Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada seluruh aparatur negara, termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Kementerian Agama (Kemenag) dan kementerian terkait lainnya untuk mengintegrasikan pendidikan anti korupsi dalam pembelajaran. Instruksi tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Kemendikbud tahun 2012 juga telah mengeluarkan surat edaran untuk mengimplementasikan pendidikan anti korupsi. Bahkan, Direktur Jenderal Pendidikan Islam telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1696 Tahun 2013 Tentang Panduan Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi di Madrasah.
Namun sampai sekarang, pendidikan anti korupsi masih berjalan pincang dan dikotomik bahkan terkesan parsial dan marginal meskipun negeri ini dalam keadaan darurat korupsi. Pendidikan anti korupsi selama ini hanya “ditempelkan” atau dititipkan—jauh dari kata “diintegrasikan”—pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) serta paling banter Agama dan Budi Pekerti.
Ironisnya, kedua mata pelajaran ini dipandang lebih mudah daripada Matematika, IPA, Sains, dan rumpun mata pelajaran eksak lainnya. Namun, ketika terjadi kasus korupsi berupa markup anggaran, misalnya, yang disalahkan bukan mata pelajaran Ekonomi, tetapi PPKn dan Agama. Ketika terjadi pergaulan bebas dan pornografi di kalangan pelajar, yang disalahkan bukan mata pelajaran Teknologi dan Informasi, tetapi Agama dan Budi Pekerti.
Pendidikan anti korupsi tidak boleh berjalan parsial dan marginal seperti yang berjalan selama ini, melainkan harus integral ke dalam semua mata pelajaran, termasuk Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, dan lain sebagainya. Sebab, para koruptor menggunakan kecanggihan ilmu-ilmu eksak tersebut setiap kali melakukan aksi kejahatan terpelajar menjarah kekayaan negeri ini. Oleh karena itu, mata pelajaran-mata pelajaran tersebut tidak boleh bebas nilai, melainkan justru harus memuat minimal sembilan nilai pendidikan anti korupsi yang telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni jujur, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, berani, mandiri, sederhana, adil, dan peduli.
Patologi Kognisi
Korupsi merupakan patologi kognisi, yakni “akal-akalan”, mencari-cari alasan dan pembelaan sehingga tampak beralasan, logis, dan bisa dibenarkan. Patologi kognisi juga dapat diartikan sebagai ketajaman intelektual di satu sisi namun ketumpulan moral di sisi yang lain. Dalam neurosains, intelektualitas dan moralitas atau kognisi dan afeksi diregulasi dalam otak secara integral, tidak terpisah secara parsial seperti pemahaman konvensional selama ini. Koruptor terpelajar yang terkena patologi kognisi jiwanya terbelah, pikirannya sakit, dan perilakunya menyimpang.
Menurut Taufiq Pasiak, otak koruptor sekadar normal tetapi tidak sehat. Otak koruptor mirip seperti otak binatang “berakal bulus”. Fenomena akal-akalan, markup anggaran, cari-cari alasan dan lain sebagainya merupakan bentuk penyakit berpikir atau patologi kognisi. Orang yang mengalami patologi kognisi cenderung melakukan hal yang bertentangan dengan pengetahuannya. Tahu yang benar namun melakukan yang salah, tahu yang salah namun tak mau berbenah.
Patologi kognisi dalam pembelajaran harus disembuhkan. Salah satu caranya adalah menangkal patologi kognisi tersebut dengan mengintegrasikan nilai-nilai anti korupsi ke dalam pembelajaran dengan pendekatan yang saintifik. Nasihat, petuah, etika, bahkan dogma agama yang terpisah dengan pembelajaran tidak akan mampu menangkal virus-virus patologi kognisi, karena patologi kognisi bersifat rasional empiris sedangkan nasihat, petuah, etika, dan dogma agama bersifat dokrinal pedagogis. Oleh karena itu, patologi kognisi harus dibasmi melalui integrasi pendidikan anti korupsi dalam pembelajaran yang rasional empiris, bukan doktrinal pedagogis seperti yang berjalan selama ini.
