Mahasiswa UAD Menjadi Fasilitator di Akar Rumput
Mirja Sentani mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) semester enam, dikenal sebagai aktivis kampus. Ia mengikuti Lembaga Semi Otonom (LSO) Kreativitas Kita (Kreskit) yang bergerak di bidang jurnalistik, Teater Jaringan Anak Bahasa (JAB), serta Forum Kreativitas Mahasiswa Bangka Tengah (Forkrevmah) yang merupakan organisasi daerah ekstra kampus.
Saat ini, mahasiswa asal Bangka Tengah itu sedang bekerja sebagai fasilitator di Sekolah Akar Rumput yang terletak di Dusun Pendes, Kelurahan Panggungharjo, Sewon, Bantul. Mantan Pemimpin Umum Kreskit periode 2017/2018 tersebut mengaku mengajar di Sekolah Akar Rumput setelah mendapat tawaran dari temannya. Esensi pendidikan menurutnya ialah memanusiakan manusia, yang dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantara.
“Sebelumnya saya tidak termovitasi sebagai fasilitator, namun tertarik dengan metode pembelajaran di sekolah merdeka. Saya tertarik sejak tahun 2018, saat Kreskit mengadakan bakti sosial di Sanggar Anak Alam (Salam). Kebetulan tahun 2019 teman saya menjadi fasilitator di Sekolah Akar Rumput. Sekolah ini juga mempunyai benang merah dengan Salam. Saat teman saya mengunggah kegiatan di sekolah merdeka, saya selalu mengikuti posting-annya. Kemudian, saya tertarik dengan sistem pembelajaran di sana. Suatu sistem pembelajaran yang berbeda dengan sekolah pada umumnya. Pembelajaran yang tidak menggunakan kurikulum dan tidak ada mata pelajaran, karena semua kegiatan termasuk pembelajaran,” jelas Mirja saat ditemui di Sekolah Akar Rumput pada Kamis (16-5-2019).
Ia menyampaikan, “Saya baru tiga bulan mengajar di Sekolah Akar Rumput. Saya merasa bodoh, karena ternyata banyak hal yang tidak saya dapatkan di ruang kuliah saat di kampus. Untungnya saya terbantu saat mengikuti LSO Kreskit tentang kepenulisan di organisasi. Khususnya dalam kepenulisan dan teater, keduanya sangat membantu saya. Kreativitas sangat dibutuhkan, bukan hanya teori a, b, dan z.”
“Ketika seseorang mendapatkan IPK empat, saya berani bertaruh bahwa orang tersebut belum tentu bisa menerapkan gaya belajar IPK-nya pada macam-macam kepala anak. Karena setiap anak memiliki karakter yang berbeda, memiliki keunikan masing-masing. Misalnya kita yang menjalani pendidikan dari SD, SMP, dan SMA, maka kita dijejali semua mata pelajaran. Sebenarnya semua mata pelajaran tersebut belum tentu kita pahami. Seharusnya, kita juga tidak harus paham semua dengan bidang tersebut, karena setiap anak memiliki keahlian di bidang masing-masing. Berbeda dengan sekolah merdeka. Setiap anak kami latih dan dampingi, sampai mereka menemukan hal yang mereka bisa. Sebagai fasilitator, kami hanya mendampingi bukan menuntut mereka harus bisa ini dan itu,” pungkasnya. (Dew)