Reviu Ulang Deklarasi HAM
Harian Jogja (28 November 2024)
Sobirin Malian
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia telah mengalami kemunduran (15 November 2023). Guterres menyerukan pembaharuan terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) setelah 75 tahun ditandatangani oleh anggotaPBB.
Menurut Gutteres, Deklarasi HAM yang ditandatangani 10 Desember 1948 itu layak direviu atau ditinjau kembali mengingat saat ini Piagam itu seakan diserang semua pihak. Mulai dari perang yang berkecamuk di Ukraina, agresi Israel atas Palestina, holocaust suku Uyghur oleh China dan etnis Rohingya di Myanmar, diskriminasi agama minoritas di India, dan lain sebagainya. Tak kalah serius adalah adanya ancaman terhadap hak-hak dari melonjaknya angka kemiskinan, kelaparan dan bencana iklim.
Gutteres mengatakan invasi Rusia ke Ukraina dan bombardir Israel ke Gaza Palestina, telah menjadi bukti nyata pelanggaran hak asasi manusia yang paling masif dan brutal yang pernah terjadi di dunia sejak pasca Perang Dunia II.
Antonio Guterres mengatakan invasi ini telah menyebabkan kematian ribuan nyawa. Sedikitnya 15.000 anak-anak dan wanita menjadi korban, dan sejumlah fasilitas publik di Gaza hancur. Pengungsian pun meluas. Padahal, jika dibandingkan, abad yang lalu, kita telah menyaksikan kemajuan yang menakjubkan dalam hal penegakan HAM dan pembangunan manusia.
Standar Ganda
Penyebab pertama mengapa pelanggaran terus terjadi adalah: masif dan tak terkendalinya pelanggaran HAM di berbagai belahan dunia saat ini tak lepas dari adanya standar ganda yang diterapkan oleh negara-negara pemilik hak veto di PBB. Mereka adalah Amerika Serikat, Rusia, China, Prancis dan Inggris.
Standar ganda negara-negara tersebut telah membuat gagalnya berbagai usaha perdamaian yang disponsori PBB. Standar ganda di sini, terkesan di satu sisi (Amerika, China, Rusia, Prancis dan Inggris) itu mendukung adanya perdamaian, tapi di sisi lain mereka juga menyokong adanya peperangan dan memveto usaha damai internasional.
Hak veto merupakan hak istimewa yang dimiliki anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) yakni Amerika Serikat, China, Inggris, Prancis dan Rusia. Keberadaan hak veto saat ini banyak mendapat kritikan dari masyarakat internasional karena telah disalahgunakan untuk kepentingan negara pemegang hak veto.
Salah satu contoh penyalahgunaan hak veto dapat dilihat pada kasus jatuhnya pesawat Malaysia Airlines di Ukraina. Rusia menjatuhkan veto terhadap draf resolusi No. S/2015/562 yang berisi tuntutan untuk membentuk lembaga peradilan khusus untuk menyelidiki kasus jatuhnya pesawat tersebut, sehingga Piagam tersebut tidak dapat diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB. Contoh lain, penyelesaian konflik Israel-Palestina. Tercatat tidak kurang 20 kali Amerika memveto keinginan Palestina untuk merdeka yang membuat nasib bangsa dan negara Palestina terus terkatung-katung.
Prinsip Persamaan
Keberadaan hak veto tersebut tentu bertentangan dengan prinsip persamaan kedaulatan. Prinsip persamaan kedaulatan menempatkan semua negara anggota PBB dalam kedudukan yang sama, baik dari segi hak dan kewajiban. Adanya hak veto membuat kelima negara anggota tetap DK PBB seakan memiliki kedaulatan yang lebih dibandingkan dengan negara anggota lainnya. Mereka memiliki hak yang melebihi negara-negara anggota PBB lain.
Penyebab kedua, lamban dan tak berdayanya hukum internasional dalam mengambil sikap untuk menghukum si pelanggar HAM. Memang mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat berdasarkan instrumen hukum internasional telah dilakukan oleh PBB dengan membentuk pengadilan pidana baik yang bersifat ad hoc seperti Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR).
Sedangkan pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen yaitu International Criminal Court (ICC). Kesemua lembaga HAM Internasional dan prosedur yang harus ditempuh tampaknya terlalu panjang dan berliku. Lebih dari itu tidak cukup “berwibawa” dan dihormati oleh negara bandel seperti Israel. Atas dasar itulah penulis sepakat dengan Sekjen PBB Gutteres, bahwa Deklarasi HAM 1948 perlu ditinjau ulang dengan mereformasi sistem dan prosedurnya agar tidak bertele-tele. Dan tak kalah penting adalah adanya komitmen dan political will seluruh anggota PBB untuk mendukung penegakan hukum terhadap negara pelanggar HAM.
Negara-negara dengan hak veto di PBB saatnya menggunakan hati nurani di dalam penggunaan haknya dengan orientasi dan dedikasi demi perdamaian dunia agar Bumi makin damai. Bukan kepentingan politik negara yang merugikan perdamaian dan menciptakan kesenjangan kian jembar di antara negara-negara di dunia.
Sumber : https://opini.harianjogja.com/read/2023/11/28/543/1156384/opini-reviu-ulang-deklarasi-ham