• TERKINI
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Letargi Kebudayaan Dan Perilaku Politik

11/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Indonesia News (6 Juni 2023)

Sobirin Malian

Istilah letargi berasal dari kata lethe, yakni salah satu nama sungai dari empat sungai yang disebut-sebut dalam mitologi Yunani, yang dapat dikonstruksi sebagai gejala yang dimulai dari kecenderungan untuk melupakan atau ketidakmampuan untuk menggerakkan memori dan menemukan kebenaran dan hal hal yang esensial.

Dalam istilah kesehatan, letargi adalah kondisi ketika tubuh terasa sangat lelah dan tetap tidak membaik setelah beristirahat. Tak hanya lelah, seseorang yang mengalami letargi akan sulit beraktivitas karena sering mengantuk, lesu, dan sulit berkonsentrasi.

Kondisi ini bisa disebabkan oleh gangguan fisik maupun psikologis. Rasa lelah yang berat atau letargi seringkali muncul sebagai salah satu tanda atau gejala penyakit tertentu. Berbeda dengan rasa lelah atau letih karena beraktivitas, letargi umumnya tidak hilang atau membaik meski penderitanya sudah tidur atau beristirahat.

Uniknya, sebagaimana diuangkap oleh Robertus Robet (2016), letargi secara etimologi juga memiliki kesamaan dengan kata aletheia yang dalam bahasan Yunani berarti kebenaran. Huruf a diawal kata a-letheia bermakna bukan atau tidak tersembunyi. Aletheia dengan demikian bisa berarti penyingkapan atau kebenaran. Kebenaran dengan demikian berkaitan dengan penolakan untuk melupakan (alethe).

Dengan demikian, letargi dalam konteks tulisan ini_secara prinsipiil adalah kecenderungan untuk menerima segala hal apa “adanya”, apa yang disajikan secara mentah, bahkan menerima apa-apa yang sebenarnya keliru dan bertentangan dengan pendirian-pendirian kita. Di dalam letargi, kita sebenarnya sudah menyerah kepada keadaan, tapi kita berpura-pura terlibat dan antusias di dalamnya.

Di dalam letargi, seluruh daya aktivitas dimulai bukan dengan bagaimana mengupayakan apa yang benar, melainkan dengan apa yang sekadar bisa dari yang ada. Itulah sebabnya, Schall menyebut letargi sebagai kelelahan dan kemalasan mental untuk mencapai kebenaran dan kualitas. Itu sebabnya, para sejawaran menyebut letargi sebagai hal yang berbahaya, karena itu sinyal gejala runtuhnya peradaban.

Cawe-Cawe dan Letargi

Akhir-akhir ini viral tentang cawe-cawe Presiden Jokowi. Intinya yang paling banyak dikritik adalah betapa tak beretikanya Presiden dalam kaitan Pilpres 2024 mendatang. Presiden telah “menanggalkan” sikap kenegawarannya demi mempertahankan “penerus” dan kebijakannya. Tentu ada banyak pertanyaan mengapa Presiden cawe-cawe demikian. Yang jelas dalam konteks letargi, presiden telah meninggalkan jejak kemubaziran tindakannya.

Presiden Jokowi boleh dibilang telah gagal dalam mengusung standar etis dan begitu mudah jatuh ke dalam hipokrisi. Cawe-cawe bukanlah legacy yang dapat diteladani. Teolog Amerika, James Vincent Schall berpandangan, letargi sebagai gejala historis dalam kebudayaan (politik) ketimbang persoalan dalam perilaku sebagaimana ditafsirkan sosiolog tingkah laku.

Dalam pandangan Schall, letargi lebih merujuk pada kelelahan secara mental, bukan kelelahan fisik dan bukan semata-mata persoalan perilaku. Jadi, letargi sejatinya menyangkut kemunduran yang lebih subtil, yakni tanda dari mulainya gejala kemerosotan dalam peradaban, kemandulan dalam dunia intelektual, kemandekan dalam politik dan sosial (James V. Schaal SJ, 2014).

Secara fisik mungkin kita aktif, bergerak dinamis ke sana kemari, berkunjung ke berbagai pihak (tokoh agama, pesantren, tokoh parpol, dll) tetapi sebenarnya mental kita mentok dan kering gagasan. Fenomena letargi membuat kita gagal menggerakkan kapasitas mental untuk mencari alternatif-alternatif yang paling optimum dan berkualitas untuk mengatasi masalah yang ada. Akibatnya, ditiap aktivitas terutama oleh elit negara__banyak waktu dihabiskan untuk menutupi keburukan-keburukan besar melalui akumulasi keburukan-keburukan kecil.

Sinyal Runtuhnya Peradaban

Disamping kualitas yang pas-pasan, umumnya kita memang payah dalam mencari solusi terbaik bagi masyarakat. Letargi telah membuat kita jatuh dan terjebak dalam kecenderungan untuk “asal-asalan”, pragmatis atau “yang penting bukan dia” (dalam konteks kelicikan menjegal musuh politik). Kita tidak berfikir bagaimana melampaui dan mencari apa atau siapa yang terbaik untuk masyarakat, negara dan bangsa. Ketiadaan upaya mencari yang terbaik itu adalah awal dari kemerosotan peradaban. Sungguh hal ini sangat menyedihkan.

Perilaku Politik

Salah satu ciri letargi dalam kebudayaan terlihat dalam sulitnya mempertahankan suatu karakter dalam perilaku politik dan berdemokrasi kita, cawe-cawe Jokowi itu contohnya. Cawe-cawe dianggap “jalan yang benar”, padahal itu menimbukan preseden buruk karena seharusnya seorang Presiden bersikap menjadi “negarawanan”, sportif dan obyektif.

Cawe-cawe dalam konteks letargi kebudayaan adalah kontraproduktif dengan karakter membangun demokrasi yang sehat. Perilaku politik seharusnya bukan mengusung konfrontatif, melainkan mengusung ide dan gagasan.

Uniknya, perilaku ini diterima secara mentah-mentah – terutama oleh pengikutnya -dalam diskursus publik secara umum. Perilaku cawe-cawe dalam politik diterima sebagai suatu kewajaran.

Dengan begitu, rakyat kebanyakan tidak pernah dididik berpolitik di dalam gagasan. Tanpa gagasan, rakyat akan dengan mudah melupakan. Tanpa gagasan, politik tidak akan pernah dialami sebagai perjuangan, melainkan hanya sebatas pilihan-pilihan instan.

Akibatnya lebih jauh, demokrasi politik dan juga hukum tidak pernah mengalami kemajuan. Kita hanya disibukkan dengan “kegaduhan-kegaduhan” yang kontraproduktif dengan gagasan untuk maju. Guru, dosen, kyai, ulama diminta mengajarkan pendidikan berkarakter, tetapi politik kita – di saat yang sama mengajarkan cawe-cawe (letargi); bagaimana cara mengkhianati karakter dengan sukses – untuk saat ini bisa jadi politik yang menang, berjaya, tetapi itu sangat ironis. Wallahu’alam bissawab.

Sumber https://harianindonesianews.com/read/letargi-kebudayaan-dan-perilaku-politik

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-11 09:28:332024-10-11 09:40:59Letargi Kebudayaan Dan Perilaku Politik

Pancasila dan Imajinasi Ke-Indonesia-an

10/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (2 Juni 2023)

Ilham Yuli Isdiyanto

Problem utama bangsa Indonesia adalah ketidakmampuan mengimajinasikan “bagaimana Indonesia berPancasila”. Pendidikan lebih sibuk membahas apa itu Pancasila daripada sedikit demi sedikit mempraktikkannya.Sudah cukup banyak tafsir terhadap Pancasila, tetapi masih minim aktualisasi terhadapnya. Pada tahun 2014, Pusat Kajian MPR RI menerbitkan judul buku yang berani yakni “Radikalisasi Pancasila” yang berangkat dari gagasan Kuntowijoyo yang ingin “merevolusi” gagasan Pancasila yang cenderung pasif menjadi lebih aktif, tidak hanya persuasif namun aktualitatif.

Meradikalisasi Pancasila seharusnya berangkat dari pertanyaan “radikal”, seperti pernah ada seorang mahasiswa mempertanyakan kepada saya bagaimana tanggapan saya tentang temannya yang tidak percaya dan mempertanyakan Pancasila?
maka saya jawab “menurut saya itu langkah awal yang bagus, bagaimana kita memahami sesuatu jika kita tidak mempertanyakannya?” Nalar kritis dimulai dari pertanyaan, bukan anggukan. Sudah saatnya mempertanyakan Pancasila dari segala macam multidemensi, dari kreativitas anak-anak, obrolan ibu-ibu, kegiatan “mabar” kids zaman now, sampai pada ekosistem perguruan tinggi.

Mempertanyakan Pancasila adalah esensi dan partisipasi masyarakat membangun bangsa, titik berangkat refleksi nasional. Pernyataan satire Sudjiwo Tedjo di forum Indonesia Lawyer Club TvOne di negeri Pancasila tidak mungkin ada orang miskin adalah refleksi atas upaya radikalisasi Pancasila. Kemudian, imajinasi tentang negara Pancasila harus berada pada level tertinggi, masyarakat makmur sejahtera. Nyatanya, penduduk miskin Indonesia sebesar 26,36 juta orang (BPS September 2022) adalah kontradiktif dengan ide Pancasila.

