• TERKINI
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Brain Rot dan Krisis Kesehatan Mental

23/04/2025/in Feature /by Ard

Dr. Dody Hartanto, M.Pd., Dosen Magister Bimbingan dan Konseling (BK) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Dok. Bimawa UAD)

Di tengah dunia yang semakin digital dan serba instan, kesehatan mental generasi muda menghadapi tantangan baru yang tidak kasat mata. Dalam kegiatan Orientasi Pembekalan Konselor Sebaya Tingkat Program Studi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada 19 April 2025, Dr. Dody Hartanto, M.Pd. selaku Ketua Ikatan Bimbingan dan Konseling Perguruan Tinggi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (IBKPT ABKIN) sekaligus dosen Magister Bimbingan dan Konseling (BK) UAD, mengangkat sebuah topik yang menggugah, “Brain Rot: Masalah dan Peran Konselor Sebaya”.

Melalui materinya, Dody membuka ruang kontemplatif yang dalam. Menurutnya, konselor sebaya tidak hanya hadir sebagai pendengar, tetapi sebagai pribadi yang secara aktif dan sadar turut serta dalam perjalanan perbaikan, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. “Menjadi konselor itu bukan tentang siapa yang paling sempurna, melainkan siapa yang paling sadar akan proses bertumbuh,” ujarnya.

Fatherless dan Luka yang Mengendap

Dalam pemaparannya, Dody menyampaikan fakta mencengangkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga dunia dalam hal fatherlessness, ketiadaan figur ayah, baik secara fisik maupun emosional, dalam kehidupan anak. Dampaknya tidak bisa dianggap sepele. Ketidakhadiran ayah dapat memengaruhi struktur kepribadian, kestabilan emosi, dan kemampuan membentuk relasi sehat.

Lebih lanjut, ia membahas bentuk-bentuk adverse childhood experiences (ACEs), yakni pengalaman masa kecil yang berdampak negatif terhadap tumbuh kembang psikologis individu. Ini termasuk pelecehan emosional, fisik, dan seksual. Selain itu juga kekerasan dalam rumah tangga, penyalahgunaan zat, hingga adanya gangguan mental dalam keluarga. Trauma yang bersumber dari pengalaman ini sering kali bersembunyi dalam diam, menjelma menjadi kecemasan kronis, kehilangan arah hidup, bahkan depresi yang sulit dikenali.

Brain Rot: Ketika Pikiran Tergerus Era Digital

Dody memperkenalkan istilah “brain rot” sebagai kondisi penurunan fungsi kognitif, emosional, dan sosial akibat paparan digital yang berlebihan dan tidak sehat. Istilah ini populer di kalangan generasi muda dan secara metaforis menggambarkan “pembusukan otak” yang disebabkan oleh konten dangkal, overstimulasi dari media sosial, dan rendahnya kontrol diri.

Efek dari brain rot tidak hanya mengganggu fokus dan produktivitas, tetapi juga menurunkan empati, mengikis kemampuan refleksi, serta memicu kelelahan mental yang tak kentara. “Kita mungkin merasa sibuk dan terus ‘terhubung’, tetapi sebenarnya pikiran kita kehilangan arah dan kedalaman,” tutur Dody.

Strategi Penyembuhan: Dari Digital Detoks hingga Empati Sosial

Sebagai bentuk upaya preventif dan kuratif terhadap brain rot, Dody menyarankan beberapa langkah konkret yang bisa diterapkan oleh mahasiswa, terutama para konselor sebaya. Pertama, detoks digital secara berkala, yakni membatasi penggunaan gadget dan media sosial dalam waktu tertentu untuk memberi ruang bagi ketenangan mental. Meningkatkan literasi digital, agar mahasiswa tidak hanya menjadi pengguna pasif, tetapi juga mampu memilah informasi yang bergizi secara psikologis. Kedua, olahraga teratur, sebagai sarana mengolah hormon stres dan memperkuat koneksi antara tubuh dan jiwa. Ketiga, mengutamakan interaksi sosial secara langsung, karena kehadiran fisik dan perhatian yang nyata jauh lebih menyembuhkan dibanding notifikasi digital. Keempat, membatasi konten hiburan yang bersifat impulsif, terutama yang tidak memberi makna atau menambah nilai dalam proses perkembangan diri.

Konselor Sebaya: Pemulih yang Tumbuh Bersama

Dody menutup materinya dengan penekanan bahwa konselor sebaya adalah mitra bertumbuh, mereka tidak datang dengan semua jawaban, tetapi hadir dengan kesediaan untuk mendengarkan, memahami, dan berjalan bersama. Dalam dunia yang penuh luka tersembunyi dan distraksi tak berujung, konselor sebaya adalah simpul kecil dari harapan yang menyala. Sebagaimana disampaikannya, “Bantulah temanmu bukan karena kamu lebih hebat, tetapi karena kamu juga sedang belajar menjadi utuh. Dan dalam proses itu, kita semua sedang saling menyembuhkan.” (Mawar)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Dr.-Dody-Hartanto-M.Pd_.-Dosen-Magister-Bimbingan-dan-Konseling-BK-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-Dok.-Bimawa-UAD.jpg 1080 1920 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2025-04-23 10:49:042025-04-23 10:49:04Brain Rot dan Krisis Kesehatan Mental

Kupas Tuntas Istilah Persidangan

23/04/2025/in Feature /by Ard

Nurul Satria Abdi, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Dok. LDKM)

Nurul Satria Abdi, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) sekaligus dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menjadi pemateri dalam kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa (LDKM) yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH UAD di Binakarya Homestay, Yogyakarta, pada Sabtu, 19 April 2025.

Materi yang dipaparkan yakni pertama, berupa bagaimana seorang pemimpin saat mengambil keputusan dan kedua, agar menambah rasa sedap akan diskusi, ia pun menjelaskan istilah persidangan guna mengasah pengetahuan para hadirin sebagai mahasiswa FH.

Menurutnya, seorang pemimpin seharusnya memiliki sifat komunikatif, tanggung jawab, mampu mengambil keputusan dengan bijak, memiliki kecakapan intelektual, bersikap dewasa, serta mampu memberikan motivasi yang positif kepada kelompoknya dalam mencapai sebuah tujuan. “Pemimpin bisa saja lahir karena dipilih, diangkat, karena turun-temurun, maupun atas inisiatif sendiri,” ujarnya. Bagaimanapun pemimpin itu lahir, yang terpenting harus memiliki wibawa (power) terhadap hal yang ia lakukan.

