Gagal di Malang, Menang di Kediri
Wike Nurani sejak dulu mengincar ingin menjuarai Olimpiade BK di Universitas Negeri Malang (UM). Sebab sejak semester dua, ia pertama kali ikut olimpiade BK di Malang belum pernah merasakan menjadi juara. Padahal, ajang ini sangat bergengsi di antara universitas yang ada di Indonesia.
Wike, begitu panggilan akrabnya, kembali mengikuti dan berakhir di peringkat 6, tinggal selangkah lagi ia bisa masuk ke lima besar. Selisih nilai dengan peringkat 5 terbilang sangat tipis yakni 72 dengan 71, beda satu poin saja.
“Tapi ya sudahlah meski nggak masuk. Lalu saya mencoba ikut lagi di Universitas Nusantara Kediri. Meskipun tahun kemarin sudah menjuarai di Kediri. Hal itu juga menjadi motivasi saya, masa kemarin sudah juara dan sekarang harus mundur. Jadi saya makin semangat ikut lomba di Kediri,” kata mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling (BK) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) itu.
Di Kediri ia sukses mendapatkan juara 2 di cabang lomba Olimpiade BK. Ia menjalani mekanisme lomba dengan santai berkat pengalaman di tahun sebelumnya. Namun, kasus ketika ia masuk di lima besar berbeda dengan tahun sebelumnya. Kasus yang ia hadapi kali ini adalah masalah siswa SMA bernama Suparman yang enggan menjadi ketua OSIS di sekolahnya.
“Supaman itu seperti terpaksa. Ia takut dan khawatir kalau tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Karena setiap pulang sekolah, ia harus membantu ibunya bekerja berjualan di pasar. Suparman sempat berpikir tidak mau jadi ketua OSIS. Namun ia takut semuanya malah jadi kacau dan bisa merusak nama baiknya juga. Oleh karena itu, ia bingung harus bagaimana, lalu ia datang ke guru BK. Sedangkan saya di lomba itu memosisikan diri sebagai guru BK Suparman. Kira-kira kalau saya jadi guru BK, bagaimana menanggapi kasus yang melanda Suparman? Dalam ilmu BK ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah itu,” katanya saat ditemui di Kampus II UAD Jln. Pramuka 42, Umbulharjo, Yogyakarta, Jumat (27-9-2019) malam.
Wike meneruskan, pendekatan yang ia gunakan untuk memecahkan kasus tersebut dengan memakai pendekatan eksibisi, yang fokus kepada konseling saja. Karena menurutnya, dalam eksibisi itu tidak terlalu mementingkan masalah, melainkan fokus mencari solusi dan eksibisi itu menjelaskan pribadi yang sehat adalah orang yang punya kompeten. Eksibisi memandang kalau manusia kompeten mampu membangun solusi yang meningkatkan daya hidupnya.
“Menurut saya, dalam kasus ini Suparman orang yang kompeten. Karena siswa yang menjadi ketua OSIS berarti orang yang berkompeten. Tapi kadang ia kehilangan arah kehidupannya, jadi konselor menyadarkan lagi bahwa Suparman ini adalah orang yang kompeten dan mampu membangun solusinya sendiri sehingga bisa meningkatkan daya hidupnya,” terangnya.
Menurutnya, konselor memang bertugas menyadarkan orang. Karena yang paling tahu masalah adalah orang itu sendiri. (ASE)