Bukan dalam pengertian konseptual namun memang kemiskinan konsep terhadapnya dalam berbagai macam bentuk kebijakan.Membuat kebijakan adalah proses imaji, yakni bagaimana Pemerintah harus mampu membayangkan sedetail mungkin setiap rencana kebijakan yang akan dilakukannya baik secara prosedur, bikorasi, produk hukum hingga implementasi dan dampaknya. Semua tidak lepas dari imaji, bahkan negara itu sendiri menurut Benedict Anderson (1983) tidak lebih dari komunitas imajiner (magined communities). Untuk mampu mengaktualisasikan Pancasila adalah mendorong proses imajinasi terhadap masyarakat Pancasila mulai dari sistem pendidikan.

Kemudian, mendorong pembentukan daya nalar yang kritis dan kreatif untuk anak bangsa jauh lebih penting daripada sekedar menyuruh mendengarkan. Soekarno dan Moh. Hatta pernah berbeda pandangan, untuk menyiapkan kemerdekaan apakah mengutamakan aksi masa atau mengutamakan kesadaran (pendidikan). Soekarno kemudian mencoba menyakinkan Moh. Hatta bahwa setelah merdeka, maka intelektualitas akan lebih mudah diwujudkan.

Para founding fathers memperjuangkan kemerdekaan berdasarkan imajinasi bahwa Indonesia nantinya akan menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja yakni negara yang makmur, adil dan sejahtera. Keyakinan akan hidup lebih baik dan menjadi negara besar adalah nyala api perjuangan untuk tidak pernah menyerah. Untuk menjamin perwujudan imajinasi ini, founding fathers kemudian menyematkannya dalam Preambule Undang Undang Dasar 1945 untuk pengingat bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia (staatidee) ada didalamnya. Imajinasi untuk mewujudkan negara gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja harus menjadi nyala dalam kegelapan berbagai problematika bangsa.

Pemaknaan terhadap Pancasila harus dibarengi dengan pengaktualisasian terhadap Pancasila. Pancasila harus hadir dalam berbagai bentuk pembicaraan, pidato, maupun orbolan ringan di coffe shop. Bukan sebagai peningkatan kesadaran namun sebagai pengingat bahwa Pancasila merupakan manifesto dan tuntutan rakyat terhadap negara untuk Indonesia lebih baik.

 

sumber https://www.suaramerdeka.com/opini/048993161/pancasila-dan-imajinasi-ke-indonesia-an

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-10 13:27:412024-10-10 13:27:41Pancasila dan Imajinasi Ke-Indonesia-an

Korupsi dan Rontoknya Ideologi

10/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Terbit (1 Juni 2023)

Sobirin Malian

Dalam suatu kesempatan pidato di Dewan Konstitusi Nasional, menjelang revolusi Perancis, Alex de Tocqueville, menyatakan: “oleh karena terkesan dalam masyarakat tenang-tenang saja, tidak ada gejolak yang berarti dan revolusi dianggap masih jauh, maka kita menganggap negara tidak ada masalah. Tuan-tuan…izinkan saya menyatakan bahwa, Anda sekalian sedang menipu diri sendiri. Saya yakin, saat ini kita sedang tidur diatas gunung berapi, bara api…(Alex de Tocqueville, On Democracy, Revolution and Society: 1980).

Apa kira-kira yang dapat kita tangkap makna dari pidato Alex de Tocqueville di depan Assemble Nationale Constituante, Perancis) itu. Pada tahun 1848 itu, ia mengingatkan rezim Orleans bahwa Perancis saat itu tidak dalam kondisi baik-baik saja. Cengkeraman aristokrasi yang berusaha mempertahankan status quo-nya, menurut De Tocqueville, sudah tidak relevan. Lalu ia menyatakan, harus ada solusi politik ke arah terbebas dari kungkungan aristokrasi. Apa yang dirasakan Alex de Tocqueville saat itu tampaknya sama dengan kondisi kita sekarang. Bahwa negara ini sesungguhnya tidak sedang dalam baik-baik saja. Kita sejatinya sedang mengalami guncangan politik dan hukum yang luar biasa.

Episentrum Persoalan

Bangsa ini terus diguncang berbagai skandal menjelang tahun politik 2024. Selain kasus terbaru, “Bancakan Korupsi Proyek Tower BTS Rp8 Triliun yang melibatkan Menkominfo”, masih banyak kasus rasuah yang belum terungkap dan belum tertangani. Pertanyaan yang perlu kita ajukan sebagai anak bangsa adalah, apakah kecemasan kita hanya pada kasus lenyapnya uang negara yang digondol para koruptor itu?

Jawabnya: Tidak ! Episentrum masalah bukan semata kerugian negara (korupsi), masalah lain masih banyak, misalnya, ancaman perpanjangan masa jabatan Presiden atau penundaan Pemilu masih saja membayangi. Juga masalah peradilan dan hukum di mana saat ini publik seperti mengalami ketidakpercayaan pada MK, MA, Kejagung, KPK dan lain-lain.

Lembaga peradilan seolah mengalami ketidakpercayaan di titik nadir terendah akibat beberapa putusannya sangat bertolak belakang dengan harapan publik. Putusan MK soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, dirasa sangat janggal dan dianggap sebagai putusan yang syarat dengan nuansa politik karena menjelang Pemilu 2024. Isu teraktual yang menarik perhatian publik adalah diduga bocornya putusan MK yang dirilis Prof. Denny Indrayana yang isinya putusan MK lebih memilih sistem proposional tertutup.

Dari beberapa putusan MK yang kontroversial itu – sejumlah akademisi menilai problem besar MK itu terletak pada hakim-hakimnya yang tidak lagi sebagai negarawan dan penegak yang adil, malah terkesan menjadi corong penguasa.Masalah kenegaraan lain yang tidak kalah besar adalah bagaimana relasi sebab akibat antara penguasa, hukum dan eksistensi bangsa. Muatan utama refleksi tidak masalah semata masalah korupsi dan kerugian negara, tetapi permasalahan ideologis (ideological corruption).

Dalam korupsi uang negara, ada ancaman bahaya terselubung, yakni pembunuhan ideologi kenegaraan dan ideologi kebangsaan. Pembunuhan ideologi masuk dari pintu sindikatisme berupa pelaksanaan kebijakan-kebijakan (kotor) negara terutama terhadap para buzzer dan influencer untuk kepentingan persekongkolan jahat kendati memakai baju dan slogan kepentingan umum. Dalam sindikalisme korupsi atau sindikat korupsi, empat pilar kebangsaan Tunggal Ika – yang bersifat ko-eksistentif digerogoti oleh kepentingan persekongkolan atau lebih jauh kepentingan oligarki. Ekses yang paling mencelakakan adalah deklinasi dan polarisasi yang mengancam kepercayaan publik terhadap ideologi dan simbol-simbol kebangsaan. Dari situ lahirlah gerakan-gerakan pencarian keselamatan publik.

Gerakan-gerakan primordial berslogan khilafah, politik identitas sesungguhnya pijaran-pijaran kecil dari sumber letupan masalah, yakni sindikalisme, Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Gerakan-gerakan ini dapat saja kita sebut sebagai impian kolektif (collective dream) semacam utopia bersama masyarakat kecil yang ingin segera keluar dari himpitan hidup kita yang selama ini ditumpukan kepada wakil rakyat tetapi tak kunjung hadir mewakili kepentingan mereka. Dalam sindikasi korupsi – jembatan representasi dibebankan pada partai politik, lembaga legislatif, yudikatif maupun eksekutif yang mengalami patahan tak tersambungkan.

Menurut Gaetamo Mosca patahan paling menyolok ada pada kelakuan destruktif lembaga legislatif, yudikatif yang berbuntut keraguan akan masa depan pemerintah (The Ruling Class, 1939). Jadi guncangan besar eksistensi bangsa ini terletak di situ, sebab dari sudut sindikalisme, korupsi tidak lagi sekadar penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan diri dan kelompok. Namun, korupsi merupakan tindakan sekelompok orang berkuasa yang sengaja menghancurkan ideologi negara lewat sindikat korupsi. Dalam sindikalisme korupsi bersemayam pengeroposan ideologi negara.

Secara sederhana dapat dijelaskan, dari kasus e-KTP atau Proyek BTS Menkominfo, Hambalang atau kasus besar lainnya, dapat dipastikan kasus korupsi tidak lagi menjadi perilaku kotor personal. Artinya, korupsi sudah masuk ranah sindikasi korupsi (Corruption Syndicate); persekongkolan jahat di tingkat elit negara (termasuk partai politik) untuk merampas uang negara secara sistematis dan itu sejatinya menggerogoti ideologi negara, karena mereka seharusnya yang bertanggungjawab atas kelangsungan dan berkomitmen menjaga ruh ideologi. Tetapi yang terjadi mereka menjadi contoh yang buruk sebagai pelaksana ideologi negara. Akhirnya, ideologi negara Pancasila justru dikotori oleh perilaku tidak terpuji. Ideologi pun rontok.

sumber https://www.harianterbit.com/opini/2748983830/korupsi-dan-rontoknya-ideologi

 

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-10 09:02:002024-10-10 09:02:00Korupsi dan Rontoknya Ideologi

Toleransi dan Umat Beragama Yang Baik

08/10/2024/in Lain - Lain, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Babelpedia (30 April 2023)

Sobirin Malian (Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan)

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andi Pangerang menuai kecaman karena komentarnya di media sosial Facebook yang bernada ancaman terhadap warga Muhammadiyah.