Selanjutnya, materi yang dijelaskan terkait istilah persidangan yang sangat menarik. Ia mengatakan bahwa dalam persidangan terdapat etika-etika yang harus kita miliki seperti menyampaikan ide dengan jelas, menjadi pendengar yang baik, usahakan tidak mendominasi pembicaraan, serta menekan subjektivitas. Pemateri juga menjelaskan terkait ketukan palu sidang dalam persidangan.

Menariknya, ia menjelaskan istilah-istilah dasar dalam sidang secara rinci seperti, pleno (lengkap [dihadiri] oleh semua anggota), paripurna (lengkap [dihadiri] semua anggota dan biasanya menjadi rapat penutup), skorsing (penghentian sidang untuk sesaat sebab hal persidangan), pending (penghentian sidang sebab hal di luar muatan sidang), interupsi (pemotongan pembicaraan oleh anggota sidang terhadap peserta lainnya), dan kuorum (jumlah minimun orang yang harus hadir agar rapat dapat dilaksanakan).

Nurul Satria berharap dengan penjelasan materi terserbut, mahasiswa UAD khususnya FH, dapat menjadi pemimpin yang baik serta mampu menambah pengetahuan terkait istilah dalam persidangan. (Salsya Yunita)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Nurul-Satria-Abdi-S.H.-M.H.-Dosen-Fakultas-Hukum-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-Dok.-LDKM.jpg 1080 1920 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2025-04-23 10:22:102025-04-23 10:22:10Kupas Tuntas Istilah Persidangan

Menakar Ketaatan kepada Ulil Amri: Refleksi Politik Islam

21/04/2025/in Feature /by Ard

Dr. Immawan Wahyudi, M.H., Khatib Jumat Masjid IC Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Dok. IC UAD)

Ada yang berbeda dalam suasana Jumat, 18 April 2025, di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Ratusan jamaah memenuhi ruang utama masjid dengan antusiasme yang tinggi. Mereka tidak sekadar datang untuk melaksanakan kewajiban salat Jumat, tetapi juga untuk menyimak khutbah yang disampaikan oleh tokoh nasional dan intelektual Muhammadiyah, Dr. Immawan Wahyudi, M.H., yang juga merupakan anggota Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Ia membuka khutbahnya dengan seruan yang menyentuh kalbu, ajakan untuk senantiasa bersyukur atas nikmat Allah dan meningkatkan ketakwaan sebagai bentuk penghambaan yang sejati. Ia menegaskan bahwa dua hal mendasar tersebut merupakan fondasi utama bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan, baik sebagai individu yang beriman maupun sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas.

Pemaknaan Ketaatan kepada Ulil Amri

Dalam khutbahnya, ia mengangkat Surah An-Nisa ayat 59 sebagai pokok bahasan utama yang memiliki relevansi mendalam dalam kehidupan sosial dan kebangsaan. Ayat tersebut mempunyai arti: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad), serta ulil amri di antara kamu. Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)

Ia menjelaskan bahwa sejumlah ulama menganggap ayat ini sebagai landasan utama penyelenggaraan pemerintahan dalam Islam. Bahkan, apabila tidak ada satu pun ayat lain dalam Al-Qur’an yang mengatur tentang kepemimpinan atau pemerintahan, ayat ini sudah cukup menjadi rujukan yang komprehensif. Namun, ia juga menekankan bahwa pemaknaan terhadap ayat tersebut tidak tunggal, dan berbeda-beda dalam pandangan para ulama.

Ada yang berpendapat bahwa ketaatan kepada ulil amri bersifat mutlak, sementara sebagian lain berpandangan bahwa ketaatan kepada ulil amri bersifat relatif, berbeda dari ketaatan absolut kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, ketaatan kepada pemimpin (ulil amri) harus memenuhi syarat-syarat normatif dan ideologis, yaitu bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta berlandaskan perjanjian atau konsensus sosial dalam sebuah bangsa atau negara.

Untuk memperkuat argumentasinya, Immawan Wahyudi juga mengutip Surah An-Nisa ayat 58, yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)

Ayat ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa konsep ketaatan kepada ulil amri hanya sah jika ulil amri menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh manusia yang berada dalam lingkup kekuasaannya. Keadilan dan penegakan amanat menjadi syarat utama untuk legitimasi kepemimpinan dalam Islam.

“Tidak cukup hanya menduduki jabatan kekuasaan, tetapi harus dijalankan dengan keadilan dan tanggung jawab terhadap amanat umat. Di sinilah pentingnya pemimpin yang tidak hanya sah secara legal, tetapi juga secara moral dan spiritual,” jelasnya.

Waspada terhadap Kepemimpinan yang Menyimpang

Lebih lanjut, Immawan Wahyudi menegaskan bahwa tidak semua pemerintahan berpihak pada kepentingan umat Islam, bahkan tidak semua berpihak pada rakyat secara keseluruhan. Dalam hal ini, ia mengutip Surah Al-An’am ayat 123, yang artinya: “Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri pembesar-pembesar yang jahat agar mereka melakukan tipu daya di negeri itu, dan mereka tidak menipu melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al-An’am: 123)

Ia menjelaskan bahwa fenomena tipu daya dalam politik sering dianggap lumrah, bahkan dibenarkan dengan anggapan bahwa “politik adalah seni menipu”. Padahal, menurut Islam, Allah tidak menghendaki pejabat menjadi penjahat. Oleh karena itu, masyarakat muslim harus cerdas dalam menyikapi dan memilih pemimpin.

Syariat Islam mewajibkan umat untuk memilih kepemimpinan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam, yang menjunjung tinggi keadilan, kejujuran, dan kesejahteraan bersama. Dalam hal ini, ia mengutip pemikiran Imam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa tidak penting bentuk negara itu republik atau kerajaan, yang terpenting adalah bagaimana pemimpinnya menjalankan keadilan dan menyejahterakan rakyat.

“Negara boleh beragam bentuknya, tetapi nilai keadilan dan tanggung jawab kepada rakyat adalah esensi utama dalam syariat. Pemimpin bukan hanya dipilih karena jabatan, tetapi karena amanah dan komitmen moral kepada rakyat,” ujar Immawan Wahyudi dalam khutbahnya.

