Rahmat dalam Perbedaan Idul Adha 1444 H: Menjelajahi Harmoni dalam Kekayaan Budaya Islam
Babelpedia (13 Juni 2023)
Sobirin Malian
Tahun ini, setelah perbedaan dalam Idul Fitri kita juga akan berbeda dalam Idul Adha 1444 H. Dalam konteks Idul Adha perbedaan muncul tidak semata-mata persoalan hisab dan rukyat, tetapi juga dikaitkan dengan peristiwa wukuf di Arafah. Mengapa ? karena umat Islam yang berada di luar kota Mekah dan tidak melaksanakan ibadah haji disunahkan menjalankan puasa Arafah.
Menghadapi permasalahan perbedaan ini jumhur ulama mengembangkan konsep Ittihad al Matali. Pandangan ini diikuti beberrapa tokoh di Timur Tengah, seperti Abu Zahroh, Ahmad Asy-Syirbashi dan Ahmad Muhammad Syakir. Di Indonesia cukup banyak yang mengembangkan pandangan ini, di antaranya Prof Hasbi ash-Shiddiqie, dari UIN Sunankalijaga, dll.
Di era modern ini, konsep Ittihad al-Matali dikembangkan dalam sebuah system kalender yang dikenal dengan kalender Islam global. Salah seorang yang menggagas kalender Islam global adalah Hussein Fathi dalam buku berjudul Kaifa Nuwahhidu at Taqwim al-Hijry al-“alama al-Islamy (1389/1970). Kehadiran Islam global ini diharapkan mampu menyelesaikan perbedaan dalam merayakan Idul Adha. Hasil konferensi Turki 2016 juga sudah memutuskan untuk dijadikan umat Islam sedunia agar permasalahan perbedaan penentuan Idul Fitri dan Idul Adha ini diselesaikan.
Kalau dicermati, perbedaan tersebut dilatarbelakangi beberapa hal.
Pertama, perbedaan system hisab dan rukyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hal ini kemudian menimbulkan perbedaan hasil penggarapan, yang oleh para pakar falak, sistem falak diklasifikasikan sebagai hisab haqiqy, taqriby, hisab haqiqy tahqiqy, dan hisab haqyqi kontemporer.
Kedua, perbedaan hasil ijtihad para ulama fiqih dalam masalah penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Ada aliran rukyat seperti Imam Romli dan Al-Khatib Asy-Suaibani yang menyatakan jika rukyat berbeda dengan perhitungan hisab, yang diterima adalah kesaksian rukyat karena hisab diabaikan oleh syariat. Menurut mereka, jika ada orang menyaksikan melihat hilal, sedangkan menurut perhitungan hisab tidak mungkin dirukyat, kesaksian itu harus ditolak. Namun, ada aliran moderat, seperti Imam Ibnu Hajar yang menyatakan, bahwa syariat atau rukyat dapat ditolak jika ahli hisab sepakat (ittifaq), tetapi jika tidak terjadi ittifaq, rukyat tidak dapat ditolak.
Ketiga, perbedaan tingkat sosial. Masyarakat yang sudah modern bersifat terbuka, obyektif, dan selektif dalam berfikir, sedangkan masyarakat tradisional notabene bersifat isolatif dan fanatik sehingga dapat terpengaruh dalam menerima pemikiran produk fikih baru, termasuk dalam hal hisab dan rukyat.
Bagaimanapun, kalau kita telaah secara lebih serius, semestinya keterpaduan penggunaan hisab yang akurat dalam hal ini seperti menggunakan hisab haqyqi kontemporer semacam almanak Nautika dan Jean Meeus atau seperti Muhammadiyah, dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah relatif lebih mudah. Dengan hisab yang akurat (menggunakan teknologi) kita akan bisa memprediksi lebih dini tentang jatuhnya awal bulan tersebut. Dengan demikian, antara hisab dan rukyat itu bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ibarat analogi terminologi hukum, dapat dibahasakan hisab sebagai keterangan saksi. Bahwa hisab yang akurat diperlukan untuk panduan pelaksanaan rukyat yang benar, sedangkan eksistensi rukyat sebagai alat bukti kebenaran hisab.
Bagaimana dengan awal bulan Zulhijah 1444 H ?, kalau mengacu pada hisab, maka jatuhnya pada hari Senin Legi, 19 Juni 2023. Puasa Arafah, 9 Zulhijah, Selasa Wage, 27 Juni 2023, dan hari raya idul Adha 1444 H, 10 Zulhijah1444 H, Rabu Kliwon, 28 Juni 2023. Ini versi hisab haqyqi yang dikembangkan Muhammadiyah, tentu berbeda dengan ketetapan pemerintah yang menetapkan hari Kamis, 29 Juni 2023. Apabila pada hari Rabu, 28 Juni 2023 menjadi pilihan maka hal ini akan sejalan dengan kelompok pendukung Arab Saudi, pendukung kalender Islam global (Turki dan Eropa) dan poros MABIMS (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapore).
Akhirnya, sebagai bangsa negara yang berkomitmen melaksanakan Pancasila, perbedaan pilihan hari raya Idul Adha 1444 H, tetaplah kita jadikan rahmat. Toh ini bukan untuk pertama kalinya.