Andi pada mulanya mengomentari pernyataan peneliti BRI, Prof. Thomas Djamaluddin soal perbedaan metode penetapan Idulfitri 2023. Komentar tersebut dinilai bernada ancaman hingga akhirnya viral di media sosial.

Dalam komentarnya, Andi menulis “Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua padMuhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda kalender Islam global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang!!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian.” (Sumber CNN Indonesia, 26/4/2023).

Ujaran kebencian yang disampaikan oleh Andi Pangerang itu menggambarkan bahwa perbedaan dalam beragama abelum menjadi rahmat. Perbedaan masih dianggap sebagai permusuhan.
Beragama Kekanakan KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) pada tahun 90-an awal pernah menulis buku yang sangat kontemplatif berjudul Saleh Sosial Saleh Ritual. Dalam buku tersebut dengan sangat kontemplatif bahkan intuitif dia menyindir dengan sangat halus perilaku beragama kita yang seringkali masih sangat kekanak-kanakan untuk menghindari kata ingusan.

Betapa dalam beragama, kata Gus Mus, kita masih primitif dan ndeso. Kecenderungan kita masih tekstualitas dan konservatif. Melihat orang yang berbeda adalah melihat musuh yang harus diperangi, yang harus dilawan, yang harus dibinasakan, yang harus diberangus, dimusnahkan, bahkan jika perlu dihabisi secara zero sum game (tujuh turunan).
​Memang buku Gus Mus itu terbit sudah lebih 20 tahun lebih, tapi dalam kenyataannya “gagasan” buku itu masih sangat relevan dengan keadaan pola keberagamaan kita hari ini. Bisa jadi, kontemplasi Gus Mus memang melampaui zamannya sehingga menembus dimensi ruang dan waktu; atau bisa jadi justru kita memang tak kunjung beranjak dewasa dalam beragama ? Kelihatannya pilihan kedua adalah gambaran utuh pola keberagamaan kita. Hingga hari ini kita masih belum meningkat menjadi umat yang dewasa (al-ihsan). Umat yang bisa menghargai perbedaan; yang menjadikan perbedaan sebagai bahan baku persatuan (unity in diversity). Umat yang pada level al-ihsan, menjadikan perbedaan sebagai rahmat.

​Benarkah atau bukankah kita adalah agama yang rahmatan lil alamin ? Realitasnya tidak bisa kita jawab dengan tegas. Secara teoritis jawaban itu mudah. Kredo agama Islam memang rahmatan lil alamin. Namun, jika kita pindahkan kredo tersebut ke dalam praksis kehidupan sehari-hari, jujur dengan sangat berat hati kita harus mengatakan bahwa perilaku kita belum mencerminkan profil yang kehadirannya mengasihi sesama.
Toleransi Dalam Kemajemukan
​Dalam fenomena seringkali kekerasan,terorisme atau tindakan-tindakan sejenis lahir dari sikap intoleran, tidak menghargai dan menghormati perbedaan. Para pelaku menyebut tindakan mereka dimotivasi oleh ajaran agama, padahal tidak. Menurut Murad W Hofmann dalam Islam the Alternative (1999), fenomena terorisme yang terjadi di berbagai negara dan banyak tempat, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam atau agama lain mana pun.
​Ditegaskan Murad, ajaran agama sejatinya mendorong pada sikap toleran. Dalam Islam, misalnya, Al Quran berulang kali menyatakan, perbedaan di antara umat manusia_baik warna kulit, ras, bahasa dan lain-lain_adalah sunatullah, wajar. Allah bahkan melukiskan pluralisme ideologi sebagai rahmat.

​Ini bisa disimak dalam ayat, “Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan” (al Maidah:48). Ayat lainnya: “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang beriman?” (Yunus:99).
Redefinisi Kebaikan Mengutip yang pernah dinarasikan Taman Hasan (2008) dalam al Quran, setidaknya memuat lima istilah yang dalam bahasa kita sama-sama diterjemahkan sebagai kebaikan, yaitu: al khaer, al-ma’ruf, al-birr,al-ihsan dan as-sholeh. Kelima istilah ini diterjemahkan sebagai kebaikan, padahal ketika diaplikasikan pada kehidupan nyata “makna” antara satu sama lain memiliki nuansa dan dimensi yang berbeda.

​Al-khaer di dalam Al-Qur’an diantaranya : berarti lebih baik, kebaikan atau kebajikan. Al-khair adalah sesuatu yang memegang peranan penting dalam Islam karena datang murni dari Allah. Al-ma’ruf; kebaikan dalam wilayah sosial. Al-birr, kebaikan pada diri seseorang untuk menjadi lebih baik. Al-ihsan, kebaikan yang sesungguhnya bukan kewajiban bagi kita, melainkan kita bersedia melakukannya.As-ssholeh: kebaikan yang diterapkan dalam semua aspek kehidupan, meliputi ranah sosial, politik, dan juga budaya.

​Dalam konteks kehidupann sosial beragama pada masyarakat majemuk seperti Indonesia, yang dibutuhkan adalah transformasi kebaikan al-khaer, al-ma’ruf, al-birr menjadi kebaikan al-ihsan dan as-sholeh. Kebaikan yang bersifat individu menjadi kebaikan yang bersifat sosial.
​Nabi Muhammad SAW pernah memberi contoh yang baik ketika terjadi peristiwa fatkhu Makkah (penaklukan kota Mekah). Pasukan Muslim yang berhasil mengalahkan kaum kafir dan melucuti senjatanya justru oleh Nabi tidak disakiti. Nabi bahkan membebaskan mereka. Dalam konteks ini, yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah kebaikan kategori al-ihsan. Kebaikan yang dilakukan, padahal tidak ada tuntutan dan kewajiban baginya untuk melakukan hal itu.
Penutup

​Pada akhirnya, dari banyak pengalaman terganggunya kerukunan akibat intoleransi di Indonesia, kiranya perlu didesain (social engineering) agar tetap memiliki daya tahan (resilience) untuk menghargai, menghormati, serta melangsungkan kehidupan harmoni sosial yang tidak dalam ke-semu-an. Hal ini penting karena seringkali harmoni dalam ke-semu-an akan menciptakan persoalan yang jauh lebih serius daripada sebelumnya dikelola dan dipersiapkan lebih dahulu.\

Sumber https://babelpedia.id/toleransi-dan-umat-beragama-yang-baik/

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-08 10:02:582024-10-08 10:02:58Toleransi dan Umat Beragama Yang Baik

Pemilu: Partai Kebobolan, Rakyat Kemalingan

08/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (23 Aptril 2023)

Ilham Yuli Isdiyanto

Pemilihan umum (pemilu) saat ini ibarat sebuah toko dalam pulau terpencil. Masyarakat hanya diberikan pilihan produk seadanya, tanpa ada perbandingan dengan toko lainnya, sehingga harus membeli bagaimanapun kualitasnya. Partai politik adalah produsen dari produk yang dijual ditoko tersebut. Jika tidak melewati quality control yang baik, maka pada akhirnya rakyatlah yang paling dirugikan.

Partai Politik dan “Ksatria Politik”

Dalam dunia pendidikan dan profesional terdapat standarisasi untuk mendorong perwujudan kompetensi pada bidang tertentu.
Karena itu, sangat disayangkan bila tidak ada standarisasi secara nasional dalam proses kaderisasi di tubuh partai politik untuk menghasilkan kader-kader partai yang kompeten, berintegritas dan bermoral.

Dilihat dampak sosial, kader partai politik yang nantinya menjadi bagian penyelenggara negara seharusnya lebih ketat daripada standar profesi lainnya yang biasanya bergerak di wilayah swasta atau privat. Melalui standarisasi ini, partai politik jangan hanya sebatas pada filterisasi calon politisi, namun secara moral menyelenggarakan kaderisasi dengan standar kompetensi yang jelas, terukur, dan teruji. Hal ini dimaksudkan agar partai politik tidak “kebobolan” karena mendukung calon-calon yang tidak kompeten dan tidak bermoral, akibatnya muncul “pejabat-pejabat politik” yang kurang kompeten melaksanakan tugas.

Bahkan lebih parahnya adalah berperilaku korup. Fenomena seperti ini kemudian ditangkap oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2019) yang menyatakan demokrasi kemudian terbunuh bukan oleh militer, melainkan pemimpin-pemimpin yang terpilih secara legal. Seperti fenomena Hitler, terpilih secara demokratis kemudian membunuh demokrasi dengan fasis. Pejabat yang korup maupun despot tidak ada bedanya dalam hal sama-sama merugikan rakyat. Asumsi ini harus dilihat sebagai bagian dari fenomena untuk membunuh demokrasi.Koruptor adalah politisi dengan mental “pedagang”, bukan mental “ksatria”. Sehingga memunculkan “pasar politik” bukan “gelanggang politik”.

Menurut Jean Beachler (2001), penggunaan istilah “pasar politik” merujuk pada pertukaran tempat tempat tranksaksi. Hanya saja pasar ini tidak fair karena produk apapun harus dibeli oleh konstituen walaupun kualitas produk tersebut buruk. Jika produk yang ditawarkan tidak ada yang memenuhi kualifikasi, maka harus dipilih dari salah satunya, memilih yang terbaik dari terburuk. Inilah realitas pasar politik hari ini. Berbeda dengan “gelanggang politik” di mana setiap kstaria politik yang masuk sudah memiliki kualifikasi petarung yang kompeten.