Mimbar sebagai Sarana Pendidikan Politik dan Etika Publik

Khutbah ini bukan hanya menyentuh sisi spiritualitas, tetapi juga menjadi refleksi atas tanggung jawab umat Islam dalam memahami tata kelola pemerintahan, serta pentingnya etika politik yang Qur’ani. Masjid, dalam hal ini, tidak hanya menjadi tempat ibadah ritual, tetapi juga sebagai pusat pendidikan politik dan nilai-nilai kepemimpinan Islam yang adil dan berintegritas.

Acara ini merupakan bagian dari agenda rutin Masjid Islamic Center UAD yang selalu menghadirkan pemikir-pemikir progresif dalam Islam. Keilmuan yang berpadu dengan spiritualitas menjadi warna khas khutbah kali ini, mengajak jamaah untuk tidak hanya menjadi muslim yang taat secara ritual, tetapi juga kritis, adil, dan bertanggung jawab dalam kehidupan sosialnya. (Mawar Ledya Serli)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Dr.-Immawan-Wahyudi-M.H.-Khatib-Jumat-Masjid-IC-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-Dok.-IC-UAD.jpg 1080 1920 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2025-04-21 11:07:252025-04-21 11:07:25Menakar Ketaatan kepada Ulil Amri: Refleksi Politik Islam

Perkuat Arah Baru Pendidikan Islam di Tengah Tantangan Zaman

20/04/2025/in Feature /by Ard

Prof. Dr.Phil. Sahiron, M.A., Narasumber Studium Generale FAI Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Dok. Humas UAD)

Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan (FAI UAD) menggelar studium generale bertema “Prospek Studi Islam di Indonesia” di Ruang Audio Visual Museum Muhammadiyah pada Sabtu, 19 April 2025. Acara ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan penyerahan Surat Keputusan Penyelenggaraan Program Studi Studi Islam jenjang Doktor. Acara tidak hanya menjadi simbol dimulainya program baru di lingkungan FAI UAD, tetapi juga menjadi ruang diskusi strategis untuk meninjau ulang arah dan masa depan pendidikan Islam di tengah perubahan sosial yang semakin kompleks.

Studium generale menghadirkan Prof. Dr.Phil. Sahiron, M.A. selaku Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam sebagai narasumber utama. Dalam pemaparannya, ia menekankan bahwa hadirnya program doktoral di FAI UAD bertujuan untuk mencetak mujtahid temporer, yakni intelektual muslim yang memiliki kapasitas akademik dan spiritual untuk merumuskan solusi keislaman yang relevan dengan konteks zaman modern. Menurutnya, studi Islam tidak boleh terjebak pada masa lalu semata, melainkan harus adaptif terhadap realitas sosial dan kebutuhan umat saat ini.

Prof. Dr.Phil. Sahiron juga menyoroti pentingnya penguatan kompetensi dasar bagi mahasiswa di jenjang sarjana (S-1). Penguasaan bahasa Arab dan Inggris, merupakan fondasi penting untuk membuka akses terhadap keilmuan mengenai Program Studi Islam sekaligus membangun komunikasi global yang efektif dalam konteks dakwah dan riset keislaman. FAI UAD, melalui kurikulumnya, memberikan perhatian serius terhadap aspek ini sebagai bagian dari komitmen mencetak lulusan yang unggul, tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga di ranah internasional.

“Sekarang adalah masanya kolaborasi, bukan konflik,” tegasnya di hadapan peserta. Ia menekankan bahwa keberhasilan pendidikan Islam ke depan sangat bergantung pada kemampuan seluruh elemen umat untuk bersinergi, bukan saling berhadapan. Menurutnya, kolaborasi menjadi kunci dalam membangun peradaban Islam yang maju dan inklusif.

Komitmen FAI UAD dalam mengembangkan pendidikan Islam yang progresif juga tercermin dalam pendekatan menyeluruh terhadap pengembangan mahasiswa. Tidak hanya menargetkan pencapaian akademik, tetapi juga membentuk karakter mahasiswa yang kuat secara spiritual, produktif dalam penelitian, serta memiliki semangat tinggi dalam pengabdian kepada masyarakat.

Sebagai langkah tegas, Prof. Dr.Phil. Sahiron menegaskan bahwa FAI UAD bisa menjalin kerja sama lintas institusi, termasuk dengan berbagai pesantren dalam kegiatan pengkajian kitab kuning. Kolaborasi ini menjadi ruang penting bagi pertukaran gagasan, penguatan tradisi intelektual Islam, serta menghubungkan interaksi antarorganisasi Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Inisiatif tersebut menjadi cerminan dari visi FAI UAD untuk menjadi pusat pengembangan keilmuan Islam yang adaptif terhadap dinamika zaman. (Ris)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prof.-Dr.Phil_.-Sahiron-M.A.-Narasumber-Studium-Generale-FAI-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-Dok.-Humas-UAD.jpg 1080 1920 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2025-04-20 11:22:122025-04-20 11:26:26Perkuat Arah Baru Pendidikan Islam di Tengah Tantangan Zaman

Menguak Katalis Jiwa: Tafsir Interdisipliner Surah Asy-Syams

19/04/2025/in Feature /by Ard

Dr. H. Nur Kholis, S.Ag., M.Ag., Wakil Rektor Bidang AIK Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Dok. Mawar)

Pada pagi yang teduh, lantunan salawat mengawali majelis ilmu, “Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad.” Dalam suasana penuh harap dan cinta Rasul itu, Ahad, 13 April 2025, Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) kembali menjadi titik temu pencari ilmu dan ketenangan jiwa. Kajian rutin kali ini menghadirkan Dr. H. Nur Kholis, S.Ag., M.Ag., pakar tafsir dan Wakil Rektor Bidang Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) UAD, untuk menyampaikan refleksi mendalam melalui tafsir Surah Asy-Syams ayat 7–10.

Ia mengajak para jamaah untuk memulai kajian dengan menilik kembali akhlak dan perilaku diri, sebagaimana perintah Allah dalam Surah Asy-Syams. Dalam kajian ini, ia mengurai bahwa seluruh ajaran agama Islam pada dasarnya bermuara pada perbaikan akhlak. Hal ini ditegaskan pula dalam hadis Rasulullah, “Sempurnanya iman seseorang tergantung pada baiknya akhlak.”

