PSMPB: Membangunan Kesadaran Sebelum dan Sesudah Bencana
Pusat Studi Mitigasi dan Penanggulangan Bencana (PSMPB) merupakan salah satu pusat studi yang berada di bawah naungan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Ahmad Dahlan (UAD), yang konsen terhadap upaya-upaya mitigasi dan penanggulangan bencana. Ini sebagai wujud konkret kepedulian terhadap kondisi Ibu Pertiwi yang rawan bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat dalam periode 2005−2015 telah terjadi 11.648 kejadian bencana hidrometeorologi seperti banjir, gelombang ekstrem, kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, serta cuaca ekstrem di Indonesia. Sementara 3.810 kejadian lain adalah bencana geologi seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, dan tanah longsor. Peristiwa bencana geologi paling mutakhir adalah gempa bumi Lombok, disusul gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang melanda Sulawesi Tengah 2018.
Bencana tidak hanya peristiwa alam hidrometeorologi dan geologi, tetapi juga ada berupa bencana sosial seperti wabah penyakit, kerusuhan, perkelahian antarpemuda dan pelajar, serta peperangan. Rawannya bencana alam maupun bencana sosial bangsa ini, menjadi pendorong berbagai perguruan tinggi, termasuk UAD, yang memiliki kewajiban memberikan kontribusi untuk melakukan berbagai usaha meminimalisir dampak bencana alam, bahkan mencegah adanya bencana sosial.
Berkaitan dengan hal tersebut, UAD melalui PSMPB akan aktif mengkaji berbagai fenomena bencana serta pembangunan kesadaran sebelum dan sesudah bencana alam maupun bencana sosial terjadi.
Seperti yang dikatakan Kepala PSMPB UAD Dholina Inang Pambudi, S.Pd., M.Pd., mitigasi sendiri memiliki makna mengurangi risiko bencana. Sehingga dalam praktiknya, PSMPB selalu berupaya menyelenggarakan berbagai kegiatan yang dapat mendukung pengurangan risiko bencana. Setelah terjadinya gempa bumi 27 Mei 2006, paradigma penanggulangan bencana di Indonesia telah bergeser dari upaya respons (setelah bencana) ke upaya pencegahan (sebelum bencana), sejalan dengan yang tertera pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
“Sesuai amanat Undang-Undang, PSMPB hadir sebagai representasi UAD yang diharapkan selalu aktif mengkaji dan memberikan sumbangsih pemikiran kepada pemerintah dan masyarakat dalam hal kebencanaan. Sarasehan atau talk show, seminar, dan terutama pelatihan yang mampu meningkatkan kapasitas masyarakat terkait mitigasi dan kesiap-siagaan bencana, penelitian, serta pengabdian, ke depannya rutin akan dilaksanakan untuk mendukung kegiatan pengurangan risiko bencana,” kata Dholina.
Lebih lanjut, ia menyebutkan wujud nyata dukungan PSMPB terhadap upaya pengurangan risiko bencana yakni dengan peningkatan kapasitas calon relawan mahasiswa UAD pada 1 Desember 2018 lalu. Selain itu, PSMPB UAD juga terlibat sebagai pemateri dalam dukungan psikososial bagi guru-guru di wilayah terdampak bencana Sulawesi Tengah dengan membawakan materi manajemen penanggulangan bencana, ikut serta dalam Sekolah Madrasah Aman Bencana (SMAB) kerja sama Kemdikbud dan Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC) pada 4−7 Desember 2018, serta terlibat dalam penyelenggaraan seminar kebencanaan, pameran foto kebencanaan, diskusi foto kebencanaan kerja sama Medecins Sans Frontieres (MSF) dan MDMC 17−22 Desember 2018.
“Kiprah PSMPB yang lain adalah bekerja sama dengan PGSD UAD, yakni membuat materi pembelajaran dengan wacana dasar mitigasi bencana. Selain itu, bekerja sama dengan Peace Generation dalam diskusi ilmiah pengembangan kurikulum kebencanaan di jenjang Sekolah Dasar,” papar Kepala PSMPB UAD tersebut.
Pentingnya Mitigasi Bencana
Mitigasi bencana sebagai rangkaian langkah untuk mengurangi risiko bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana, merupakan kegiatan yang penting dan harus konsisten digalakan. Pasalnya, apabila penyelenggaraan mitigasi bencana buruk maka akan berpotensi besar menambah daftar panjang kerugian akibat bencana, seperti jumlah korban jiwa dan luka-luka serta kerugian ekonomi akibat adanya kerusakan fasilitas publik maupun rumah pribadi. Seperti yang dilaporkan Bapennas, total kerugian dan kerusakan tsunami Aceh dan Nias (2004) 41,4 triliun rupiah, kerugian gempa Yogyakarta (2006) bernilai 29,1 triliun rupiah, kerugian dan kerusakan dari gempa Sumatera Barat tercatat 1,1 triliun rupiah, bahkan gempa Padang (2009) dengan total kerugian 21,6 triliun rupiah membuat kerusakan pada 80% sektor infrastruktur termasuk perumahan dan 11% sektor produktif. Kemudian, total kerugian akibat tsunami Mentawai (2010) mencapai 0,35 triliun rupiah. Untuk kegiatan rekonstruksi Aceh dan Nias (2004) misalnya, pemerintah mengeluarkan anggaran lebih dari 37,0 triliun rupiah, dan untuk mengatasi dampak gempa di Yogyakarta, anggarannya mencapai sekitar 1,6 triliun rupiah.
Berkaca dengan banyaknya jumlah kerugian akibat bencana dan tidak berimbangnya anggaran yang digelontorkan untuk pemulihannya, serta letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang dilintasi cincin api, mitigasi bencana perlu digalakan oleh elemen yang berkapasitas di bidangnya seperti yang telah dilakukan UAD dengan PSMPB. Diharapkan dengan masifnya mitigasi bencana, dapat memaksimalkan adanya usaha menekan berbagai kerugian akibat ketidaksiapan masyarakat menghadapi bencana. Sebab, mitigasi bencana memungkinkan adanya pemetaan wilayah-wilayah yang rawan bencana menggunakan konstruksi khusus dalam mendirikan fasilitas umum maupun perumahan pribadi, atau bahkan menghindari adanya pembangunan pada zona “merah” bencana.