disimpan tanpa dicuci. Tujuannya, untuk diberitahukan kepada anaknya bahwa bapaknya meninggal karena dibunuh. Dari situ muncul identitas sosial,” terang laki-laki asal Bantul Yogyakarta itu.
Menurut dia yang biasa terjun di lokasi konflik tersebut, identitas sosial tidak perlu dikembangkan. Sebab, bagaimanapun bentuk kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Perlu kesadaran masyarakat untuk mengubah diri.
“Jadi, kesempatan untuk memperbaiki identitas sosial masih mungkin terjadi. Tapi bukan berarti menghilangkan maskulinitas atau keberanian dalam diri kita. Artinya, karakter orang Madura tidak akan hilang hanya karena meninggalkan carok,” pungkas penulis buku Merawat Perdamaian tersebut.