Partai Politik “Kebobolan”

Partai politik seharusnya menjadi kawah candradimuka untuk melahirkan ksatria-ksatria politik yang kompeten dan berintegritas. Mereka muncul sebagai pembela-pembela rakyat kecil dengan kekuatan dan kewenangannya. Namun, kaderisasi ini kemudian macet, sehingga muncul kader-kader dadakan yang belum matang secara kapasitas politik. Alih-alih melakukan kaderisasi, fenomena yang terjadi seperti “jual tiket” untuk memasuki “kendaraan politik” (Dian Aulia, 2016) karena terdesak kebutuhan pembiayaan.

Dari sinilah semua masalah itu dimulai, proses filterisasi yang macet kemudian menghasilkan politikus instan, bukan politikus yang lahir melalui proses kaderisasi yang ketat dan berjenjang. Akibatnya yang muncul bukanlah “ksatria politik”, melainkan demagog (Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, 2019). Alhasil, menurut laporan KPK (2020), sepanjang 2004 sampai 2020 tercatat ada 274 anggota DPR/DPRD yang menjadi tersangka korupsi. Lebih mencengangkan lagi, menurut Wakil Ketua KPT, Nurul Gufron (2021) ada 429 kepala daerah hasil Pilihan Kepala Daerah yang terjerat korupsi.

Partai politik haruslah mengakui telah terjadi “kebobolan”, biaya politik yang mahal dan filterisasi tanpa kaderisasi adalah penyebab utama korupsi banyak terjadi. Rakyat jelas sudah gerah dengan berbagai persoalan korupsi ini, bahkan kasus dugaan korupsi Bupati Meranti yang sampai pada mengagunkan tanah dan kantor Bupati Meranti menjadi sorotan serius dari rakyat. Di sisi lain, tidak ada pertanggungjawaban serius dari partai politik terhadap kadernya yang terbukti melakukan korupsi. Sanksi hanya ditujukan pada pelaku, bukan naungan partai politiknya. Sistem hukum Indonesia yang mengacu pada pertanggungjawaban individual menjadi dasarnya hal ini.

Sehingga adanya korupsi oleh kader politik yang paling dirugikan adalah rakyat, tidak ada sanksi legal terhadap partai politik. Hal ini kemudian tidak mendorong adanya keseriusan dari partai politik untuk menghasilkan kader-kader yang primus inter pares, produk yang dihasilkan partai politik adalah “ksatria politik” terbaik dari yang terbaik, bukan terkaya atau terkenal semata.

Revisi Regulasi

Pasal 29 ayat (1) huruf b dan c UU No. 2/2011 hanya mengatur hak rekrutmen terhadap bakal calon anggota DPR/DPRD dan bakal calon Kepala Daaerah, tanpa ada dasar kewajiban standar nasional terhadap bakal calon ini. Ketentuan ini membuka peluang partai politik hanya sebagai “kendaraan politik” an sich tanpa ada kewajiban untuk melaksanakan kaderisasi secara maksimal. Untuk mampu mendorong kaderisasi secara maksimal, terhadap ketentuan ini perlu dilakukan beberapa perubahan.

Di antaranya, a) dimasukkan standarisasi terhadap calon bakal calon anggota DPR/DPRD dan kepala daerah dengan memperhatikan keinginan masyarakat, kompetensi, dan track record;

Lalu b) regulasi perlu memperhatikan juga minimal keikutsertaan sebagai kader di Partai Politik sehingga terjadi proses demokratisasi bukan sebatas elektabilitas maupun modalitas;

Dan c) adanya filterasisasi secara terbuka berbasis pada uji kelayakan dan kepatutan dengan hasil laporannya yang dibuka secara publik.

Negara dengan otoritasnya seharusnya memiliki peluang untuk menghalau munculnya kualitas politikus yang buruk dan korup. Jangan sampai hukum kemudian bersifat kriminogen (Sajtipto R, 2007) yakni membuka peluang untuk tindakan-tindakan korup itu sendiri. Standarisasi terhadap bakal calon anggota DPR/DPRD maupun kepala daerah harus diubah dari kebijakan politik menjadi kebijakan rasional. Jangan sampai muncul “maling-maling” yang masuk ke dalam penyelenggaraan negara karena mereka mampu membeli “tiket” untuk memasuki “kendaraan politik”.

Sementara kader-kader kompeten yang mempercayai proses demokratisasi partai politik harus gigit jari karena ketidakmampuannya membeli tiket. Perlu diingat, proses politik yang baik dan jujur adalah syarat dalam mewujukan good and clean governance. Revisi lainnya adalah berkaitan dengan pemberian sanksi terhadap partai politik jika ada kadernya yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Perlu ada revisi terhadap Pasal 239 ayat (2) huruf c jo Pasal 242 ayat (1) UU No 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Masih terdapat hak dari partai politik untuk melakukan penggantian antarwaktu (recall) seharusnya dihapus. Artinya, jika partai politik tidak diberikan hak untuk melakukan recall terhadap kadernya yang korup, maka akan menjadi preseden untuk lebih berhati-hati dalam proses filterisasi bakal calonnya.

Poin-poin di atas tidak lain adalah upaya untuk menempatkan posisi kedaulatan rakyat secara hakiki dalam sebuah sistem. Jika sistem sengaja dibangun dengan celah, maka sebenarnya bukan lagi disebut kebobolan, melainkan sudah masuk sebagai kesengajaan. Rakyat kemudian selalu menjadi korban karena selalu kemalingan perilaku korup. Jika kondisi ini terbiarkan, kektidakpercayaan rakyat akan semakin tinggi dan eskalasi semakin besar yang dapat memicu kemarahan. Jangan sampai rakyat marah.

Sumber https://www.suaramerdeka.com/opini/048553879/pemilu-partai-kebobolan-rakyat-kemalingan

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-08 09:33:292024-10-08 09:34:40Pemilu: Partai Kebobolan, Rakyat Kemalingan

Penerapan Design Thinking dalam Pendidikan dan Tantangannya

08/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Times Indonesia /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Times Indonesia (13 Februari 2023)

Imam Azhari

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Proses pembelajaran merupakan kemampuan siswa untuk mendemonstrasikan kapasitas mereka untuk menyelesaikan tugas yang secara tidak langsung menunjukkan kemampuan mereka untuk memecahkan masalah. Dalam mencapai keterampilan pemecahan masalah, siswa perlu mendapatkan bimbingan tentang cara menggali ide-ide dasar dan langkah-langkahnya. Sekaligus mengukur bahwa hasilnya mencerminkan tingkat kreativitas mereka.
Dalam pengertian ini, keterampilan design thinking menjadi penting untuk dipelajari karena terdiri atas urutan langkah proses yang fleksibel dan berulang. Oleh karena itu, design thinking dapat digunakan sebagai alat yang sesuai dalam pengajaran dan pembelajaran untuk mengembangkan keterampilan abad 21, yakni kreativitas.
Design thinking telah diterapkan dalam banyak kegiatan industri dan dunia komersial. Saat ini, minat terhadap desain tidak hanya meningkat di bidang desain produk atau layanan, tetapi design thinking juga telah dimanfaatkan ke sektor publik, dan banyak sektor lainnya. Sebagian besar minat dalam design thinking didasarkan pada kemampuannya untuk mengatasi berbagai masalah sosial, ekonomi, teknologi, dan politik yang merupakan bagian dari kompleksitas global baru.

Konsep Design Thinking
Design thinking dideskripsikan sebagai cara berpikir atau proses kognitif yang diwujudkan dalam tindakan merancang proses pemikiran (Cross, 2007; Dunne & Martin, 2006). Design thinking juga didefinisikan sebagai proses kognitif yang digunakan oleh para desainer, bukan menunjukkan objek hasil kegiatan perancangan. Lebih lanjut, design thinking merupakan konsep yang menyeluruh mengenai proses pembelajaran dan perancangan yang memungkinkan para siswa belajar secara multidisiplin. Sebagai pendekatan proses pemecahan masalah, design thinking telah terbukti dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial sehari-hari yang kompleks yang sulit untuk dipecahkan (Brown, 2008).

Dengan demikian, design thinking menawarkan solusi konkret untuk menyelesaikan masalah-masalah kompleks yang terdefinisi dan tidak mudah dipahami. Design thinking fokus pada penyelesaian masalah dengan menciptakan ide-ide (produk, layanan, sistem) untuk masalah yang rumit dan menawarkan pendekatan baru untuk sekelompok orang tertentu (Lindberg et al., 2010).Design thinking juga merupakan konsep multidisiplin yang menyediakan kerangka berpikir kreatif (Lindberg et al., 2010). Strategi pengajaran berbasis design thinking berfokus pada berbagai disiplin dan melibatkan perspektif yang luas (Brown, 2008).

Karya kreatif membutuhkan kreativitas, dan kreativitas adalah keterampilan berpikir inti abad kedua puluh satu bagi siswa. Para peneliti merekomendasikan bahwa kreativitas juga aspek penting yang perlu dikuasai bagi para guru, tetapi mengingat tantangan dan kesulitan yang dihadapi para guru, kreativitas sering dianggap sebagai kegiatan santai di kelas (Root-Bernstein & Root-Bernstein, 2017).

Design thinking menyediakan struktur yang fleksibel dan mudah diakses untuk memandu para guru, dan untuk meningkatkan kreativitas mereka dalam menangani masalah-masalah praktis. Selain itu, para praktisi design thinking menegaskan bahwa keterampilan design thinking merupakan kunci kreativitas abad ke-21.