Manusia, jelasnya, diciptakan dengan struktur yang sempurna: terdiri atas jasad (fisik), akal, dan ruh. Ketika ruh menyatu dengan jasad, maka terbentuklah entitas yang disebut nafs atau jiwa yang menggerakkan manusia. Fisik hanyalah pelaksana, ia bergerak atas instruksi dari nafs. Instruksi itu lalu disaring dan dipertimbangkan oleh akal, sebelum dijalankan oleh tubuh.

Lebih lanjut, Dr. Nur Kholis menyoroti ayat “wa nafsiw wa maa sawwaha fa alhamaha fujuraha wa taqwaha” sebagai dasar penting dalam memahami dinamika jiwa. Di dalam nafs, ada dua “katalis” utama: takwa dan fujur. Takwa adalah kumpulan segala kebaikan, seperti kejujuran, kedisiplinan, ketepatan waktu, dan sikap-sikap mulia lainnya. Sebaliknya, fujur merupakan akumulasi segala bentuk keburukan, seperti dusta, ingkar, dan kemalasan.

Manakah yang dominan di dalam jiwa kita? Bila takwa yang mendominasi, maka jiwa akan mendorong kita kepada kebaikan. Namun bila fujur yang berkuasa, maka perintah-perintah jiwa akan mengarah kepada keburukan.

Oleh karena itu, Allah menegaskan dalam ayat berikutnya: “Qod aflaha man zakkaha”, artinya “Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya.” Kata “falah” di sini, terangnya, mencakup dua hal: kesuksesan dan kebahagiaan. Maka orang yang mencuci jiwanya, yakni yang berupaya menghilangkan noda fujur dan menampakkan cahaya takwa, dialah yang akan meraih falah, keberuntungan dunia dan akhirat. Seperti pakaian yang dicuci agar bersih dari kotoran, jiwa juga harus dicuci agar bersinar dengan amal baik. “Ayat-ayat Al-Qur’an itu seperti cahaya. Namun cahaya itu baru terasa ketika kita buka jendela hati kita,” ujarnya dalam satu bagian kajian yang menggetarkan.

Kajian ini tak hanya memperkaya sisi spiritual, tetapi juga menyalakan semangat untuk menjadi manusia Qur’ani, yakni pribadi yang reflektif, adil, dan penuh kasih. Jamaah yang hadir, mulai dari mahasiswa hingga masyarakat umum, tampak larut dalam renungan yang dibingkai keilmuan dan kebijaksanaan. (Mawar Ledya Serli)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Dr.-H.-Nur-Kholis-S.Ag_.-M.Ag_.-Wakil-Rektor-Bidang-AIK-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-Dok.-Mawar.jpg 1080 1920 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2025-04-19 12:54:002025-04-19 12:54:00Menguak Katalis Jiwa: Tafsir Interdisipliner Surah Asy-Syams

Menyatukan Zuhud dan Kemakmuran: Gagasan Islam Berkemajuan

16/04/2025/in Feature /by Ard

Khutbah Jumat Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Foto. Mawar Ledya S)

Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Jumat, 11 April 2025, menjadi saksi dari khutbah yang menggugah pikiran dan menyentuh relung hati, disampaikan oleh Dr. Miftah Khilmi Hidayatullah, Lc., M.Hum. selaku Ketua Pusat Tarjih Muhammadiyah. Dalam suasana khidmat, ia mengawali khutbah dengan mengajak jamaah untuk senantiasa bersyukur kepada Allah Swt. atas segala nikmat-Nya, bershalawat kepada Nabi Muhammad saw., serta meningkatkan ketakwaan dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Tak seperti tema-tema yang sering diangkat dalam khutbah Jumat, Dr. Miftah justru membahas sesuatu yang jarang disentuh di mimbar hari ini, tetapi memiliki akar mendalam dalam khazanah keilmuan Islam klasik: zuhud dan kemakmuran (al-ghina). Tema itu bukan sekadar kontemplatif, tetapi menjawab pertanyaan zaman dan tantangan umat Islam dalam menghadirkan kehidupan yang seimbang antara spiritualitas dan kesejahteraan duniawi.

Zuhud Bukan Anti-Kaya

Dalam khutbahnya, Dr. Miftah menekankan bahwa pemahaman zuhud yang selama ini dianggap sebagai hidup miskin dan menjauhi dunia, perlu dikaji kembali. Menurutnya, zuhud dalam arti yang sebenarnya adalah sikap hati yang tidak terpaut pada dunia, meskipun tangan menggenggam harta. “Zuhud bukan berarti tidak boleh kaya. Bahkan seorang mukmin bisa zuhud dan gani dalam waktu yang sama,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa zuhud justru bisa menjadi jalan menuju kekayaan. Sebab orang yang zuhud akan terhindar dari sikap berlebih-lebihan, dari pemborosan, dan dari kesia-siaan. Zuhud melatih diri untuk hidup sederhana, sehingga mampu mengelola rezeki dengan bijak. Sebaliknya, kekayaan bisa lenyap bila seseorang hidup dalam kelalaian dan gaya hidup konsumtif.

Dr. Miftah mengutip ayat Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31) sebagai pengingat bahwa kesederhanaan adalah karakter seorang muslim sejati, dan Islam tidak pernah mendorong gaya hidup yang bermewah-mewahan.

Zuhud yang Menghidupkan Visi Islam Berkemajuan

Khutbah Dr. Miftah tidak berhenti pada aspek spiritual semata, melainkan juga menjembatani antara konsep zuhud dengan visi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan. Ia mengajukan pertanyaan retoris kepada jamaah, “Mengapa kita perlu bicara tentang kekayaan?” Lalu dijawabnya sendiri bahwa Muhammadiyah membawa misi besar dalam risalah Islam Berkemajuan yang meniscayakan adanya kemakmuran umat.

“Kita tidak bisa membangun peradaban tanpa kekuatan ekonomi. Kita butuh rumah sakit, universitas, amal usaha, dan semuanya itu memerlukan dana. Namun kekayaan itu akan menjadi berkah bila disertai dengan ruh zuhud,” jelasnya. Maka, menurut Dr. Miftah, zuhud adalah fondasi moral bagi kekayaan, agar harta menjadi alat untuk berjuang, bukan tujuan hidup semata.

Menjadi Muslim yang Visioner

Khutbah itu kemudian ditutup dengan penegasan bahwa indikator kualitas seorang muslim adalah kemampuannya meninggalkan hal-hal yang sia-sia. Dalam hadis Nabi saw. disebutkan, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” Sikap ini harus diterapkan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam penggunaan harta, waktu, dan tenaga.

