Pemerintah Harus Memakmurkan Masyarakat di Ibu Kota Baru
Presiden Jokowi telah mengumumkan pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur (Kaltim) pada 26 Agustus 2019 di Istana Negara. Kemungkinan, jangka menengah pembangunan akan dijalankan pada tahun 2020−2024 mendatang. Selain itu, Irsan Noor selaku Gubernur Kaltim sudah menyiapkan lahan untuk ibu kota baru seluas 180.000 sampai 225.000 hektar.
Hal tersebut pasti memicu pro dan kontra di masyarakat Kaltim maupun di wilayah lainnya, seperti halnya yang diutarakan Robbi Firdauzi Al Fejri mahasiswa baru (maba) dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang berasal dari Kaltim.
“Pemindahan ibu kota menuai pro dan kontra yang saya dengar dan ketahui. Pro dari pemindahan ibu kota bakal berdampak baik karena Kaltim letak wilayahnya ada di tengah Indonesia, terlebih alamnya masih asri. Kalau kontranya adalah isu kegagalan presiden menangani masalah di ibu kota sekarang. Sementara, di Kalimantan sendiri banyak sekali sumber daya alam seperti tambang, batu bara, dan lainnya yang otomatis presiden harus kembali mengelola sehingga bisa memakmurkan masyarakat Kaltim dan sekitarnya,” ungkapnya saat ditemui di Kampus III Jln. Prof. Dr. Soepomo, S.H., Janturan Yogyakarta, Kamis (5-9-2019).
Menurutnya, nanti pemerintah jangan hanya memakmurkan Kaltim saja, tetapi juga ibu kota sekarang yang rakyatnya belum makmur. Sebelum pindah ke ibu kota yang baru, seharusnya pemerintah harus menuntaskan masalah di ibu kota yang lama. Misalnya terkait polusi di Jakarta baru-baru ini.
Robbi membayangkan kalau Kaltim menjadi ibu kota, hutan di sana akan menyusut bahkan sampai gundul. Sebab, sudah pasti bakal ada banyak pembangunan yang akan dilaksanakan pemerintah untuk menjalankan atau merealisasikan sesuatu proses kepemerintahannya.
“Ketika hutan gundul pasti akan terjadi banjir dan bencana lainnya, pemerintah harus mengantisipasi semua itu sebelum terjadi,” tandasnya. (ASE)