Meskipun design thinking sering digunakan dalam dunia bisnis, desain produk dan layanan, metode ini juga berpotensi diterapkan di dunia pendidikan. Potensi pemanfaatan design thinking dalam implementasi kurikulum dan meningkatkan aspek pedagogis telah dipertimbangkan oleh banyak peneliti pendidikan (Laurillard, 2012).

Pendekatan Design Thinking dalam Pendidikan
Design thinking adalah metode pendekatan proses desain yang menawarkan solusi untuk suatu masalah. Pendekatan ini sangat mempengaruhi cara pengambilan keputusan yang akan menghasilkan ide-ide baru dan inovatif di bidang pendidikan. Bagian berikut ini membahas pendekatan design thinking dalam pendidikan dengan memfokuskan secara lebih mendalam tentang design thinking dalam pendidikan melalui pendekatan pedagogis.

Design Thinking dalam Pendidikan
Design thinking sering disebut sebagai paradigma baru untuk menangani masalah di banyak profesi dan bidang, termasuk teknologi informasi, bisnis, penelitian, inovasi, dan pendidikan. Oleh karena itu, design thinking dapat dianggap sebagai alat yang hebat untuk digunakan dalam pengajaran dan pembelajaran untuk mengembangkan keterampilan abad kedua puluh satu (Glen et al., 2014).

Sebab, design thinking melibatkan kolaborasi untuk memecahkan masalah dengan menemukan dan memproses informasi, dengan mempertimbangkan fakta-fakta lapangan, pengalaman dan umpan balik para pemangku kepentingan yang terlibat, dan dengan menerapkan kreativitas, pemikiran kritis, dan komunikasi (Ray, 2020).

Dalam beberapa literatur, design thinking terkadang disebut sebagai “pembelajaran berbasis desain”, yang dapat dipahami sebagai “model untuk meningkatkan kreativitas, daya tahan, partisipasi, dan inovasi” (Dolak et al., 2013). Manfaat desain thinking dalam pedagogi mengacu pada cara “menjadikan siswa untuk mampu belajar dengan baik dalam tim dan diarahkan secara terstruktur dalam tahapan perancangan penyelesaian masalah sehari-hari” (Kijima et al., 2021).

K.H. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa pendidikan seyogyanya melahirkan manusia-manusia tangguh yang siap menghadapi problem masa depan (Citraningsih, 2021). Untuk itu pendidikan merupakan sistem yang masif dan dirancang secara kolektif. Sekolah dirancang dan dibangun dengan mempertimbangkan fungsionalitas.

Namun, keterbatasan sistem sekolah tradisional telah mengilhami upaya serius untuk melakukan terobosan bagaimana pendidikan harus melahirkan generasi yang mampu mengatasi tantangan saat ini, dan tantangan yang mungkin muncul di masa depan. Selain itu, penting juga untuk memperkaya lingkup pendidikan guru, karena guru semakin ditantang untuk menjadi kreatif dan menggunakan praktik baru untuk konteks pendidikan abad ke-21 (Pendleton-Jullian & Brown, 2015).

Proses Pendidikan Menggunakan Design Thinking
Keterampilan design thinking juga dapat dikembangkan melalui berbagai kegiatan di sekolah, terutama dalam kerja kelompok dan proyek, karena salah satu prasyarat design thinking adalah kerja tim dan komunikasi yang terbuka antar anggota tim (Kijima et al., 2021). Ray (2020) menyarankan bahwa bekerja dalam kelompok kecil, dan terdiri atas 6 langkah yaitu mengidentifikasi peluang, desain, membuat prototipe, mendapatkan umpan balik, scale and spread, serta presentasi.

Langkah 1: Identifikasi Peluang. Langkah ini dapat dilakukan sebagai kegiatan di kelas, atau sebagai kerja kelompok. Selama tahap ini, siswa harus mengidentifikasi kebutuhan masalah yang akan dipecahkan, serta siapa saja yang akan mendapat manfaat dari solusi tersebut.

Kemudian, siswa memilih beberapa orang yang terpengaruh oleh masalah tersebut, untuk berbagi pengalamannya. Siswa harus mewawancarai mereka. Ini bisa dilakukan secara pribadi, melibatkan kegiatan di luar kelas; sebagai alternatif, orang-orang ini dapat diundang untuk berpartisipasi dalam pelajaran atau wawancara dapat diselenggarakan melalui platform daring.

Langkah 2: Proses Desain. Selama fase ini, siswa mengulas hasil wawancara yang diperoleh pada langkah 1, dan mencari berbagai alternatif solusi. Salah satu cara yang dapat ditempuh pada langkah ini memanfaatkan pulpen dan sticky-note warna-warni, dan membiarkan mereka melakukan brainstorming solusi.

Dalam tahap ini, siswa didorong untuk mengatakan “Ya” ketika mereka setuju dengan ide masing-masing, dan “Ya, tapi …” ketika mereka tidak setuju. Hal ini dilakukan agar tidak menyurutkan siswa lain untuk mengungkapkan pendapatnya, dan untuk mencari ide-ide alternatif.

Langkah 3: Prototipe. Selanjutnya, tim melakukan diskusi untuk membahas ide-ide yang berhasil dikumpulkan dan memilih satu prototipe. Prototipe yang dipilih ini harus dapat menyelesaikan satu aspek dari masalah. Pada titik ini, siswa akan fokus pada satu solusi yang ditawarkan untuk memecahkan aspek tertentu dari masalah yang diberikan. Kemudian siswa memilih aspek masalah berikutnya dan mendekatinya dengan cara yang sama secara berulang. Untuk memvisualisasikan proses berpikir, disarankan untuk menggambar dalam bentuk diagram atau grafik yang menunjukkan proses ini. Diagram ini juga dapat dibuat dengan menempelkan catatan tempel (sticky note) pada kertas.

Langkah 4: Umpan balik. Dalam tahap ini, tim mempresentasikan solusi mereka kepada pihak eksternal atau tim-tim yang lain untuk mendapatkan umpan balik. Disarankan untuk memiliki setidaknya dua pakar atau guru yang memiliki minat terhadap masalah yang sedang dipecahkan.

Langkah 5: Scale and spread. Selama tahap ini siswa bekerja dalam tim untuk menemukan solusi terbaik dari umpan balik yang diterima dari tahap sebelumnya. Dalam proses ini, bantuan guru dalam membimbing ide-ide siswa sangat diperlukan untuk mempertajam hasil yang diperoleh. Jika tim tersebut menerima banyak pandangan dari pakar atau guru, kelompok tersebut dapat dibagi menjadi beberapa kelompok kecil, dengan masing-masing kelompok mengerjakan satu masalah. Sub-kelompok kemudian dapat berkumpul dan menyepakati hasil akhirnya untuk presentasi.

Langkah 6: Presentasi. Tim mempresentasikan solusi mereka untuk masalah yang diselesaikannya. Sesi presentasi ini dapat menghadirkan para pemangku kepentingan yang diwawancarai siswa selama tahap.

Aktivitas pembelajaran terstruktur semacam ini merupakan kesempatan bagi siswa untuk memecahkan masalah dunia nyata dan menawarkan solusi bagi orang-orang yang membutuhkannya. Tidak ada solusi yang buruk atau salah, karena menurut teori pendekatan design thinking, masalah dapat diselesaikan dengan cara yang berbeda (Rittel & Webber, 1972). Tantangan bagi guru bahwa kegiatan ini memakan waktu dan tidak dapat dilakukan dalam satu pelajaran. Seperti halnya aktivitas berbasis proyek, ini berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga guru dapat memandu proses dengan menetapkan batas waktu yang pasti untuk setiap bagian dari aktivitas yang harus dilakukan. Guru dapat menyesuaikan materi yang ada dengan kebutuhan pedagogis para siswa untuk memotivasi belajar siswa.

Tantangan Penerapan Design Thinking
Dalam pembahasan tersebut terlihat bahwa design thinking dapat diterapkan sebagai bagian penting proses pengajaran dan pembelajaran. Design thinking adalah proses pembelajaran yang efektif yang meningkatkan kreativitas, membangun keterampilan, membantu siswa berpikir out of the box, meningkatkan keterlibatan siswa, dan membantu menonjolkan bakat siswa (Tsalapatas et al., 2019). Namun, ada juga beberapa tantangan yang dihadapi dunia pendidikan dalam menerapkan pendekatan design thinking ini.

Tantangan untuk Guru
Bagi guru, menyampaikan materi pengajaran yang sistematis dan efektif, dibutuhkan persiapan bahan pembelajaran untuk memastikan pengajaran dan pembelajaran berjalan efektif. Kurangnya pengalaman guru dalam penggunaan design thinking untuk pembelajaran di sekolah merupakan tantangan lain yang dihadapi guru dalam memberikan informasi yang cukup dan relevan dalam menggunakan metode design thinking ini. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kesalahpahaman atau kebingungan di kalangan siswa, ketika guru tidak dapat memberikan arahan kepada siswa pada saat pembelajaran berlangsung.

Selain itu, diperlukan waktu yang cukup bagi guru untuk menyesuaikan pendekatan design thinking dengan pembelajaran di kelas untuk memastikan siswa memahami materi pembelajaran, sementara itu waktu yang dialokasikan untuk guru sangat singkat, dan jadwal guru juga terlalu padat, sehingga menyebabkan kurangnya waktu untuk pembelajaran siswa.