Dr. Miftah mengajak seluruh jamaah untuk menjadi muslim yang produktif, dan visioner, yang mampu mengelola dunia tanpa terikat padanya, serta menjadikan kekayaan sebagai alat perjuangan menuju rida Allah. (Mawar)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Khutbah-Jumat-Masjid-Islamic-Center-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-Foto.-Mawar-Ledya-S.jpg 1080 1920 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2025-04-16 10:16:102025-04-16 10:16:10Menyatukan Zuhud dan Kemakmuran: Gagasan Islam Berkemajuan

Tuhan Setelah Ramadan dan Mengapa Ibadah Kita Berubah?

12/04/2025/in Feature /by Ard

Foto Ilustrasi oleh Ilhamsyah Muhammad Nurdin, mahasiswa Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD)

Penulis: Ilhamsyah Muhammad Nurdin (Mahasiswa Magister Psikologi UAD)

Ramadan selalu datang dengan nuansa spiritual yang khas. Bulan ini menjadi momen refleksi, perbaikan diri, dan peningkatan ibadah bagi umat Islam. Namun, sebuah pertanyaan tajam dari Jalaluddin Rumi menggugah kesadaran kita: “Tuhan yang engkau sembah di bulan Ramadan adalah Tuhan yang sama yang engkau jauhi di bulan-bulan lainnya. Lantas mengapa caramu beribadah berbeda?” Refleksi ini mengantarkan kita pada perenungan mendalam tentang bagaimana manusia mempersepsi spiritualitas dalam kehidupannya dan bagaimana kita dapat mengantisipasi peralihan dari Ramadan ke bulan-bulan berikutnya tanpa kehilangan semangat ibadah.

Dalam perspektif psikologi, perilaku manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Ramadan menghadirkan kombinasi dari aspek spiritual, sosial, dan budaya yang mendorong seseorang untuk meningkatkan ibadahnya. Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya. Ramadan menciptakan ekosistem sosial di mana ibadah menjadi norma kolektif, sehingga seseorang lebih mudah terlibat dalam aktivitas keagamaan secara lebih intensif. Selain itu, banyak orang beribadah di bulan Ramadan dengan harapan pengampunan dosa dan perasaan bersalah yang coba ditebus melalui peningkatan aktivitas spiritual. Momentum ini menciptakan suasana yang mendorong individu untuk lebih sadar akan hubungannya dengan Tuhan.

Akan tetapi, setelah Ramadan berlalu, banyak individu mengalami penurunan dalam intensitas ibadah mereka. Hal ini terjadi karena absennya lingkungan yang mendukung, hilangnya pola kebiasaan yang terbentuk, serta kembali munculnya distraksi kehidupan duniawi yang mengalihkan fokus dari ibadah. Setelah sebulan penuh melatih diri dalam disiplin spiritual, seharusnya manusia mampu menjadikan kebiasaan tersebut sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai ritual musiman. Jika ibadah hanya dipandang sebagai kewajiban tahunan, maka nilainya tidak akan bertransformasi menjadi karakter yang melekat dalam diri seseorang.

Salah satu alasan mengapa ibadah sering kali menurun setelah Ramadan adalah karena banyak orang hanya berfokus pada aspek ritual tanpa benar-benar memahami esensi spiritualnya. Ibadah yang dilakukan hanya karena dorongan eksternal, seperti suasana Ramadan yang mendukung, cenderung tidak bertahan lama ketika lingkungan berubah. Dalam psikologi, fenomena ini dikenal sebagai external motivation, di mana perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor luar, bukan karena kesadaran intrinsik. Jika motivasi ibadah tidak berasal dari kesadaran diri, maka ketika stimulus luar menghilang, perilaku pun melemah.

Agar ibadah tidak menjadi fenomena musiman yang hanya meningkat di bulan Ramadan dan menurun setelahnya, diperlukan strategi spiritual dan psikologis untuk mempertahankan konsistensi dalam beribadah. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah perspektif tentang ibadah, melihatnya sebagai kebutuhan, bukan hanya kewajiban. Ibadah seharusnya menjadi ekspresi cinta kepada Tuhan, bukan sekadar rutinitas yang dilakukan karena kewajiban tahunan. Dengan memahami bahwa ibadah adalah jalan menuju kebahagiaan dan ketenangan batin, seseorang akan lebih termotivasi untuk menjadikannya bagian dari kehidupannya secara konsisten.

Menjaga kesinambungan ibadah juga dapat dilakukan dengan menetapkan target ibadah yang realistis. Setelah Ramadan, banyak orang kehilangan momentum karena kembali ke pola hidup sebelumnya tanpa adanya rencana spiritual yang jelas. Oleh karena itu, penting untuk membuat komitmen yang dapat dijalankan secara konsisten, seperti menjaga kebiasaan shalat malam meskipun hanya dua rakaat atau tetap melanjutkan tilawah Al-Qur’an secara rutin. Target yang realistis lebih mudah dipertahankan dibandingkan upaya yang terlalu drastis dan sulit dijalankan dalam jangka panjang.

Membangun lingkungan yang mendukung juga menjadi faktor penting dalam menjaga kesinambungan ibadah. Berinteraksi dengan komunitas religius atau memiliki teman yang memiliki semangat spiritual yang sama dapat membantu menjaga semangat ibadah tetap terjaga setelah Ramadan berakhir. Psikologi sosial menunjukkan bahwa perilaku individu sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Jika seseorang berada dalam lingkungan yang mendukung ibadah, maka kemungkinan besar ia akan lebih konsisten dalam menjalankan ibadahnya.

Selain itu, menerapkan teknik pengaturan diri dengan membuat jurnal refleksi ibadah dan melakukan muhasabah secara berkala juga bisa menjadi metode efektif untuk memastikan ibadah tetap berlanjut. Jurnal refleksi dapat membantu seseorang melihat perkembangan spiritualnya dari waktu ke waktu, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat ibadahnya meningkat atau menurun. Dengan demikian, seseorang dapat lebih sadar terhadap perubahan dirinya dan mengambil langkah-langkah untuk menjaga kualitas ibadahnya.

