Oleh Rendra Widyatama, SIP., M.Si
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UAD
Dalam beberapa tahun terakhir ini, istilah ngabuburit di kalangan umat Islam tampaknya semakin populer. Kata ngabuburit berasal dari bahasa Sunda, artinya kurang lebih menunggu saat berbuka puasa. Kata dasar ngabuburit sendiri sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan puasa. Burit berarti sore. Ngabuburit berarti menunggu sore, sehingga tidak hanya menunggu sore di bulan puasa saja. Karena buka puasa dilakukan di sore hari (maghrib) maka akhirnya ngabuburit pun dipersempit artinya menjadi menunggu saatnya buka puasa.
Di tengah masyarakat, ngabuburit banyak dilakukan dengan berbagai macam cara. Di lingkungan pemukiman yang memiliki masjid, ngabuburit bagi anak-anak umumnya dilakukan dengan mengikuti TPA, alias Taman Pendidikan Alquran. Di TPA tersebut, biasanya mereka belajar membaca Alquran dan pengetahuan keagamaan lainnya.
Bagi kelompok masyarakat yang lebih tua, ngabuburit banyak dilakukan dengan cara mendatangi pengajian sekaligus buka puasa bersama. Pengajian sering dilakukan di masjid, dan tidak jarang diselenggarakan di tempat-tempat kerja, bersama rekan-rekan sekantor. Namun bagi remaja dan pemuda, ngabuburit sering berlangsung tidak terpola. Tidak jarang, mereka hanya JJS alias jalan-jalan sore atau sekedar nongkrong di tepi jalan sambil melihat lalu lalang kendaraan.
Melihat banyaknya warga yang ngabuburit di jalanan, dewasa ini fenomena ngabuburit juga dimanfaatkan banyak perusahaan untuk melakukan promosi. Bahkan, mereka membuat event yang mengundang keramaian untuk bersama melakukan ngabuburit. Biasanya ngabuburit diisi dengan penampilan music, aneka permainan yang lucu, dan kuis yang menawarkan hadiah menggiurkan.
Atas fenomena ngabuburit seperti itu, sesungguhnya sangat disayangkan. Sebab warga mengisi waktunya dengan sesuatu yang kurang bermanfaat bagi upaya penambahan pahala. Luas diketahui bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Bila pada bulan biasa setiap kebaikan digandakan sepuluh hingga 700 kali lipat, maka pada bulan Ramadhan amalan puasa dilipatgandakan oleh Allah hingga berlipat-lipat tanpa ada batasan bilangan. Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, ”Karena orang yang menjalani puasa berarti menjalani kesabaran”. Sementara ganjaran orang yang bersabar, sebagaimana dalam QS Az Zumar (10), mengatakan akan diberikan ganjaran pahala pahala tanpa batas. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Karena sedemikian besarnya pahala yang bisa didapat pada bulan Ramadhan, maka sangat disayangkan bila masyarakat tidak memanfaatkan seluruh waktunya untuk membuat amalan kebaikan di bulan suci ini. Misalnya dengan melakukan kajian-kajian tentang Islam, membaca Al Quran, dan berbagai amalan kebaikan lainnya. Dengan demikian, bila melakukan ngabuburit dalam artian sekedar menghabiskan waktu tanpa manfaat, berarti orang tersebut rugi dalam menjalani waktu. Bila dalam jargon ekonomi menyebut waktu adalah uang, maka pada bulan Ramadhan, waktu adalah pahala. Kalau kita memanfaatkan seluruh waktu dengan berbagai amalan kebaikan, maka tidak terhitung berapa banyaknya pahala yang berhasil kita kumpulkan. Kita tahu, pahala tersebut akan menjadi bekal kita saat kita sudah berada di akhirat.
Di sisi lain, banyaknya pihak yang membuat even ngabuburit yang kurang bermanfaat dan sekedar menghabiskan waktu atau hura-hura di pinggir-pinggir jalan maupun di tempat-tempat umum lainnya, merupakan tantangan bagi para takmir masjid untuk dapat membuat event yang lebih menarik lagi guna mengundang umat. Takmir perlu memiliki pengetahuan dan ketrampilan praktis tentang pengelolaan even kreatif dan menarik agar Ramadhan dihiasi dengan berbagai kegiatan di masjid. Niscaya dengan kegiatan masjid yang ramai, maka umat khususnya para remaja tidak pergi ke jalanan dan tempat-tempat ngabuburit yang tak bermanfaat.
Bila diperhatikan selama ini, umumnya takmir masjid cenderung tidak kreatif dalam membuat acara Ramadhan. Even yang diselenggarakan cenderung monoton dari tahun ke tahun. Karena monoton itulah, masjid tidak menjadi daya tarik umat untuk melakukan aktivitas luas lainnya kecuali sekedar pengajian dan shalat. Padahal kita tahu, dalam sejarah di jaman Nabi Muhammad, masjid menjadi pusat berbagai kegiatan. Selain sebagai tempat ibadah, masjid digunakan umat Islam untuk berbagai keperluan misalnya dibidang pendidikan, kegiatan sosial, ekonomi, pemerintahan dan lain-lain. Pada zaman Rasullah, masjid merupakan pusat pemerintahan, kegiatan pendidikan, kegiatan social, ekonomi, bahkan mengatur strategi peperangan.
Masjid dijadikan sebagai pusat detak jantung kehidupan masyarakat. Karena memiliki kedekatan secara fisik, maka membangun kedekatan secara psikologis pada masjid menjadi lebih mudah. Tidak kenal maka tidak sayang, begitu ungkapan populer yang kita sering dengar. Bila umat kenal dengan dekat dalam artian fisik dan psikologis, maka mereka akan menyayangi masjid. Dampak lebih lanjut adalah munculnya perilaku, mental, dan ahlak yang lebih Islami dalam menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk melewati bulan suci Ramadhan.
Sayang, dalam perkembanganya, saat ini masjid cenderung hanya di jadikan sebagai tempat ibadah sholat semata. Seiring derasnya “sekularisasi” dan pandangan “materalisme”, tanpa disadari peranan masjid semakin menyempit. Maka tidak heran masjid menjadi sepi tidak ada aktifitas apapun selain sholat dan perayaan peringatan keagamaan tertentu.
Berkaca dari fenomena ngabuburit di jalanan dan di tempat-tempat lain yang tak memberikan manfaat, maka sudah selayaknya umat Islam, khususnya para takmir masjid dibekali pengetahuan dan ketrampilan menyelenggarakan even agar mampu mengadakan kegiatan ngabuburit yang menarik dan bermanfaat di masjid.