Selain itu, juga dibutuhkan pelatihan tentang design thinking dalam pendidikan untuk memberikan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pendidik untuk berpikir kreatif dan inovatif dalam pembelajaran yang akan diajarkan di kelas agar meningkatkan minat belajar siswa.

Tantangan untuk Siswa
Ketika siswa belajar menerapkan design thinking untuk pertama kalinya dalam kegiatan belajar, mereka akan mengalami kebingungan dan bahkan frustrasi, karena mereka akan mencoba memahami dengan pemikiran masing-masing ketika mereka diberi proyek untuk ditangani. Para peneliti menyarankan agar siswa mempelajari sumber-sumber bacaan yang memadai terkait masalah yang akan diselesaikan terlebih dulu agar memahami perspektif yang diperlukan untuk memulai pembelajaran menggunakan design thinking.

Selain itu, siswa dapat mengalami kesulitan karena kurangnya kreativitas ketika siswa harus menyelesaikan masalah menggunakan pendekatan ini. Mereka tidak melihat masalah sebagai peluang untuk meningkatkan kreativitas mereka dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu, kreativitas adalah landasan terpenting untuk menerapkan pendekatan design thinking dalam pendidikan.

Tantangan lain yang dihadapi siswa ketika belajar melalui design thinking adalah kurangnya ide yang bagus untuk merancang proyek seperti yang diminta oleh guru mereka. Kurangnya ide ini akan menyebabkan siswa untuk menerima begitu saja, dan mereka tidak akan bersemangat untuk menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh gurunya. Dengan munculnya ide-ide bagus, siswa akan lebih bersemangat dan lebih terlibat dalam kegiatan kelas.

Selain itu, siswa mungkin menghadapi tantangan kerja tim dalam melakukan proyek di kelas karena konflik atau kesulitan dalam tim mereka, karena perbedaan pendapat dan kurangnya kerja sama. Kesalahpahaman dalam berkomunikasi juga akan menyebabkan kurang kompaknya kerja sama tim antar siswa. Kerja tim sangat penting dalam design thinking karena membutuhkan banyak pendapat untuk memastikan bahwa pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik.

Dampak Design Thinking
Design thinking menantang siswa dan guru untuk menerapkan berbagai bentuk pengetahuan, termasuk keterampilan sosial, teknologi, dan lainnya. Berbeda dengan pembelajaran konvensional yang menuntut siswa untuk memiliki keterampilan atau pengetahuan tentang mata pelajaran tertentu.

Tentu saja ada kendala dalam penggunaan design thinking dalam pendidikan, seperti tantangan bagi guru dan siswa. Di antara tantangan yang dihadapi guru adalah: kekurangan sumber daya, kurangnya pengalaman, kendala waktu, dan kurangnya pelatihan. Tantangan design thinking yang dihadapi siswa antara lain kebingungan dan frustrasi, kurangnya kreativitas, kurangnya ide bagus dan kesulitan dalam kerja sama tim.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, pendidik harus selalu terbuka untuk menerima hal-hal baru dalam pembelajaran yang terkini. Sehingga, mereka memiliki motivasi dan tidak tertekan untuk mengajarkan teknik baru seperti pembelajaran menggunakan design thinking. Selain itu, design thinking juga berdampak besar pada perkembangan guru didalam lembaga pendidikan. Budaya baru ini akan mendorong kesan positif dari proses pengajaran dan pembelajaran di sekolah, serta pengembangan profesional guru dan pengembangan keterampilan siswa, sebagai bagian penting dari pengajaran abad 21. (*)

Penulis adalah Imam Azhari, Dosen Program Studi Sistem Informasi, Fakultas Sains dan Teknologi Terapan, Universitas Ahmad Dahlan (UAD).

Sumber https://timesindonesia.co.id/indonesia-positif/445995/penerapan-design-thinking-dalam-pendidikan-dan-tantangannya

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-08 08:59:452024-10-08 09:01:08Penerapan Design Thinking dalam Pendidikan dan Tantangannya

Kenali Identitas Vokasional Sejak Dini: Fenomena Salah Pilih Jurusan di Perguruan Tinggi

08/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Times Indonesia /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Times Indonesia (21 Januari 2023)

Agung Budi Prabowo

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pemahaman mengenai identitas diri khususnya domain identitas vokasional sangat diperlukan bagi remaja secara holistik. Hal ini sesuai dengan kaidah agama, adat istiadat, serta norma yang dijunjung tinggi dalam masyarakat agar remaja agar terhindar dari kebingungan identitas vokasional (Matthew A. Diemer, David L. Blustein, 2007, hlm. 98).
Perkembangan identitas selama masa remaja sangat penting karena memberikan suatu landasan bagi perkembangan psikososial dan relasi interpersonal pada masa dewasa (Agungbudiprabowo, 2019). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Ventegodt dan Merrick (2014, hlm. 1) yang menyimpulkan bahwa kualitas pemahaman identitas diri remaja menentukan tingkat umum remaja sukses dalam hidup di semua bidang. Oleh sebab itu tugas perkembangan identitas pada remaja menjadi landasan keberhasilan saat memenuhi tugas perkembangan dewasa.
Individu yang berada pada fase remaja akhir dihadapkan pada pemilihan jurusan kuliah, atau bila langsung bekerja, mereka dihadapkan dengan pilihan bidang pekerjaan yang sesuai kemampuan dan minat mereka.

Oleh kerenanya, sejak dini mereka diharapkan telah memiliki kesadaran yang mendalam mengenai diri mereka khususnya potensi, minat, cita-cita diri, dan mulai merencanakan masa depan. Namun tidak semua remaja berhasil meyakini kemampuan, potensi, cita-cita diri, dan telah mulai merencanakan masa depan mereka.

Pemahaman tentang identitas diri akan memudahkan remaja untuk memilih jurusan atau pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuan mereka agar tidak terjebak pada situasi “salah jurusan” atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang ketika lulus nanti. Remaja yang belum mampu menilai kemampuan dan minatnya, menilai peluang yang dapat mereka raih, serta membuat komitmen terhadap pilihan pendidikan dan pekerjaan disebut sebagai remaja yang belum mencapai identitas diri (identity achievement) dalam bidang vokasional yang ideal.

Hasil penelitian Educational Psychologist dari Integrity Development Flexibility (IDF) (2021), Irene Guntur menyebutkan bahwa sebanyak 87 persen mahasiswa di Indonesia salah jurusan. Selain itu, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya remaja pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun perguruan tinggi belum memiliki identitas vokasional achievement.

Hal ini dapat dimaknai bahwa siswa SMA maupun mahasiswa pada umumnya belum melakukan eksplorasi dan komitmen karier, secara umum remaja masih berada dalam kategori moratorium, foreclosure, bahkan sama sekali belum melakukan eksplorasi dan komitmen karier sehingga masih berada pada status identitas vokasional diffusion yang artinya remaja masih merasa kebingungan terhadap identitas vokasionalnya. (Lestari, 2010; Nuryanto, 2013; Suyati dkk., 2012; Purwoko 2002).

Paparan di muka memperlihatkan adanya kesenjangan antara kondisi remaja akhir yang idealnya mencapai identitas vokasional, tetapi faktanya melihat beberapa hasil penelitian yang dipaparkan bahwa masih banyak remaja yang mengalami kebingungan peran identitas khususnya identitas vokasional. Perlu suatu upaya bantuan dalam mengembangkan identitas diri remaja spesifik pada identitas vokasional secara utuh.

Bagi remaja yang sedang bingung memilih jurusan ada beberapa hal yang bisa dilakukan yaitu dengan meningkatkan kemampuan eksplorasi diri tentang bakat, minat, dan profesi yang kamu cita citakan saat ini dan mencari informasi seluas-luasnya tentang program studi di perguruan tinggi yang bisa mengantarkan menuju pekerjaan yang dicita-citakan.

Perlu dipertimbangkan pula terkait proyeksi pekerjaan ke depan yang memiliki peluang bekerja yang lebih luas. Sebab, saat ini adalah era digital. Beberapa jenis pekerjaan ke depan akan mengalami disrupsi bahkan kemungkinan hilang. Pilih universitas yang tentunya memiliki Akreditasi Unggul atau A yang menandakan universitas tersebut memiliki kualitas pelayanan akademik dan nonakademik yang baik, fasilitas lengkap, dan jaminan profil lulusan kompeten bagi mahasiswanya. Mari kenali identitas vokasional. (*)

*) Agung Budi Prabowo S.Pd., M.Pd adalah dosen Prodi BK FKIP Universitas Ahmad Dahlan (UAD).

sumber https://timesindonesia.co.id/indonesia-positif/444456/kenali-identitas-vokasional-sejak-dini-fenomena-salah-pilih-jurusan-di-perguruan-tinggi

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-08 08:37:192024-10-08 09:01:23Kenali Identitas Vokasional Sejak Dini: Fenomena Salah Pilih Jurusan di Perguruan Tinggi

Deal with Anxiety: Rasa Cemas di Lingkungan Pendidikan

05/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Times Indonesia /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Times Indonesia (19 Januari 2023)

Arif Budi Prasetya

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pandemi seolah sudah berlalu. Aktivitas masyarakat sudah mulai berjalan seperti biasa seperti di lingkungan Pendidikan. Hanya bedanya, saat ini mayoritas menggunakan masker sebagai bentuk preventif dalam penularan virus Covid-19.
Dampak dari pandemi Covid-19 beragam. Dalam bidang pendidikan misalnya, ketakutan pemerintah terkait learning loss begitu terasa. Hal ini terbukti dengan perhatian pemerintah dalam acara G20 yang menegaskan bahwa pentingnya pembelajaran muka agar terhindar dari learning loss.
Walaupun demikian, dampak pandemi juga memengaruhi kondisi kesehatan mental peserta didik. WHO (World Health Organization) sebagai organisasi kesehatan dunia menegaskan bahwa pandemi memicu peningkatan prevalensi kecemasan sebesar 25% di seluruh dunia.