Sebagai bentuk antisipasi dalam meninggalkan Ramadan, seseorang perlu memiliki kesadaran bahwa keberkahan bulan ini bukan hanya ada dalam ritualnya, tetapi dalam perubahan karakter yang dibentuk melalui latihan selama sebulan penuh. Kesungguhan yang dicurahkan dalam Ramadan seharusnya tidak hanya menjadi kilasan momen, tetapi menjadi awal dari perjalanan panjang dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Jika kita mampu menjaga kebiasaan baik yang telah dibentuk, maka Ramadan tidak akan menjadi sekadar sebuah perayaan yang datang dan pergi, tetapi akan menjadi titik awal bagi perjalanan spiritual yang lebih mendalam sepanjang tahun.

Pada akhirnya, kita perlu memahami bahwa Tuhan yang kita sembah di bulan Ramadan adalah Tuhan yang sama di bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu, ibadah tidak seharusnya terikat waktu, tetapi harus menjadi bagian dari kehidupan yang utuh. Transformasi spiritual sejati bukan hanya terletak pada intensitas ibadah di bulan Ramadan, tetapi pada bagaimana kita mempertahankannya sepanjang tahun. Jika Ramadan berhasil mengajarkan kita disiplin, kesabaran, dan ketakwaan, maka sejatinya pelajaran itu tidak boleh berakhir ketika bulan suci berlalu. Kita tidak hanya mencari Tuhan di saat-saat tertentu, tetapi seharusnya selalu bersama-Nya dalam setiap aspek kehidupan kita. (Ilham)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Foto-Ilustrasi-oleh-Ilhamsyah-Muhammad-Nurdin-mahasiswa-Magister-Psikologi-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD.jpg 1080 1920 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2025-04-12 09:50:442025-04-12 09:50:44Tuhan Setelah Ramadan dan Mengapa Ibadah Kita Berubah?

Risalah Perempuan Berkemajuan

10/04/2025/in Feature /by Ard

Pengajian Buka Puasa di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Foto. Faiq)

Pengajian Buka Puasa yang diselenggarakan oleh Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Sabtu, 22 Maret 2025 kali ini menghadirkan pembicara perempuan yakni Ustazah Dr. Widiastuti, M.M. yang merupakan ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pengajian membahas mengenai Risalah Perempuan Berkemajuan.

Ustazah Widiastuti menyampaikan bahwa Al-Qur’an, Islam dan Nabi Muhammad merupakan rahmat bagi seluruh alam semesta. Maka setiap umat Islam hendaknya terus mempelajari dan memperdalam ilmu-ilmu agama serta dapat terus bersemangat dalam beragama Islam.

Risalah Perempuan Berkemajuan merupakan dokumen penting yang dimiliki oleh ‘Aisyiyah yang kemudian diputuskan dalam muktamar yang ke-48 di Surakarta. Risalah ini menjadi salah satu spirit kelahiran organisasi ‘Aisyiyah yang merupakan organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah. ‘Aisyiyah juga menjadi ortom khusus dengan kewenangan mengelola amal usaha sendiri sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis.

Dinamika ‘Aisyiyah yang berdiri pada 1917, diawali dengan adanya pengajian Sapa Tresna khusus perempuan di sekitar Kauman. Selanjutnya pada 1919, ibu-ibu di Kauman yang tidak hanya bekerja rumah tangga tetapi juga berprofesi lainnya, berpikir bahwa anak-anaknya perlu mendapat pendidikan. Maka pada tahun itu didirikanlah Taman Kanak-kanak (TK) ‘Aisyiah Bustanul Athfal (ABA). Kemudian pada 1923, didirikan musala khusus perempuan oleh ‘Aisyiyah. Musala ini tidak hanya digunakan untuk salat 5 waktu tetapi juga ada kajian, pembinaan, kursus, pelatihan sehingga musala benar-benar hidup sebagai tempat pemberdayaan masyarakat.

Pada 1926, berdiri Suara ‘Aisyiyah yang sampai saat ini masih terbit. Hal ini merupakan cara-cara ortom ‘Aisyiyah dalam berdakwah mulai dari bidang pendidikan TK, musala, serta menyebarkan pemikirannya melalui majalah ‘Aisyiyah.

Ustazah Widiastuti menyampaikan tujuan penyusunan Risalah Perempuan Berkemajuan. Harapannya, seluruh perempuan muslim memiliki pemikiran yang maju. ‘Aisyiyah menginginkan perempuan yang ada memiliki kemauan untuk maju bersama dalam rangka berdakwah.

Pada QS. An-Nahl ayat 97 yang artinya, “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. Ayat inilah yang menjadi salah satu dasar ‘Aisyiyah menginginkan kesadaran akan kesetaraan bahwa dakwah tidak hanya tanggung jawab laki-laki tetapi juga perempuan.

Ketahanan keluarga akan terbentuk bila ada kerja sama yang baik antara suami dan istri. Hal ini sesuai dengan apa yang ada dalam QS. An-Nahl ayat 60, di mana keluarga meraih kehidupan yang baik. Ustazah Wiastuti mengutip pernyataan Prof. Hamim Ilyas, “Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang bahagia sebahagia-bahagianya, adil seadil-adilnya, nyaman senyaman-nyamannya”. Kehidupan yang baik dapat diraih dengan berislam.

Dari QS. An-Nahl ayat 60 tersebut kita dapat mengetahui bahwa pertama ada nilai spiritualnya yaitu iman. Kedua, adanya nilai amal saleh, kriteria amal saleh ialah ikhlas, itibak rasul. Ketiga nilai kesetaraan bahwa amal saleh juga untuk perempuan. Keempat hayatan thayiba atau kehidupan yang baik. Kelima ahsanal ajra, di mana amal baik kita akan diberitakan oleh Allah Swt.

Sementara itu, pendidikan menurut Muhammadiyah ada dua hal yang menghambat bidang ini, yakni kemiskinan dan kebodohan. Sebagaimana Dewi Sartika menyampaikan, “Hanya dengan pendidikan kita akan tumbuh menjadi suatu bangsa”.

Kesadaran pentingnya pendidikan telah dimiliki oleh ‘Aisyiyah sejak awal. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi generasi yang akan datang. Sebagaimana pernyataan Rasuna Said, “Majukanlah perempuan dengan pendidikan”.