Dikotomi Pendidikan Anti Korupsi
Pendidikan anti korupsi selama ini masih menjadi wacana dikotomik, belum terlaksana secara integratif dalam pembelajaran. (KPK) pada tahun 2012 telah menyusun modul berseri pendidikan anti korupsi mulai dari Taman Kanak-kanak (TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK, hingga Perguruan Tinggi. Namun materi-materi dalam modul berseri tersebut terpisah satu sama lain, terlebih lagi dengan kurikulum yang berlaku. Akibatnya, modul-modul tersebut sebatas materi pengayaan atau tambahan wawasan kognitif tentang korupsi kepada peserta didik. Sebagai upaya menyiapkan generasi anti korupsi di masa depan, tentu langkah KPK ini baik adanya. Tetapi dalam konteks darurat pendidikan anti korupsi, upaya KPK itu masih perlu dilanjutkan dan dikembangkan lebih jauh.
Gerakan melawan korupsi lainnya yang juga bersifat dikotomik adalah pendidikan karakter dan revolusi mental. Pendidikan karakter dan revolusi mental hanya menjadi soft skills titipan yang tak pernah sampai pada sasaran (red: peserta didik) secara terintegrasi dalam pembelajaran di semua mata pelajaran, terlebih lagi Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia. Maraknya buku-buku pendidikan karakter dan revolusi mental juga masih dikotomi, tak mampu berintegrasi dengan semua materi pembelajaran dalam kurikulum yang berlaku. Padahal, sekali lagi, para koruptor itu menggunakan kecanggihan ilmu-ilmu eksak tersebut untuk melakukan kejahatan intelektual, menjarah kekayaan negara.
Sesuai Impres No. 2 Tahun 2014 Tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan SK Dirjen Pendidikan Islam No. 1969 Tentang Panduan Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi di Madrasah, maka perlu disusun model integrasi pendidikan anti korupsi dalam pembelajaran di semua mata pelajaran secara berjenjang atau berseri. Sebagai awalan, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag akan mengintegrasikan pendidikan anti korupsi ke dalam tiga mata pelajaran, yakni PPKn, Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Agama Islam.
Sedangkan Kemendikbud baru mengeluarkan surat edaran Nomor 1016/E/T/2012 Tentang Implementasi Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi. Berdasarkan kesenjangan antara idealitas yuridis dan realitas empiris tersebut, integrasi pendidikan anti korupsi dalam pembelajaran di semua mata pelajaran secara berseri mulai dari TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK sudah sangat mendesak dilakukan.
Model Integrasi
Integrasi pendidikan anti korupsi ke dalam pembelajaran pada semua mata pelajaran tidaklah mudah, terutama Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Sedangkan integrasi pendidikan anti korupsi ke dalam pembelajaran IPS yang mencakup Sosiologi, Ekonomi, Sejarah, dan Geografi, meskipun dipandang lebih mudah namun tetap memerlukan pemikiran serius agar sembilan nilai anti korupsi dapat terintegrasi selaras dengan denyut nadi materi pembelajaran IPS dalam kurikulum yang berlaku. Adapun tiga mata pelajaran yang dicalonkan Dirjen pendidikan Islam sebagai pilot proyek integrasi pendidikan anti korupsi dalam pembelajaran, yakni PPKn, Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Agama, hingga saat ini juga belum terealisasi.
Dengan pola integrasi pendidikan anti korupsi dalam pembelajaran di semua mata pelajaran secara berjenjang/berseri, akan tumbuh kesadaran kritis dalam diri peserta didik sehingga berimplikasi kepada kesehatan berpikir yang berujung pada taubat sosial, intelektual, dan moral secara total. Pendidikan anti korupsi, tidak cukup sebatas doktrinal pedagogis seperti yang dilakukan oleh gerakan pendidikan karakter dan revolusi mental, melainkan harus rasional empiris dengan pendekatan saintifik. Meskipun hal ini akan menemui tantangan berat berupa perubahan paradigma pembelajaran secara mendasar, harus segera dimulai untuk direalisasikan karena pendidikan kita sudah darurat korupsi. Kemendikbud dan Kemenag (Dirjen Pendis) sebagai garda depan yang membidangi integrasi ini harus merangkul banyak pihak agar terjadi akselerasi realisasi program.
Dr. Suyadi, M.Pd.I. Dosen Magister Pendidikan Agama Islam (S2-PAI) Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Instruktur Pendidikan Anti Korupsi, dan Penulis buku Seri Pendidikan Anti Korupsi untuk PAUD, SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK (Pendekatan Tematik, Saintifik dan Integratif).