Kondisi kecemasan memerlukan perhatian lebih mengingat Indonesia pernah menorehkan prestasi menjadi urutan ke-6 dari keseluruhan tingkat dunia dalam hal gangguan kesehatan mental dan kejiwaan pada tahun 2022 lalu.

Walaupun kecemasan merupakan salah satu dari berbagai masalah kesehatan mental, kecemasan dapat dikatakan umum terjadi. Pada era yang serba digital ini, kecemasan sosial dapat terjadi dan ditengarai melalui fenomena remaja yang ketergantungan dengan sosial media, khawatir kehilangan followers, viewers, likers, subscribers, sampai berlomba-lomba agar terus FYP dengan mengenyampingkan konten yang dibagikan di sosial media.

Berbeda dengan kecemasan sosial, ada jenis kecemasan yang umum terjadi di lingkungan pendidikan, seperti kecemasan terhadap ujian, atau biasa disebut test anxiety. Hal ini mirip dengan kecemasan matematika. Perbedaan dari 2 jenis kecemasan tersebut yaitu dari sumber pemicu.

Test anxiety timbul karena khawatir akan hasil dari sebuah ujian yang akan dilaksanakan, hal ini dapat dilihat dari perasaan tidak tenang, tangan berkeringat, jantung berdebar lebih kencang, dan beberapa orang merasakan mual. Sedangkan kecemasan matematika didefinisikan sebagai reaksi negatif terhadap matematika dan situasi matematika.

Gejala yang timbul mirip dan dapat diatasi dengan cara-cara yang praktis, seperti mengatur pernapasan, dengan menghirup napas lebih dalam, menahan, lalu mengembuskan secara perlahan dan mengulangi hal tersebut beberapa kali, hal ini dapat meringankan rasa cemas.

Cara lain seperti relaksasi otot. Terkadang tangan bergetar apabila merasa cemas, dengan cara mengepalkan telapak tangan erat dengan kencang selama beberapa detik dan mengendorkan kembali, hal ini terbukti meringankan rasa cemas. Ada beberapa cara ekstrem yang pernah diujicobakan seperti berteriak di dalam kamar mandi, tetapi cara ini menimbulkan perdebatan di samping membantu individu juga mengganggu lingkungan sekitar apabila suaranya terdengar sangat keras.

Cara yang lebih halus yaitu dengan melakukan positive self-talk exercise atau memberikan afirmasi positif pada diri sendiri seperti “aku bisa lalui ini karena aku sudah mempersiapkan dengan baik” atau “hasil yang akan aku dapatkan adalah hasil terbaik yang Tuhan berikan”. Uraian cara tersebut dinilai dapat menurunkan rasa cemas.

Pada dasarnya seperti yang sudah ditegaskan sebelumnya, rasa cemas adalah hal umum terjadi. Hal ini sangat mengganggu ketika rasa cemas sudah berlebihan. Agar dapat terbebas dari rasa cemas, perlu upaya untuk berdamai dengan rasa itu, berbagai cara dapat dicoba dan disesuaikan dengan kecemasan yang dirasakan.

Sehat itu tidak hanya untuk fisik tetapi juga mental. Menjaga kesehatan mental dapat dimulai dari diri sendiri termasuk di lingkungan pendidikan. Peduli dengan kondisi mental diri sendiri. Lalu berkembang dan peduli dengan orang lain. Baik penyintas maupun non-penyintas. Salam sehat jiwa. (*)

*) Arif Budi Prasetya, M.Pd adalah dosen Prodi Bimbingan dan Konseling Universitas Ahmad Dahlan (UAD).

Sumber https://timesindonesia.co.id/indonesia-positif/444455/deal-with-anxiety-rasa-cemas-di-lingkungan-pendidikan

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-05 11:13:262024-10-05 11:13:26Deal with Anxiety: Rasa Cemas di Lingkungan Pendidikan

Persepsi terhadap Istilah Gangster

05/10/2024/in Opini, Publikasi 2022, Times Indonesia /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Times Indonesia (10 Desember 2022)

Irwan Suswandi

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Beberapa hari belakangan ini, Surabaya menjadi kota yang mencekam di malam hari. Masyarakat Kota Surabaya diimbau untuk tidak keluar saat malam. Penyebab dari imbauan tersebut adalah merebaknya segerombolan pemuda tanggung yang melakukan aksi anarkis dengan senjata tajam.
Tidak tanggung-tanggung, celurit, golok, hingga samurai dibawa dan diacung-acungkan kepada siapa saja yang mereka temui. Bahkan tak segan melukainya. Masyarakat pun menjadi was-was dan tidak leluasa lagi melakukan aktivitas di malam hari. Tidak terkecuali masyarakat yang pulang bekerja hingga malam hari. Mereka pun disarankan melewati jalan-jalan yang tidak dilalui oleh segerombolan pemuda anarkis tersebut.
Tentu, itu membuat masyarakat merasa repot karena harus melalui jalan yang jaraknya lebih jauh.

Kenakalan untuk Eksistensi

Masyarakat Surabaya dan media-media berita menyebut perilaku kenakalan remaja ini dengan istilah gangster. Sebagaimana kabar yang berseliweran di media sosial bahwa tindakan para remaja ini adalah sebagai sebuah bentuk solidaritas dan unjuk kekuatan di antara para geng motor. Tawuran dan perkelahian menjadi tujuan mereka. Semakin sedikit korban dari suatu geng, maka dianggap lebih kuat. Entahlah, apa yang membuat mereka begitu mudah menyia-nyiakan nyawa untuk sebuah aksi yang tidak ada faedahnya.

Bagi orang yang berpikir normal dan waras menganggap itu adalah tindakan yang tidak berfaedah. Namun, tidak bagi mereka. Tindakan mereka adalah sebuah bentuk eksistensi. Mereka ingin menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka ada. Semakin menjadi pusat perhatian, mereka semakin ‘menggila’.

Semakin masyarakat takut dan menaruh perhatian lebih kepada mereka, mereka akan semakin eksis. Keinginan untuk eksis dan diperhatikan ini adalah ciri khas dari seorang pemuda tanggung. Apalagi bagi mereka yang memang kurang mendapat perhatian dari keluarganya.

Pasalnya, fenomena serupa tidak hanya terjadi di Kota Surabaya saja. Melainkan di kota-kota lain pun ada. Sebut saja yang banyak dikenal oleh masyarakat luas adalah keberadaan klitih. Tidak jauh berbeda dengan gangster di Surabaya, klitih pun sempat meresahkan masyarakat Yogyakarta. Dengan modus yang sama, yaitu melukai orang secara acak di malam hari, klitih sempat menjadi pemberitaan terus menerus hingga menyita perhatian dari berbagai pihak.

Dari kedua fenomena yang terjadi di dua kota besar di Indonesia ini, terdapat satu kesamaan. Yakni, pelakunya adalah pemuda tanggung. Mereka melakukan tindakan kriminalitas dengan tujuan utama bukan untuk merampas barang, melainkan hanya sekadar kesenangan dan kepuasan.

Persepsi terhadap Istilah ‘Gangster’

Penggunaan bahasa tidak dapat dianggap remeh. Termasuk penggunaan istilah untuk penyebutan perilaku kenalan remaja, yaitu gangster. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap istilah tersebut berpengaruh pada eksistensi dan meningkatnya aksi kriminal dari para gerombolan remaja.

Sejatinya, istilah ‘gangster’ yang kini diadopsi sebagai lema bahasa Indonesia telah sebelumya dikenal dalam bahasa Inggris. Istilah ‘gangster’ diadopsi dengan pemaknaan yang sama seperti dalam bahasa Inggris, yaitu ‘1. penjahat; bandit, 2. anggota geng (kelompok orang yang mempunyai kegemaran berkelahi atau membuat keributan)’.

Nyatanya, perilaku gangster sudah eksis cukup lama. Tidak hanya semata-mata saat ini saja. Pun tidak hanya di Surabaya, kota-kota lain pun ada segerombolan pemuda anarkis seperti itu, misalnya di Jakarta, Bandung, Bogor, dan Depok. Lantas pertanyaannya, mengapa mereka bisa tetap eksis hingga sekarang?

Eksistensi gangster dapat diminimalisasi dengan penghapusan penggunaan istilah ini dalam ruang publik, seperti media berita atau media sosial. Atau, dapat pula pengubahan penyebutan tersebut menjadi kata-kata yang bermakna sangat buruk, seperti sekelompok penjahat, segerombolan perusuh, atau lainnya. Setidaknya, itulah yang diterapkan oleh Pemerintah DIY kepada masyarakat Yogyakarta untuk tidak lagi menggunakan istilah klitih. Hasilnya, semenjak penghapusan istilah klitih pada 5 April 2022, kasus perilaku kenakalan dengan berkendara motor Di DIY tidak sesemarak sebelumnya.

