Budaya Unggah-Ungguh Yogyakarta
“Menggunakan rumus meneng sebelum berbuat, mengedepankan perasaan yang tenang, terang, dan diam. Wening, hanya dengan meneng jiwa akan menjadi jernih. Anung, dengan jiwa yang jernih akan dapat berpikir dengan baik. Menang, akhir dari proses meneng, wening, anung diperoleh hasil pemecahan yang efektif dan efisien,” begitulah yang disampaikan Drs. Aryanto Hendro Suprantoro.
Ia diundang khusus oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi sebagai narasumber dalam seminar nasional tentang “Budaya Unggah-ungguh Yogyakarta”, yang dilaksanakan di Kampus Utama UAD, 24 Oktober 2019.
Aryanto yang berasal dari Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini menyampaikan sifat karakteristik budaya Jawa-Yogyakarta. Di antaranya adalah religius ber-Tuhan, mempunyai toleransi keagamaan yang besar, sangat menekankan aspek kerukunan, hormat dan keselarasan sosial yang tercermin dalam kearifan nilai budaya dengan kredo, asih ing sesami dan dudu sanak dudu kadang yen mati melu kelangan, serta lebih suka memecahkan masalah kehidupan dengan sikap mawas diri atau tepa slira agar dapat menghindari konflik dengan pihak lain.
Selain itu juga bersifat akomodatif, tidak bertindak dengan adigang, hanya mengandalkan kedudukan dan status sosialnya. Adigung artinya hanya mengandalkan kepandaian. Sementara adiguna adalah hanya mengandalkan keberaniannya.
“Bersikap wani ngalah luhur wekasane dan percaya bahwa sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti. Wani ngalah tidak berarti kalah karena mempunyai keyakinan bahwa di balik wani ngalah akan mendapatkan kemenangan dan keluhuran di kemudian hari. Sedangkan sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti mengandung makna bahwa segala kejahatan di dunia akan hancur oleh keutamaan dan kebajikan,” tutupAryanto. (JM)