Mengutip pernyataan Nyai Ahmad Dahlan, “Wanita jangan memiliki jiwa kerdil tetapi berjiwa srikandi”. Jiwa Srikandi merupakan simbol perempuan Indonesia. Ada lima teladan jiwa Srikandi, yaitu mampu tampil terbaik di bidangnya, tegas dan berani dalam segala hal kebenaran, menjadi perempuan pembelajar, tampil cantik, dan menjadi mandiri dan teladan.

Risalah Perempuan Berkemajuan dimulai tahun 1937, saat ‘Aisyiyah menerbitkan tuntunan mencapai istri yang berarti. Kemudian terbitnya Adabul Mar’ah fil Islam pada tahun 1972. Kemudian terbitnya fikih perempuan pada tahun 2010. Pada 2014, terbitnya tuntunan menuju keluarga sakinah. Hal-hal inilah yang menjadi dasar Risalah Perempuan Berkemajuan.

Kemudian, karakter Islam Berkemajuan berlandaskan pada tauhid yang murni, bersumber pada Al-Qur’an dan sunnah, mengembangkan ijtihad dan tajdid, mengembangkan wasathiyah, serta mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Islam juga sangatlah memuliakan perempuan sehingga perempuan juga dapat menjalankan fungsi utama yang setara dengan laki-laki dan nilai akhlak yang utama. Berusaha menjalankan profesinya dengan sebaik-baiknya.

Perempuan berkemajuan tetap memiliki kodrat sendiri yakni melahirkan dan menyusui yang mana hal ini merupakan anugerah Allah Swt. Pada kondisi ini perempuan juga membutuhkan dukungan dari laki-laki.

Terakhir Ustazah Widiastuti menyampaikan bahwa perempuan berkemajuan memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang baik, pelestarian lingkungan, penguatan keluarga sakinah, pemberdayaan masyarakat, filantropi berkemajuan, aktor perdamaian, partisipasi publik, kemandirian ekonomi, peran kebangsaan, dan kemanusiaan universal. (Faiq)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Pengajian-Buka-Puasa-di-Masjid-Islamic-Center-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-Foto.-Faiq.jpg 1080 1920 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2025-04-10 11:20:092025-04-10 11:25:27Risalah Perempuan Berkemajuan

Profil Orang Beriman dan Berakal dalam Islam

03/04/2025/in Feature /by Ard

Ceramah Tarawih di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) oleh Qaem Aulasyahied, S.Th.I, M.Ag. (Foto. Tsulusiyah)

Dalam Kajian Menjelang Berbuka pada 6 Maret 2025 di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Qaem Aulasyahied, S.Th.I, M.Ag. yang merupakan Sekretaris Program Studi Ilmu Hadis UAD sekaligus anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menyampaikan materi tentang profil orang beriman dan berakal dalam Islam.

Qaem Aulasyahied mengawali ceramahnya dengan mengutip Surah Ar-Rahman, yang mengingatkan bahwa kullu man alaiha fan yang berarti segala sesuatu di muka bumi bersifat fana (sementara), sedangkan yang kekal hanyalah Allah, pemilik segala kemuliaan dan kehormatan. Ia juga mengutip perkataan Jalaluddin Rumi, “Kalau kita bisa mencintai sesuatu yang sementara, mengapa kita tidak bisa mencintai sesuatu yang selamanya?” Hal ini menegaskan bahwa cinta yang paling menguntungkan adalah cinta kepada Allah Swt.

Dalam penjelasannya, Qaem Aulasyahied menguraikan makna bacaan salat, khususnya Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Kata alhamdu menurut tafsir Syekh Abu Bakar Al-Jazairi mengandung dua makna pujian. Pertama, ats-tsanau li dzatillah, yaitu pujian terhadap zat Allah yang Maha Kekal dan Maha Sempurna. Kedua, ats-tsanau li af’alihi ala ibadihi, yakni pujian terhadap segala tindakan Allah kepada hamba-Nya, termasuk pemberian umur, rezeki, kehidupan, dan kebahagiaan.

Meski sudah memiliki dasar keimanan, Qaem menegaskan bahwa keimanan manusia bisa naik dan turun. Ia mengutip sebuah hadis yang menggambarkan seorang Yahudi yang masuk Islam tetapi kemudian menghadapi musibah bertubi-tubi. Rasulullah saw. menegaskan bahwa Islam bukanlah jaminan untuk terhindar dari kesulitan, melainkan seperti tungku api yang menguji keimanan seseorang. Dari hadis ini, terdapat tiga pelajaran penting. Pertama, iman pasti diuji sebagaimana termaktub dalam Surah Al-Baqarah ayat 214. Kedua, Allah memerlukan pembuktian iman dari hamba-Nya. Ketiga, pembuktian iman menegaskan bahwa iman seseorang benar-benar berfungsi.

Menurutnya, ujian keimanan memiliki tingkatan yang berbeda, mulai dari al-ba’tsa u (ujian ringan), kemudian dhorro u (ujian berat seperti kemiskinan), hingga zilzalah (musibah yang mengguncang, seperti kehilangan orang terkasih). Allah menguji manusia untuk melihat sejauh mana keteguhan imannya. Terdapat dua tipe hamba Allah: mereka yang beriman hanya di lisan, tetapi tidak beriman di hati, dan mereka yang benar-benar mengimani Allah dan hari akhir.

Para ulama menjelaskan bahwa iman yang sejati adalah iman yang berfungsi, yaitu yang menjauhkan seseorang dari perbuatan maksiat. Qaem juga menegaskan bahwa ketika seseorang berbuat dosa, maka imannya sedang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa seseorang yang melakukan zina, minum khamar, atau mencuri, maka pada saat itu ia sedang dalam keadaan tidak beriman.

Sementara itu, Syekh Abu A’la Al-Maududi menjelaskan tiga indikator iman yang berfungsi dengan baik. Pertama, iman yang menjadikan pemiliknya mencintai Allah di atas segalanya, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 165. Kedua, iman yang mendorong seseorang untuk semangat dalam melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Ketiga, iman yang mengarahkan pemiliknya untuk berorientasi kepada kehidupan akhirat, sebagaimana termaktub dalam Surah Ibrahim ayat 2‒3.