Tidak dipungkiri, istilah gangster memiliki citra berupa sekelompok orang yang begitu terkoordinasi dan masyarakat merasa takut kepada mereka. Setidaknya, itulah yang juga digambarkan dalam tontonan hiburan kita terhadap keberadaan gangster. Sinetron-sinetron acap kali menjadikan gangster sebagai kisah cerita dengan pemainnya yang menjadi salah satu anggota gangster. Tidak lupa juga adegan perkelahian dan perselisihan yang kemudian itu menjadi hal yang identik dalam gangster dan masyarakat pun menontonnya.

Dengan demikian, untuk mengubah persepsi itu, hilangkanlah penggunaan istilah ‘gangster’ dalam pemberitaan, media sosial, atau obrolan keseharian masyarakat agar pelaku tidak mendapatkan persepsi dan kepuasaan itu. Atau, ubahlah istilah gangster sehingga nilai dan paradigma yang ada di dalam istilah itu hilang. Gantilah dengan kata-kata yang justru dapat memberikan persepsi dan stigma bahwa mereka adalah sekelompok orang yang sangat mengganggu dan perlu dilawan bersama.

***

*) Oleh: Irwan Suswandi, Dosen Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan.

Sumber https://timesindonesia.co.id/kopi-times/439722/persepsi-terhadap-istilah-gangster

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-05 10:44:322024-10-05 10:49:31Persepsi terhadap Istilah Gangster

Etika Kehidupan Berbangsa

02/10/2024/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (30 Januari 2024)

Immawan Wahyudi

Judul tulisan sederhana ini menggunakan nama atau judul dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Mengapa akhir-akhir ini isu tentang etika tiba-tiba menyeruak di sela-sela kegaduhan debat capres-cawapres? Penulis tidak berkompeten untuk menjawab pertanyaan ini. Setiap kita akan memiliki argumen dan sudut pandang yang berbeda. Namun bisa kita simpulkan bahwa etika bagi kehidupan berbangsa, juga benegara, isu etika sangatlah penting. Bukti yuridis formal pentingnya etika adalah adanya TAP MPR di atas.

Dalam argumentasi filosofis TAP MPR tersebut menyatakan, “bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, diperlukan pencerahan sekaligus pengamalan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sedangkan argumentasi sosiologisnya menyatakan, “bahwa etika kehidupan berbangsa dewasa ini mengalami kemunduran yang turut menyebabkan terjadinya krisis multidimensi.” Oleh sebab itu diperlukan suatu cara yang dalam TAP MPR tersebut dinyatakan; “bahwa untuk itu diperlukan adanya rumusan tentang pokok-pokok etika kehidupan berbangsa sebagai acuan bagi pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia dalam rangka menyelamatkan dan meningkatkan mutu kehidupan berbangsa itu.”
Filosofis Etika

Dalam wilayah berpikir yang seharusnya ada (das sollen) untuk menjawab tantangan dari kenyataan yang ada (das sein) dan untuk menyibak wilayah yang masih kita anggap gelap (das ding an sich) isu tentang etika bukan persoalan yang pantas untuk ditunda-tunda. Misalnya saat ini kita sedang sibuk memantau dan atau sedang menyiapkan kampanye, umumnya akan sangat terpengaruh pada isu etika. Apakah seseorang calon presiden atau calon anggota legislatif baik atau tidak baik adalah wilayah etika.

Dalam dunia politik acapkali moral diposisikan pada tempat yang tidak penting–kalau bisa, malah diminimalkan peranannya. Padahal secara pemahaman mendalam tentang politik justru moralitas atau etika merupakan ruh dari cara berfikir dan berperilaku politik. Kita bisa menyebut misalnya pandangan ImmanueL Kant yang membedakan antara politisi moral dan moralis politik.

Politisi moral adalah orang yang memahami prinsip-prinsip kearifan politik sedemikian rupa sehingga ia bisa hidup dengan moralitas. Sedangkan moralis politik adalah orang yang mereka-reka moralitas supaya cocok dengan kalangan negarawan, kalangan penguasa. Politisi moral tidak terjerumus dalam kubangan ambisi dan pencarian kekuasaan. Sedangkan moralis politik menggabungkan antara politik dengan moralitas dengan cara yang sepenuhnya salah. Moralis politik memanfaatkan hasrat alami manusia untuk melayani pemimpin mereka dari sisi moral dengan cara menciptakan suatu etika yang hanya ditujukan untuk memenuhi tujuan dari segelintir oarng yang berkuasa. (Howard Williams, Filsafat Politik Immanuel Kant, JP-Press & IMM, Jakarta, 2003, hal. 54 – 55)

Dalam realitanya, sejalan dengan perkembangan teori-teroi baru ilmu komunikasi, orang dipaksa untuk mematut-matut diri sehingga apa yang dikatakan dan apa yang ditulis dalam baliho misalnya, seringkali memberikan gambaran yang bertentangan. Orang yang sedang mengikuti kontestasi acapkali tidak berpikir apa yang sebenarnya ada pada dirinya tapi berpikir apa yang tidak ada pada dirinya agar masyarakat beranggapan bahwa dirinya adalah orang baik.

Selain terori moral politik dari Immanuel Kant dapat kita sitir pandangan Emile Durkheim yang menteorikan posisi moralitas dalam ilmu yang positivistik. Menurutnya, moralitas bertumpu pada tiga sikap dasar. Pertama, moralitas harus dilihat sebagai fakta sosial yang kehadirannya terlepas dari keinginan subjektif. Kedua, moralitas merupakan bagian yang fungsional dari masyarakat. Ketiga, moralitas terlibat dalam proses historis yang bersifat evolusioner dan berubah sesuai dengan zaman yang ada. (Taufik Abdullah dan AC van der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, YOI, Jakarta, 1986, hal. 11)

Etika dan Realitas Sosial

Sejalan dengan pandangan Immanuel Kant dan Durkheim di atas, muncul pertanyaan penting: Mengapa mustika indah kepribadian “bangsa ketimuran” lenyap bak air bah ditelan Bumi? Tentu hal ini memerlukan perenungan bersama, mendalam, jujur dan optimistik. Dengan kredo semacam ini diharapkan mustika ketimuran akan dapat kita temukan kembali dalam realita sosial yang benar-benar berfungsi di tengah tuntutan perlunya penegakan etika dalam berbangsa dan bernegara. TAP MPR Nomor VI/2001 Pasal 3 menyatakan; “Merekomendasikan kepada Presiden Republik Indonesia dan lembaga-lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan ketetapan ini sebagai salah satu acuan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa.”

Etika Kekuasaan

Jika kita detailkan isu etika dalam konteks politik kekuasaan seharusnya ada norma-norma tentang etika pemerintahan, etika jabatan, dan ada etika pejabat. Bentuk pelanggaran etika kekuasaan misalnya memperoleh kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Kerugian paling meresahkan dan meruntuhkan kehormatan pemerintahan adalah pelanggaran terhadap sumpah jabatan dan puncaknya pelanggaran tethadap konstitusi. Oleh sebab itu pelanggaran terhadap etika kekuasaan jauh berbeda dengan pelanggaran etika sosial. Pelanggaran etika selalu mengandung unsur kerugian. Jika etika sosial yang dilanggar paling ringan dampaknya adalah kerugian individual dan yang paling berat ialah kerugian kehormatan dan harmoni sosial. Sementara pelanggaran terhadap etika kekuasaan jauh lebih berat, lebih mendalam, dan lebih besar pengaruh kerusakannya bahkan dapat bermuara pada hilangnya sistem bernegara dan bernegara berdasarkan yang sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Sumber https://opini.harianjogja.com/read/2024/01/30/543/1163237/opini-etika-kehidupan-berbangsa

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-02 09:56:032024-10-05 10:53:22Etika Kehidupan Berbangsa
Page 6 of 31«‹45678›»

TERKINI

  • IMM FEB UAD Gelar Pelatihan BETA05/06/2025
  • IMM PBII Gelar Diskusi Sigma dalam Semarak DAD 202505/06/2025
  • IMM Buya Hamka UAD Adakan Kegiatan Ngaji Berfaedah dan Al-Kahfi Day05/06/2025
  • Berinovasi Melalui Seminar Nasional “Innovation in Action”05/06/2025
  • Sumpah Dokter Periode II FK UAD 2025 Luluskan Dokter Baru05/06/2025

PRESTASI

  • Mahasiswa FK UAD Raih Juara 3 Nasional Solo Pop Porseni 202504/06/2025
  • Kejutan Manis Tim Futsal UAD: Raih Juara 1 TUN FC 202504/06/2025
  • UKM Basket Putra UAD Juara 1 pada Kompetisi GBC 202504/06/2025
  • Mahasiswa UAD Juara 2 Lomba Desain Nasional03/06/2025
  • Mahasiswa FAI UAD Raih Juara 3 Lomba Qiroatul Akhbar02/06/2025

FEATURE

  • Memahami Social Media Insight05/06/2025
  • Menerapkan Flipped Classroom untuk Menjadi Guru Profesional05/06/2025
  • Kisah Asna Adira: Atasi Kendala Skripsi hingga Raih Predikat Lulusan Terbaik05/06/2025
  • Pentingnya Memahami Tantangan dan Tanggung Jawab Guru05/06/2025
  • AI dan Etika Menulis Ilmiah05/06/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top