Di akhir kajiannya, Qaem Aulasyahied menekankan bahwa cinta kepada Allah adalah cinta yang hakiki. Orang beriman bukanlah mereka yang tidak pernah berbuat dosa, tetapi mereka yang menyadari bahwa iman harus terus diuji dan dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan istigfar dan amal kebaikan, iman seseorang akan tetap berfungsi dan semakin kokoh. (Lus)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Ceramah-Tarawih-di-Masjid-Islamic-Center-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-oleh-Qaem-Aulasyahied-S.Th_.I-M.Ag_.-Foto.-Tsulusiyah.jpg 1080 1920 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2025-04-03 07:50:092025-04-03 07:50:09Profil Orang Beriman dan Berakal dalam Islam

Masyarakat Inklusif dan Peran Perempuan dalam Mewujudkannya

01/04/2025/in Feature /by Ard

Pengajian Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) 1446 H di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Foto. Humas UAD)

Pembahasan mengenai masyarakat inklusif menjadi sorotan dalam sesi keempat Pengajian Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Yogyakarta 1446 H yang berlangsung di Amphitarium Kampus IV Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Minggu, 16 Maret 2025. Pemateri utama, Wakil Ketua Majelis Kesejahteraan Sosial Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ro’fah Makin, M.A., Ph.D., menekankan bahwa inklusi sosial bukan sekadar memberi kesempatan kepada kelompok rentan, tetapi memastikan keterlibatan mereka benar-benar bermakna.

Masyarakat inklusif adalah lingkungan yang memastikan setiap individu, terlepas dari latar belakang, kondisi ekonomi, atau identitasnya, memiliki akses yang sama terhadap peluang, sumber daya, dan partisipasi dalam kehidupan sosial. Konsep ini mencakup berbagai aspek, mulai dari inklusi gender, ekonomi, ras, agama, hingga disabilitas. Namun, masih banyak kelompok yang mengalami eksklusi sosial akibat perbedaan identitas sosial mereka. 

“Orang miskin sering kali dipinggirkan karena keterbatasan finansial untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Begitu pula dengan kelompok minoritas yang haknya kerap terabaikan hanya karena perbedaan keyakinan,” ungkapnya.

Dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, perempuan memiliki peran strategis dalam berbagai sektor, mulai dari advokasi keadilan sosial, pembuatan kebijakan yang berpihak pada perempuan dan kelompok rentan, hingga pembangunan ekonomi berbasis komunitas. Hingga kini, ‘Aisyiyah telah banyak berkontribusi dalam memperjuangkan kesetaraan melalui kebijakan yang mendukung hak-hak perempuan, anak, lansia, serta masyarakat miskin. Inklusi juga memiliki dampak yang luas bagi masyarakat secara keseluruhan. Tidak hanya menguntungkan kelompok yang terpinggirkan, tetapi juga menciptakan sistem yang lebih adil dan efisien. 

“Pengadaan lift dan kursi khusus di tempat umum awalnya ditujukan untuk penyandang disabilitas, tetapi nyatanya semua orang dapat merasakan manfaatnya. Inilah bukti bahwa masyarakat inklusif membawa manfaat bagi semua pihak,” tambahnya.

Persoalan sosial seperti kesenjangan ekonomi, diskriminasi berbasis agama, perubahan iklim, serta keterbatasan akses pendidikan dan layanan publik masih menjadi tantangan besar. Di Yogyakarta, misalnya, kesenjangan sosial semakin tinggi dengan naiknya harga tanah dan dominasi sektor pariwisata yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi. Hal ini semakin mempersulit kelompok ekonomi lemah untuk bertahan. Dalam menghadapi tantangan ini, pendekatan interseksionalitas menjadi sangat penting. Interseksionalitas membantu memahami bagaimana berbagai identitas sosial seseorang, seperti gender, ras, status ekonomi, dan disabilitas, saling beririsan dan dapat memperparah marginalisasi.

“Seorang perempuan difabel yang juga berasal dari keluarga miskin akan menghadapi diskriminasi berlapis-lapis. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus mempertimbangkan berbagai dimensi ketidakadilan ini,” imbuhnya.

Sebagai penutup, ia menyampaikan bahwa membangun masyarakat inklusif bukan hanya tugas satu kelompok saja, tetapi tanggung jawab semua pihak. Ia menegaskan bahwa laki-laki harus dilibatkan sebagai mitra terbaik dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Kemudian, setelah berbagai tantangan berhasil diatasi, laki-laki dan perempuan dapat bergerak bersama sebagai mitra untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan berkeadilan. (Ito)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Pengajian-Pimpinan-Wilayah-‘Aisyiyah-PWA-1446-H-di-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-Foto.-Humas-UAD.jpg 1080 1920 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2025-04-01 07:21:142025-04-01 07:21:14Masyarakat Inklusif dan Peran Perempuan dalam Mewujudkannya
Page 13 of 64«‹1112131415›»

TERKINI

  • IMM BPP UAD Gelar Diskusi Literasi Bertema Media Sosial dan Kesehatan Remaja18/06/2025
  • IMM PBII UAD Gelar Pelatihan Administrasi18/06/2025
  • HISKI UAD Gelar Pelatihan Menulis Cerpen bagi Siswa SMA se-Kota Yogyakarta18/06/2025
  • IMM FAI, IMM FTI UAD, dan LazisMu Mantrijeron Gelar Kurban Bersama18/06/2025
  • Demokrasi sebagai Bagian Pembelajaran Kepemimpinan Mahasiswa18/06/2025

PRESTASI

  • Mahasiswi UAD Raih Juara 1 Seni Tunggal Tangan Kosong Putri dalam Kejurnas Tapak Suci Semar VI18/06/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Juara 2 dalam Lomba Pidato Gebyar Ilmu Hadis 202518/06/2025
  • Tim Indynamics UAD Raih Prestasi di UNITY Competition #1317/06/2025
  • Mahasiswi Gizi UAD Raih Juara I Kelas C Putri di Kejurnas Tapak Suci Semar VI13/06/2025
  • UAD Raih Juara Umum II di Kejuaraan Nasional Tapak Suci Semar VI13/06/2025

FEATURE

  • Membangun Administrasi yang Rapi dan Visioner ala IMM18/06/2025
  • Salsabila Aulia Untsa dan Perjalanan 10 Sahabat di Lautan Kedokteran18/06/2025
  • Spirit HEBAT untuk Dokter UAD18/06/2025
  • Hidupkan Harapan, Kejar Impian di Universitas Ahmad Dahlan18/06/2025
  • Latar Belakang Lahirnya Surat Edaran tentang Larangan Penahanan Ijazah bagi Pekerja18/06/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top